Anda di halaman 1dari 7

ALRIFKIE

41033300211205

A4/2

HUKUM PERDATA

1. Apakah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur


perkawinan berbeda agama ? Jelaskan jawabannya secara rinci beserta dasar
hukumnya !

Jawaban:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Instruksi Presiden


Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu”. Dalam rumusan tersebut diketahui tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agama dan kepercayaan.

Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, pada Pasal 40 disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, salah satunya seorang
wanita yang tidak beragam Islam.

meski begitu bukan berarti pernikahan beda agama tak dapat diwujudkan di
Indonesia. Berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986, pasangan
beda agama dapat meminta penetapan pengadilan. Peraturan tersebut menyatakan
kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama. Sebab, tugas
kantor catatan sipil adalah mencatat dan bukan mengesahkan.

Namun tak semua kantor catatan sipil berkenan menerima pernikahan beda agama.
Jika ada pun nantinya kantor catatan sipil akan mencatat perkawinan tersebut sebagai
perkawinan non-Islam. Pasangan beda agama tetap dapat memilih menikah dengan
ketentuan agama masing-masing. Misalnya akad nikah ala Islam dan pemberkatan
Kristen. Namun bukan perkara mudah menemukan pemuka agama yang bersedia
menikahkan pasangan beda agama.

Sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama termasuk


dalam jenis perkawinan campuran. Perkawinan campuran diatur dalam Regeling op
de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 Nomor 158, disingkat GHR. Dalam Pasal 1 GHR
disebutkan perkawinan campuran merupakan perkawinan antara orang-orang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.

2. Jelaskan secara rinci apakah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata {BW)


sekarang masih berlaku ?

Jawaban:

Sebagian masih berlaku tetapi untuk peraturan pertanahan itu sudah berpindah
menjadi uu tentang pertanahan agaria

3. a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan subyek hukum dan meliputi apa saja ?

b. Apakah semua subyek hukum dapat melakukan perbuatan hukum ? Jelaskan

jawabannya secara rinci !

jawaban:

A) Dalam hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak (subyek) di dalam
hukum. Subyek hukum : Pendukung hak dan kewajiban (mempunyai hak dan
kewajiban). Subyek hukum :

1. Manusia (natuurlijk persoon)

2. Badan Hukum ( rehts persoon)

Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir
pada saat ia meninggal, malahan jika perlu untuk kepentingannya dapat dihitung surut
hingga mulai orang itu berada di dalam kandungan, asal ia dilahirkan hidup → Pasal 2
BW.

Pasal 2 BW :

“ Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan bila
kepentingan anak menghendakinya.”

B) menurut pendapat saya subjek hukum mampu melakukan perbuatan hukum


karena subjek hUkum yang menjalani suatu hokum yang diatur oleh lembaga atau
Negara yang wajib dilaksanakan atau di jauhi oleh objek hokum itu sendiri dan
termasuk hokum yang memaksa.seperti rizal menerobos palang pintu kereta api,dll

4. Apakah perceraian sama/tidak dengan pembatalan perkawinan ? Jelaskan


secara rinci dengan alasan-alasannya !

Jawaban:

Tidak karena kalau pembatalan perkawinan itu belum terikat satu sama lain
sedangkan untuk perceraian itu dimana kedua belah pihak sudah terikat dan
memutuskan hubungan tersebut

Secara rinci ini pengertiannya

Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal bercerai antara
suami dan istri, yang kata “bercerai” itu sendiri artinya “menjatuhkan talak atau
memutuskan hubungan sebagai suami isteri.” Menurut KUH Perdata Pasal 207
perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam
Undang- Undang. Sementara pengertian perceraian tidak dijumpai sama sekali dalam
Undang-Undang Perkawinan begitu pula di dalam penjelasan serta peraturan
pelaksananya.

PEMBATALAN PERKAWINAN

Undang-Undang Perkawinan : Pasal 22 – 28 UU.No. 1 / 1974.


Pembatalan perkawinan dilakukan bla perkawinan telah terjadi.

Pembatalan perkawinan dapat dilakukan bila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan, misal :

 Tidak ada kebebasan kata.


 Belum mencapai umur yang disyaratkan.
 Terdapat larangan perkawinan.
 Tidak ada izin dari orang tua / wali.

Pembatalan dapat diajukan :

 Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas.


 Suami / Isteri.
 Pejabat yang berwenang.

Pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana


perkawinan dilangsungkan.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai


kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Keputusan tidak berlaku terhadap :

 Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.


 Suami atau isteri yang beritikad baik.

PERCERAIAN

Pasal 38: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas
keputusan Pengadilan.

12 Pasal 39

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan


yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak,

2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri,

3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan


perundangan tersebut.

13 Pasal 40

1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.


2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat Pasal ini diatur dalam peraturan

perundangan tersendiri.

14 Pasal 41: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah, a) Baik ibu atau
bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan hak
terhadap anak-anak, Pengadilan memberi keputusan., b) Bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu,
bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut
pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

15 Pasal 199 KUHP: 1) Karena kematian, 2) Karena keadaan tidak hadir si suami atau
si istri, selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru istrinya/suaminya, 3)
Karena putusan hakim setelah ada perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan
pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam register catatan sipil atau
BS (Burgerlijk Stan), 4) Karena perceraian.

