DISUSUN OLEH :
MARIANI IDRUS
AMBON 2019
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG........................................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................. 6
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas masyarakat Indonesia adalah
hukum yang telah hidup di dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran
dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan hukum dan merupakan bahan dan
untuk dipelajari oleh para cendikiawan hukum di seluruh dunia. Karena dari
yang cukup pesat. Selain mengacu kepada Al-Qur’an, Al’Hadist dan Ijtihad
Hukum Islam yang lahir dari proses perancangannya berdasarkan Surat Keputusan
para Alim Ulama Indonesia melalui Lokakarya di Jakarta tanggal 2-5 Februari
1
1988 dan disosoalisasikan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan
Buku III tentang Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf.1
dihadapi oleh Umat Islam di Indonesia adalah menyangkut masalah hibah antara
orang tua dengan anaknya. Masalah yang muncul dari hibah orang tua kepada
anaknya adalah antara lain dikarenakan pemberian hibah dari orang tua kepada
anaknya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada dasarnya orang tua
alasan tertentu.
Hibah berbeda dengan waris. Perbedaan antara hibah dan waris dapat
dilihat pada syaratnya. Salah satu syarat dalam hukum waris untuk adanya proses
harta kekayaan. Sedangkan hibah, seseorang pemberi hibah itu masih hidup pada
Kompilasi Hukum Islam pada bagian Bab VI Buku II tentang Hukum Waris.
bahwa:
Dikatakan hibah adalah pemberian sesuatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorangkepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
1
Abdul Shomad, Hukum Islam, Penorman Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal 8
2
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Armico, Bandung, 2014, hal 73
2
Selanjutnya Menurut Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
bahwa :
dapat dikatakan bahwa setiap orang boleh memberi atau menerima hibah, kecuali
orang-orang yang dinyatakan tidak cakap untuk itu. Selain itu, unsur kerelaan
dalam melakukan perbuatan hukum tanpa adanya paksaan dari pihak lain
Hibah dari orang tua dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sehubungan fungsi
hibah sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa
memandang ras, agama dan golongan, maka hibah dapat dijadikan sebagai solusi
untuk memecahkan masalah hukum waris dewasa ini. Pasal 212 Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan bahwa Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali
hibah dari orang tua kepada anaknya. Kasus pembatalan hibah merupakan kasus
yang sering terjadi dikarenakan pihak penerima hibah tidak memenuhi persyaratan
dalam menjalankan hibah yang telah diberikan. Menurut hukum, hibah yang
sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali, akan tetapi terdapat beberapa
3
Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain
pemberian tersebut tidak pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima
pemberian itu, oleh karena pada dasarnya seseorang pemilik harta kekayaan
berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada siapa pun.
seluruh dari harta kekayaan seseorang kepada orang lain sewaktu masih hidup dan
pemberian hibah kepada penerima hibah sudah berlangsung seketika itu juga.
Perbedaan yang menyolok antara peralihan hak milik atas harta kekayaan dengan
menggunakan sarana hukum hibah dengan sarana hukum lain seperti jual beli dan
tukar menukar, bahwa dalam hibah tidak ada unsur kontra prestasi.
Dalam hukum waris Islam terdapat dalam Al-Qur’an, hadis Rasulullah saw
dan Ijtihad, yang mengartikan bahwa hibah ialah pemberian dari seseorang kepada
orang lain.3 Dewasa ini telah berkembang pengertian hibah adalah pemberian dari
satu negara kepada negara lainnya. Bahkan dapat pula diartikan suatu pemberian
dari suatu badan hukum kepada badan hukum lainnya. Dengan demikian, dapat
ditarik kesimpulan baik menurut hukum Islam, maupun hukum Adat di Indonesia,
hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari
pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara cuma-cuma. Eman
3
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 116
4
Suparman mengartikan Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh
harus terang dan tunai, tidaklah benar perbuatan hibah itu berlaku terhadap orang
sebagai hibah antara seseorang dengan anak sendiri atau juga dengan orang lain
karena sesuatu balas jasa tidak boleh ditarik kembali. Oleh karenanya pada suatu
masyarakat adat tertentu jika akan memberikan sesuatu kepada seseorang haruslah
kemudian hari.
Dalam prakteknya, banyak hibah yang dapat ditarik oleh pemberi hibah
Menurut penulis disini bahwa penarikan hibah ini menjadi salah satu hal
persoalan hibah yang terjadi. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis
“Penarikan kembali hibah dari Orang Tua kepada Anaknya yang telah meningal
4
Eman Suparman,Intisari Hukum Waris Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung,
1995, hal 85.
5
B. Rumusan Masalah
terhadap anak yang telah meninggal dunia menurut Kompilasi Hukum Islam?
