Anda di halaman 1dari 10

PERAN PEKERJA SOSIAL TERHADAP LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN

TRANSGENDER (LGBT) SEBAGAI PENYANDANG MASALAH


KESEJAHTERAAN SOSIAL

Kelas : D3

Disusun oleh:
Salma Zahidah (190910301102)

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2019
DAFTAR ISI

Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Rumusan masalah 2
Tujuan 2
Pembahasan 3
Analisis Penyebab Terjadinya Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender Dari Segi
Kesejahteraan Sosial 3
Peran pekerja sosial dalam menangani adanya Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender
..5
Penutup 7
Kesimpulan 7
Daftar Pustaka 8
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Banyaknya kasus LGBT yang secara terbuka diketahui dan dilakoni di berbagai belahan
dunia saat ini. Bahkan telah marak berkembang di negara sendiri, yaitu Indonesia. LGBT atau
yang memiliki kepajangan dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender ini merupakan
suatu bentuk penyimpangan seksualitas. Penyimpangan tersebut antara lain, menyukai
sesama jenis, melakukan hubungan dengan lawan jenis sekaligus sesama jenis, serta
mengubah kelaminnya dari laki- laki menjadi perempuan, begitupun sebaliknya. LGBT
sendiri merupakan fenomena yang banyak ditentang oleh mayoritas masyarakat Indonesia,
karena LGBT dianggap hal yang tabu dan tidak baik untuk dilakukan. Serta tidak sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku. Akan tetapi disisi lain banyak pihak berusaha
menerima bahkan memperjuangkan hal tersebut dengan alasan hak individu yang perlu untuk
dihargai dan tidak boleh dilarang.
Indonesia menjadi negara dengan penduduk LGBT terbanyak ke- 5 setelah Cina, India,
Eropa, dan Amerika. Beberapa lembaga suvei independen dalam mapun luar negeri
menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 3% penduduk LGBT, yang berarti 7,5 juta dari 250
juta penduduk Indonesia adalah LGBT atau lebih sederhananya dari 100 orang yang
berkumpul di suatu tempat maka 3 orang diantaranya adalah LGBT (Santoso,2016; Pratama
dkk,2018:28). Tentunya jika kedepannya LGBT dianggap hal yang lumrah, maka jumlah
LGBT akan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
LGBT bukanlah fenomena yang baru saja akhir akhir ini terjadi. Tapi, fenomena tersebut
sudah terjadi bahkan ketika zaman Nabi Luth a.s, yang memiliki kaum penyuka sesama jenis,
sehingga terkenal dengan sebutan kaum sodom. Kisah tersebut dijelaskan pada salah satu
surat dalam kitab suci ummat islam, yang artinya berbunyi: “dan (ingatlah kisah) Luth,
ketika Dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (keji)
itu sedang kamu memperlihatkan (nya). Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk
(memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang
tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)". (QS. Al-Naml (27) : 54-55)
Hubungan seksual yang normal tentunya dilakukan oleh perempuan dan laki laki,
sehingga jika dilakukan oleh mereka yang sejenis tentu hal itu merupakan penyimpangan
seksual yang harus dihindari keberadaannya. Banyak faktor yang menjadi penyebab
maraknya kasus LGBT saat ini. Salah satunya adalah faktor lingkungan, dimana LGBT
dianggap sesuatu yang lumrah terjadi. Hal itu, akan membuat seseorang mudah terpengaruh
disebabkan lingkungan yang mendukung. Selain itu, tidak pernah dekat dengan agama serta
menganggap sepele nilai norma yang berlaku juga menjadi faktor adanya penyimpangan
tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa LGBT bukan hal yang wajar untuk
dilakukan, LGBT membawa banyak dampak negatif bagi internal maupun eksternal diri
pelaku. Sehingga hal ini termasuk dalam masalah sosial yang harus ditangani. Pelaku LGBT
dapat dikatakan memiliki perilaku yang menyimpang dari norma sosial dan norma adat. Jika
permasalahan tersebut dibiarkan tentu akan mewabah dan mengakibatkan banyak hal negatif
terjadi seperti HIV/ AIDS hingga kematian. Pekerja sosial memiliki peran besar untuk
mengurangi bahkan menghilangkan kasus LGBT yang marak terjadi. Dengan penanganan
yang dapat diterima oleh mereka, bukan malah mengintimidasi.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana analisi penyebab terjadinya Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender
dari segi kesejahteraan sosial?
2. Apa saja peran pekerja sosial dalam menangani adanya Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui analisis penyebab terjadinya Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender
dari segi kesejahteraan sosial
2. Mengetahui peran pekerja sosial dalam menangani adanya Lesbian, Gay, Biseksual,
dan Trangender
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Analisis Penyebab Terjadinya Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender Dari
Segi Kesejahteraan Sosial

