Anda di halaman 1dari 3

Hot Persuit diatur dalam Pasal 111 Unclos (United Nation Convention on the Law Of the

Sea) yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Hot Persuit
merupakan salah satu bentuk penegakan hukum dan kedaulatan di laut sebagai suatu
hal yang diakui eksistensinya oleh negara-negara lain, yang artinya hak untuk
melakukan pengejaran terhadap kapal-kapal yang diduga melakukan tindak pidana di
wilayah teritorial suatu negara.
Pasal 111 Unclos menguraikan syarat-syarat pengejaran serta kompensasi atau ganti
kerugian atas penghentian kapal yang ditahan dalam keadaan yang tidak dibenarkan
untuk dilaksanakan pengejaran. Adapun syarat-syarat pengejaran seketika sebagai
berikut:
1. Pengejaran harus dimulai pada waktu kapal asing sedang berada di perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara yang
mengejar, jika kapal asing tersebut berada di dalam zona tambahan, pengejaran
hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran terhadap hak-hak di zona
tambahan;
2. Hak pengejaran seketika dilaksanakan secara mutatis mutandis terhadap
pelanggaran pada ZEE atau pada landas kontinen dan hak pengejaran seketika
berhenti setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial dari negaranya
sendiri atau negara ketiga;
3. Pengejaran seketika hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal perang atau
pesawat militer atau pesawat lainnya milik pemerintah yang diberi kewenangan;
4. Pengejaran hanya dapat dimulai setelah diberikannya tanda visual atau tanda
signal (untuk perintah berhenti) pada jarak yang dapat dilihat atau didengar oleh
kapal asing.
Disamping itu diatur pula dalam Pasal 19 Unclos tentang lintas suatu kapal asing harus
dianggap membahayakan kedamaian atau keamanan negara pantai apabila kapal
tersebut di wilayah laut teritorial suatu negara melakukan kegiatan antara lain setiap
kegiatan perikanan, atau setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung
dengan lintas. Menghadapi kapal asing yang melakukan tindakan-tindakan seperti ini,
Negara pantai memiliki kewenangan untuk mempertahankan kedaulatan negaranya,
dalam hal ini wilayah perairan teritorialnya agar tidak terjadi pelanggaran dan kejahatan
yang dilakukan oleh kapal-kapal asing.
Dihubungkan dengan Undang-Undang Perikanan, maka hot persuit dapat kita temukan
dalam Pasal 66 C Huruf K UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan. Dijelaskan bahwa pengawas perikanan berwenang
melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri
dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan
dan/atau awak kapal perikanan.

Dalam redaksi pasal ini terutama dalam kata "tindakan khusus" dapat ditafsirkan
sebagai suatu hak untuk melakukan pengejaran (hot persuit) dengan syarat kapal
target operasi berusaha melarikan diri serta membahayakan kapal pengawas dan awak
kapalnya.
Pasal 51 Piagam PBB 1945 menegaskan pula bahwa dibenarkan adanya penggunaan
kekuatan apabila dalam upaya pembelaan diri (self defence). Penggunaan kekuatan
pada masa damai dalam rangka menghadapi serangan maupun ancaman yang bersifat
langsung dan segera yang mengancam keselamatan negara atau unsur/satuan,
merupakan hak beladiri yang melekat pada masing-masing negara. Persepsi tentang
kapan, dan pada situasi kondisi bagaimana penggunaan kekuatan dapat dikatakan
sebagai tindakan beladiri, tergantung kepada masing-masing negara.
Adapun cara penghentian seketika (hot pursuit) kapal yang diduga melakukan tindak
pidana dengan prosedur sebagai berikut:[1]
1. Komandan Kapal/Nakhoda
Pemeriksaan.

memberikan

aba-aba,

laksanakan

Peran

2. Memberikan isyarat untuk berkomunikasi dengan cara mengibarkan bendera K


(Pada batas cuaca yang dapat dilihat); Optis lampu KKK (Pada batas cuaca
yang dapat dilihat); dan Semaphore, huruf K (Pada batas cuaca yang dapat
dilihat); dan Radio komunikasi channel 16.
3. Apabila komunikasi gagal, perintah berhenti dilaksanakan dengan cara
mengibarkan bendera untuk petunjuk L (Pada batas cuaca yang dapat dilihat);
Megaphone (Pada batas yang dapat didengar); dan isyarat gauk/suling.
4. Jika permintaan untuk berkomunikasi dan perintah berhenti menurut cara-cara
diatas tidak diindahkan, maka diberikan tembakan peringatan dimulai dari kaliber
kecil sampai kaliber besar dengan menggunakan amunisi jenis peluru hampa
ataupun peluru tajam ke arah atas.
5. Jika peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf (d) tersebut tetap tidak
diindahkan, laksanakan peringatan terakhir dengan tembakan ke arah laut di
sekitar haluan kapal yang percikan airnya dapat dilihat oleh kapal yang dicurigai.
6. Apabila setelah dilakukan peringatan terakhir kapal tidak juga berhenti, dapat
diambil tindakan sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a angka 4 jo Pasal 7 ayat
(1) huruf j KUHAP. Dalam rangka melaksanakan tindakan menurut hukum yang
bertanggungjawab dengan menembak ke arah badan kapal pada tempat yang
diperkirakan tidak ada ABK-nya dan laksanakan pertolongan yang diperlukan.
7. Dalam hal kapal melakukan manuver yang membahayakan dan/ atau melakukan
perlawanan terhadap Nakhoda/ABK Kapal Pengawas Perikanan/KRI/KAL/Kapal

Polri, dapat diambil tindakan bela diri secara proporsional dan sejauh mungkin
menghindari jatuhnya korban.
Pengejaran seketika yang disertai dengan penembakan oleh aparat penegak hukum
terhadap kapal asing yang melakukan tindak pidana perikanan dapat disimpulkan
tujuannya adalah untuk melindungi sumber kekayaan alam yang ada di ZEE atau
perairan Indonesia serta untuk memberikan efek jera sebagai bentuk ketegasan
Pemerintah Indonesia dalam penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan.

Anda mungkin juga menyukai