6
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba, yang
berarti pemberian.5 Sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok
persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu ia masih hidup tanpa
imbalan.6 Hibah menurut Hazairin, pengeluaran harta semasa hidup atas dasar
kasih saying untuk kepentingan seseorang atau kepentingan suatu badan, sosial,
keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang sekiranya berhak menjadi ahli
berbeda, akan tetapi pada intinya sama, yaitu hibah merupakan pemberian sesuatu
maksudnya adalah usaha penyerahan sesuatu kepada orang lain dan usaha-usaha
dibatasi oleh sifat yang menjelaskan hakekat hibah itu sendiri. Kemudian kata
harta hak milik berarti bahwa yang diserahkan adalah materi dari harta tersebut.
Kata "di waktu masih hidup", mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak
milik itu berlaku semasa hidup. Jadi bila beralih berarti yang berhak sudah mati,
5
Ahmad Warson munawir Al-Munawir, Kamus Arab Indonesia, Al-Munawir, Pondok
Pesantren, Yogyakarta, 1992, hal 1692
6
Sayyid Sabiq, sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Waris
Dalam Lingkungan Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1995, hal 156
7
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1982, hal 72.
7
maka disebut wasiat, tanpa imbalan, berarti itu semata-mata kehendak sepihak
perkataan dengan cuma-cuma itu ditunjukkan adanya prestis dari satu pihak saja,
lazimnya bahwa orang yang menyanggupi untuk melakukan suatu prestasi karena
batal.9 Dalam hal ini hibah berbeda dengan perjanjian jual beli, jika dalam jual
beli penjual daging babi melindungi pihak pembeli, maka dalam penghibahan
penghibah tidak harus melindungi penerima hibah, apabila ternyata barang yang
dihibahkan bukan milik yang sebenarnya dari penghibah maka penghibah tidak
cuma-cuma yang penerima hibah tidak akan dirugikan dengan pembatalan suatu
8
Amir Syarifudin, Op, Cit., hal 252.
9
Pasal 167 KUHPerdata.
8
penghibahan atau barang yang ternyata bukan milik yang sebenarnya. Dalam
a. Penghibahan formal (formate schenking) yaitu hibah dalam arti kata yang
disebutkan pada Pasal 1666 KUH Perdata saja, di mana pemberian misalnya
syarat cuma-cuma.
termasuk pemberian, tetapi menurut pengertian yang luas hal di atas dapat
suatu perjanjian dan berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa : "semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya". Perjanjian hibah ini tidak ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak dan karena alasan yang oleh undang-undang
dengan surat wasiat. Hukum Islam membenarkan kedua cara penyerahan ini,
10
Subekti, Aneka Perjanjian. PT Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 5
9
penyerahan dengan surat wasiat terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan
semua harta miliknya ketika seseorang masih hidup, tetapi hanyalah sepertiga dari
Istilah inggris “gift” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan Islam
defenisi yang sangat umum dan meliputi perbuatan beri-memberi yang luas.
Sedangkan Hibah mempunyai arti yang terbatas dan mempunyai arti hukum yang
jelas perumusannya. Hibah adalah penyerahan sejumlah harta yang langsung dan
defenisi hibah sebagai “pemindahan hak atas harta miliki itu sendiri (in the
balasan (‘iwadl), menjadikan seseorang pemilik atas barangnya (harta milik) itu
perbuatan hukum itu dikenal baik di dalam masyarakat hukum adat, hukum Islam
Hibah itu sendiri harus ada suatu persetujuan. Dilakukan sewaktu pemberi hibah
masih hidup dan harus diberikan secara Cuma-Cuma. Hal ini diatur dalam
11
Asaf A.A. Fyzee, Pokok-Pokok Hukum Islam II, TINTAMAS, Jakarta, 1961, hal 1
12
Ibid, hal 2
10
ketentuan pasal 1666 KUH Perdata yang mengatur bahwa, hibah adalah suatu
Hal ini harus dibedakan dengan hibah wasiat. Di dalam masyarakat hukum
adat, hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan dipisahkan
dibedakan dengan weling (jawa) yang bersifat semacam wasiat yaitu sebelum
yang telah memenuhi persayaratan untuk memberi hibah dan diberikan kepada
orang yang telah memenuhi persyaratan sebagai penerima hibah. Hibah identik
dengan pemberian barang pada saat sang pemberi dan penerima hibah masih
dalam keadaan hidup, atau masih memiliki status hukum sebagai subyek hukum.