Shankle (dalam Munadi, 2017:11) menerangkan bahwa LGBT merupakan akronim dari
kata Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender, yang menunjukkan kepada bentuk-bentuk
orientasi seksual yang terdapat pada manusia. Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an
dan menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah ini (LGBT) lebih mewakili
kelompok-kelompok yang telah disebutkan. LGBT merupakan aktifitas seksual yang
menyimpang. Hubungan tersebut semestinya tidak untuk dilakukan oleh manusia pada
umumnya, karena hal tersebut hanya menjadi pelampiasan nafsu yang salah karena lupa akan
etika yang berlaku di masyarakat. Serta mengabaikan hukum sebagai manusia yang percaya
pada Tuhan Yang Maha Esa.
Berikut analisis beberapa penyebab yang menjadikan mereka memutuskan untuk
menjadi seorang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender adalah:
1. Perlakuan Orangtua Pada Anak Semasa Kecil.
Kesadaran anak bahwa jenis kelaminnya merupakan sebuah kekecewaan orang tuanya,
terutama jika kekecewaan itu menuntun orangtua untuk memperlakukan anak seolah- olah
sebagai lawan jenisnya. Bagaimanapun, tak satu pun dari pertimbangan- pertimbangan ini
selalu menghasilkan homoseksualitas dalam diri orang dewasa. Dengan kata lain, tidak
semua perlakuan tersebut menjadikannya sebagai homoseksual saat dewasa nanti. Selain itu,
fenomena lain ketika ayah mereka menjadi sangat kuat, paling mencintai, dan memiliki
pengaruh konstruktif dalam kehidupan seorang anak laki- laki, dan ibu melecehkannya
dengan buruk, menjadi faktor besar anak laki laki tersebut menjadi seorang homoseksual
(Fromm, 2007:193-194).
2. Merasa Tidak Percaya Diri Bergaul Dengan Lawan Jenis
Orang- orang yang terintimidasi, atau memiliki sebuah harga diri yang rendah, dan yang
juga memiliki kesulitan- kesulitan dalam berteman, dan tidak menjadi nyaman bersama orang
banyak, mempunyai sebuah tendensi untuk mengikat jenis kelamin mereka sendiri karena hal
ini tidak begitu menakutkan. Mereka merasa dipahami oleh orang seperti diri mereka sendiri.
Tidak ada hal yang tidak tertebak yang menakutkan dari yang tidak dikenal (Fromm,
2007:195).
3. Takut akan tuntutan
Takut akan tuntutan didefinisikan penulis sebagai kondisi seseorang yang tidak siap
dengan peran yang lumrah dilakukan diri laki- laki maupun perempuan. Seperti halnya
Fromm (2007:195) mengatakan bahwa hubungan dengan lawan jenis menciptakan tuntutan-
tuntutan yang lebih besar—laki- laki diharapkan menyokong perempuan, seorang perempuan
diharapkan memiliki anak- anak. Semua ini menghendaki sebuah pengertiian yang lebih
dewasa dari tanggung jawab.
Berbagai penyebab yang telah dipaparkan di atas, menjadikan mereka akhirnya memilih
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender sebagai jalan yang dipilih dalam hidupnya. Karena
ketakutan, kekesalan, trauma masa lalu, mendapat perlakuan buruk, dan lain lain. Hal itu
begitu disayangkan, sebab jalan pelampiasan atas kekesalan dan ketakutan yang dipilih, tanpa
memikirkan bahkan mengabaikan dampak akhir atas jalan yang dipilih. Ditambah lagi, ketika
mereka menjadi seorang LGBT, masyarakat merasa takut bahkan menghujat keberadaannya.
Sehingga mereka merasa semakin tidak sejahtera dalam sosialnya. Sehingga sulit sekali
menjalankan fungsi sosial di tengah masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa, LGBT masuk dalam kriteria penyandang masalah kesejahteraan
sosial atau yang biasa disingkat PMKS. Seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Sosial
Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012, pada pasal (1) ayat 3 menjelaskan bahwa,
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disebut PMKS adalah
perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan,
kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat
terpenuhi keutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar.
Sebab, menjadi LGBT adalah upaya yang tidak mudah. Banyak hal, propaganda, bahkan
resiko yang akan dihadapi sehingga membuat para pelaku tidak dapat menjalankan fungsi
sosialnya dengan baik. Sehingga mereka tidak dapat berperan ditengah masyarakat.
Masyarakat meyakini bahwa mereka telah menyimpang dan harus dijauhi, selain itu juga
bahkan ketika mereka terjangkit penyakit sehingga membuat fisik mereka tidak sesehat orang
pada umumnya. Akibatnya, pekerjaan menjadi terhambat karena sakit yang diderita oleh
seorang LGBT.
2.2. Peran pekerja sosial dalam menangani adanya Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender

Terdapat banyak pandangan masyarakat dalam menyikapi keberadaan kaum LGBT.


Pertama, yaitu pihak yang secara tegas menolak adanya LGBT di negeri ini. Mereka
beranggapan bahwa LGBT merupakan hal yang tabu untuk dilakukan dan dibiarkan serta
dilarang di dalam agama. Sebagian dari mereka menghujat perilaku LGBT dan menolak
praktek tersebut. Sikap kedua yakni mereka orang- orang yang bersifat netral. Mereka tidak
menolak keadaan yang dialami LGBT akan tetapi tidak mendukung pula adanya praktik
LGBT yang dilakukan terbuka. Kelompok ini memiliki anggapan bahwa semua orang berhak
mendapatkan hak yang sama. Lain halnya dengan sikap ketiga, sebagai pendukung adanya
LGBT ini. Semua upaya dilakukakn oleh aktivis dan penggerak LGBT agar mendapatkan
pengakuan serta hak hidup yang sama seperti rakyat lain pada umumnya.
Hal tersebut tentu menggugah pekerja sosial untuk menengahi dan manangani polemik
LGBT ini. Alamsyah (2015:1) menjelaskan bahwasanya, pekerjaan sosial sebagai suatu
profesi pelayanan manusia (human service) yang mengedepankan nilai- nilai kemanusiaan
(human values) dan memfokuskan pada fungsionalitas sosial orang (individu dan
kolektivitas) dalam proses pertologannya. Pekerja sosial sebagai pelaku disiplin pertolongan
kemanusiaan melaksanakan fungsi- fungsi kinerja yaitu membantu mengentaskan,
memecahkan, dan menguatkan situasi sosial psikologis orang dalam kapasitas dan kapabilitas
melaksanakan peran kehidupannya. Sehingga, peran pekerja sosial begitu dibutuhkan oleh
masyarakat luar maupun pihak LGBT sendiri.
Sebelum pekerja sosial turun dan membenahi polemik tersebut, tentu perlu
pengetahuan tentang kondisi dan masalah sosial tersebut. Kondisi atau situasi sosial
masyarakat berbeda- beda. Pengetahuan tentang kondisi sosial di dunia barat berbeda dengan
di belahan timur. Tentu, tidak dapat dipungkiri jika mayoritas masyarakat Indonesia menolak
adanya LGBT tersebut. Karena dianggap hal yang tabu dan tidak normal. Sehingga menjadi
tugas pekerja sosial untuk menyiapkan strategi strategi guna menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Objektivitas merupakan hal yang menjadi pegangan setiap pekerja sosial. Dimanapun
dan persoalan apapun, pekerja sosial harus selalu dapat mempertahankan sikap netralitasnya
secara profesional ketika sedang berhadapan dengan seorang LGBT tanpa mengurangi sikap
empati. Pekerja sosial harus mengutamakan penggunaan diri pribadi seobjektif mungkin dan
penuh kesadaran dalam praktik relasi profesional (Alamsyah, 2015:94). Bukan berarti ketika
menghadapi seorang LGBT, pekerja sosial larut pada situasi emosional. Pekerja sosial harus
menjaga sikap objektivitas sebaik- mungkin dan mampu mengontrol emosi dalam dirinya
serta tidak melupakan prinsip kebenaran yang difahaminya.
Ketika kaum LGBT merasa terintimidasi oleh perlakuan masyarakat, sebagai pekerja
sosial penting untuk memperlakukan orang- orang LGBT dengan baik dan sesuai martabat
nya, tanpa menghilangkan objektivitas yang dimiliki pekerja sosial seperti yang telah dibahas
sebelumnya. Alamsyah (2015:98) menyebutkan bahwa pekerja sosial harus menerima orang
tanpa pretensi apapun, bahwa setiap orang atau kelompok seyogianya diperlakukan dengan
penuh harga diri atau martabat, hormat, dan memahaminya. Penerimaan menurut Biestek
dalam Sheafor dkk (2000) ialah sikap pekerja sosial “menerima klien sungguh apa adanya,
termasuk terhadap kekuatan- kekuatannya dan kelemahan- kelemahannya, kualitas kesukaan
dan tidaknya, perasaan positif dan tidaknya, menjaga seluruh citra klien dengan menghormati
dan ramah.”
Upaya menyelesaikan polemik masalah sosial LGBT ini, jika penulis memiliki peran
sebagai pekerja sosial, penulis merupakan pihak yang tidak setuju dengan dibiarkan dan
dilegalkannya kelompok LGBT. Seperti yang sudah disuarakan oleh kelompok LGBT, bahwa
mereka pun meminta adanya hak asasi manusia, namun hak asasi yang dimaksud seketika
mengabaikan salah satu hak yang dimiliki oleh tubuh mereka sendiri, yaitu hak kesehatan
dalam setiap individu LGBT tersebut.
Dengan etika etika pekerja sosial yang telah dibahas di atas, penulis akan
memperlakukan kelompok LGBT dengan kehormatan, bukan hujatan ataupun cacian.
Kemudian, sedikit demi sedikit memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan terjadi
jika melakukan kegiatan lesbi, gay, dan lain sebagainya. LGBT bukanlah sebuah aktivitas
yang normal untuk dilakukan, namun LGBT merupakan sebuah penyakit. Sehingga, penyakit
bukanlah kondisi yang sepatutnya dibiarkan, akan tetapi diobati. Diobati dengan
pendampingan psikologi, memperdalam agama, dan memberikan pekerjaan serta kesempatan
berkarya.
BAB 3
KESIMPULAN

