1. pada tanggal 2 Agustus 1926, kapal berbendera Pranti “Liberty” berlayar menuju
Conti wilayah Turina (Kapten Herman). di hari yang sama, kapal berbendera Turina
“BOZ-KIRT” (kapten Hassan) melewati laut lepas.
2. lalu terjadi tabrakan antara kedua kapal yang terjadi di laut lepas dekat
Mylene-Yutan. Boz-kirt karam dan akhirnya tenggelam akibat tabrakannya.
3. kapal Liberty memberikan upaya terbaiknya untuk menyelamatkan kapal Turina dan
penumpangnya ada di kapal tersebut. Namun Liberty hanya mampu 10 penumpang
yang berada di kapal Boz-kirt, namun tetap 8 orang di kapal tersebut meninggal
dunia.
4. Kapten Herman berkewarganegaraan Pranti diinterogasi oleh pejabat Turina ketika
kapalnya sampai di Conti pada tanggal 3 agustus dan menunjukkan bukti tabrakan
5. 5 agustus 1926 = kapten Pranti dan Turina ditangkap oleh pejabat Turina tanpa
informasi sebelumnya
6. kedua kaptennya dituduh dan didakwa melakukan pembunuhan tidak disengaja
7. pemerintah Pranti menentang penangkapan dan tuduhan ini karena tidak
mempunyai informasi sebelumnya bahwa kapten mereka ditangkap dan dituduh.
8. 28 agustus 1926 = kasus disidangkan oleh pengadilan di Turina, dan kapten Herman
berpendapat bahwa pemerintah Turina tidak mempunyai yurisdiksi untuk
mengajukan kasus terhadapnya. maksudnya, karena kecelakaan itu terjadi di laut
lepas (wilayah laut yang tidak dikuasai negara manapun), maka negara yang
mempunyai kekuasaan absolut adalah negara yang benderanya dikibarkan di kapal
itu dan itu adalah Pranti. Namun, Pengadilan Turina menolak argumen ini.
9. Kapten Herman dijatuhi hukuman penjara karena membunuh penumpang di
dalamnya selama 80 hari dengan denda 22 pound.
10. kapten Hassan dijatuhi hukuman yang lebih berat.
11. menurut kapten herman dan perwakilannya, keputusan yang diberikan pengadilan
Turina ini bersifat diskriminatif, sehingga melanggar hukum yurisdiksi Internasional.
meskipun kapal Pranti membantu para penumpang tersebut untuk keluar dari
tragedy itu hidup-hidup. Jadi, Turina tidak punya hak untuk mengajukan kasus
apapun terhadap pranti
12. ada perjanjian khusus yang didaftarkan oleh pemerintah Pranti dan perwakilan
Turina pada tanggal 12 oktober 1926 = proses lebih lanjut atas kasus ini akan diatur
di Mahkamah Internasional Atma Nations sesuai dengan hukum internasional Atma
Nations dan Pasal 35 Peraturan pengadilan
13. terjadi perselisihan antara kedua negara karena Pranti ini membebaskan Kapten
Herman dari kasus ini dan menghapus semua dakwaan yang dituduhkan. namun,
Turina berpendapat bahwa Kapten Herman bertanggung jawab atas kerugian
tersebut dan dia harus dipenjara dan didenda.
14. akhirnya mereka memutuskan untuk menyelesaikan perselisihan mengenai
administrasi di Mahkamah Internasional Atma Nations
ARGUMEN :
1. Apakah turina melanggar hukum internasional ketika pengadilan turina menjalankan
yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan oleh warga negara pranti di luar turina?
Audrey:
● Turina telah melanggar hukum internasional dan tidak memiliki yurisdiksi atas
kejahatan tersebut. Karena kecelakaan tersebut terjadi di laut lepas dan berdasarkan
Pasal 92 ayat (1) UNCLOS, kapal yang sedang berlayar di laut lepas hanya tunduk
pada yurisdiksi dari negara kebangsaan kepal tersebut kecuali dalam hal-hal tertentu
yang diatur jelas di dalam perjanjian internasional maupun di dalam UNCLOS.
