Anda di halaman 1dari 37

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA HIBAH


YANG BERMASALAH

PROPOSAL TESIS

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Diseminarkan


Pada Program Magister Kenotariatan
Universitas Jambi

DIAN FEBRIANI
P2B220003

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
JAMBI
2022
A. Latar Belakang Masalah

Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain di mana

penghibah tersebut masih dalam kondisi masih hidup. Secara materil,

eksistensi hibah ada hubungannya dengan kewarisan. Hal ini secara jelas

ditegaskan dalam hukum positif di Indonesia seperti; Kompilasi Hukum Islam,

Hukum Adat dan KUHPerdata. Selain itu, adanya posibilitas pembatalan

hibah yang telah diberikan oleh seorang penghibah kepada yang menerima

hibah sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat

dan KUHPerdata. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada

Pasal 1666 menyatakan bahwa: ”Hibah adalah suatu persetujuan dimana si

penghibah diwaktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat

ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima

penyerahan itu”.

Enik Isnaini, mengemukakan:

Hibah adalah pernyataan kehendak seseorang mengenai apa yang akan


dilakukan terhadap hartanya setelah ia meninggal dunia kelak.
Pelaksanaan hibah ini baru dilakukan setelah pewaris meninggal dunia.
Didalam praktik pelaksanaannya, hibah harus memenuhi beberapa
persyaratan tertentu agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum waris dan tidak merugikaan para ahli waris lain yang
tidak memperoleh pemberian melalui hibah.1

Sedangkan RR. Sitti Shoviyah Cholil mengemukakan:

Hibah termasuk salah satu perbuatan hukum yang sudah lama dikenal
sebelum Islam, walaupun pada sebagian periode sejarah ia sempat
disalahgunakan untuk berbuat kezaliman. Islam dapat menerima

1
Enik Isnaini, Hukum Hibah Terhadap Anak Angkat Menurut Hukum Perdata, J urnal
ilmu Sosial dan Humaniora, http://journal.unisla.ac.id/pdf/116212014/Enik%20Isnaeni.pdf,
tanggal akses 15 Maret 2021.

1
2

perbuatan hukum berupa hibah yang sudah lama berjalan itu dengan
jalan memberikan koreksi dan perbaikan seperlunya.2

Lebih lanjut Ahmad Supandi Patampari, mengemukakan:

Hibah merupakan salah satu aspek yang diatur dalam sistem hukum
nasional, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun
dalam Kompilasi Hukum Islam. Sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan dalam kedua materi hukum tersebut, hibah merupakan
aspek yang diatur di dalamnya. Hibah merupakan suatu transaksi tanpa
mengharap imbalan dan dilakukan ketika pemberi hibah masih hidup
dan berlaku sejak yang bersangkutan menunaikan hibahnya.3

Penghibahan termasuk perjanjian sepihak, di mana hanya satu pihak

saja yang mempunyai kewajiban atas perjanjian itu, yaitu si penghibah,

sedangkan pihak yang menerima hibah sama sekali tidak mempunyai

kewajiban. Penghibahan termasuk perjanjian “dengan cuma-cuma’’ (om niet)

di mana perkataan itu ditunjukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak

saja, sedang pihak yang lainnya tidak perlu memberikan kontra-prestasi

sebagai imbalan. Perjanjian yang demikian juga dinamakan “sepihak”

(unirateral) sebagai lawan dari perjanjian “timbal balik” (biraeral).

Objek hibah salah satu nya yaitu benda tidak bergerak seperti tanah.

Obyek hibah adalah benda-benda atau barang–barang yang diperjanjikan

untuk diberikan atau diserahkan secara cuma-cuma di dalam perjanjian hibah.

Objek perjanjian hibah adalah segala macam harta benda milik penghibah,

2
RR. Sitti Shoviyah Cholil, Tinjauan Hukum Islam Tentang Hibah (Dalam Pasal 968
KUH Perdata), Skripsi, Jurusan Ahwal Al Syahsiyah Fakultas Syari'ah Iain Walisongo Semarang
2009, hlm. 1-2.
3
Ahmad Supandi Patampari, Pelaksanaan Hibah Dan Wasiat Dikalangan Masyarakat
Kabupaten Bone, Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. II | No.2., hlm. 262.
3

baik berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak,

termasuk juga segala macam piutang penghibah.4

Penghibahan itu dilakukan ketika si penghibah-hibah itu masih hidup,


dengan tujuan untuk menghindari konflik keluarga apabilai ia telah
meninggal dunia. Penghibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai
akibat dengan kekhawatiran si penghibah-hibah sebab ibu dari anak-
anaknya itu terdapat anak angkat yang mungkin disangkal
keanggotaannya sebagai ahli waris.5

Selain itu ada juga di antara sipenghibah hibah karena sangat

sayangnya kepada anak angkat dan kurangnya pemahaman kepada hukum

islam, sehingga ada sebagian orang tua yang menghibahkan seluruh harta

kekayaan kepada anak angkatnya. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171

huruf (g) dikatakan hibah adalah pemberian sesuatu benda secara sukarela

tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk

dimiliki. Selanjutnya menurut Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam pada ayat

(1) menyatakan bahwa orang yang telah berumur sekurang kurangnya 21

tahun, berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak

banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua

orang saksi untuk dimiliki. Selanjutnya pada ayat (2) menyatakan harta benda

yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

Dengan demikian apabila seseorang yang menghibahkan harta yang

bukan merupakan haknya, maka hibahnya menjadi batal. Berdasarkan

ketentuan di atas, dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat memberi atau

menerima suatu hibah, kecuali orang-orang yang dinyatakan tidak cakap untuk

4
http://digilib.unila.ac.id/14833/13/BAB%20II.pdf., tanggal akses 25 Maret 2021.
5
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Prenada Media
Group, Jakarta, 2008, hlm. 132.
4

itu. Selain itu, untuk kerelaan dalam melakukan perbuatan hukum tanpa

adanya paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada dalam

pelaksanaan hibah. Selanjutnya menurut Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam

menyatakan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan

sebagai warisan.

Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam menyatakan hibah tidak dapat

ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya. Kasus

pembatalan hibah merupakan kasus yang terjadi di masyarakat disebabkan

oleh pihak penerima hibah tidak memenuhi persyaratan dalam menjalankan

hibah yang telah diberikan. Menurut hukum, hibah yang sudah diberikan tidak

dapat ditarik kembali. Ketentuan mengenai hibah di Indonesia diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Adat dan Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (KUHPerd). Berdasarkan ketentuan tersebut, hibah

merupakan suatu solusi dalam pembagian warisan kepada keluarganya.

Dalam penulisan ini akan difokuskan pada kajian akta hibah yang

dibuat oleh notaris. Berkaitan dengan hal tersebut akan diuraikan beberapa

ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dapat dikemukakan sebagai

berikut:

Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan: “Setiap orang yang

mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya

sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu

peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.


5

Pasal 284 RBg jo Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) menyatakan, maka yang disebut bukti, yaitu:

a. Bukti Surat
b. Bukti Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah.

Untuk mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahan-bahan

mengenai fakta-fakta, dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu

akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya bukti. Di dalam

KUHPerdata mengenai alat bukti tulisan ini pengaturannya dapat dilihat dalam

Pasal 1867-1894, di mana Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan: “Pembuktian

dengan tulisan dilakukan dengen tulisan-tulisan otentik maupun dengan

tulisan-tulisan di bawah tangan”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu pengkajian lebih dalam

untuk membahas masalah kekuatan alat bukti surat, terutama mengenai

kekuatan pembuktian akta hibah yang dibuat oleh notaris, karena apabila

melihat ketentuan dalam buku IV KUHPerdata dan dalam Pasal 1874, 1874a,

1880.

Kegiatan Notaris diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan

yang berlaku, yang untuk sekarang dilandasi oleh Undang-undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat Undang-


6

Undang Jabatan Notaris) sebagai dasar hukumnya. Pengadaan Undang-undang

itu sendiri terlihat dalam konsideran menimbangnya yang berbunyi:

a. Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum


berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan.
b. Bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik
mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang
diselenggarakan melalui jabatan tertentu.
c. Bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan
profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu
mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya
kepastian hukum.
d. Bahwa jasa notaris dalam proses pembangunan makin meningkat
sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat.
e. Bahwa Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3)
yang mengatur mengenai jabatan notaris tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.
f. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e, perlu membentuk
Undang-undang tentang Jabatan Notaris.

Memilih profesi menjadi notaris dalam kehidupannya, yang pertama

perlu harus dipertahankan, dijaga dan dipelihara adalah integritas pribadinya,

agar martabat yang disandang dan dipercayakan kepadanya betul-betul

mengarah kepada sasaran yang digariskan, yaitu memberikan pelayanan jasa

dengan baik dan benar, dengan menjaga kepercayaan yang diberikan

masyarakat dan menjunjung tinggi kode etik jabatan notaris yang diembannya.

Liliana Tedjosaputro dalam Rahmad Hendra mengemukakan:

Profesi Notaris yang memerlukan suatu tanggung jawab baik


individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-norma
hukum positif dan kesediaan untuk tunduk pada kode etik profesi,
7

bahkan merupakan suatu hal yang wajib sehingga akan memperkuat


norma hukum positif yang sudah ada.6
.
Suatu hal yang tidak dapat diabaikan notaris dalam menjalankan

keahlian dan profesinya membuat akta-akta otentik, yang pertama berbentuk

akta relaas (akta verbal) yang menguraikan secara otentik sesuatu tindakan

yang dilakukan ataupun sesuatu keadaan yang dilihat, didengar ataupun

disaksikan langsung oleh notaris itu sendiri karena menjalankan jabatan selaku

pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, misalnya dalam

pembuatan akta berita acara rapat umum para pemegang saham dari suatu

Perseroan Terbatas, akta suatu Perseroan Terbatas yang ingin menjual

sahamnya (go public) pada masyarakat dan lainnya.

Selain itu, yang kedua dalam pembuatan akta otentik yang berbentuk

akta partij (akta para pihak) suatu akta notaris yang berisikan perihal dari apa

yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan para pihak lain dihadapan

notaris. Artinya, apa yang diterangkan atau diceritakan pihak lain sebagai isi

dari akta itu, seperti pada pembuatan akta meminjam uang di bank dengan

tanggungan hak atas tanah, akta pemberian surat kuasa dan lainnya. Dituntut

prilaku dan tanggung jawab notaris untuk selalu bersikap secara cermat, teliti

dan hati-hati setiap pembuatan produk hukum yang berbentuk akta-akta

otentik, baik akta verbal maupun akta partij.

Namun demikian, dalam kenyataannya tidak tertutup kemungkinan

masih ditemui permasalahan yang dihadapi notaris dalam menjalankan

6
Rahmad Hendra, Tanggungjawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Penghadapnya
Mempergunakan Identitas Palsu Di Kota Pekanbaru, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 1.
download.portalgaruda.org, tanggal akses 18 Maret 2021.
8

profesinya, terkadang tanpa disadari keterangan yang diberikan para

penghadap kepada notaris sebagai pejabat umum sering dilakukan sedemikian

rupa, sehingga notaris dengan segala keterbatasan yang ada, hanya menerima

saja apa yang ia dengar, saksikan dan alami dalam pembuatan akta-akta

otentik, yang belakangan hari menimbulkan berbagai kendala, baik yang

merugikan kepentingan pihak ketiga lainnya maupun dapat merusak citra

notaris yang bersangkutan, salah satu contohnya dalam pembuatan akta jual

beli sebidang tanah yang dilakukan oleh notaris, notaris tidak mengetahui

pemilik tanah yang sebenarnya, malah mengikuti saja kehendak pihak yang

meminta dibuatkan akta notaris. Akibat kesalahan tersebut, pihak ketiga atau

orang yang sebenarnya memiliki tanah menjadi dirugikan, akibat kerugian

pihak ketiga tersebut notaris wajib mempertanggung jawabkannya dihadapan

hukum. Mengenai pertanggungjawaban notaris terhadap perbuatan yang

dilakukan dalam rangkaian profesi sebagai seorang notaris, tidak diatur secara

jelas sebagaimana diatur dengan Undang-Undang Jabatan Notaris.

Penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris menunjukan bahwa

notaris hanya sekedar bertanggung jawab terhadap formalitas dari suatu akta

otentik dan tidak terhadap materi akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan

notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan semacam

nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada notaris yang

bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut maka notaris dapat

dipertanggungjawabkan atas kebenaran materiil suatu akta bila nasihat hukum

yang diberikannya ternyata dikemudian hari merupakan suatu yang keliru.


