Anda di halaman 1dari 4

A.

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Hibah adalah suatu pemberian oleh seseorang yang masih hidup kepada orang
lain secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang bergerak maupun
barang tidak bergerak. Berbeda dengan harta warisan, biasanya hibah dapat dilakukan
tanpa adanya ikatan pernikahan atau hubungan darah. Itulah mengapa hibah sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam urusan sosial, kenegaraan,
pendidikan, agama, dan lain sebagainya.
Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah
menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali,
untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang
hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Unsur-unsur hibah adalah Pemberi hibah : Orang dan atau badan hukum ;
Objek hibah ; Pemberiannya dengan sukarela oleh pemberi hibah untuk dimiliki oleh
penerima hibah tanpa memberi imbalan, Penerima Hibah : Orang dan atau badan
hukum
Menurut Kompiasi Hukum Islam, Hibah adalah “pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki.” (Psl.171. huruf g). Secara garis pokok, tidak ada
perbedaan pengertian hibah menurut KHI dengan pengetian hibah menurut fiqh
dan UU No.3 tahun 2006.

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat dikemukakan rumusan
masalah sebagai berikut:
 Apakah sah jika aset hanya dihibahkan kepada satu orang
anak? Berapa Persenan yang akan mereka dapat?
 Apakah aset dapat dihibahkan kepada keponakan dan bukan
keluarga inti? Bagaimana cara menghitung pajak hibah?
 Aset berupa sertipikat, mengatasnamakan 2 orang, bagaimana
prosedur menghibahkannya?
 Apakah seorang istri juga dapat bagian dalam aset hibah?
C. Pembahasan dan Hasil Penelitian
 Besarnya bagian mutlak (legitime portie) bagi anak-anak sah menurut Pasal 914
KUHPerdata yaitu :
A. Kalau hanya seorang anak sah saja, besarnya 1/2 dari bagian jika ia
mewaris tanpa wasiat.
B. Kalau hanya 2 orang anak sah saja, besarnya 2/3 dari bagian jika ia
mewaris tanpa wasiat.
C. Kalau 3 orang atau lebih anak sah ,besarnya 3/4 dari bagian jika ia
mewaris tanpa wasiat (Pasal 914 KUH Perdata)
Baik Kompilasi Hukum Islam maupun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
sebenarnya tidak diatur mengenai pemberian hibah yang diberikan kepada salah
satu anak saja. Namun apabila hibah tersebut diketahui melebihi batas maksimal
pemberian hibah yang diatur dalam Pasal 210 KHI, maka dapat menimbulkan
sengketa di dalam keluarga. Karena seperti yang kita ketahui dalam Pasal 211
KHI ditegaskan bahwa Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
sebagai warisan, sehingga apabila hibah tersebut diberikan lebih dari batas
maksimal yang ditentukan dalam KHI maka akan menyinggung harta waris para
ahli waris dan dapat menimbulkan sengketa di dalam keluarga.
Berkaitan dengan proses hibah, ada sejumlah ketentuan yang mengatur
bahwasanya harta hibah dapat dikenakan pajak. Pajak hibah adalah pajak yang
dikeluarkan oleh si penerima hibah (pajak penghasilan) lantaran menerima harta,
bantuan, ataupun sumbangan dari si pemberi hibah. Namun lima pihak berikut ini
menurut PMK No. 245/PMK.03/2008 dikecualikan sebagai objek Pajak
Penghasilan alias tidak dikenakan pajak hibah, jika penerimanya adalah:

1. Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat


2. Badan keagamaan
3. Badan pendidikan
4. Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi
5. Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil

 Pada dasarnya, hibah merupakan pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya
secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang bergerak maupun
barang tidak bergerak pada saat pemberi hibah tersebut masih hidup (Pasal 1666
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Jadi, hibah tidak melulu harus kepada
keluarga inti, hibah bersifat umum, dan dapat ke siapa saja, asalkan memenuhi syarat.

Adapun syarat-syarat sahnya pemberian hibah, antara lain:


 Penerima hibah sudah dewasa dan cakap melakukan tindakan hukum;
 Pemberi hibah memiliki harta atau barang yang sudah ada untuk dihibahkan;
 Pemberi hibah dan penerima hibah bukan merupakan suami-istri dalam suatu
perkawinan;

Demikian pula jika yang digunakan adalah hukum waris Islam, maka harus
mendapat persetujuan dari orang-orang yang berhak mewaris berdasarkan hukum waris
Islam. Karena hal ini akan mengurangi hak warisan mereka. Berdasarkan hukum waris
Islam, hibah maksimal adalah 1/3 dari total harta.