5. Jelaskan secara rinci bagaimana perbedaan antara gadai dan hipotik !

Jawaban:

GADAI (PAND)

(Bk II titel 20 mulai Pasal 1150-1160 KUH Perdata)

Menurut ketentuan Pasal 1150 KUHPdt, gadai adalah hak yang diperoleh kreditor
atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitor atau orang lain
atas namanya, untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kekuasaan kepada
kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari benda tersebut terlebih dulu daripada
kreditor lainnya, kecuali biaya untuk melelang benda tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk pemeliharaan setelah benda itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
di dahulukan.

Pihak yang menggadaikan dinamakan “pemberi gadai” dan yang menerima gadai,
dinamakan “penerima atau pemegang gadai”. Kadang-kadang dalam gadai terlibat
tiga pihak, yaitu debitur (pihak yang berhutang), pemberi gadai, yaitu pihak yang
menyerahkan benda gadai dan pemegang gadai yaitu kreditur yang menguasai benda
gadai sebagai jaminan piutangnya.

Berdasar pada ketentuan pasal ini dapat diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam
gadai yaitu sebagai berikut:
1. Hak yang diperoleh kreditor atas benda bergerak

2. Benda bergerak itu diserahkan oleh debitor kepada kreditor

3. Penyerahan benda tersebut untuk jaminan utang

4. Hak kreditor itu adalah pelunasan piutangnya dengan kekuasaan melelang benda
jaminan apabila debitor wanprestasi

5. Pelunasan tersebut didahulukan dari kreditor-kreditor lan

6. Biaya-biaya lelang dan pemeliharaan benda jaminan dilunasi lebih dulu dari hasil
lelang sebelum pelunasan piutang

HIPOTIK

(Bk II Titel 21, Pasal 1162-1232 KUH Perdata)

Hypotheca berasal dari bahasa latin, dan hypotheek dari bahasa Belanda, yang
mempunyai arti “Pembebanan”. Satu kreditur yang mempunyai kedudukan istemewa
adalah kreditur pemegang hipotik. Hipotik diatur dalam KUH Perdata buku II Bab
XII pasal 1162 sampai dengan pasal

1232. Dengan berlakunya Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar


pokok agrarian (UUPA) yang dimulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960 buku
II KUH Perdata telah dicabut sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.

Pengertian hipotik tercantum dalam Pasal 1162 KUH Perdata. Hipotik adalah: “Suatu
hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian
daripadanya bagi pelunasan bagi suatu perikatan.”

Vollmar mengatakan hipotik adalah: “Sebuah hak kebendaan atas benda-benda tak
bergerak tidak bermaksud untuk memberikan orang yang berhak (pemegang hipotik)
sesuatu nikmat dari suatu benda, tetapi ia bermaksud memberikan jaminan belaka
bagi pelunasan sebuah hutang dengan dilebihdahulukan” Dalam buku Pokok-Pokok
Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan karangan Hartono Hadisoeprapto menjelaskan,
bahwa hipotik adalah bentuk jaminan jaminan

kredit yang timbul dari perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang adanya harus
diperjanjikan terlebih dahulu.
6. Bolehkah pemegang fidusia menjual benda yang sedang dijaminkan secara
fidusia ?

Jawab:

Mengenai fidusia diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”). Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (Pasal 1
angka 1 UU Jaminan Fidusia).

Terkait dengan penjelasan Anda, maka objek yang akan dijaminkan sebagai jaminan
fidusia adalah BPKB mobil sebagai tanda hak kepemilikan yang dialihkan, sedangkan
mobilnya tetap berada pada kekuasaan pihak debitor dan masih tetap dapat
dipakai.Pada dasarnya dalam Pasal 20 UU Jaminan Fidusia, diatur bahwa jaminan
Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam tangan
siapapun Benda tersebut berada. Kecuali pengalihan atas benda persediaan yang
menjadi obyek Jaminan Fidusia. Ini disebut dengan prinsip "droit de suite".

Maksudnya adalah walaupun obyek jaminan fidusia sudah berpindah tangan dan
menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan
eksekusi, jika debitor cidera janji.

Jadi, menjawab pertanyaan Anda, dengan asumsi bahwa jaminan fidusia ini telah
didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia, perusahaan Anda tetap dapat
mengeksekusi (atau berdasarkan penjelasan Anda “menarik”) mobil jaminan fidusia
tersebut dari pihak ketiga, jika memang berdasarkan perjanjian kredit yang menjadi
dasar perjanjian fidusia ini, debitor telah cidera janji/wanprestasi (lihat Pasal 15 UU
Jaminan Fidusia).

Mengenai si pembeli mobil yang ternyata adalah anggota polisi, harus dilihat lagi
bagaimana jual beli tersebut dilakukan. Jika memang telah sesuai dengan ketentuan
jual beli, dalam hal tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan, maka pada
dasarnya anggota polisi tersebut tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku
terutama kode etik kepolisian seperti yang Anda tanyakan

Anda mungkin juga menyukai