Anda di halaman 1dari 3

1.

Argumen Indonesia Sebagai Negara yang Berwenang Mengadili Pelaku Penganiayaan


Argumen Indonesia untuk mengklaim kewenangan dalam mengadili pelaku penganiayaan
terhadap pilot pesawat Garuda Indonesia yang berkewarganegaraan Malaysia dapat dianalisis
dengan merujuk pada prinsip-prinsip hukum pidana internasional dan sistem hukum nasional.
Beberapa asas yang relevan dalam hal ini melibatkan yurisdiksi, ekstradisi, dan prinsip keadilan.

a. Prinsip Yurisdiksi
Yurisdiksi merupakan dasar hukum yang memberikan hak kepada suatu negara untuk
mengadili tindak pidana yang terjadi di wilayahnya atau yang melibatkan warganya.
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki yurisdiksi karena kejadian tersebut terjadi pada
pesawat yang mendarat di wilayahnya. Prinsip yurisdiksi ini terdapat dalam hukum
pidana internasional dan diakui dalam Konvensi Tokyo tentang Kejahatan di dalam
Pesawat Udara (Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board
Aircraft).

Sebagai negara tempat mendaratnya pesawat, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk


mengadili tindak pidana yang terjadi di dalam pesawat selama pendaratan di
wilayahnya. Hukum pidana internasional mengakui konsep yurisdiksi universal terhadap
kejahatan tertentu, termasuk kejahatan di dalam pesawat udara.

b. Prinsip Ekstradisi
Apabila terdapat keinginan untuk mengadili pelaku di Indonesia, prinsip ekstradisi juga
dapat diterapkan. Ekstradisi adalah proses di mana suatu negara meminta penyerahan
pelaku kejahatan kepada negara lain. Dalam konteks ini, Indonesia dapat meminta
ekstradisi dari negara yang memiliki pelaku, yang dalam kasus ini adalah Singapore.

Namun, perlu dicatat bahwa ekstradisi seringkali melibatkan perjanjian bilateral antara
negara yang meminta dan negara yang diminta. Oleh karena itu, jika Indonesia dan
Singapore memiliki perjanjian ekstradisi, maka proses hukum dapat dilakukan sesuai
dengan ketentuan perjanjian tersebut.
c. Prinsip Keadilan dan Perlindungan Warga Negara
Indonesia dapat mengklaim kewenangan untuk mengadili pelaku penganiayaan
berdasarkan prinsip keadilan dan perlindungan warga negara. Jika pelaku adalah
diplomat India, terdapat pertimbangan khusus karena diplomat memiliki hak-hak
kekebalan tertentu di bawah Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik. Namun, hak
kekebalan tersebut tidak bersifat absolut dan dapat dicabut dalam situasi tertentu,
terutama jika pelaku terlibat dalam kejahatan serius.

Dalam konteks ini, prinsip keadilan dan perlindungan warga negara dapat diartikan
sebagai upaya untuk memberikan keadilan kepada korban, dalam hal ini pilot pesawat
Garuda Indonesia, tanpa memandang status diplomat pelaku. Prinsip ini terkait dengan
kepentingan umum dalam memberantas kejahatan dan memberikan keadilan kepada
korban.

Dasar Hukum:

 Konvensi Tokyo tentang Kejahatan di dalam Pesawat Udara (1963)


Konvensi ini memberikan yurisdiksi kepada negara tempat pesawat mendarat untuk
mengadili kejahatan yang terjadi di dalam pesawat. Indonesia, sebagai negara
tempat pendaratan pesawat, dapat merujuk pada prinsip ini.

 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961)


Konvensi ini memberikan kekebalan diplomatik kepada pejabat diplomatik.
Meskipun demikian, kekebalan tersebut dapat dicabut dalam kasus tertentu,
termasuk kejahatan serius seperti penganiayaan.

2. Dapatkah Hukum Pidana Indonesia Diberlakukan kepada Pelaku Tindak Pidana Tersebut

a. Hak Kekebalan Diplomat


Sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, diplomat
memiliki hak kekebalan terhadap tindakan hukum di negara penerima. Meskipun
demikian, kekebalan tersebut tidak bersifat mutlak dan dapat dicabut dalam situasi
tertentu, seperti dalam kasus kejahatan serius termasuk penganiayaan.

Dalam konteks ini, Indonesia dapat berargumen bahwa hak kekebalan diplomat tidak
berlaku atau dicabut karena tindakan kejahatan yang dilakukan oleh diplomat tersebut,
yang menyebabkan pilot pesawat mengalami luka berat. Prinsip keadilan dan
perlindungan hak asasi manusia dapat mendukung pencabutan hak kekebalan
diplomatik dalam keadaan tertentu, terutama ketika hak asasi manusia korban
terancam.
b. Yurisdiksi Universal dan Kewajiban Menindaklanjuti
Indonesia dapat merujuk pada prinsip yurisdiksi universal dalam hukum pidana
internasional. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu negara memiliki hak untuk mengadili
pelaku kejahatan tertentu, terlepas dari kebangsaan pelaku atau lokasi kejahatan
tersebut terjadi.

Jika Indonesia menganggap bahwa pelaku penganiayaan harus diadili di Indonesia untuk
memastikan keadilan bagi korban dan menghormati hukum pidana internasional,
Indonesia dapat menjalankan kewajibannya untuk menindaklanjuti dan memberlakukan
hukum pidana terhadap pelaku.

Dasar Hukum:

 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961):


Hak kekebalan diplomatik diberikan oleh konvensi ini, namun, pencabutan hak
kekebalan dapat disesuaikan dengan ketentuan konvensi yang juga memberikan
tanggung jawab bagi negara penerima untuk menjaga keamanan dan ketertiban
umum.

 Yurisdiksi Universal
Prinsip ini ditemukan dalam beberapa instrumen hukum internasional, seperti
Konvensi Jenewa tentang Kejahatan Perang dan Pemberontakan (1949), yang
memberikan negara hak untuk mengadili pelaku kejahatan tertentu tanpa
memandang kebangsaan pelaku.

Penutup

Dalam kasus ini, Indonesia dapat meyakinkan pihak internasional bahwa klaim kewenangan
untuk mengadili pelaku penganiayaan didasarkan pada prinsip-prinsip hukum pidana
internasional, termasuk hak kekebalan diplomatik yang tidak bersifat mutlak dan prinsip
yurisdiksi universal. Pencabutan hak kekebalan dan pelaksanaan yurisdiksi universal dapat
diartikan sebagai langkah-langkah untuk memastikan keadilan bagi korban dan memenuhi
kewajiban Indonesia dalam menindaklanjuti tindak pidana serius yang terjadi di wilayahnya.

Anda mungkin juga menyukai