13
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, “Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat”, edisi revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 89
14
Ibid, hal 90
11
hidup dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian
Burgerlijk Wetboek dengan hibah dalam perspektif hukum Islam, yakni hibah
Islam, dimana hukum Muamalat itu sendiri mengatur tentang pergaulan hidup
jual beli, sewa-menyewa, utang piutang, gadai, hibah, dan sebagainya. Dengan
kata lain hukum Muamalat mencakupi hubungan hukum terhadap benda antara
seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa ganti rugi. Disebutkan pula,
antara sesama manusia, namun sebagai tindakan hukum, hibah mempunyai rukun
dan syarat yang harus dipenuhi, baik oleh yang memberikan maupun oleh yang
menerima hibah.
Akibatnya, jika salah satu rukun atau syarat hibah tidak terpenuhi, maka
hibah tersebut menjadi tidak sah. Ada beberapa rukun hibah yaitu:15
15
Syafiie Hassanbasri, Ensiklopedia Islam, Hibah. Kompas. Jakarta, 3 Oktober 2001
12
a. Ada ijab dan Kabul yang menunjukkan ada pemindahan hak milik seseorang
ijab bisa dengan kata-kata hibah itu sendiri, dengan kata-kata hadiah, atau
Maliki dan Imam Syafi'i menyatakan bahwa harus ada pernyataan menerima
(qabul) dari orang yang menerima hadiah, karena qabul itu termasuk rukun.
rukun hibah. Dengan demikian, sigat (bentuk) hibah itu cukup dengan ijab
b. Ada orang yang menghibahkan dan yang akan menerima hibah. Untuk itu,
sempurna dan penghibah harus orang yang cakap untuk bertindak menurut
hukum. Oleh karena itu, harta orang lain tidak boleh dihibahkan. Demikian
pula hibah orang gila atau anak kecil. Syarat lain yang penting bagi
c. Ada harta yang akan dihibahkan, dengan syarat harta itu milik penghibah
secara sempurna (tidak bercampur dengan milik orang lain) dan merupakan
Dengan demikian, jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, harta
tersebut masih dalam khayalan atau harta yang dihibahkan itu adalah benda-benda
13
yang materinya diharamkan agama, maka hibah tersebut tidak sah. Rukun hibah
berdasarkan hukum Islam terbagi menjadi tiga bagian, antara lain :16
alasan.
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu
hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang
tersebut (penerima hibah) sudah lahir, tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak,
kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah,
walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian
memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
16
Asaf A.A. Fyzee, Op, Cit., hal. 3.
17
Suharwadi Chairiumam Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, 1996, hal 35
14
c. Syarat-syarat bagi benda yang dihibahkan
penerima hibah.
yang dikehendaki oleh agama Islam. Sebab seseorang bisa saja memberikan
seluruh harta bendanya terhadap siapa saja yang dikehendaki. Pemberian yang
semacam ini jelas akan mendatangkan mudharat, yakni mudharat kepada ahli
warisnya, oleh karena itu Rasulullah SAW melarang berwasiat melebihi sepertiga
dari harta warisan, sedangkan wasiat pada hakekatnya sama saja dengan hibah,
f. Sah menerimanya
15
g. Diterima walinya, sebelum penerima cukup umur
h. Menyempurnakan pemberian
Syarat-Syarat Penghibah:
a. Benar-benar ada di waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau
diiperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah.
b. Apabila penerima hibah itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia
masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharanya,
a. Benar-benar ada.
c. Dapat dimiliki zatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang
16
tangan; maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di
tanaman, pohon atau bangunan tanpa tanahnya. Akan tetapi yang dihibahkan
milik baginya.
itu tidak sah kecuali bila ditentukan (untuk siapa) seperti halnya jaminan.
sarat ini, kata mereka hibah untuk umum yang tidak dibagi-bagi itu tetap
sah.)
syarat hibah ditentukan pada Pasal 1882 KUH Perdata yang mengatur bahwa
penghibaan itu harus dilakukan dengan akta notaris terutama untuk barang tidak
bergerak, sedangkan untuk barang bergerak dapat dihibahkan begitu saja, maka
suatu penghibahan yang dilakukan diluar dari itu adalah batal. Akta notaris ini
merupakan syarat mutlak dari sahnya suatu hibah, dengan sendirinya kalau hibah
B. Penarikan Hibah
itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Sunnah Nabi
18
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, “Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat”, CV. Sinar Grafika, Jakarta, hal. 91.
17
Muhammad Saw menunjukkan bahwa beliau dengan tegas tidak menyukai
penarikan kembali suatu pemberian. Dan hal ini dapat dimaklumi, sebab
manusia dan telah membuka jalan kearah kerukunan sesama manusia. Dalam
hukum hanafi, penarikan kembali suatu pemberian dianggap sebagai hal yang
tidak disukai, jika ditinjau dari segi akhlak dalam beberapa hal tidaklah demikian
diangggap sah. Dan dalam hubungan ini, penarikan pemberian dapat ditafsirkan
Menurut hukum Islam, semua perhubungan (transaksi) atas dasar suka rela
dapat dicabut kembali. Jadi, penarikan kembali adalah salah satu sifat dari hukum
jalan pengadilan atau dengan persetujuan orang yang memberi. Suatu pernyataan
pemberian kepada siapa pun, kecuali orang tua yang menarik kembali pemberian
kepada anaknya. Dengan demikian, orang dapat menarik kembali hibah yang telah
diserahkan kepada anaknya. Berdasarkan riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
19
Asaf A.A.Op, Cit,, hal 62
20
Ibid, hal 63
18
pemberiannya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya, jika ayah menghibahkan
Perdata, yang menyebutkan bahwa suatu hibah tidak dapat ditarik kembali
Dalam hukum Islam, di atur bahwa ada beberapa hibah yang tidak dapat
5) Bilamana barang yang diberikan itu telah dipindahkan oleh yang menerima
21
Abd. Somad, Hukum Islam “Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia”,
Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal 362.
22
Soedharyo Soimin, Op, Cit,, hal 92.
23
Asaf A.A. Fyzee, Op, Cit., hal 64.
19
6) Bilamana barang pemberian itu telah bertambah nilainya, biar apapun yang
pemberian tersebut.
Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang juga berlaku di
Indonesia mempunyai kedudukan dan arti yang sangat penting dalam rangka
atau KHI, dimana sebagai rujukan hukum bagi umat muslim dalam hal aturan
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri
dimajukan kepada mereka. Selain dari itu, seperti dikemukakan oleh Wasit
24
Arfin Hamid, Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar Dalam
Memahami Realitasnya di Indonesia), Op, Cit,, hal 26
20
Aulawi, Kompilasi Hukum Islam mudah-mudahan dapat (1) memenuhi asas
manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat dalam hukum Islam, (2) mengatasi
berbagai masalah khilafiyah, (3) mampu menjadi bahan baku dan berperan aktif
terdiri dari 5 Pasal mulai Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 yaitu:
1. Pasal 210 berisi tentang syarat harta yang akan dihibahkan dengan orang
yang menghibahkan
4. Pasal 213 berisi tentang pemberian hibah dari pemberi hibah yang sudah
mendekati ajalnya
5. Pasal 214 berisi tentang pembuatan surat hibah bagi Warga Negara Asing.
merupakan hak penghibah, penghibah telah pula berumur 21 tahun, berakal sehat
(Pasal 210). Sedangkan hibah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya,
kelak dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, apabila orang tuanya meninggal
dunia (Pasal 211). Penarikan hibah terhadap harta yang telah dihibahkan tidak
mungkin untuk dilakukan, kecuali hibah yang dilakukan orang tua kepada
25
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1991, hal 268
21
Ketentuan mengenai hibah diatur dalam Pasal 210 sampai dengan Pasal
214 pada BAB VI Kompilasi Hukum Islam tentang Hukum Kewarisan. Pasal 210
berakal sehat dan tanpa ada paksaan dapat menghibahkan. (2) Harta benda yang
dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Kemudian dalam Pasal 211
mengatur tentang hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
sebagai warisan. Pasal 212 mengatur tentang penarikan hibah, dimana hibah tidak
dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Pasal 213
mengatur tentang hibah yang diberikan pada satu penerima hibah dalam keadaan
sakit yang dekat dengan kematiannya, maka harus mendapatkan persetujuan dari
ahli warisnya. Pasal 214 mengatur tentang warga negara Indonesia yang berada di
negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan konsulat atau Kedutaan
pasal ini.26
26
Kompilasi Hukum Islam
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penarikan hibah oleh orang tua dari anaknya yang telah meninggal dunia
penulis, penarikan hibah dapat dilakukan oleh orang tua kepada anak yang
sudah meninggal dunia. Hal ini tentu dengan syarat-syarat penarikan hibah
sampai dengan Pasal 214 pada BAB VI Kompilasi Hukum Islam tentang
Hukum Kewarisan. Pasal 210 mengatur tentang (1) orang yang telah
tentang hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai
warisan. Pasal 212 mengatur tentang penarikan hibah, dimana hibah tidak
dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Pasal 213
mengatur tentang hibah yang diberikan pada satu penerima hibah dalam
persetujuan dari ahli warisnya. Pasal 214 mengatur tentang warga negara
23
hadapan konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang
B. Saran
terperinci terkait kebolehan pernarikan hibah oleh orang tua dari anaknya
kehidupan kesehariannya.
24
DAFTAR PUSTAKA
AliMuhammad Daud, 1991. Asas-Asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
25