9

Melalui konstruksi penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut dapat

ditarik kesimpulan bahwa notaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas

kebenaran materiil suatu akta yang dibuatnya bila ternyata notaris tersebut

tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan

dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak merasa tertipu atas

ketidaktahuannya.

Ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh notaris, yaitu yang

berkaitan dengan perlindungan hukum notaris itu sendiri, dengan adanya

ketidak hati-hatian dan kesungguhan yang dilakukan notaris, sebenarnya

notaris telah membawa dirinya pada suatu perbuatan yang oleh undang-

undang harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang dilakukan

oleh notaris dapat dibuktikan, maka notaris dapat dikenakan sanksi berupa

ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Undang-Undang Jabatan Notaris, hanya mengatur tentang proses kerja

dan wilayah kerja notaris. Kalau mengkaji pertanggungjawaban notaris, akan

tetap mengacu pada ketentuan KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata

berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut: “Tiap perbuatan melawan

hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang

yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”. Perlindungan hukum di

bidang keperdataan menganut prinsip bahwa “barang siapa merugikan orang

lain, harus memberikan ganti rugi”.

Dalam ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris, tidak ditemukan

adanya ketentuan yang menjelaskan bentuk dan batasan atau kriteria hal yang
10

mencantumkan tanggung jawab notaris khususnya terhadap akta hibah yang

dibuat oleh notaris. Hal ini menurut penulis tidak sesuai dengan asas

ketertiban dan kepastian hukum.

Mengenai contoh kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Jambi

Nomor: 23/PDT.G/2020/PN-Jmb; yang berisi, bahwa: permasalahannya

dimana warisan dari alm. bapak Sutomo tersebut dihibahkan oleh istrinya

(tergugat 1) kepada tergugat 5 (cucu) yang merupakan anak dari tergugat 2

dimana istri bapak Sutomo yang merupakan tergugat 1 menghibahkannya

tanpa persetujuan dari kedua orang anaknya yang merupakan penggugat 1 dan

2 dimana tergugat 1pun mempunyai penyakit alzhelmer. Dimana tergugat 2

pernah memintai penggugat 2 untuk menandatangani sebuah kertas kosong

yang mana pengugat buru-buru ingin berangkat ke Bengkulu jadi ditanda

tanganilah kertas kosong tersebut. Tiba-tiba di dalam akta tersebut ada tanda

tangan Penggugat 2. Dimana yang dihibahkannya merupakan APHB dibuat di

depan PPAT Supriyanto Kang, SH, MM (tergugat VI) berdasarkan fakta

seharusnya tergugat 1 tidak bisa menghibahkan tanah dan rumah tersebut harus

dinyatakan batal demi hukum, selain itu tergugat 1 juga menderita sakit

alzheimer yang tidak cakap dalam melakukan tindakan hukum, dan tindakan

hukum yang dilakukan oleh tergugat 1 harus di bawah persetujuan anak-anak

tergugat 1.

Menurut penulis perbuatan hukum yang dilakukan Notaris tidaklah

salah, dikarenakan Notaris hanya tunduk pada Undang-Undang Jabatan


11

Notaris. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, Notaris dalam jabatannya berwenang

pula membuat akta hibah.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga tidak menjelaskan

kekuatan serta kedudukan akta hibah yang dibuat oleh notaris tersebut, namun

di dalam isi Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor: 23/PDT.G/2020/PN-

Jmb, bahwa akta hibah yang dibuat oleh notaris dijadikan alat bukti yang

kekuatan hukumnya sama dengan sertifikat hak milik, dan putusan

menyebutkan bahwa akta hibah yang dibuat oleh penggugat dinyatakan sah dan

berkekuatan hukum. Kekuatan alat bukti tersebut sama kuatnya dengan

Sertifikat Hak Milik, namun di dalam pembuatan surat tersebut perlu diteliti

kembali agar tidak bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata.

Berdasarkan uraian di atas timbul beberapa pertanyaan, bagaimanakah

pengaturan tanggung jawab notaris terhadap akta hibah yang dibuat oleh

notaris, bagaimanakah implikasi hukum tanggung jawab notaris terhadap akta

hibah yang bermasalah. Penulis menemukan beberapa permasalahan di

dalamnya, oleh karena itu penulis perlu melakukan penelitian dalam bentuk

proposal tesis dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta

Hibah Yang Bermasalah”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tanggung jawab notaris terhadap akta hibah yang

bermasalah yang dibuat oleh notaris?


12

2. Bagaimana implikasi hukum tanggung jawab notaris terhadap akta hibah

yang bermasalah yang dibuat oleh notaris?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tanggung jawab

notaris terhadap akta hibah yang bermasalah yang dibuat oleh notaris.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi hukum tanggung jawab

notaris terhadap akta hibah yang bermasalah yang dibuat oleh notaris.

2. Manfaat penelitian

a. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran kajian lebih lanjut dalam bidang hukum bisnis

dan khususnya dalam tanggung jawab notaris terhadap akta hibah

yang bermasalah.

b. Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang

melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut dalam tanggung jawab

notaris terhadap akta hibah yang bermasalah.

D. Kerangka Konseptual

Guna mengetahui dan memahami maksud dan untuk mempermudah

membahas permasalahan serta menghindari penafsiran yang berbeda maka di

jelaskan beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul proposal tesis ini

yaitu:
13

1. Tanggung Jawab

Yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah kesadaran manusia

akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak

disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan

kesadaran akan kewajibannya. Ridwan Halim mendefinisikan tanggung

jawab hukum sebagai:

Sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksaan peranan, baik peranan itu
merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum
tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk
melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu tidak
menyimpang dari peraturan yang telah ada.7

M. Luthfan Hadi Darus berpendapat bahwa:

Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk


hampir semua karakter risiko atau tanggungjawab yang pasti, yang
bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk
melaksanakan undang-undang. Dalam pengertian dan penggunaan
praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban
hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh
subjek hukum, prinsip tanggungjawab absolut identik dengan
prinsip tanggungjawab mutlak.8

Purbacaraka berpendapat bahwa:

Tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan


fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk
menggunakan hak atau/dan melaksanakan kewajibannya. Lebih
lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap
penggunaan hak baik yangn dilakukan secara tidak memadai
maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus

7
Ridwan Halim, Pengertian Tanggung Jawab Hukum Menurut Para Ahli,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37833/3/Chapter%20II.pdf, tanggal akses 21
Maret 2021.
8
M. Luthfan Hadi Darus, Hukum Notariat dan Tanggung Jawab Jabatan Notaris, UII
Press, Yogyakarta, 2017, hlm. 47.
14

disertai dengan pertanggungjawaban, demikian pula dengan


pelaksanaan kekuasaan.9

Dalam hukum keperdataan prinsip-prinsip tanggung jawab dapat

dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur


kesalahan (Liability based on fault) Di Indonesia diberlakukannya
prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan atas asas konkordasi
yang dituangkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata dikenal dengan
istilah Perbuatan Melawan Hukum (PMH), adapun unsur-unsur
PMH sebagai berikut:
a. Adanya unsur perbuatan melawan hukum dari tergugat, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya
b. Perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya
c. Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat
kesalahan tersebut.
2. Prinsip Tanggung jawab berdasarkan Praduga (Presumption of
Liability)
Prinsip tanggung jawab yang juga didasarkan atas adanya
kesalahan, tetapi dengan menekankan pada pembalikan beban
pembuktian (Shifting of the burden of proof kepada pihak
tergugat). Apabila prinsip ini ditarik pada tanggung
jawab korporasi, jika masyarakat merasa dirugikan oleh suatu
perusahaan, baik dari aktivitas korporasi ataupun karena
keberadaanya. Masyarakat bisa langsung menggugat dan pihak
perusahaan nantinya yang membuktikan bahwa kerugian yang
dialami masyarakat bukan karena kesalahan pihak korporasi yang
dimaksud.
3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liability atau Strict
Liability)
Lahirnya tanggung jawab mutlak ini “onrechmatige daad” yang
mengedepankan adanya unsur kesalahan dengan kata lain harus
ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar,
dalam fakta empiris tidak semua unsur kesalahan (fault) dapat
dibuktikan, bahkan ada yang tidak dapat dibuktikan sama sekali.
Merupakan bentuk pertanggungjawaban perdata yang tidak
memerlukan pembuktian unsur kesalahan (fault), sebagai unsur
utama dalam pertanggungjawaban perdata dalam hal terjadi fault
based (Perbuatan melawan hukum). Dengan istilah pembuktian
kausalitas dimana masyarakat yang merasa dirugikan tidak perlu
membuktikan kesalahan yang dilakukan, namun dibebani untuk

9
Purbacaraka, Kumpulan Pengertian Menurut Para Ahli, http://infodanpengertian.co.id,
tanggal akses 21 Maret 2021.
15

membuktikan kerugian yang dialaminya dikarenakan aktivitas


korporasi.10

2. Notaris

Yang dimaksud dengan istilah notaris sudah tidak asing lagi bagi

masyarakat pengusaha, pedagang dan kalangan perbankan, yang sering

diartikan dengan pejabat umum yang berhak membuat akta-akta otentik

bagi kepentingan orang-perorangan maupun kepentingan badan hukum,

seperti akta pembagian warisan, akta untuk mendirikan perusahaan, akta

jual beli rumah dengan tanahnya, akta untuk meminjam uang di bank dan

lain-lainnya.

Dalam kaitan dengan hal di atas, sebagai gambaran untuk

mengetahui pengertian dari notaris ini ada beberapa pendapat ahli sebagai

landasan teoritis yang dapat dijadikan pedoman, antara lain yang

dikemukakan oleh Bambang Marhijanto, bahwa:

Notaris adalah orang yang ditunjuk sebagai pejabat umum dan


diberi kuasa oleh Kementerian Kehakiman untuk mengesyahkan
dan menyaksikan berbagai surat perjanjian dan berbagai akta-akta
untuk keperluan bagi masyarakat, baik perorangan maupun dalam
bentuk badan usaha.11

Endang Purwaningsih mengemukakan:

Notaris sebagai Pejabat Umum merupakan profesional yang


keterangan-keterangannya seharusnya dapat dipercaya yang tanda
tangan serta segelnya dapat memberikan jaminan dan sebagai alat
bukti yang kuat, sekaligus sebagai pihak independen dalam
penyuluhan hukum yang tidak ada cacatnya. Pada Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN) dinyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang

10
http://repository.usu.ac.id, Chapter%20II.pdf, tanggal akses 21 Maret 2021.
11
Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer, Bintang Ilmu,
Surabaya, 2004, hlm. 430.
16

berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya


sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.12

Selanjutnya Putu Mas Maya Ramanti mengemukakan:

Dalam Pasal 1 ayat (1) UU perubahan atas UUJN menyatakan


bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk
membuat Akta Otentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan
undang-undang lainnya. Pengertian yang diberikan oleh UU
perubahan atas UUJN di sini melihat kepada tugas dan wewenang
yang dilakukan oleh seorang notaris yang artinya bahwa seorang
notaris tersebut mempunyai tugas sebagai seorang pejabat umum
juga memiliki wewenang mempunyai kewenangan untuk membuat
akta otentik dan juga memberikan konsultasi masalah hukum
kepada klien notaries tersebut serta kewenangan lainnya yang
diatur oleh UU perubahan atas UUJN.13

Sementara itu, R. Soegondo Notodisoerjo, menyebutkan pula

sebagai berikut:

Notaris diartikan sebagai pejabat umum yang secara khusus


merupakan satu-satunya diberi kekuasaan dan wewenang penuh
untuk membuat akta-akta otentik yang dibutuhkan oleh
masyarakat, baik untuk individu (perorangan) maupun untuk badan
hukum (perseroan komanditer, dagang) dan lain-lainnya.14

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang

Jabatan Notaris, ditentukan:

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta


autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang
lainnya.