● Dalam Pasal 97 ayat (1) UNCLOS ditegaskan bahwa apabila terjadi suatu peristiwa
tubrukan kapal atau insiden pelayaran lainnya dalam bentuk apapun yang
menyangkut sebuah kapal di laut lepas berkenaan dengan tanggung jawab kriminal
ataupun masalah disiplin nahkoda atau siapapun juga yang sedang dalam suatu
dinas kapal, hanya boleh dituntut secara kriminal di hadapan badan peradilan atau
diproses atas masalah disiplinnya di hadapan pejabat administratif dari negara
bendera atau negara kebangsaan dari kapal itu atau negara yang merupakan
kewarganegaraan orang yang bersangkutan. Maka yang dapat diperbolehkan untuk
melakukan penuntutan secara pidana maupun menjatuhkan hukuman disiplin
terhadap kapten herman adalah pemerintah Pranti.
● Selain itu, Pasal 97 ayat (3) UNCLOS melarang untuk melakukan penangkapan
ataupun penahanan oleh pejabat dari negara manapun terhadap kapal yang
bertabrakan, meskipun hanya sebagai tindakan pemeriksaan, kecuali oleh pejabat
dari negara bendera kapal tersebut.
- Dalam penyelesaian kasus ini, perlu menggunakan prinsip good faith, dimana prinsip
ini sangat fundamental untuk diterapkan dalam proses penyelesaian sengketa
internasional. dimana prinsip ini, mencegah timbulnya sengketa yang dapat
mempengaruhi hubungan baik antar negara.
Wushu:
- Selain dari UNCLOS, prinsip Freedom of the High Seas yang kurang lebih
menyatakan hal yang sama. Bahwa hukum yang berlaku dalam laut lepas adalah
bendera negara yang dikibarkan olehnya.
- Sebab bendera Pranti yang dikibarkan pada saat kecelakaan, maka hukum
yang berlaku pada Kapten Herman adalah hukum Pranti. Turina tidak
memiliki jurisdiksi secara territorial atau personal dalam perkara ini
- Pasal 11 Convention of the High Seas merupakan dasar yang dipertegas dalam
Pasal 97 (3) UNCLOS mengenai siapa yang memiliki jurisdiksi untuk menangani
perkara dalam laut bebas.
- Mengenai kompensasi finansial, kami tidak memiliki rujukan secara materiil tetapi
kami setuju bahwa atas dasar ICCPR Pasal 9 Ayat 5 yang berbunyi
Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an
enforceable right to compensation.
Kami rasa sejenis
DENI AHMAD MUTAQIN
Pada tanggal 02 Agustus 1926, terjadi kecelakaan antara dua kapal yang berlayar di lautan
lepas, dekat Mylene, Yutan. Dua kapal tersebut di antaranya ialah kapal berbendera Pranti
“Liberty” dengan kapten bernama Herman dan kapal berbendera Turina “BOZ-KIRT” dengan
kapten bernama Hassan. Akibat dari kecelakaan tersebut, kapal dengan berbendera Turina
tenggelam, sedangkan kapal berbendera Pranti tidak. Dalam kecelakaan tersebut, kapal
berbendera Pranti berusaha untuk menyelematkan setiap orang yang berada di kapal yang
karam, namun hanya 10 orang yang dapat diselamatkan dan 8 orang meninggal dunia.
Pada 03 Agustus 1926, Kapten Herman yang berkewarganegaraan Pranti diintegorasi oleh
pejabat Turina dan berlanjut ditangkap tanpa pemberitahuan sebelumnya. Kemudian,
Kapten Herman didakwa atas tuduhan telah melakukan pembunuhan tidak sengaja dan
diadili di persidangan Turina.
Herman yang digugat telah melakukan pembunuhan tidak sengaja tidak dapat dibuktikan
atas peristiwa ini. Mengacu pada hukum internasional, pembunuhan tidak disengaja hanya
berlaku pada keadaan ketika perang dan konflik yang berisikan tentang usaha untuk
melindungi individu yang tidak terlibat dalam konflik (seperti warga sipil, pekerja medis, atau
orang yang terluka) dan menetapkan batasan-batasan bagi pihak yang terlibat dalam konflik
dalam penggunaan kekuatan untuk meminimalkan kerugian manusia yang tidak perlu.
Dalam hal tersebut, baik kapal berbendera Turina maupun Pranti tidak sedang terlibat dalam
konflik maupun peperangan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tuduhan telah melakukan
pembunuhan tidak sengaja sangatlah tidak tepat untuk didakwakan kepada Herman sebagai
kapten kapal berbendera Pranti.