LGBT adalah tindakan atau perilaku menyimpang yang dilakukan oleh mereka dari
latar belakang penyebab yang beragam. Menjadi LGBT sendiri bukanlah sesuatu yang
mudah. Banyak hal bahkan resiko yang harus ditelan oleh LGBT sehingga menjadikan
mereka masuk dalam kriteria masalah sosial yang harus dibantu untuk diatasi, agar
kesejahteraan sosial bisa mereka peroleh kembali sehingga bisa menjalankan fungsi sosial di
tengah masyarakat dengan baik.
Sebagai pekerja sosial, perlu memperhatikan berbagai panduan serta etika dalam
berperan menyelesaikan maslah tersebut. Melihat LGBT memiliki dampak negatif yang lebih
besar ketimbang kebahagiaan sementara yang didapat oleh mereka. Sehingga, perlu proses
dalam menerangkan dampak negatif tersebut. Kemudian, tidak lupa memberikan solusi
seperti terapi psikologi, membantu mencarikan fasilitas kesehatan, pendalaman agama, dan
memberikan pekerjaan dan peluang berkarya. Sehingga mereka tidak merasa terintimidsi dan
dapat menjalankan fungsi sosial sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Cepi Yusrun. 2015. Praktik Pekerjaan Sosial Generalis.Yogyakarta: Pustaka


Pelajar
Ayub. 2017. Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian Psikologis dan Teologis). Tasfiyah. 1
(2): 179-226
Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Yogyakarta: Jalasutra
Munadi. 2017. Diskursi Hukum LGBT Di Indonesia. Lhokseumawe: Unimal Press
Peraturan Mentri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012. Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial. Jakarta
Pratama, Muhammad Rizky Akbar., Rahmaini Fahmi, dan Fatmawati. 2018. Lesbian, Gay,
Biseksualdan Trnsgender: Tinjauan Teori Psikoseksual, Psikologi Islam dan
Biopsikologi. Jurnal Psikologi Islami. 4 (1): 27-34

Anda mungkin juga menyukai