Freddy Harris dan Leny Helena berpendapat bahwa:

12
Endang Purwaningsih, Penegakan Hukum Jabatan Notarisdalam Pembuatan Perjanjian
Berdasarkan Pancasila Dalam Rangka Kepastian Hukum, Diterbitkan pada Jurnal ADIL: Jurnal
Hukum FH YARSI Vol.2 No.3 Desember 2011, ISSN: 2086-6054, www.yarsi.ac.id
13
Putu Mas Maya Ramanti, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Minuta Yang
Dibuat Berdasarkan Keterangan Palsu, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas
Udayana, Artikel, E m a i l : m a y a r a m a n a t i @ g m a i l . c o m.
14
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notarial Di Indonesia Suatu Penjelasan, CV.
Rajawali, Jakarta, 2002, hlm.28.
17

Notaris merupakan pejabat yang memegang jabatan tertentu yang


menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada publik.
Eksistensi profesi notaris yang telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris makin diperluas
lagi melalui pendapat Majelis Hakim Konstitusi yang menyatakan
bahwa notaris merupakan profesi dan pejabat umum yang
melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah.15

Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa apa yang

dikemukakan oleh Bambang Marhijanto dan R. Soegondo Notodisoerjo

memberikan pengertian notaris secara makro (garis besarnya) saja, yang

tidak menerangkan secara rinci, disini notaris diartikan sebagai pejabat

umum yang berwenang membuat akta-akta otentik, baik bagi kepentingan

pribadi (secara perorangan) maupun bagi kepentingan badan usaha.

3. Hibah

Menurut Siah Khosyi’ah yang mengemukakan:

Hibah merupakan proses hukum perpindahan hak milik dari


seseorang kepada orang lain, dilakukan ketika orang yang
menghibahkan itu masih hidup dan bebas untuk dijual,
dipinjamkan atau dihadiahkan kembali kepada orang lain secara
cuma-cuma. Hibah biasanya diberikan kepada keluarga atau ahli
waris pada anak yang belum mampu berusaha sendiri sebagai
pemberian modal usaha karena tidak mampu.16

Penghibah atau pemberi hibah adalah pemilik sah barang yang

dihibahkan dan pada waktu pemberian ini dilakukan dalam keadaan sehat,

baik jasmani maupun rohaninya. Selain itu, pemberi hibah harus memenuhi

syarat sebagai orang yang telah dewasa serta cakap melakukan tindakan

hukum dan mempunyai harta atau barang yang dihibahkan. Pada dasarnya

15
Freddy Harris dan Leny Helena, Notaris Indonesia, Lintas Cetak Djaja, Jakarta, 2017,
hlm. 49.
Siah Khosyi’ah, Wakaf dan Hibah Dari perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya
16

di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm. 239-240.


18

pemberi hibah adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang cakap

melakukan perbuatan hukum.17

Penerima hibah adalah setiap orang, baik perorangan maupun

badan hukum serta layak untuk memiliki barang yang dihibahkan padanya,

penerima hibah disyaratkan sebagai orang yang cakap melalui tindakan

hukum. Kalau ia masih di bawah umur, diwakili oleh walinya atau

diserahkan kepada pengawasan walinya sampai pemilik hibah cakap

melakukan tindakan hukum. Selain itu penerima hibah dapat terdiri atas ahli

waris atau bukan ahli waris, baik orang Muslim maupun nonMuslim, yang

semuanya adalah sah hukumnya. 18

Berdasarkan kerangka konseptual di atas dapat dikemukakan bahwa

penelitian ini membahas mengenai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau

berprilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah

ada oleh orang yang ditunjuk sebagai pejabat umum dan diberi kuasa oleh

Kementerian Kehakiman untuk mengesyahkan dan menyaksikan berbagai

surat perjanjian dan berbagai akta-akta untuk keperluan bagi masyarakat, baik

perorangan maupun dalam bentuk badan usaha berupa dokumen/surat yang

bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris.

E. Landasan Teoretis

Sesuai dengan isu hukum yang telah dikemukakan dalam latar

belakang, maka landasan teori yang akan penulis gunakan sebagai pisau

analisis dalam penulisan proposal tesis ini adalah teori akta, teori pembuktian

17
HR. Diani, Tinjauan Umum Tentang Hibah Wasiat,
http://repository.unpas.ac.id/27412/3/BAB%20II.pdf, tanggal akses 21 Maret 2021.
18
Ibid.
19

dan teori bentuk tanggung jawab notaris. Teori-teori tersebut akan digunakan

untuk menjawab permasalahan yang ada pada ke dua rumusan masalah

tersebut. Adapun untuk menjawab permasalahan pertama pada subbab

perumusan masalah akan digunakan teori tentang akta dan teori tentang

bentuk tanggung jawab notaris sedangkan untuk menjawab permasalahan

kedua pada subbab perumusan masalah akan digunakan teori tentang

pembuktian dan teori tentang bentuk tanggung jawab notaris.

1. Teori tentang Akta

Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu Akte. Dalam

mengartikan akta ini ada dua pendapat yaitu. Pendapat pertama

mengartikan akta sebagai surat dan pendapat kedua mengartikan akta

sebagai perbuatan hukum. Beberapa sarjana yang menganut pendapat

pertama yang mengartikan akta sebagai surat antara lain Sudikno

Mertokusumo berpendapat, “akta adalah surat yang diberi tandatangan

yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau

perkataan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuatan”.19

Selanjutnya menurut pendapat Fokema Andrea dalam bukunya

Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, akte adalah:

a. Dalam arti terluas, akte adalah perbuatan, perbuatan hukum


(Recht handelling);
b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti suatu
perbuatan hukum; tulisan ditujukan kepada pembuktian
sesuatu; dapat dibedakan antara: surat otentik (autentieke) dan
di bawah tangan (onderhandse), surat lain biasa dan
sebagainya.20

19
Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit.
20
Saleh Adiwinata dkk, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, hlm. 25.
20

Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio, kata “acta” merupakan:

Bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa latin yang
mempunyai arti perbuatan-perbuatan. Selain pengertian akta
sebagai surat memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada
juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud
tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan.21

Pasal 108 KUHPerdata menyebutkan:

Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan atau


telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia
menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau
memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun atas beban,
melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan ijin terkulis
dari suaminya.

R. Subekti menyatakan kata “akta” pada Pasal 108 KUHPerdata

tersebut bukanlah “berarti surat atau tulisan melainkan “perbuatan

hukum”. yang berasal dari bahasa Prancis yaitu “acte” yang artinya adalah

perbuatan”.22

Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian mengenai akta

ini, maka yang dimaksud di sini sebagai akta adalah surat yang memang

sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.

