Anda di halaman 1dari 28

Penarikan kembali hibah dari Orang Tua kepada Anaknya

yang telah meningal dunia Menurut Kompilasi Hukum Islam

DISUSUN OLEH :
MARIANI IDRUS

AMBON 2019

i
KATA PENGANTAR

Syukur yang mendalam penulis haturkan keharibaan Allah SWT atas


segala rahmat dan inayah yang diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini.
Dalam proses penyelesaian makalah ini, penulis memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis merasa sangat berhutang budi
dan berkewajiban untuk menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kekurangan akan selalu menjadi bagian manusia, kesempurnaan hanya
menjadi milik-Nya, untuk itu saran dan kritik akan lebih menyempurnakan pikiran
penulis untuk melangkah lebih lanjut. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.

Ambon, Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG........................................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 7


A. TINJAUAN UMUM TENTANG HIBAH ........................................................... 7
B. PENARIKAN HIBAH ...................................................................................... 17
C. HIBAH DALAM KHI....................................................................................... 20

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 23


A. KESIMPULAN ............................................................................................... 23
B. SARAN ......................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam membicarakan Hukum Islam di Indonesia, maka pusat perhatian

akan ditujukan kepada kedudukan Hukum Islam di Indonesia. Hukum Islam

sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas masyarakat Indonesia adalah

hukum yang telah hidup di dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran

dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan hukum dan merupakan bahan dan

pembinaan Hukum Nasional.

Hukum Islam memiliki suatu sistem yang dapat menimbulkan dorongan

untuk dipelajari oleh para cendikiawan hukum di seluruh dunia. Karena dari

sistem Hukum Islam itu terlihat perkembangannya yang sangat pesat

dibandingkan dengan sistem-sistem hukum lainnya.

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia terus mengalami peningkatan

yang cukup pesat. Selain mengacu kepada Al-Qur’an, Al’Hadist dan Ijtihad

sebagai sumber utama Hukum Islam, di Indonesia telah memiliki Kompilasi

Hukum Islam yang lahir dari proses perancangannya berdasarkan Surat Keputusan

Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik

Indonesia Nomor 07/KMA/1985, Nomor 25 Tahun 1985 tentang Penunjukkan

Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi, yang

merupakan cikal bakal Rancangan Kompilasi Hukum Islam. Rancangan

Kompilasi Hukum Islam yang berhasil dirampungkan, kemudian diterima oleh

para Alim Ulama Indonesia melalui Lokakarya di Jakarta tanggal 2-5 Februari

1
1988 dan disosoalisasikan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam terdiri

dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan

Buku III tentang Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf.1

Salah satu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang sering

dihadapi oleh Umat Islam di Indonesia adalah menyangkut masalah hibah antara

orang tua dengan anaknya. Masalah yang muncul dari hibah orang tua kepada

anaknya adalah antara lain dikarenakan pemberian hibah dari orang tua kepada

anaknya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada dasarnya orang tua

memberikan hibah kepada anaknya dengan berbagai pertimbangan dan alasan-

alasan tertentu.

Hibah berbeda dengan waris. Perbedaan antara hibah dan waris dapat

dilihat pada syaratnya. Salah satu syarat dalam hukum waris untuk adanya proses

pewarisan adalah adanya seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan

harta kekayaan. Sedangkan hibah, seseorang pemberi hibah itu masih hidup pada

waktu pelaksanaan pemberian hibah.2 Khusus untuk Hibah, diatur didalam

Kompilasi Hukum Islam pada bagian Bab VI Buku II tentang Hukum Waris.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (g) menyebutkan

bahwa:

Dikatakan hibah adalah pemberian sesuatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorangkepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

1
Abdul Shomad, Hukum Islam, Penorman Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal 8
2
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Armico, Bandung, 2014, hal 73

2
Selanjutnya Menurut Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan

bahwa :

a. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa


adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
b. Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

Dengan demikian apabila seseorang yang menghibahkan harta yang bukan

merupakan haknya, maka hibahnya menjadi batal. Berdasarkan ketentuan di atas,

dapat dikatakan bahwa setiap orang boleh memberi atau menerima hibah, kecuali

orang-orang yang dinyatakan tidak cakap untuk itu. Selain itu, unsur kerelaan

dalam melakukan perbuatan hukum tanpa adanya paksaan dari pihak lain

merupakan unsur yang harus ada dalam pelaksanaan hibah.