Tidak sembarang hibah yang dapat memperoleh SKB (Surat Keterangan bebas
Pajak) PPhTB. Dalam ketentuan perpajakan, yang dimaksud dengan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu dan anak. Pengertian ini
terdapat dalam penjelasan Pasal 18 ayat 4 huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan
Nomor 36 Tahun 2008. Maka, jika terjadi hibah kepada selain pihak tersebut, tidak dapat
diberikan pembebasan PPh untuk bagian orang tersebut. Penerima hibah harus melunasi
pembayaran pajak penerimaan tanah dan bangunan (BPHTB), dengan rumus:

NJOP-NJOPTKP x 5%
NJOP = Nilai Jual Objek Pajak
NJOPTKP  Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak

Contoh : Mr.A merupakan kakak dari Mr. B, Mr. A ingin mewarisi rumah kepada
adiknya yaitu Mr. B, karena hubungan keduanya sedarah namun bersifat horizontal
maka pemberian hibah akan dikenakan pajak.
NJOP pada rumah yang diberikan senilai Rp200.000.000, sedangkan nilai NPOPTKP-
nya adalah Rp60.000.000.

Jumlah pajak yang akan dikenakan kepada Mr. B adalah:

Pajak = (NJOP – NPOPTKP) x 5%

Pajak = (Rp200.000.000 – Rp60.000.000) x 5% = Rp7.000.000

 Dapat disimpulkan bahwa baik pembuatan akta hibah maupun pemecahan


sertifikat tanah dapat dilakukan terlebih dahulu, tidak terdapat keharusan maupun
larangan untuk mendahulukan salah satunya.

Namun, berdasarkan Pasal 48 ayat (1) PP 24/1997, akan lebih baik apabila
sertifikat hak milik yang dimiliki oleh pemilik kedua rumah tersebut dipecahkan terlebih
dahulu lalu melakukan hibah dan pembuatan akta hibah di hadapan notaris yang bertujuan
untuk mempermudah dan mempercepat proses peralihan hak, serta untuk mempermudah
urusan penerima hibah jika nantinya akan melakukan balik nama sertifikat tersebut
menjadi atas nama penerima hibah.

 Dalam pasal 1678 KUH Perdata menyebutkan adanya larangan hibah antara suami istri
selama dalam perkawinan. Adanya larangan tersebut disebabkan dalam sistem BW menganut
percampuran kekayaan, ketika dilangsungkannya perkawinan maka harta baik suami maupun
istri menjadi satu.

Sementara dalam Hukum Islam tidak melarang adanya hibah antara suami istri, karena
mereka tetap menjadi pemilik atas hartanya masing-masing. Apabila terdapat penyatuan atau
pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan, maka hal itu dapat dituangkan dalam perjanjian
perkawinan. Hukum Islam memperbolehkan adanya perjanjian selama tidak bertentangan
dengan hukum Islam.

D. KESIMPULAN

Hukum hibah secara lisan menurut Hukum KUHPerdata dan Hukum Islam
a. Hukum KUHPerdata
Hukum hibah secara lisan menurut hukum perdata meliputi barang bergerak,
penghibahkan benda yang bergerak yang berbentuk atau surat penghibahan
atas tunjuk (aan toonder) tidak diperlukan suatu formalitas dan dapat dilakukan
dengan secara sah. Dengan penyerahan barangnya begitu saja kepada si penerima
hibah kepada pihak ketiga yang menerima pemberian hibah atas namanya. Sedangkan
hibah secara lisan menurut hukum perdata tidak memenuhi syarat untuk proses
penghibahan secara KUHPerdata untuk benda yang tidak bergerak, sebab didalam
hibah secara lisan tidak menggunakan akta Notaris.

b. Hukum Islam
Hukum hibah dalam Islam yaitu sunah dan diutamakan menghibah sesuatu kepada
keluarga dimaksudkan agar orang yang diberi, dapat memanfaatkannya. Pemberian
dengan maksud untuk menghormati atau memulyakan seseorang dan untuk mendapat
pahala dari Allah karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya. hibah secara
lisan memenuhi syarat untuk proses penghibahan secara hukum perdata.

Perbedaan Hibah Secara Lisan Menurut KUH Perdata dan Hukum Islam

a. Hibah yang diatur dalam hukum-hukum perdata pada dasarnya bersumber dari code
civil Perancis, Sedangkan hibah yang diatur dalam hukum Islam berasal dari Alquran
dan Hadis Nabi saw.
b. Dalam KUHPerdata hibah secara lisan untuk barang yang bergerak dianggap sah
dan untuk barang yang tidak bergerak tidak sah, sedangkan dalam hokum islam hibah
secara lisan dianggap sah untuk barang
yang bergerak dan tidak bergerak.
c. Hukum Perdata tidak membenarkan adanya hibah antara suami isteri (Pasal 1687
KUHP), sedangkan hukum Islam tidak ada larangan, dalam arti
membolehkan adanya hibah antara suami isteri.
d. Hukum Perdata membenarkan adanya hibah bagi anak yang masih dalam
kandungan (Pasal 2 KUH Perdata), sedangkan ukum Islam tidak
membenarkann
 

Anda mungkin juga menyukai