Anda di halaman 1dari 17

Bab 6

NAVIGASI

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:


Setelah mempelajari Bab ini mahasiswa akan mampu menjelaskan tentang
macam- macam hak lintas dalam kegiatan pelayaran/navigasi sesuai dengan
UNCLOS 1982, yaitu hak lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan

PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui bahwa kedaulatan yang berlaku di wilayah daratan


tidak dapat disamakan dengan kedaulatan yang ada di wilayah laut. Pada wilayah
daratan, kedaulatan berlaku secara mutlak, tertinggi dan absolut, tetapi untuk di
laut tidak dapat berlaku hal sama. Sesuai dengan sifat alami laut, bahwa laut tidak
bersifat solid sehingga tidak dapat dimiliki oleh suatu negara. Kedaulatan negara
atas wilayah laut merupakan kedaulatan yang diberikan oleh hukum internasional.
Salah satu manifestasi bahwa kedaulatan di laut tidak bersifat mutlak seperti di
daratan adalah dengan adanya hak lintas kapal asing melewati wilayah laut suatu
negara. Hak lintas ini dapat dilakukan di laut teritorial, perairan kepulauan dan
selat-selat internasional.
UNCLOS 1982 telah memberikan seperangkat ketentuan yang mengatur
hak lintas yang dilakukan oleh kapal asing di perairan suatu negara. Terdapat tiga
macam hak lintas yang diakui oleh hukum laut internasional, yaitu hak lintas damai
(right of innocent passage), hak lintas transit (right of transit passage) dan hak
lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea lane passage). Ketiga macam
hak lintas ini diberikan berdasarkan kompromi yang dihasilkan dari adanya
pertentangan antara dua kepentingan yang sama kuatnya. Di satu sisi, negara-
negara maritim besar tetap ingin mempertahankan asas kebebasan di laut yang
seluas-luasnya, tetapi di lain pihak negara-negara pantai yang sedang berkembang
berusaha dengan sekuat tenaga agar dilakukan berbagai pembatasan terhadap
kehadiran kapal-kapal asing pada perairan yang letaknya berdampingan dengan
pantai suatu negara.

RIGHT OF INNOCENT PASSAGE (HAK LINTAS DAMAI)

Di laut teritorial, kapal asing diberikan hak untuk melintas asalkan lintasan
tersebut bersifat damai. Hak tersebut dinamakan hak lintas damai (right of
innocent passage) yang diatur dalam Bab II, Bagian 3, pasal 17–26 UNCLOS 1982.
Kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tidak berpantai,
menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial suatu negara. Yang dimaksud
dengan lintas adalah navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan:
a) melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat
berlabuh di tengah laut, atau fasilitas pelabuhan di luar perairan
pedalaman; atau
b) berlaku ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh
di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Lintas yang dilakukan kapal asing harus terus-menerus, langsung dan
secepat mungkin. Untuk hal-hal tertentu, lintas juga mencakup berhenti dan buang
sauh (jangkar), sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau
perlu dilakukan karena force majeure atau mengalami kesulitan atau guna
memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya
atau kesulitan. Selanjutnya Pasal 19 UNCLOS 1982 memberikan pengertian
mengenai lintas damai. Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi
kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Lintas suatu kapal harus
dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai
apabila kapal tersebut melakukan salah satu kegiatan berikut:
a) Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau dengan
cara lain apa pun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB;
b) Setiap latihan atau praktik dengan senjata macam apa pun;
c) Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang
merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai;
d) Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan memengaruhi pertahanan
atau keamanan negara pantai;
e) Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas
kapal;
f) Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan
perlengkapan militer;
g) Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal,
imigrasi atau saniter negara pantai;
h) Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang
bertentangan dengan ketentuan UNCLOS 1982;
i) Setiap kegiatan perikanan;
j) Kegiatan riset atau survei;
k) Setiap perbuatan yang mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap
fasilitas atau instalasi lainnya negara pantai;
l) Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan dengan lintas.
Dalam melakukan lintas damai, kapal selam dan kendaraan bawah air
lainnya harus berlayar di atas permukaan air dan menunjukkan benderanya,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 UNCLOS 1982. Dalam hal lintas damai ini,
negara pantai diberi hak untuk membuat peraturan perundang- undangan
mengenai:
a) Keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim;
b) Perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau
instalasi lainnya;
c) Perlindungan kabel dan pipa bawah laut;
d) Konservasi kekayaan hayati laut;
e) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan
negara pantai;
f) Pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan
pengendalian pencemaran;
g) Penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;
h) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal,
imigrasi atau saniter negara pantai.
Kewajiban negara pantai adalah tidak menghalangi lintas damai yang
dilakukan oleh kapal asing melalui laut teritorialnya, dengan menetapkan
persyaratan yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas
damai; atau mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap
kapal negara mana pun. Kewajiban lainnya, negara pantai harus mengumumkan
secara tepat bahaya apa pun bagi navigasi dalam laut teritorial yang diketahuinya.
Bagi kapal-kapal privat berlaku Pasal 27 dan 28 yang mengatur mengenai
pemberlakuan yurisdiksi negara pantai. Pasal 27 mengatur tentang yurisdiksi
kriminal di atas kapal asing yang sedang menikmati hak lintas damai. Pada
prinsipnya bahwa negara pantai tidak dapat melaksanakan yurisdiksi kriminalnya
terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorialnya untuk menangkap
siapa pun atau untuk mengadakan penyelidikan yang bertalian dengan kejahatan
apa pun yang dilakukan di atas kapal selama lintas, kecuali:
a) apabila akibat kejahatan itu dirasakan di negara pantai;
b) apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian negara
tersebut atau ketertiban laut teritorial;
c) apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nahkoda kapal oleh
wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera; atau
d) apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap
narkotika atau bahaya psychotropis.
Pasal 28 mengatur mengenai yurisdiksi perdata, yang mengatakan bahwa
negara pantai seharusnya tidak menghentikan atau merubah haluan kapal asing
yang melintasi laut teritorialnya untuk tujuan melaksanakan yurisdiksi perdata
bertalian dengan seseorang yang berada di atas kapal. Tetapi, apabila berkenaan
dengan kewajiban atau tanggung jawab ganti rugi yang diterima atau yang dipikul
oleh kapal itu sendiri, maka negara pantai diperbolehkan untuk menghentikan
kapal dan melaksanakan yurisdiksi perdatanya.
RIGHT OF TRANSIT PASSAGE (HAK LINTAS TRANSIT)