Selanjutnya Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa :

Hibah dari orang tua dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sehubungan fungsi

hibah sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa

memandang ras, agama dan golongan, maka hibah dapat dijadikan sebagai solusi

untuk memecahkan masalah hukum waris dewasa ini. Pasal 212 Kompilasi

Hukum Islam menyebutkan bahwa Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali

hibah dari orang tua kepada anaknya. Kasus pembatalan hibah merupakan kasus

yang sering terjadi dikarenakan pihak penerima hibah tidak memenuhi persyaratan

dalam menjalankan hibah yang telah diberikan. Menurut hukum, hibah yang

sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali, akan tetapi terdapat beberapa

pengecualian sehingga hibah dapat ditarik kembali. Mengenai hibah di Indonesia

di atur salah satunya di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

3
Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain

yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya

dilakukan pada waktu penghibah masih hidup juga. Biasanya pemberian-

pemberian tersebut tidak pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima

pemberian itu, oleh karena pada dasarnya seseorang pemilik harta kekayaan

berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada siapa pun.

Secara sederhana, hibah dapat diartikan sebagai pemberian sebagian atau

seluruh dari harta kekayaan seseorang kepada orang lain sewaktu masih hidup dan

pemberian hibah kepada penerima hibah sudah berlangsung seketika itu juga.

Perbedaan yang menyolok antara peralihan hak milik atas harta kekayaan dengan

menggunakan sarana hukum hibah dengan sarana hukum lain seperti jual beli dan

tukar menukar, bahwa dalam hibah tidak ada unsur kontra prestasi.

Dalam hukum waris Islam terdapat dalam Al-Qur’an, hadis Rasulullah saw

dan Ijtihad, yang mengartikan bahwa hibah ialah pemberian dari seseorang kepada

orang lain.3 Dewasa ini telah berkembang pengertian hibah adalah pemberian dari

satu negara kepada negara lainnya. Bahkan dapat pula diartikan suatu pemberian

dari suatu badan hukum kepada badan hukum lainnya. Dengan demikian, dapat

ditarik kesimpulan baik menurut hukum Islam, maupun hukum Adat di Indonesia,

hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari

pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara cuma-cuma. Eman

3
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 116

4
Suparman mengartikan Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh

seseorang ketika masih hidup.4

Pemberian hibah selain orangnya tertentu, maka perbuatan penyerahannya

harus terang dan tunai, tidaklah benar perbuatan hibah itu berlaku terhadap orang

yang belum diketahui atau barangnya belum ada dan/atau pelaksanaannya

ditangguhkan, digantungkan pada waktu yang belum tentu. Suatu pemberian

sebagai hibah antara seseorang dengan anak sendiri atau juga dengan orang lain

karena sesuatu balas jasa tidak boleh ditarik kembali. Oleh karenanya pada suatu

masyarakat adat tertentu jika akan memberikan sesuatu kepada seseorang haruslah

dipikir sampai matang terlebih dahulu supaya jangan sampai menyesal di

kemudian hari.

Dalam prakteknya, banyak hibah yang dapat ditarik oleh pemberi hibah

dengan berbagai alasan.

Menurut penulis disini bahwa penarikan hibah ini menjadi salah satu hal

yang akan mempengaruhi Kompilasi hukum Islam ke depannya dalam melihat

persoalan hibah yang terjadi. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis

“Penarikan kembali hibah dari Orang Tua kepada Anaknya yang telah meningal

dunia Menurut Kompilasi Hukum Islam”.

4
Eman Suparman,Intisari Hukum Waris Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung,
1995, hal 85.

5
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam

penulisan ini sebagai berikut :

1. Apakah hibah yang telah diberikan dapat ditarik kembali?

2. Bagaimanakah kedudukan hukum penarikan kembali hibah oleh orang tua

terhadap anak yang telah meninggal dunia menurut Kompilasi Hukum Islam?

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Tentang Hibah

1. Pengertian Hibah Menurut Hukum Islam

Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba, yang

berarti pemberian.5 Sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok

persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu ia masih hidup tanpa

imbalan.6 Hibah menurut Hazairin, pengeluaran harta semasa hidup atas dasar

kasih saying untuk kepentingan seseorang atau kepentingan suatu badan, sosial,

keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang sekiranya berhak menjadi ahli

warisnya, sipenghibah dapat menghibahkan.7 Kedua definisi di atas sedikit

berbeda, akan tetapi pada intinya sama, yaitu hibah merupakan pemberian sesuatu

kepada orang lain atas dasar sukarela tanpa imbalan.