Kemudian, terkait yang dilakukan oleh pemerintah Turina dengan diadilinya Herman sebagai
Kapten Kapal Berbendera Pranti merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan, karena
bukanlah wewenang pemerintah Turina untuk melakukan hukuman terhadap warga negara
lain yang bahkan kejadian dari peristiwa hukum tersebut tidak berlangsung dalam wilayah
kedaulatan Turina. Turina tidak memiliki argumen yang masif untuk menggugat Herman,
karena meskipun apabila Turina memiliki yurisdiksi ekstrateritorial laut, maka yurisdiksi
tersebut tetap tidak berlaku karena syarat dari yurisdiksi tersebut adalah peristiwa harus
terjadi di wilayah atau setidaknya di batas-batas wilayah suatu negara, dan dalam hal ini
kejadian tabrakan tersebut tidaklah terjadi di wilayah kekuasaan manapun.
Kemudian, mengacu pada pasal 97 tentang Yurisdiksi pidana dalam perkara tubrukan laut
atau tiap insiden pelayaran lainnya, menyatakan bahwa dalam hal terjadinya suatu tubrukan
atau insiden pelayaran lain apapun yang menyangkut suatu kapal di laut lepas, berkaitan
dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nakhoda atau setiap orang lainnya di atas
kapal. Dengan demikian, apabila Turina bersikeras menyatakan bahwa peristiwa tersebut
merupakan tindak pidana, tetaplah Turina tidak memiliki wewenang untuk mengadili karena
bukanlah tanggung jawab pengadilan Turina dalam menyelesaikan peristiwa tersebut. Selain
itu, ketika sebuah negara mengambil tindakan hukum terhadap negara lain atas kejahatan
yang dilakukan oleh negara tersebut di luar wilayahnya, tentu terdapat sejumlah faktor yang
perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah tindakan tersebut melanggar hukum
internasional. Dalam hukum internasional, prinsip kedaulatan negara diakui. Namun, ada
beberapa situasi di mana negara dapat menuntut atau menghukum negara lain atas
kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya. Salah satunya adalah jika tindakan tersebut
dianggap sebagai kejahatan yang melanggar norma-norma internasional yang diakui secara
umum, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan perang. Dalam
kasus-kasus semacam itu, prinsip yurisdiksi universal dapat diterapkan, yang
memungkinkan negara untuk mengambil tindakan hukum terhadap negara lain atas dasar
pelanggaran serius terhadap hukum internasional, terlepas dari lokasi kejadian atau
kebangsaan pelaku kejahatan. Namun, tindakan semacam itu sering kali kompleks dan
dapat memiliki implikasi politik serta hukum yang rumit. Keputusan untuk mengambil
tindakan hukum terhadap negara lain atas kejahatan yang dilakukan di luar wilayah negara
biasanya memerlukan analisis yang cermat terhadap perjanjian internasional yang berlaku,
prinsip-prinsip hukum internasional yang relevan, dan adanya bukti yang kuat terkait
pelanggaran hukum internasional yang diakui. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
telah dilakukan pemerintah Turina merupakan suatu kesalahan untuk mengadili warga
negara asing yang bahkan tindak pidana yang dianggap terjadi di luar wilayah kedaulatan
Turina itu sendiri.
Merujuk pada kerugian finansial yang langsung dialami oleh warga negara asing akibat dari
penahanan yang salah, tindakan hukum yang tidak adil, atau kerugian materiil lainnya.
Termasuk biaya yang telah dikeluarkan oleh warga negara asing dalam proses hukum,
seperti biaya pengacara, biaya pengadilan, atau biaya lain yang terkait dengan proses
hukum yang salah.
Meliputi dampak emosional, mental, atau stres yang dialami oleh warga negara asing akibat
dari penahanan atau perlakuan hukum yang tidak adil.