2. Teori tentang Bentuk Tanggung Jawab Notaris

Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang

berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas

perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta

tersebut. Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran

materiil atas akta yang dibuatnya. Mengenai tanggung jawab notaris

21
R. Subekti dan Tirtosudibio, Kamus Hukum, Pradnya, Jakarta, 1980, hlm. 9.
22
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2006, hlm. 29.
21

selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil,

dibedakan menjadi empat poin, yakni:

1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran


materiil terhadap akta yang dibuatnya;
2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran
materiil dalam akta yang dibuatnya;
3. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris
(UUJN) terhadap kebenaran materiil dalam akta yang
dibuatnya;
4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
berdasarkan kode etik notaris.23

Konstruksi yuridis yang digunakan dalam tanggung jawab perdata

terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuat oleh notaris adalah

konstruksi perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata). Apa

yang disebut dengan perbuatan melawan hukum memiliki sifat aktif

maupun pasif. Aktif dalam artian melakukan suatu perbuatan yang

menimbulkan kerugian pada pihak lain, jadi sengaja melakukan gerakan,

maka dengan demikian perbuatan melawan hukum merupakan suatu

perbuatan yang aktif. Pasif dalam artian tidak melakukan suatu perbuatan

namun sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan kewajiban baginya

atau dengan tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Suatu yang

merupakan keharusan maka pihak lain dapat menderita suatu kerugian.

Unsur dari perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya suatu perbuatan

melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang

ditimbulkan.

23
Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika, UII
Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 34.
22

Profesi notaris dapat dilihat dalam perspektifnya secara integral.

Melalui perspektif terintegrasi ini maka profesi notaris merupakan profesi

yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi, masyarakat pada

umumnya dan Negara. Tindakan notaris akan berkaitan dengan elemen-

elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang keliru dari notaris

dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan merugikan notaris itu

sendiri namun dapat juga merugikan organisasi profesi, masyarakat dan

Negara.

Hubungan profesi notaris dengan masyarakat dan Negara telah

diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris berikut peraturan perundang-

undangan lainnya. Sementara hubungan profesi notaris dengan organisasi

profesi notaris diatur melalui kode etik notaris. Keberadaan kode etik

notaris merupakan konsekuensi logis untuk suatu pekerjaan disebut

sebagai profesi.

Tanggung jawab notaris harus mengikuti nilai profesi yang harus

ditaati oleh mereka, yaitu yang dijelaskan oleh Munir Fuady bahwa:

a. Kejujuran
b. Otentik
c. Bertanggung jawab
d. Kemandirian moral
e. Keberanian moral.24

Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa notaris sebagai

pejabat umum yang diberikan kepercayaan harus berpegang teguh tidak

24
Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
Notaris, Kurator, dan Pengurus), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 4.
23

hanya pada peraturan perundang-undangan semata namun juga pada kode

etik profesinya, karena tanpa adanya kode etik, harkat dan martabat dari

profesinya akan hilang.

Hubungan antara kode etik dengan Undang-undang Jabatan

Notaris terdapat dalam Pasal 4 mengenai sumpah jabatan. Notaris melalui

sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan

menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan,

martabat dan tanggung jawabnya sebagai notaris.

Undang-undang Jabatan Notaris dan kode etik notaris

menghendaki agar notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai

pejabat umum, selain harus tunduk pada Undang-undang Jabatan Notaris

juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggungjawab

terhadap masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris

Indonesia atau INI) maupun terhadap Negara. Menurut Abdulkadir

Muhammad, notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:

a. Notaris dituntut melakukan perbuatan akta dengan baik dan


benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak
hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan
karena jabatannya.
b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya
akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan
kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang
sebenarnya. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur akta
yang dibuatnya itu.
c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta
notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.25

25
Abdul Ghofur, Op. Cit., hlm. 49.
24

Pelanggaran terkait dengan kode etik notaris adalah perbuatan

atau tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan organisasi Ikatan

Notaris Indonesia maupun orang lain yang memangku dan menjalankan

jabatan notaris yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau disiplin

organisasi. Terkait dengan sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode

etik notaris atas pelanggaran kode etik didefinisikan sebagai suatu

hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa

ketaatan dan disiplin notaris. Sanksi dalam kode etik notaris dituangkan

dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap

anggota yang melanggaran kode etik dapat berupa teguran, peringatan,

schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan,

onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian

dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.

Dalam praktik sering pula notaris dijadikan atau didudukan

sebagai tergugat oleh pihak yang lainnya, yang merasa bahwa tindakan

hukum yang tersebut dalam akta dikategorikan sebagai tindakan atau

perbuatan hukum notaris atau notaris bersama-sama pihak yang lainnya

yang juga tersebut dalam akta.

Dalam kontruksi hukum kenotariatan, bahwa salah satu tugas

tanggung jawab notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan

penghadap/para penghadap kedalam bentuk akta otentik, dengan

memperhatikan aturan hukum yang berlaku”, hal ini sebagaimana tersebut

dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu


25

“…Notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang

dikehendaki dan dikemukan oleh para pihak yang menghadap notaris”

(Putusan Mahkamah Agung nomor: 702 K/Sip/1973, 5 September 1973)

tersebut26.

Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara

materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap dihadapan

notaris tersebut. Berdasarkan substansi atau makna Putusan Mahkamah

Agung tersebut, jika akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris

bermasalah oleh para pihak sendiri, maka hal tersebut menjadi urusan para

pihak sendiri, notaris tidak perlu dilibatkan, dan notaris bukan pihak dalam

akta. Jika dalam posisi kasus seperti ini, yaitu akta dipermasalahkan oleh

para pihak sendiri, dan akta tidak bermasalah dari aspek lahir, formal dan

materil, maka sangat bertentangan dengan kaidah hukum tersebut di atas,

dalam praktik pengadilan Indonesia.