Pemberian hibah seseorang atas harta milik biasanya terhadap penyerahan,

maksudnya adalah usaha penyerahan sesuatu kepada orang lain dan usaha-usaha

dibatasi oleh sifat yang menjelaskan hakekat hibah itu sendiri. Kemudian kata

harta hak milik berarti bahwa yang diserahkan adalah materi dari harta tersebut.

Kata "di waktu masih hidup", mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak

milik itu berlaku semasa hidup. Jadi bila beralih berarti yang berhak sudah mati,

5
Ahmad Warson munawir Al-Munawir, Kamus Arab Indonesia, Al-Munawir, Pondok
Pesantren, Yogyakarta, 1992, hal 1692
6
Sayyid Sabiq, sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Waris
Dalam Lingkungan Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1995, hal 156
7
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1982, hal 72.

7
maka disebut wasiat, tanpa imbalan, berarti itu semata-mata kehendak sepihak

tanpa mengharapkan apa-apa.8

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hibah merupakan suatu

perbuatan yang terpuji karena memberikan harta dengan sukarela tanpa

mengharapkan balasan, tidak tergantung dan tidak disertai dengan persyaratan

apapun juga. Penghibahan digolongkan dalam perjanjian cuma-cuma, dalam

perkataan dengan cuma-cuma itu ditunjukkan adanya prestis dari satu pihak saja,

sedangkan pihak lainnya tidak usah memberikan kontra prestisnya sebagai

imbalannya, maka perjanjian yang demikian dikatakan perjanjian sepihak. Karena

lazimnya bahwa orang yang menyanggupi untuk melakukan suatu prestasi karena

ia ingin menerima kontra prestasi.

Penghibahan hanya dapat meliputi barang-barang yang sudah ada,

penghibahan dari barang-barang yang belum menjadi milik penghibah adalah

batal.9 Dalam hal ini hibah berbeda dengan perjanjian jual beli, jika dalam jual

beli penjual daging babi melindungi pihak pembeli, maka dalam penghibahan

penghibah tidak harus melindungi penerima hibah, apabila ternyata barang yang

dihibahkan bukan milik yang sebenarnya dari penghibah maka penghibah tidak

wajib untuk melindungi penerima hibah.

Hal ini dapat dimengerti karena perjanjian hibah merupakan perjanjian

cuma-cuma yang penerima hibah tidak akan dirugikan dengan pembatalan suatu

8
Amir Syarifudin, Op, Cit., hal 252.
9
Pasal 167 KUHPerdata.

8
penghibahan atau barang yang ternyata bukan milik yang sebenarnya. Dalam

KUH Perdata mengenal dua macam penghibahan yaitu:10

a. Penghibahan formal (formate schenking) yaitu hibah dalam arti kata yang

sempit, karena perbuatan yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang

disebutkan pada Pasal 1666 KUH Perdata saja, di mana pemberian misalnya

syarat cuma-cuma.

b. Penghibahan Materil (Materiele schenking) yaitu pemberian menurut

hakekatnya, misalnya seseorang yang menjual rumahnya dengan harga yang

murah. Menurut Pasal 1666 KUHPerdata penghibahan seperti itu tidak

termasuk pemberian, tetapi menurut pengertian yang luas hal di atas dapat

dikatakan sebagai pemberian.

Tidak ada kemungkinan untuk ditarik kembali artinya hibah merupakan

suatu perjanjian dan berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa : "semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya". Perjanjian hibah ini tidak ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak dan karena alasan yang oleh undang-undang

dinyatakan cukup untuk itu.

Seseorang boleh menghadiahkan harta miliknya kepada seorang lain ketika

hidupnya, atau ia memberikannya kepada seseorang sesudah ia mati melalui surat

wasiat. Yang pertama dinamakan penyerahan intervivos, yang kedua penyerahan

dengan surat wasiat. Hukum Islam membenarkan kedua cara penyerahan ini,

tetapi penyerahan intervivos tidak ada batas mengenai jumlahnya, sedangkan

10
Subekti, Aneka Perjanjian. PT Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 5

9
penyerahan dengan surat wasiat terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan

yang bersih. Hukum Islam mengizinkan seseorang, memberikan sebagai hadiah

semua harta miliknya ketika seseorang masih hidup, tetapi hanyalah sepertiga dari

harta benda itu dapat diberikan dengan surat wasiat.11

Istilah inggris “gift” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan Islam

hibah, dan kedua-duanya tidaklah dapat dicampur-baurkan. Istilah “gift” memiliki

defenisi yang sangat umum dan meliputi perbuatan beri-memberi yang luas.