Salah satu penggunaan laut yang dapat menimbulkan sengketa adalah


tentang hak lintas bagi kapal asing pada perairan yang berada di bawah
kedaulatan suatu negara. Di antara hak lintas kapal asing tersebut adalah hak
lintas transit. Yang dimaksud dengan hak lintas transit adalah hak yang dimiliki
oleh kapal asing untuk melakukan lintasan di selat internasional yang tunduk pada
kedaulatan negara tepi selat. Selat internasional adalah selat yang biasa
dipergunakan untuk pelayaran internasional. Hak lintas bagi kapal asing ini akan
mempunyai dampak tidak hanya bagi negara-negara pemakai selat akan tetapi
juga bagi negara-negara tepi selat maupun negara-negara lain yang baik secara
langsung maupun tidak langsung merasakan akibatnya pada segi-segi kehidupan
politik, militer dan ekonominya. Masalah hak lintas ini muncul terutama setelah
adanya usaha perluasan yurisdiksi negara atas laut dalam bentuk perluasan laut
teritorial dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut. (Etty R. Agoes, 1991). Sebagai
akibatnya selat-selat strategis yang tadinya merupakan bagian dari laut bebas, kini
menjadi bagian dari laut teritorial suatu negara. Tentu saja perubahan status ini
membawa dampak terhadap pelayaran internasional yang sebelumnya merupakan
bagian dari laut bebas, di mana berlaku freedom of the sea, kemudian berubah
menjadi wilayah yang tunduk pada kedaulatan suatu negara. Perubahan ini
memerlukan pengaturan tersendiri karena terdapat kepentingan yang saling
bertolak belakang antara negara maritim pengguna selat dengan negara tepi selat.
Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional selama ini sangat
menguntungkan bagi armada kapal-kapal niaga maupun armada kapal-kapal
perang karena sangat menghemat biaya dan waktu. Sebaliknya, bagi negara-
negara yang berbatasan dengan selat-selat demikian, suatu pelayan bebas pada
jalur laut yang sebagian besar sempit dan ramai akan menjadi masalah terutama
di bidang keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan dan pertahanan
keamanan. Keadaan yang demikian mengakibatkan negara-negara tepi selat
menghendaki pengaturan yang lebih ketat terhadap pelayaran maupun lintas
penerbangan di atasnya. (Etty R. Agoes, 1991) Dari serangkaian perundingan
maka ditetapkanlah ketentuan-ketentuan tentang hak lintas ini dalam UNCLOS
1982.
Pengaturan mengenai hak lintas transit tercantum dalam Bab III, Bagian
2, Pasal 37–44 UNCLOS 1982. Berdasarkan pasal 37, yang dimaksud dengan selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional adalah wilayah perairan yang
menghubungkan satu bagian dari laut bebas atau zona ekonomi eksklusif dengan
bagian lain dari laut bebas atau zona ekonomi eksklusif yang lain. Pada selat yang
demikian berlaku lintas transit. Sedangkan bagi selat-selat lain yang tidak termasuk
dalam pasal tersebut akan berlaku lintas damai (Pasal 45) atau lintas alur laut
kepulauan (Pasal 53). Lintas transit ini merupakan pelaksanaan dari prinsip
kebebasan pelayaran dan penerbangan dan harus dilakukan secara terus menerus,
langsung dan secepat mungkin. Namun syarat ini tidak menutup kemungkinan
bagi lintas melalui selat untuk maksud memasuki, meninggalkan atau kembali dari
suatu negara yang berbatasan dengan selat tersebut. Dapat disimpulkan
bahwa UNCLOS 1982 dalam memberikan arti yuridis bagi selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional telah membaginya melalui suatu tinjauan fungsional
dan geografis. Secara fungsional selat itu digunakan untuk pelayaran internasional,
dan secara geografis akan menghasilkan empat macam selat (Etty R. Agoes,
1991), yaitu:
1) yang menghubungkan satu bagian dari laut bebas atau zona ekonomi
eksklusif dengan bagian lain dari laut bebas atau zona ekonomi eksklusif
(Pasal 37);
2) sama dengan kategori pertama, tetapi berada di antara suatu pulau dan
daratan utama negara yang berbatasan dengan selat, dan pada sisi ke arah
laut pulau itu terdapat suatu rute melalui laut bebas atau melalui suatu
zona ekonomi eksklusif yang sama fungsinya bertalian dengan sifat-sifat
navigasi dan hidrografis (Pasal 38 ayat (1));
3) yang menghubungkan satu bagian dari laut bebas atau zona ekonomi
eksklusif dan laut teritorial dari suatu negara (Pasal 45 ayat (1)b);
4) yang merupakan alur laut yang ditetapkan oleh negara kepulauan yang
terletak pada perairan kepulauan negara tersebut (Pasal 53 ayat (1) dan
(4).
Pasal 39 ayat (1) berisi kewajiban kapal dan pesawat udara sewaktu
melakukan lintas transit, yang meliputi:
a) Lewat dengan cepat melalui atau di atas selat;
b) Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apa pun
terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara
yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apa pun yang
melanggar asas-asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa;
c) Menghindarkan diri dari kegiatan apa pun selain transit secara terus-
menerus, langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali
diperlukan karena force majeure atau karena kesulitan;
d) Memenuhi ketentuan lain Bab ini yang relevan.
Mengenai kapal yang digunakan untuk melakukan riset ilmiah kelautan dan
kapal survey hidrografi, pada waktu melakukan lintas transit, tidak boleh
melakukan kegiatan riset atau survey apa pun tanpa izin sebelumnya dari negara
tepi selat. Negara tepi selat mempunyai hak untuk menentukan alur laut yang akan
digunakan untuk lintas transit dan juga menetapkan skema pemisah lalu lintas
untuk pelayaran di selat. Hak lain yang dimiliki oleh negara tepi selat adalah
membuat peraturan perundang-undangan yang bertalian dengan lintas transit
melalui selat, yang meliputi hal-hal berikut:
a) Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu lintas di laut.
b) Pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dengan
melaksanakan peraturan internasional yang berlaku tentang pembuangan
minyak, limbah berminyak dan bahan beracun lainnya di selat. Bertalian
dengan kapal penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk
cara penyimpanan alat penangkap ikan.
c) Menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal setiap komoditi, mata
uang atau orang yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter negara tepi selat.
Kewajiban negara tepi selat tertuang dalam Pasal 44 yang mengatakan
bahwa negara yang berbatasan dengan selat tidak boleh menghambat lintas
transit dan harus mengumumkan dengan tepat setiap adanya bahaya bagi
pelayaran atau penerbangan lintas di dalam atau di atas selat yang diketahuinya.

ARCHIPELAGIC SEA LANE PASSAGE (HAK LINTAS ALUR LAUT


KEPULAUAN)

Pada dasarnya pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan sama dengan
hak lintas transit. Apabila lintas transit dilakukan di selat yang dipergunakan untuk
pelayaran internasional, lintas alur laut kepulauan digunakan oleh kapal dan
pesawat udara asing di perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Hak lintas
alur kepulauan diberikan sebagai kompensasi dari diakuinya konsepsi negara
kepulauan. Dengan diterimanya konsepsi negara kepulauan oleh dunia
internasional melalui UNCLOS 1982, maka wilayah perairan yang berada di antara
pulau-pulau dalam gugusan kepulauan suatu negara kepulauan, yang sebelumnya
berstatus sebagai laut bebas, maka dengan berubah menjadi perairan kepulauan
yang tunduk pada kedaulatan negara kepulauan. Perubahan status ini tentu saja
dirasa sangat merugikan bagi negara-negara maritim yang telah terbiasa
melakukan pelayaran di tempat-tempat tersebut dengan leluasa. Untuk
mengakomodasi kepentingan-kepentingan negara- negara tersebut, maka
dibentuklah hak lintas alur laut kepulauan.
Hak lintas alur laut kepulauan diatur dalam Pasal 53 UNCLOS 1982.
Dikatakan bahwa suatu negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute
penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat
udara asing yang terusmenerus, langsung dansecepat mungkinmelaluiataudiatas
perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. Dalam
melaksanakan hak lintas tersebut, kapal dan pesawat udara harus menghormati
alur laut yang berlaku. Dalam hal negara kepulauan tidak menetapkan alur laut
kepulauannya maka hak lintas alur kepulauan dapat dilaksanakan melalui rute
yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional.
Selanjutnya dikatakan bahwa semua kapal dan pesawat udara menikmati
hak lintas alur laut kepulauan. Dalam hal ini negara kepulauan tidak boleh
melakukan diskriminasi terhadap kapal dari negara tertentu. Jadi hak tersebut
harus diberikan kepada semua kapal dan pesawat udara tanpa kecuali.
Pasal 53 ayat (3) UNCLOS 1982 menyatakan bahwa lintas alur laut
kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan, dengan cara yang
normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung dan
secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut bebas atau zona
ekonomi eksklusif dan bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif lainnya.
Berdasarkan ketentuan ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa untuk kapal
selam yang memang didesain untuk berlayar di bawah permukaan laut, maka pada
waktu melakukan hak lintas alur laut kepulauan diperbolehkan untuk tidak berlayar
di atas permukaan air.
Pasal 53 ayat (9) mengatakan bahwa dalam menentukan atau mengganti
alur laut atau menetapkan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, suatu negara
kepulauan harus mengajukan usul-usul kepada organisasi internasional yang
berwenang untuk dapat diterima. Organisasi tersebut hanya dapat menerima alur
laut dan skema pemisah lalu lintas yang demikian sebagaimana disetujui bersama
dengan negara kepulauan, setelah mana negara kepulauan dapat menentukan,
menetapkan atau menggantinya.

PELAKSANAAN HAK LINTAS MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN


INDONESIA

Peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan pelaksanaan hak lintas di


Indonesia meliputi:
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
2. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban
Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai melalui Perairan Indonesia
3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban
Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut
Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban
Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai melalui Perairan Indonesia.
Peraturan Pemerintah ini terbagi dalam tiga bab dan enam belas pasal. Bab
I berisi tentang Ketentuan Umum, Bab II berisi tentang Pelaksanaan Lintas Damai
di Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan Indonesia, sedangkan Bab III mengatur
tentang ketentuan Penutup. Selanjutnya, Bab II terbagi dalam tiga bagian, yaitu:
1. Bagian Pertama tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing
2. Bagian Kedua tentang Alur Laut dan Skema Pemisah
3. Bagian Ketiga tentang Penangguhan Lintas Damai.
Pasal 2 PP ini mengatakan bahwa semua kapal asing dapat melaksanakan
hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan untuk keperluan
melintas dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain
laut bebas atau zona ekonomi eksklusif tanpa memasuki perairan pedalaman atau
singgah di tempat berlabuh di tengah laut, fasilitas pelabuhan di luar perairan
pedalaman. Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat dikatakan bahwa Indonesia
hanya mengatur hak lintas damai yang dilakukan oleh kapal asing di laut teritorial
dan perairan kepulauan, sedangkan hak lintas damai di selat internasional belum
diatur, padahal negara kita mempunyai Selat Malaka yang merupakan selat
internasional.
Kewajiban kapal asing yang sedang melaksanakan hak lintas damai adalah
sebagai berikut:
1) Menggunakan alur laut yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional
yang tercantum dalam buku kepanduan bahari dan peta navigasi, baik bagi
kapal yang akan melintasi laut teritorial atau perairan kepulauan maupun
bagi kapal yang akan menuju perairan pedalaman atau adalah satu
pelabuhan, atau sebaliknya.
2) Berlayar dalam batas-batas alur pelayaran yang wajar dengan kecepatan
dan arah yang sesuai dengan navigasi yang normal dalam rangka menuju
tempat tujuan pelayaran.
3) Tidak membuang jangkar, berhenti, mondar-mandir, kecuali dalam
keadaan force majeure, atau musibah atau karena menolong orang, kapal
atau pesawat yang dalam keadaan musibah.
4) Kapal penangkap ikan asing menyimpan peralatan penangkap ikannya
dalam palka.
5) Kapal riset atau survei menyimpan peralatan riset atau survey dalam
keadaan tidak bekerja.
6) Selalu memonitor Berita Pelaut Indonesia dan memperhatikan kegiatan
pelayaran kapal-kapal antar pulau.
7) Melunasi setiap pungutan yang dibebankan bertalian dengan layanan
khusus.
8) Bagi kapal-kapal tanker, kapal ikan, kapal riset kelautan atau kapal survei
hidrografi dan kapal bertenaga nuklir atau memuat bahan nuklir atau
bahan lainnya yang karena sifatnya berbahaya atau beracun, dalam
melaksanakan hak lintas damai menggunakan alur laut yang lazim
digunakan untuk pelayaran internasional, yang meliputi:
a. untuk pelayaran dari Laut China Selatan ke Samudra Hindia dan
sebaliknya, yang dapat digunakan adalah alur laut melalui Laut
Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Lombok;
b. untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudra Hindia atau sebaliknya,
yang dapat digunakan adalah alur laut melalui Selat Makasar, Laut
Flores dan Selat Lombok;
c. untuk pelayaran dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia dan
sebaliknya, yang dapat digunakan adalah alur laut melalui Laut Maluku,
Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu;
d. untuk pelayaran dari Samudra Pasifik ke Laut Timor atau ke Laut
Arafura dan sebaliknya, yang dapat digunakan adalah alur laut melalui
Laut Maluku, Laut Seram dan Laut Banda.
Selain mengatur kewajiban, PP ini juga mengatur tentang berbagai
larangan yang meliputi kegiatan-kegiatan yang berbau militer dan kegiatan lain
yang tidak berbau militer. Larangan yang berkaitan dengan kegiatan militer
meliputi:
1) Melakukan perbuatan yang merupakan ancaman atau penggunaan
kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, kemerdekaan politik
negara pantai, atau dengan cara lain apa pun yang merupakan
pelanggaran asas hukum internasional;
2) Melakukan latihan atau praktik dengan senjata macam apa pun;
3) Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang
merugikan bagi pertahanan dan keamanan negara;
4) Melakukan perbuatan yang merupakan propaganda yang bertujuan untuk
memengaruhi pertahanan atau keamanan negara;
5) Meluncurkan, mendaratkan, atau menaikkan suatu pesawat udara dari
atau ke atas kapal;
6) Meluncurkan, mendaratkan, atau menaikkan suatu peralatan dan
perlengkapan militer dari atau ke atas kapal; atau
7) Hilir mudik di laut teritorial dan perairan kepulauan atau kegiatan lainnya
yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.
Larangan yang menyangkut kegiatan lain yang tidak berbau militer adalah
sebagai berikut:
1. Membongkar atau memuat setiap komoditi, mata uang, atau orang yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan kepabeanan, fiskal,
keimigrasian atau saniter.
2. Kegiatan perikanan.
3. Kegiatan riset atau survei.
4. Perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi, setiap
fasilitas, atau instalasi komunikasi lainnya.
5. Perbuatan pencemaran yang dilakukan dengan sengaja dan menimbulkan
pencemaran yang parah.
6. Merusak atau mengganggu alat dan fasilitas navigasi, serta fasilitas atau
instalasi navigasi lainnya.
7. Melakukan perusakan terhadap sumber daya alam hayati.
8. Merusak atau mengganggu kabel dan pipa bawah laut.
9. Di selat-selat yang sempit, berlayar mendekati pantai kurang dari 10% dari
lebar selat yang sempit tersebut.
Negara pantai, apabila diperlukan untuk perlindungan keamanan atau
untuk keperluan latihan bersenjata, dapat melakukan penangguhan sementara
hak lintas damai bagi kapal asing. Penangguhan tersebut harus dilakukan oleh
Panglima Tentara Nasional Indonesia dan diberitahukan oleh Departemen Luar
Negeri kepada negara-negara asing melalui saluran diplomatik dan diumumkan
melalui Berita Pelaut Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan


Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan

Peraturan Pemerintah ini terbagi dalam lima Bab dan dijabarkan dalam
enam belas pasal. Bab I tentang Ketentuan Umum; Bab II tentang Hak dan
Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan; Bab III tentang Penetapan Alur Laut Kepulauan yang dapat
digunakan untuk Hak Lintas Alur Laut Kepulauan; Bab IV tentang Ketentuan Lain-
lain; dan Bab V tentang Penutup.

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL

Hak kapal dan pesawat udara adalah dijaminnya pelaksanaan hak lintas
alur laut kepulauan untuk keperluan pelayaran dan penerbangan dari satu bagian
laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona
ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia,
sebagaimana tercantum dalam pasal 2.
Kewajiban kapal dan pesawat udara diatur dalam pasal 4 sampai 10, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut.
1) Harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas Alur Laut
Kepulauan (ALK) dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan
transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin.
2) Selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 mil laut ke kedua
sisi dari garis sumbu air laut, dengan ketentuan bahwa tidak boleh berlayar
atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10% jarak suatu titik-titik yang
terdekat pada pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan
tersebut;.
3) Tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik
Indonesia, atau dengan cara lain apa pun yang melanggar asas-asas
hukum internasional yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
4) Kapal perang dan pesawat udara militer asing tidak boleh melakukan
perang-perangan atau latihan menggunakan senjata macam apa pun
dengan menggunakan amunisi.
5) Tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia kecuali dalam
keadaan force majeure.
6) Tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar mandir kecuali
dalam keadaan force majeure atau memberikan pertolongan kepada kapal,
orang atau kapal yang sedang tertimpa musibah.
7) Tidak boleh melakukan penyiaran gelap atau gangguan terhadap sistem
komunikasi atau melakukan komunikasi langsung dengan orang atau
kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia.
8) Tidak boleh melakukan kegiatan riset kelautan atau survei hidrografi.
9) Tidak boleh melakukan kegiatan perikanan dan wajib menyimpan peralatan
penangkap ikannya dalam palka.
10) Tidak boleh menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal, orang,
barang, atau mata uang kecuali dalam keadaan force majeure atau
musibah.
11) Wajib menaati peraturan, prosedur, dan praktik internasional mengenai
keselamatan pelayaran.
12) Wajib menaati pengaturan Skema Pemisah Lalu Lintas.
13) Tidak boleh menimbulkan gangguan atau kerusakan pada sarana atau
fasilitas navigasi serta kabel-kabel dan pipa-pipa bawah air.
14) Tidak boleh berlayar terlalu dekat dengan zona terlarang yang lebarnya
500 meter yang ditetapkan di sekeliling suatu instalasi-instalasi untuk
eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam.
15) Pesawat udara sipil asing harus menaati dan wajib menghormati
pengaturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional mengenai keselamatan penerbangan.
16) Pesawat udara sipil asing setiap waktu dan memenuhi kewajiban
memonitor frekuensi radio yang ditunjuk oleh pengawas otoritas pengawas
lalu lintas udara yang berwenang.
17) Dilarang membuang minyak, limbah minyak dan bahan-bahan perusak
lainnya ke dalam lingkungan laut.
18) Dilarang melakukan dumping di perairan Indonesia;
19) Harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus
yang ditetapkan oleh perjanjian internasional bagi kapal asing bertenaga
nuklir, atau yang mengangkut bahan nuklir, atau barang, atau bahan baku
lain yang khusus sifatnya berbahaya dan beracun.

ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA

Pertama kali akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai proses


terbentuknya alur laut Kepulauan Indonesia. Setelah konsepsi negara kepulauan
diakui secara internasional melalui UNCLOS 1982, maka Indonesia mulai berusaha
untuk menetapkan alur laut kepulauannya. Sejak tahun 1991 TNI-AL telah mulai
memikirkan hal tersebut dan melalui Forum Strategi TNI-AL IV yang bertema:
Penetapan dan pengaturan Sea Lanes sebagai tindak lanjut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, yang diselenggarakan pada
tanggal 27 Agustus 1991, telah mengusulkan tiga buah Alur Laut Kepulauan
Indonesia (AKLI) dari sejumlah kurang lebih 11 alternatif ALKI yang terletak pada
alur-alur pelayaran yang ada dalam pelayaran Indonesia. Langkah yang diambil
TNI-AL tersebut ternyata menimbulkan reaksi dari negara tetangga terdekat, yaitu
Australia. Pada bulan berikutnya, September 1991, melalui sidang Sub-committe
of Safety of Navigation (NAV) – 37, wakil Indonesia di IMO (International Maritime
Organization) telah menginformasikan usaha Indonesia untuk menetapkan 'sea
lanes through the internal waters of Indonesia's archipelagoes' sebagai alur-alur
pelayaran alternatif untuk mengatasi kepadatan lalu lintas pelayaran melalui Selat
Malaka dan Selat Singapura, yang antara lain meliputi 3 (tiga) buah alur-alur laut
yang serupa seperti diusulkan oleh Forum Strategi TNI-AL. (Penataran Hukum
Laut, Armatim)
Setelah konsep TNI – AL tersebut dimantapkan, Indonesia mulai
mengadakan konsultasi secara informal dengan Amerika Serikat di Jakarta pada
bulan November 1991, yang diikuti dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya
yang dilaksanakan pada tahun 1993 dan 1995. Pada pertemuan kedua sudah mulai
dibicarakan mengenai jumlah ALKI dan pihak Amerika Serikat mengajukan ALKI
yang satu sistem, antara lain menggabungkan dua ALKI Utara-Selatan dengan satu
ALKI Barat-Timur. Tetapi, ususl tersebut ditolak oleh Indonesia dengan alasan
ALKI Barat-Timur tersebut tidak menggambarkan 'sea lane transvering the
archipelago for the expeditious and unimpeded passage' sebagaimana
dimaksudkan oleh UNCLOS 1982.
Penetapan alur-alur laut kepulauan secara resmi dibicarakan dalam Rapat
Kerja Nasional yang diselenggarakan oleh Direktorat Perjanjian Internasional,
Departemen Luar Negeri di Cisarua, antara tanggal 17–19 Januari 1995. Rapat
Kerja Nasional tersebut dihadiri oleh wakil-wakil dari berbagai Departemen dan
Lembaga-lembaga Pemerintah yang terkait, para pakar dan wakil dari perguruan
tinggi. Rapat tersebut dipimpin oleh Dr. Hasjim Djalal, Duta Besar Keliling Urusan
Hukum Laut dan Masalah Kelautan, dan dihadiri oleh antara lain Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, mantan Menteri Kehakiman dan manta Menteri Luar Negeri,
Marsekal Madya Soedarmono, mantan Kasops Departemen Keamanan dan mantan
Sekjen Departemen Luar Negeri, serta Duta Besar RI di London dan Wakil Tetap
RI untuk IMO. Dalam Rapat Kerja tersebut dicapai beberapa kesepakatan untuk
diusulkan/disampaikan kepada Pemerintah Indonesia hal-hal sebagai berikut.
(Penataran Hukum Laut, Armatim)
Sesuai dengan Pasal 53 UNCLOS 1982, dirasa perlu untuk segera
menetapkan ALKI melalui perairan Indonesia. Penetapan ALKI tersebut adalah
untuk kepentingan Indonesia sendiri karena jika tidak ditetapkan, maka kapal-
kapal asing dapat melakukan pelayaran lintas alur laut kepulauan melalui rute-rute
yang biasa dipakai dalam pelayaran internasional, sesuai dengan Pasal 53 ayat
(12) UNCLOS 1982. Untuk tahap ini disarankan penetapan tiga ALKI Utara-Selatan,
yaitu ALKI I, II dan III yang di bagian Selatan bercabang tiga menjadi ALKI IIIA,
IIIB, IIIC, dengan perincian sebagai berikut:
1. ALKI I : Selat Sunda – Selat Karimata – Laut Natuna – Laut China Selatan
2. ALKI II : Selat Lombok – Selat Makasar – Laut Sulawesi
3. ALKI IIIA : Laut Sawu – Selat Ombai – Laut Banda (Barat Pulau Buru)- Laut
Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
4. ALKI IIIB : Laut Timor – Selat Leti – Laut Banda (Barat Pulau Buru) - Laut
Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
5. ALKI IIIC : Laut Arafuru – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – Laut Seram
(Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik.
Semua ALKI tersebut di atas terbuka bagi semua kapal yang ingin melintasi
perairan Indonesia secara cepat dan terus menerus berdasarkan ketentuan
UNCLOS 1982. Kapal-kapal perang, kapal-kapal yang membawa barang-barang
berbahaya, serta kapal-kapal penangkap ikan asing yang melintasi perairan
Indonesia untuk keperluan transit dari satu bagian ZEE atau laut bebas ke bagian