F. Originalitas Penelitian

Penelitian hukum mengenai tanggung jawab notaris terhadap akta

hibah yang bermasalah pernah dilakukan sebelumnya. Karya ilmiah berupa

tesis, makalah yang memiliki memiripan kajian, yaitu:

1. Yogi Emon Saputra dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap

Akta Di Bawah Tangan Yang Telah Di-Waarmarking, dengan abstraknya

sebagai berikut:

26
Habieb Adjie, Hukum Notaris Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 21.
26

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis

tanggungjawab Notaris atas kebenaran akta di bawah tangan yang

diwaarmarkingnya dan untuk mengetahui dan menganalisis dalam hal ada

akta di bawah tangan yang diwaarmarking oleh notaris, akibat hukumnya

dalam pembuktian di pengadilan. Metode penelitian yang digunakan

adalah metode penelitian hukum normatif dan pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan perundang-undangan (normative approach) dan

pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil pembahasan

mengemukakan bahwa tanggungjawab Notaris atas kebenaran akta di

bawah tangan yang diwaarmarking adalah mengenai kepastian mengenai

tanggal diajukannya perjanjian tersebut sedangkan mengenai tanda tangan

artinya pasti bahwa yang tanda tangan itu memang pihak dalam perjanjian,

bukan orang lain. Akibat hukum dalam pembuktian di pengadilan dalam

hal ada akta di bawah tangan yang dilegalisasi oleh notaris adalah tidak

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena terletak pada

tandatangan para pihak yang jika diakui, merupakan bukti sempurna

seperti akta otentik.

2. Rahmad Hendra, dengan judul “Tanggungjawab Notaris Terhadap Akta

Otentik Yang Penghadapnya Mempergunakan Identitas Palsu Di Kota

Pekanbaru” dengan abstraknya sebagai berikut:

Notaris adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga para

penegak hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas,

sehingga profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium


27

nobile). Banyaknya notaris membuat persaingan antar notaris semakin

ketat dan terkadang membuat notaris kurang berhati-hati dalam

menjalankan profesinya. Makalah ini menyimpulkan bahwa Notaris

bertanggungjawab atas apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar

dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam

menjalankan jabatannya. Notaris tidak bertanggung jawab jika ada

keterangan dan dokumen yang tidak benar dari penghadap.

3. Putu Mas Maya Ramanti, dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Dalam

Pembuatan Minuta Yang Dibuat Berdasarkan Keterangan Palsu” dengan

kesimpulannya sebagai berikut:

1. Pengaturan hukum tentang pembuatan minuta akta notaris dalam

perundang-undangan di Indonesia dimana Pasal 66 ayat (1) huruf a

UU perubahan atas UUJN dan Pasal 8 ayat (1) Permenkumham

Nomor M.03.HT.03.10 tahun 2007 terjadi konflik norma pada pasal

tersebut di atas.

2. Akibat hukum dari minuta akta yang dibuat berdasarkan keterangan

palsu oleh para pihak yaitu dapat dilakukan pembatalan terhadap

minuta akta tersebut dengan mengajukan gugatan untuk menuntut

pembatalan akta ke pengadilan agar akta tersebut dibatalkan.

G. Metode Penelitian

Guna mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini,

maka cara yang ditempuh adalah dengan metode sebagai berikut.


28

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Berkaitan

dengan penelitian hukum normatif, Bahder Johan Nasution menjelaskan

sebagai berikut:

Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam


melakukan pengkajian hukum adalah:
(a) Sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta
sosial, karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang
dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang
bersifat normatif. Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari:
• Bahan Hukum Primer:
- Peraturan Perundang-undangan;
- Yurisprudensi;
- Traktat, convensi yang sudah diratifikasi;
- Perjanjian-perjanjian keperdataan para pihak;
- Dan sebagainya.
• Bahan Hukum Sekunder:
- Buku-buku ilmu hukum;
- Jurnal ilmu hukum;
- Laporan penelitian hukum;
- Artikel ilmiah hukum; dan
- Bahan seminar, lokakarya, dan sebagainya.
(b) Pendekatannya Yuridis Normatif
Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif,
kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan
dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum
normatif tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal
hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau
untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum
tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-
langkah yang ditempuh adalah langkah normatif.27

Penelitian hukum normatif adalah penelitian kepustakaan yang

meneliti bahan pustaka atau data sekunder dan data primer dengan

mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis berupa buku-buku, artikel,

koran dan majalah dengan membaca, menafsirkan, membandingkan serta

27
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008,
hlm. 86-88.
29

menerjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan dengan tanggung

jawab notaris terhadap akta hibah yang bermasalah.

2. Pendekatan Penelitian

Peter Mahmud Marzuki menyatakan ada lima pendekatan dalam

penelitian hukum, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach),

pendekatan kasus (case law approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan

pendekatan konseptual (conceptual approach).28

Dilihat dari kajian hukum yang diangkat dari penelitian ini, yaitu

mengenai tanggung jawab notaris terhadap akta hibah yang bermasalah,

maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang saling

berkaitan dengan isu hukum yang diteliti.

Sesuai dengan rumusan masalah sebagai obyek penelitian yang

dibahas dan yang akan dijawab, maka pendekatan penelitian yang

digunakan dalam penulisan tesis ini adalah:

a) Pendekatan undang-undang (statuta aproach).

Menurut Bahder Johan Nasution, “Pendekatan undang-undang

atau statuta aproach dan sebagian ilmuwan hukum menyebutnya

28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 93.
30

dengan pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk

hukum”.29

b) Pendekatan Konsep (conceptual approach)

Menurut Bahder Johan Nasution:

Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep


hukum seperti; sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum,
dan sebagainya. Konsep hukum ini berada pada tiga ranah atau
tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri yaitu: tataran
hukum dogmatik konsep hukumnya teknis yuridis, tataran teori
hukum konsep hukumnya konsep umum, tataran filsafat hukum
konsep hukumnya konsep dasar.30

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif,

maka penelitian ini lebih difokuskan pada penelitian kepustakaan untuk

mengkaji bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian ini.

Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian kepustakaan ini

antara lain adalah:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang dijadikan dasar

dalam menyusun penulisan proposal tesis yang diambil dari kepustakaan,

di antaranya:

1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris

29
Bahder Johan Nasution, Op. Cit., hlm. 92.
30
Ibid.,
31

2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

3) Kode Etik Notaris.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, di antaranya: Diperoleh dengan

mempelajari buku-buku, majalah, hasil penelitian, laporan kertas kerja dan

lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang akan digunakan penulis

dalam mendukung bahan hukum sekunder, yakni:

1) Kamus Hukum

2) Kamus Besar Bahasa Indonesia

4. Analisis Bahan Hukum

Dalam penulisan proposal tesis ini penulis menggunakan analisa

hukum yaitu pengkajian terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder dengan menggunakan analisis bahan

hukum yang dilakukan dengan beberapa cara antara lain yaitu:

a. Menginventarisasi semua aturan-aturan dan norma-norma yang sudah

diidentifikasi berkaitan dengan permasalahan yang penulis teliti, yaitu

berhubungan dengan tanggung jawab notaris terhadap akta hibah yang

bermasalah.

b. Mensistematisasi bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan

masalah yang dibahas untuk memaparkan isi dan struktur atau


32

hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum. Dalam kegiatan

sistematisasi ini, dilakukan analisis korelasi antara aturan-aturan hukum

yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik.

c. Menginterpretasi semua peraturan perundang-undangan ssuai dngan

masalah yang dibahas dengan menghimpun dan mengelola tatanan

aturan yang ada, yang di dalamnya berlangsung interpretasi,

pembentukan dan penjabaran pengertian-pengertian dalam hukum dari

solusi masalah dapat dirancang dan ditawarkan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan tesis ini terdiri atas 5 (lima) bab. Dari bab-bab

tersebut dirinci menjadi beberapa sub bab dan dari sub-sub bab dirinci lagi

menjadi bagian-bagian terkecil. Guna mengetahui isi tesis ini perlulah

diperhatikan sistematika penulisan di bawah ini.

Bab I. Pendahuluan. Dalam bab ini terdiri atas 7 (tujuh) sub bab, yaitu

latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka konseptual, landasan teoretis, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab II. Tinjauan tentang Profesi Notaris dan Akta. Dalam bab ini

terdiri dari 12 (dua belas) sub bab, yaitu pengertian notaris, fungsi dan

wewenang notaris, kewajiban dan larangan terhadap notaris, pengangkatan

dan pemberhentian notaries, kode etik notaris, pengertian akta, jenis-jenis

akta, fungsi akta dan jenis alat bukti, serta kekuatan pembuktian akta. Bab ini

merupakan kerangka teori bagi bab selanjutnya.


33

Bab III. Pembahasan. Bab ini merupakan pembahasan yang khusus

mengkaji permasalahan yang terdapat pada bab pertama sub perumusan

masalah pertama dengan menggunakan teori-teori yang ada pada bab kedua.

Bab ketiga pembahasan mengenai pengaturan tanggung jawab notaris

terhadap akta hibah yang bermasalah yang dibuat oleh notaris.

Bab IV. Pembahasan. Merupakan pembahasan mengenai implikasi

hukum tanggung jawab notaris terhadap akta hibah yang bermasalah yang di

dibuat oleh notaris. Bab ini merupakan pembahasan yang khusus mengkaji

permasalahan kedua yang terdapat pada bab pertama dengan menggunakan

teori-teori yang ada pada bab kedua guna mendapatkan atau memperoleh

kesimpulan pada bab kelima.

Bab V. Penutup. Dalam bab ini terdiri atas 2 (dua) sub bab, yaitu

kesimpulan dari uraian-uraian pada bab pembahasan dan saran yang ada

kaitannya dalam penulisan ini.


34

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Ghofur. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan


Etika. UII Press, Yogyakarta, 2009.

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Prenada


Media Group, Jakarta, 2008.

Achmad Ali dan Wiwie Heryani. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata.


Kencana, Jakarta, 2012.

Bahder Johan Nasution. Metode Penelitian Hukum. CV. Mandar Maju,


Bandung, 2008.

Habieb Adjie. Hukum Notaris Indonesia. PT. Refika Aditama, Bandung,


2009.

............. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Refika Aditama, Bandung,


2013.

H. Zainal Asikin. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Kencana, Jakarta,


2015.

Moh. Taufik Makarao. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Rineka Cipta,


Jakarta, 2009.

Munir Fuady. Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus). PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana, Jakarta, 2008.

R. Subekti. Hukum Pembuktian. cet. 13, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

............ Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2006.

R. Soegondo Notodisoerjo. Hukum Notarial Di Indonesia Suatu Penjelasan.


CV. Rajawali, Jakarta, 2002.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata


dalam Teori dan Praktek. Mandar Maju, Bandung, 2009.
35

Soedharyo Soimin. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sinar Grafika,


Jakarta, 2008.

Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. ed. 5, cet. 2,


Liberty, Yogyakarta, 1999.

Tolib Setiady. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan).


Alfabeta, Bandung, 2013.

B. Jurnal/Karya Ilmiah

Ahmad Supandi Patampari, Pelaksanaan Hibah Dan Wasiat Dikalangan


Masyarakat Kabupaten Bone, Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. II |
No.2.

Endang Purwaningsih, Penegakan Hukum Jabatan Notarisdalam Pembuatan


Perjanjian Berdasarkan Pancasila Dalam Rangka Kepastian Hukum,
Diterbitkan pada Jurnal ADIL: Jurnal Hukum FH YARSI Vol.2 No.3
Desember 2011, ISSN: 2086-6054/

Putu Mas Maya Ramanti, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Minuta
Yang Dibuat Berdasarkan Keterangan Palsu, Mahasiswa Program
Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Artikel, E m a i l : m a y a
r a m a n a t i @ g m a i l . c o m.

Rahmad Hendra, Tanggungjawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang


Penghadapnya Mempergunakan Identitas Palsu Di Kota Pekanbaru,
Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 1. download.portalgaruda.org.

C. Kamus

Bambang Marhijanto. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer. Bintang


Ilmu, Surabaya, 2004.

R. Subekti dan Tirtosudibio. Kamus Hukum. Pradnya, Jakarta, 1980.

Saleh Adiwinata dkk. Kamus Istilah Hukum. Bina Cipta, Bandung, 1983.

Purwadarminta, S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta,


1985.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-Empat, Depdiknas,


Jakarta, 2008.
36

C. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana


diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.

D. Website

Enik Isnaini, Hukum Hibah Terhadap Anak Angkat Menurut Hukum Perdata,
J urnal ilmu Sosial dan Humaniora,
http://journal.unisla.ac.id/pdf/116212014/Enik%20Isnaeni.pdf, tanggal
akses 17 Maret 2021.

Purbacaraka, Kumpulan Pengertian Menurut Para Ahli,


http://infodanpengertian.co.idtanggal akses 17 Maret 2021.

Ridwan Halim, Pengertian Tanggung Jawab Hukum Menurut Para Ahli,


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37833/3/Chapter%20II
.pdf, tanggal akses 17 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai