Anda di halaman 1dari 10

TUGAS HUKUM KELUARGA DAN HARTA PERKAWINAN

MAKALAH PENYELESAIAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN


KELUARGA DALAM PROSES PERCERAIAN

OSMAN KEMAL ALYOSHA SETIADI

E2B022002

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana


pemberi tersebut dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah
ada hubungannya dengan kewarisan. Hal ini secara gamblang ditegaskan
dalam hukum positif di indonesia seperti; Kompilasi Hukum Islam, Hukum
Adat dan KUH Perdata. Selain itu, adanya posibilitas pembatalan hibah yang
telah diberikan oleh seorang pemberi hibah kepada yang menerima hibah
sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan
KUHPerdata.

Hibah dalam bahasa Belanda adalah schenking, sedangkan menurut


istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah: Sesuatu persetujuan dengan
mana si penghibah diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak
dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima
hibah yang menerima penyerahan itu.1

Penghibahan termasuk perjanjian dengan cuma-cuma (om niet)


dimana perkataan dengan cuma-cuma itu ditujukan pada hanya adanya
prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lainnya tidak usah
memberikan kontraprestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang demikian juga
dinamakan sepihak (unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal-balik
(bilateral). Perjanjian yang banyak tentunya adalah bertimbal-balik, karena
yang lazim adalah bahwa orang yang menyanggupi suatu prestasi karena ia
akan menerima suatu kontra prestasi.2

Penghibahan itu sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri


atau ketika anak-anak mereka mulai menikah dan membentuk keluarga

1
Hukum Zone, “Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”,
http://hukumzone.blogspot.com/2016/05/hibah-menurut-kitab-undang-undang-hukum.html,
Diaksestanggal 27 November 2022, Pukul 22.15 WIB.
2
R Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1995, hlm. 94-95
sendiri. Penghibahan itu dilakukan ketika si pemberi hibah itu masih hidup,
dengan tujuan untuk menghindari percekcokan yang akan terjadi diantara
anakanaknya itu apabila ia telah meninggal dunia. Penghibahan itu terjadi
kemungkinan juga sebagai akibat karena kekhawatiran si pemberi hibah
sebab ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung atau ibu tiri, atau juga
karena dikalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang mungkin
disangkal keanggotaannya sebagai ahli waris.3

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum


Islam Pasal 210 ayat (1), orang yang berumur sekurang-kurangnya 21 tahun
berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-
banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan
dua orang saksi untuk dimiliki.

Bagi perjanjian yang digolongkan dalam perjanjian formil termasuk


didalamnya perjanjian hibah, mensyaratkan adanya bentuk tertentu, yaitu
akta notaris atau akta otentik, sehingga disini berfungsi sebagai salah satu
unsur perjanjian yaitu syarat mutlak untuk adanya perjanjian tersebut.4

Setiap hibah yang dibuat dihadapan Notaris berbentuk Akta.


Pertimbangan tersebut sangat penting karena menyangkut harta kekayaan
seseorang. Kewenangan-kewenangan yang dimiliki olehNotaris, maka akta
hibah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Akta yang dibuat
Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat
otentik dari akta itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan
kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya
objek, dan adanya kausa yang halal, misalnya mencantumkan identitas para
pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani
akta dan segalanya. Sebelum ditanda tangani, akta terlebih dahulu dibacakan

3
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Prenada Media
Group, Jakarta, 2008, hlm 132
4
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra
Aditya, Bandung 2008, hlm. 375.
kepada penghadap dan saksisaksi yang dilakukan oleh Notaris yang membuat
akta tersebut. Pembacaan akta tidak dapat diwakili oleh orang lain atau
didelegasikan pembacaan akta tersebut kepada pegawai kantor Notaris
melainkan harus dilakukan oleh Notaris sendiri. Tujuan pembacaan akta ini
adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut yang mana isi
dari akta itu merupakan kehendak para pihak yang membuat perjanjian,
pembacaan akta ini juga dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa
dirugikan apabila terdapat keterangan serta bunyi akta yang memberatkan
atau merugikan pihak lain.5

Tutik mendefinisikan perkawinan adalah persekutuan hidup antara


seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan
Undang-Undang, yaitu yuridis dan kebanyakan juga religius menurut tujuan
suami istri dan Undang-Undang, dan dilakukan untuk selama hidupnya
menurut lembaga perkawinan. Sementara, dalam KUH Perdata, pengertian
perkawinan tidak dengan tegas diatur ketentuannya seperti Pasal 26 yang
memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata dan Pasal
27 bahwa perkawinan menganut prinsip monogami. Pasal 103 menyatakan
bahwa suami dan isteri harus saling setia, tolong menolong dan bantu
membantu. Meskipun tidak dijumpai sebuah definisi tentang perkawinan,
ilmu hukum berusaha membuat definisi perkawinan sebagai ikatan antara
seorang pria dan seorang wanita yang diakui sah oleh perundang-undangan
negara dan bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal abadi.6

Tetapi dalam prakteknya, ternyata tidak mudah untuk membentuk


keluarga yang kekal abadi tersebut, karena terdapat berbagai ujian yang
mengakibatkan tujuan tersebut tidak dapat tercapai. Seperti halnya terdapat
kasus, dengan mana mulanya Ahmad menikah dengan Santi. Lalu seiring
dengan berjalannya pernikahan, Ahmad berselingkuh dengan Laila. Ketika
berselingkuh, Ahmad sampai membelikan rumah di kawasan real estate
5
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hal. 201.
6
Tulus Prijanto, “Tinjauan Dan Pandangan Hukum Terhadap Perkawinan Yang Tidak
Tercatat Pemerintah Serta Dampaknya Secara Ekonomi”, Jurnal Edunomika, Vol. 05 No. 02,
(2021), hal. 703.
seharga Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Ahmad memiliki anak
bernama Albert. Albert yang sudah dewasa mengajukan tuntutan terhadap
ayahnya agar pemberian hadiah berupa pembelian rumah di kawasan real
estate seharga Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) kepada Laila
dibatalkan. Sehingga ia menghubungi Notaris untuk meminta pembatalan
tersebut.

Berdasarkan uraian kasus di atas penulis tertarik untuk menganalisis


lebih lanjut dan mengangkat permasalahan tersebut ke dalam makalah yang
berjudul “Penyelesaian Terhadap Harta Kekayaan Keluarga Dalam Proses
Perceraian”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin merumuskan masalah


sebagai berikut :

1. Bagaimana penyelesaian terhadap harta kekayaan keluarga dalam proses


perceraian apabila ada harta yang diberikan kepada orang lain?
2. Bagaimana teori pembatalan perjanjiannya, apabila terjadi pembatalan?
PEMBAHASAN

A. Penyelesaian Terhadap Harta Kekayaan Keluarga Dalam Proses


Perceraian Apabila Ada Harta Yang Diberikan Kepada Orang Lain

Harta kekayaan keluarga atau pada umumnya disebut sebagai harta


gono-gini merupakan harta benda yang dihasilkan oleh suami istri selama masa
perkawinan mereka. Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah.
sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Harta gono-gini menjadi milik bersama suami istri itu, walaupun
yang bekerja hanya suami ataupun istri saja. Tentang sejak kapan terbentuknya
harta gono-gini, ditentukan menurut rasa keadilan masing-masing pihak.
Pembagian harta gono-gini, sebaiknya dilakukan secara adil, sehingga tidak
menimbulkan ketidakadilan antara mana hak yang termasuk dalam hak suami
dan mana yang termasuk dalam hak isteri.

Menurut Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa


cara mendapatkan harta bersama, sebagai berikut:

a. Pembagian harta bersama dapat diajukan bersamaan dengan saat


mengajukan gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan bukti-
bukti bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam “posita”
(alasan mengajukan gugatan). Permintaan pembagian harta disebutkan
dalam petitum (gugatan).
b. Pembagian harta bersama diajukan setelah adanya putusan perceraian,
artinya mengajukan gugatan atas harta bersama.Bagi yang beragama Islam
gugatan atas harta bersama diajukan ke pengadilan agama di wilayah
tempat tinggal isteri. Untuk non-Islam gugatan pembagian harta bersama
diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal termohon.

Harta bersama baru dapat dibagi apabila putusnya perkawinan


disebabkan karena kematian mempunyai ketentuan hukum yang pasti sejak
saat kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh
dibagi. Apabila keputusan hakim yang menentukan putusnya hubungan
perkawinan belum mempunyai kekuatan pasti, maka harta bersama antara
suami dan isteri itu belum dapat dibagi.

Menurut tersebut dalam Pasal 97 yang memuat ketentuan bahwa janda


atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Ketentuan dalam
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam Pasal 97 dan
selaras dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal 9 Oktober 1968
Nomor 89K/Sip/19689 , selama seorang janda tidak kawin lagi dan selama
hidupnya harta bersama dipegang olehnya tidak dapat dibagi guna menjamin
penghidupannya. Dalam Pasal 156 Komplikasi Hukum Islam putusnya
perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama adalah harta bersama
tersebut dibagi menurut ketentuan sebagaimana ketentuan dalam Kitab
UndangUndang Hukum Perdata, yaitu cara pembagiannya biasanya adalah
dengan membagi rata, masing-masing (suami-isteri) mendapat setengah bagian
dari harta gono-gini tersebut. Harta bersama ini tidak dapat disamakan dengan
harta warisan, karena harta warisan adalah harta bawaan, bukanlah harta
bersama.7