ZEE atau laut bebas lainnya disarankan melalui ALKI.
a. Pelayaran kapal-kapal asing melalui perairan Indonesia lainnya di luar ALKI
tetap diperkenankan, tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip innocent
passage menurut UNCLOS 1982 dan peraturan perundang- undangan
Indonesia yang berlaku.
b. Sesuai dengan UNCLOS 1982, penetapan ketiga ALKI tersebut tidak
menutup kemungkinan bagi Indonesia untuk mengadakan ALKI-ALKI baru
dan atau mengubah ALKI-ALKI yang telah ada, sesuai dengan
perkembangan keadaan dan hasil-hasil penelitian baru.
c. Saran mengenai ketiga ALKI tersebut diajukan setelah mempertimbangkan
kepentingan sektoral yang terkait, antara lain kepentingan pertahanan dan
keamanan (baik darat, laut maupun udara), keadaan hidro-oceanografis di
setiap ALKI, masalah lingkungan laut dan kawasan konservasi laut,
kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam terutama
migas, kegiatan-kegiatan penangkapan ikan, kepentingan dan
keselamatan pelayaran dan penerbangan nasional lainnya, keberadaan
kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut, serta kepentingan-kepentingan
internasional untuk suatu lintas laut yang cepat dan aman melalui perairan
Indonesia.
Agar ALKI yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dapat diakui oleh
dunia internasional maka ALKI-ALKI tersebut harus mendapat persetujuan dari
organisasi internasional yang berwenang, dalam hal ini adalah IMO. Sebelum
usulan mengenai ALKI tersebut diajukan secara resmi ke IMO, terlebih dahulu
Indonesia mengadakan konsultasi dengan International Hydrographic
Organization (IHO) dan IMO. Konsultasi dengan IHO dilakukan untuk mendapat
dukungan terhadap aspek-aspek geografis dan keamanan navigasi ketiga ALKI,
dengan memberikan penjelasan tentang survei yang telah dilakukan. Konsultasi
dengan IMO dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keterangan tentang
apakah IMO mempunyai kewenangan dalam hal ini, dan kalaupun ada, prosedur
apa yang harus diikuti oleh Indonesia.
Setelah melakukan konsultasi dan mendengarkan saran dari IHO maupun
IMO, penyampaian usulan ALKI didahului dengan surat kepada Sekretaris Jenderal
IMO dan pernyataan pada sidang MSC-66 tanggal 30 Mei 1996 bahwa Indonesia
bermaksud mengajukan usul penetapan ALKI kepada IMO. Akhirnya pada tanggal
18 Mei 1998, sidang pleno MSC-69 secara resmi menerima dan menetapkan tiga
ALKI yang diajukan oleh Indonesia. Hal ini sekaligus menempatkan Indonesia
sebagai negara pertama yang mengajukan alur laut kepulauan sesuai dengan
ketentuan UNCLOS 1982.
Pada saat Pemerintah Indonesia akan mengundangkan ketiga ALKI,
ternyata Timor Timur memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI sehingga di
beberapa tempat jalur ALKI harus disesuaikan lagi, sehingga pada akhirnya
ditetapkanlah ALKI sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2002 sebagai berikut:
a. ALKI I untuk melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan untuk pelayaran
melalui Laut Cina Selatan ke Samudra Hindia atau sebaliknya, yang
melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda. ALKI IA
dari Selat Singapura melalui Laut Natuna dan sebaliknya.
b. ALKI II untuk melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan untuk pelayaran
melalui Laut Sulawesi ke Samudra Hindia atau sebaliknya, melintasi Selat
Makasar, Laut Flores, dan selat Lombok.
c. ALKI IIIA untuk melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan untuk
pelayaran melalui Samudra Pasifik ke Samudra Hindia atau sebaliknya,
melintasi Laut Maluku, Laut seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut
Sawu. ALKI IIIA ini mempunyai cabang-cabang sebagai berikut:
• ALKI Cabang IIIB yang menjadi satu dengan ALKI IIIA, dari Samudra
Pasifik ke Samudra Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut
Seram, dan Laut Banda, dan Selat Leti.
• ALKI cabang IIIC yang menjadi satu dengan ALKI Cabang IIIB, dari
Samudra Pasifik ke Laut Arafura atau sebaliknya, melintasi Laut
Maluku, Laut Seram dan Laut Banda.
• ALKI Cabang IIID yang menjadi satu dengan ALKI IIIA, dari Samudra
Pasifik ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku,
Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu; dan
• ALKI Cabang IIIE yang menjadi satu dengan ALKI IIIA, dari Samudera
Hindia ke Laut Sulawesi atau sebaliknya, melintasi Laut Sawu, Selat
Ombai, Laut Banda, Laut Seram dan Laut Maluku atau untuk pelayaran
dari Laut Timor ke Laut Sulawesi atau sebaliknya, melintasi selat Leti,
Laut Banda, Laut seram dan Laut Maluku untuk pelayaran dari Laut
Arafura ke Laut Sulawesi atau sebaliknya, melintasi Laut Banda, Laut
Seram dan Laut Maluku.

HAK AKSES DAN KOMUNIKASI

Hak negara lain dalam kaitannya dengan penetapan suatu negara sebagai
negara kepulauan adalah pemberian hak akses dan komunikasi bagi negara yang
dirugikan dengan klaim negara kepulauan. Setelah Indonesia memproklamirkan
diri sebagai negara kepulauan, maka salah satu langkah yang diambil adalah
mengadakan perjanjian bilateral dengan Malaysia mengenai pemberian hak akses
dan komunikasi yang menghubungkan Malaysia Barat yang menjadi satu dengan
daratan Asia dan Malaysia Timur yang berada di Pulau Kalimantan. Perjanjian
tersebut tertuang dalam Memorandum Pengertian Bersama tentang Negara
Nusantara atau Negara Kepulauan pada tanggal 27 Juli 1976. Memorandum
tersebut pada intinya memuat kesepakatan kedua negara, yang mengandung
ketentuan bahwa Malaysia mengakui dan menyokong Rezim Hukum Negara
Kepulauan, dan sebagai imbalannya pihak Indonesia mengakui hak-hak tradisional
dan kepentingan-kepentingan sah Malaysia di laut teritorial dan perairan nusantara
(perairan kepulauan) Indonesia yang terletak di antara Malaysia Timur dan
Malaysia Barat. Di samping itu, ditetapkan agar Indonesia dan Malaysia
menuangkan apa yang telah disepakati tersebut dalam suatu perjanjian
internasional sebelum UNCLOS 1982 ditandatangani oleh negara- negara peserta.
Perjanjian kedua negara pada akhirnya ditandatangani pada tanggal 23
Februari 1982, untuk selanjutnya disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1983 tentang Pengesahan Perjanjian antara
Republik Indonesia dan Malaysia tentang Rezim Hukum Nusantara Hak- hak
Malaysia di Laut Teritorial, Perairan Nusantara dan Wilayah Republik Indonesia
yang terletak di antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat (Penataran Hukum Laut,
Armatim)
Ketentuan umum dari Undang-undang tersebut mengacu pada Pasal 47
ayat 6 UNCLOS 1982 (pada saat itu UNCLOS 1982 baru saja disahkan dan belum
mempunyai kekuatan berlaku), yang mengatakan bahwa: Apabila suatu bagian
negara kepulauan terletak di antara dan bagian suatu negara tetangga yang
langsung berdampingan, hak-hak yang ada dan kepentingan-kepentingan sah
lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebut di perairan
demikian, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara negara-
negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dihormati.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan hak-hak dan kepentingan yang sah
secara tradisional dijabarkan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang tersebut, yang
meliputi:
1. Hak akses dan komunikasi kapal pemerintah lewat koridor-koridor yang
ditetapkan dengan serangkaian garis-garis poros yang tak terputus-putus;
2. Hak akses dan komunikasi kapal-kapal dagang dan kapal-kapal penangkap
ikan termasuk kapal-kapal penangkap ikan asing, lewat koridor-koridor
tersebut;
3. Hak akses dan komunikasi pesawat udara negara;
4. Hak akses dan komunikasi pesawat udara sipil;
5. Hak penangkapan ikan tradisional nelayan-nelayan tradisional Malaysia di
daerah yang ditetapkan;
6. Kepentingan yang sah tentang adanya perlindungan, pemeriksaan,
pemeliharaan, perbaikan dan penggantian kabel-kabel dan pipa-pipa
bawah laut yang sudah dipasang serta pemasangan kabel-kabel dan pipa-
pipa bawah laut lainnya di laut teritorial dan perairan nusantara yang
terletak di antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat serta dasar laut dan
tanah di bawahnya;
7. Kepentingan yang sah dalam memajukan dan memelihara hukum dan
ketertiban melalui kerja sama dengan pejabat-pejabat Pemerintah Republik
Indonesia yang berwenang di laut teritorial dan perairan nusantara dan
juga di ruang udara di atas laut teritorial, perairan nusantara dan wilayah
Republik Indonesia yang terletak di antara Malaysia Timur dan Malaysia
Barat, dan
8. Kepentingan yang sah untuk bekerja sama dengan pejabat-pejabat yang
berwenang Pemerintah Republik Indonesia dengan kegiatan penelitian
ilmiah mengenai kelautan di laut teritorial dan perairan nusantara Republik
Indonesia dan di laut teritorial Malaysia yang terletak di antara Malaysia
Timur dan Malaysia Barat guna maksud yang berkaitan dengan tindakan-
tindakan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Kewajiban Malaysia di atas perairan dan ruang udara di atasnya adalah
sebagai berikut:
1. Menghindarkan diri dari tindakan mengancam atau penggunaan kekerasan
apa pun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, kemerdekaan politik dan
keamanan Republik Indonesia.
2. Melakukan tindakan-tindakan yang perlu guna mencegah, mengurangi dan
menanggulangi pencemaran lingkungan laut dari sumber apa pun.
3. Mematuhi perundang-undangan Republik Indonesia sesuai ketentuan
perjanjian. Adapun kewajiban Indonesia adalah tidak menangguhkan atau
menghalang-halangi hak akses dan komunikasi yang dilaksanakan oleh
Malaysia sesuai dengan ketentuan perjanjian.

RANGKUMAN

Peranan laut yang utama adalah sebagai sarana transportasi. Konsekuensi


negara yang telah menetapkan laut wilayahnya, maka harus memberi kesempatan
kepada kapal-kapal asing untuk melintasi negaranya. Penetapan alur pelayaran
sesuai dengan UNCLOS 1982 terbagi dalam hak lintas damai, hak lintas transit dan
hak lintas alur laut kepulauan.

LATIHAN

Demi menjaga pertahanan dan keamanan di wilayah laut teritorialnya,


Indonesia telah menebar ranjau tanpa pemberitahuan kepada negara-negara lain
pengguna wilayah perairan Indonesia. Dari tindakan tersebut, maka salah satu
Kapal Perang Belgia yang melakukan pelayaran di Selat Sunda mengajukan protes
kepada Pemerintah Republik Indonesia dengan alasan hak innocent passage dan
tanpa izin Pemerintah RI, Kapal Perang Belgia melakukan penyapuan ranjau di laut
teritorial Indonesia.

Pertanyaan:
a. Apakah benar hak innocent passage berlaku untuk semua kapal? Jelaskan
jawaban anda.
b. Apakah negara pantai diperbolehkan mensyaratkan adanya ijin ataupun
otoritasi untuk kapal perang yang akan melintas di laut teritorial? Jelaskan
jawaban anda.
c. Apakah tindakan yang dilakukan oleh Kapal Perang Belgia dapat
dibenarkan menurut UNCLOS 1982? Jelaskan.

Anda mungkin juga menyukai