Selain dari itu, mengacu pada ayat 5 pasal 9 Kovenan terdapat pernyataan yang
menyatakan bahwa siapa pun yang menjadi korban penangkapan atau penahanan yang
tidak sah mempunyai hak yang dapat dipaksakan untuk mendapatkan kompensasi. Seperti
paragraf 4, paragraf 5 mengartikulasikan contoh spesifik mengenai upaya pemulihan yang
efektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia, yang harus ditanggung oleh
Negara-negara Pihak. Pemulihan khusus tersebut tidak menggantikan, namun disertakan
bersama, pemulihan lainnya yang mungkin diperlukan dalam situasi tertentu bagi korban
penangkapan atau penahanan yang tidak sah atau sewenang-wenang berdasarkan pasal 2,
ayat 3 Kovenan. Meskipun paragraf 4 memberikan upaya hukum yang cepat untuk
dibebaskan dari penahanan tidak sah yang sedang berlangsung, paragraf 5 mengklarifikasi
bahwa korban penangkapan atau penahanan tidak sah juga berhak atas kompensasi
finansial. Ayat 5 mewajibkan Negara-negara Pihak untuk menetapkan kerangka hukum di
mana kompensasi dapat diberikan kepada korban, sebagai hak yang dapat ditegakkan dan
bukan karena kemurahan hati atau kebijaksanaan. Upaya penyelesaiannya tidak boleh
hanya sekedar teori, namun harus berjalan secara efektif dan pembayaran harus dilakukan
dalam jangka waktu yang wajar. Ayat 5 tidak merinci secara spesifik bentuk prosedur yang
dapat mencakup upaya hukum terhadap Negara itu sendiri atau terhadap pejabat Negara
yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut, sepanjang upaya tersebut efektif. Ayat
5 tidak mensyaratkan dibentuknya suatu prosedur tunggal yang memberikan kompensasi
atas segala bentuk penangkapan yang melanggar hukum, namun hanya terdapat suatu
sistem prosedur yang efektif yang memberikan kompensasi dalam semua kasus yang
tercakup dalam ayat 5. Ayat 5 tidak mewajibkan Negara-negara Pihak untuk memberikan
kompensasi. korban sua sponte, namun membiarkan mereka meninggalkan dimulainya
proses untuk mendapatkan kompensasi atas inisiatif korban. Penangkapan dan penahanan
yang melanggar hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 5 mencakup penangkapan dan
penahanan yang terjadi dalam proses pidana atau non-kriminal, atau tanpa adanya proses
sama sekali. Sifat penangkapan atau penahanan yang “melanggar hukum” dapat
disebabkan oleh pelanggaran terhadap hukum dalam negeri atau pelanggaran terhadap
Kovenan itu sendiri, seperti penahanan yang secara substantif sewenang-wenang dan
penahanan yang melanggar persyaratan prosedural paragraf lain dari pasal 9. Namun, fakta
bahwa seorang terdakwa pidana pada akhirnya dibebaskan, pada tingkat pertama atau
pada tingkat banding, tidak dengan sendirinya menjadikan penahanan sebelumnya sebagai
“melanggar hukum”. Kompensasi finansial yang disyaratkan oleh paragraf 5 berkaitan
secara khusus dengan kerugian berupa uang dan non-uang yang diakibatkan oleh
penangkapan yang tidak sah atau penahanan. Bila tidak sahnya penangkapan itu timbul
karena adanya pelanggaran hak asasi manusia lainnya, seperti kebebasan berekspresi,
yang mungkin dimiliki oleh Negara Pihak kewajiban lebih lanjut untuk memberikan
kompensasi atau reparasi lainnya sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran lain
tersebut, sebagaimana disyaratkan oleh pasal 2, ayat 3 Kovenan.
Pertanyaan Adjudicator :
1. Kenapa yakin dengan argumen kamu (sbg tim responden)?? apa yang mendukung
dasar dari argumen kamu sebagai tim dari responden (tergugat)?
2. Di dalam Pasal 89 berbunyi “Tidak ada satu negara pun yang secara sah dapat
menyatakan bahwa wilayah mana pun di laut lepas berada di bawah kedaulatannya”.
Jadi kenapa pihak kalian (responden) masih berpegang teguh kalau pihak kami
(applicant) bersalah, sedangkan sudah jelas isi dari Pasal 89 itu, bahwa kalian
(responden) tidak berhak atas tuduhan kepada klien kami (applicant)
3. Apa peran asuransi kapal dalam konteks penyelesaian hukum internasional terhadap
kapal yang mengalami tabrakan di wilayah laut lepas? (nanti dicari dasar hukumnya
dan dikaitkan sama kasus ini)
Aloa
5. Pengakuan Internasional
Pertimbangan Bukti:
Analisis Argumen:
Kesimpulan Hukum:
Penting untuk dicatat bahwa dalam pengadilan, prinsip praduga tak bersalah berlaku,
yang berarti bahwa pihak yang dituduh dianggap tidak bersalah hingga terbukti
bersalah melalui bukti yang meyakinkan.