Dikaitkan dengan kasus di atas, Ahmad membelikan rumah di kawasan


real estate seharga Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk
selingkuhannya yang bernama Laila. Kemudian, Albert sebagai anak dari
Ahmad dan Santi yang sudah dewasa mengajukan tuntutan terhadap ayahnya
agar pemberian hadiah berupa pembelian rumah untuk Laila tersebut
dibatalkan oleh Notaris yang bersangkutan. Maka, apabila putusan perceraian
Ahmad dan Santi belum in kracht dan tanpa ada perjanjian perkawinan
sebelumnya, pembatalan pembelian rumah untuk Laila tersebut bisa dilakukan,
karena pembelian rumah tersebut menggunakan harta bersama Ahmad dan
Santi, bukan harta pribadi Ahmad. Sehingga mengingat Ahmad dalam
menggunakan harta bersama tersebut, tidak disertai dengan persetujuan oleh

7
Bernadus Nagara, “Pembagian Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama Setelah Perceraian
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal Lex Crimen, Vol. V No. 7, (September,
2016), hal. 52-53.
Santi, maka perjanjian pembelian rumah untuk Laila tersebut dapat dibatalkan
oleh Albert melalui Notaris yang bersangkutan.

B. Teori Pembatalan Perjanjian

Pembatalan perjanjian dapat diminta oleh salah satu pihak dalam


perjanjian yang merasa dirugikan. Suatu perjanjian dapat dimintakan
pembatalan apabila:

1. Perjanjian yang dibuat melanggar syarat subyektif sahnya perjanjian


sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 angka 1 dan 2 KUHPerdata,
yaitu perjanjian tersebut lahir tetapi tidak sah karena adanya cacat
kehendak (wilsgebreke) berupa kekhilafan, paksaan atau penipuan, atau
karena ketidakcakapan pihak dalam perjanjian (ombekwaamheid),
sehingga berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).
2. Perjanjian yang di buat melanggar syarat obyektif sahnya perjanjian
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 angka 3 dan 4 KUH Perdata,
perjanjian yang dibuat objeknya tidak ditentukan atau memiliki kausa yang
tidak diperbolehkan seperti bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan, sehingga berakibat perjanjian tersebut
batal demi hukum (nietig).8

Dikaitkan dengan kasus di atas, Ahmad membelikan rumah untuk


selingkuhannya yang bernama Laila dengan menggunakan harta bersama
dengan istrinya yang bernama Santi, dalam membuat perjanjian pembelian
rumah untuk Laila tersebut tanpa disertai persetujuan dari Santi, maka karena
perjanjian tersebut melanggar syarat subjektif berupa tanpa adanya persetujuan
dari Santi sehingga sepatutnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh Albert
selaku anak dari Ahmad dan Santi melalui Notaris yang bersangkutan.

PENUTUP

Kesimpulan
8
Siti Nurhidayati, “Akibat Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Bagi Hasil (Studi Putusan
Nomor 873 PK/Pdt/2017)”, Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah, Vol. 1 No. 2,
(Desember, 2020), hal. 18.
Penyelesaian terhadap harta kekayaan keluarga dalam proses perceraian
apabila ada harta yang diberikan kepada orang lain bisa dilakukan dengan cara
pembatalan perjanjian pengalihan atas harta kekayaan keluarga tersebut seperti
halnya pada kasus Ahmad membelikan rumah di kawasan real estate seharga
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk selingkuhannya yang bernama
Laila dengan menggunakan harta bersama dengan istrinya yang bernama Santi,
dalam membuat perjanjian pembelian rumah untuk Laila tersebut tanpa disertai
persetujuan dari Santi, maka karena perjanjian tersebut melanggar syarat
subjektif berupa tanpa adanya persetujuan dari Santi sehingga sepatutnya
perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh Albert selaku anak dari Ahmad dan
Santi melalui Notaris yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di


Indonesia,Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm 132

Bernadus Nagara, “Pembagian Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama


Setelah Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal
Lex Crimen, Vol. V No. 7, (September, 2016), hal. 52-53.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta,


1999, hal. 201.

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang


Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung 2008, hlm. 375

Hukum Zone, “Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”,


http://hukumzone.blogspot.com/2016/05/hibah-menurut-kitab-undang-undang-
hukum.html, Diaksestanggal 27 November 2022, Pukul 22.15 WIB

R Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1995, hlm.


94-95

Siti Nurhidayati, “Akibat Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Bagi Hasil


(Studi Putusan Nomor 873 PK/Pdt/2017)”, Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan
Al-Hikmah, Vol. 1 No. 2, (Desember, 2020), hal. 18.

Tulus Prijanto, “Tinjauan Dan Pandangan Hukum Terhadap Perkawinan


Yang Tidak Tercatat Pemerintah Serta Dampaknya Secara Ekonomi”, Jurnal
Edunomika, Vol. 05 No. 02, (2021), hal. 703.

Anda mungkin juga menyukai