Sedangkan Hibah mempunyai arti yang terbatas dan mempunyai arti hukum yang

jelas perumusannya. Hibah adalah penyerahan sejumlah harta yang langsung dan

tidak bersyarat tanpa pemberian balasan. Kitab Durru’l Muchtar memberikan

defenisi hibah sebagai “pemindahan hak atas harta miliki itu sendiri (in the

substance) (tamliku’l-ain) oleh seseorang kepada orang lain tanpa pemberian

balasan (‘iwadl), menjadikan seseorang pemilik atas barangnya (harta milik) itu

sendiri (tamliku’l-ain) tanpa pertimbangan (pemberian balasan) disebut hibah

(pemberian), sedangkan menjadikan orang itu pemilik dari hasil keuntungan

barang itu saja (tamliku’l-manaji’) tanpa pertimbangan (pemberian balasan)

lainnya adalah ariah.12

Perkataan hibah atau memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai

perbuatan hukum itu dikenal baik di dalam masyarakat hukum adat, hukum Islam

maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Hibah itu sendiri harus ada suatu persetujuan. Dilakukan sewaktu pemberi hibah

masih hidup dan harus diberikan secara Cuma-Cuma. Hal ini diatur dalam

11
Asaf A.A. Fyzee, Pokok-Pokok Hukum Islam II, TINTAMAS, Jakarta, 1961, hal 1
12
Ibid, hal 2

10
ketentuan pasal 1666 KUH Perdata yang mengatur bahwa, hibah adalah suatu

persetujuan dimana si penghibah di waktu hidupnya dengan Cuma-Cuma dan

dengan tidak ditarik kembali menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si

penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui

hibah lain selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup.13

Hal ini harus dibedakan dengan hibah wasiat. Di dalam masyarakat hukum

adat, hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan dipisahkan

dengan membuatkan rumah, memberikan pekarangan untuk pertanian, ini harus

dibedakan dengan weling (jawa) yang bersifat semacam wasiat yaitu sebelum

orang meninggal, maka ia mengadakan ketetapan ketetapan yang ditujukan

kepada ahli warisnya atau istrinya. Pertama, ia semasa hidupnya memberi

petunjuk-petunjuk bagaimana harta bendanya akan dibagi waris kalau ia

meninggal. Jadi barang-barangnya itu belum dibagi-bagikannya kepada ahli

warisnya, melainkan masih dipegangnya, hanya kalau ia meninggal maka

pembagian harta peninggalannya harus menurut petunjuk-petunjuk tersebut.14

Hibah dapat didefenisikan sebagai pemberian, pemberian kepada orang

yang telah memenuhi persayaratan untuk memberi hibah dan diberikan kepada

orang yang telah memenuhi persyaratan sebagai penerima hibah. Hibah identik

dengan pemberian barang pada saat sang pemberi dan penerima hibah masih

dalam keadaan hidup, atau masih memiliki status hukum sebagai subyek hukum.

Dalam teori hukum Islam, hibah termasuk dalam kategori hukum

Muamalat, dimana hukum Muamalat itu sendiri berhubungan dengan pergaulan

13
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, “Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat”, edisi revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 89
14
Ibid, hal 90

11
hidup dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian

persengketaan-persengketaan. Selaras dengan defenisi hibah dalam perspektif

Burgerlijk Wetboek dengan hibah dalam perspektif hukum Islam, yakni hibah

terkait persoalan kebendaan dan hak-hak atas kebendaan tersebut.

2. Rukun dan Syarat Sahnya Hibah

Hibah termasuk dalam kategori hukum Muamalat dalam teori hukum

Islam, dimana hukum Muamalat itu sendiri mengatur tentang pergaulan hidup

dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian

persengketaan-persengketaan. Hukum Muamalat itu sendiri mencakupi perjanjian

jual beli, sewa-menyewa, utang piutang, gadai, hibah, dan sebagainya. Dengan

kata lain hukum Muamalat mencakupi hubungan hukum terhadap benda antara

manusia satu dengan manusia lainnya.

Hibah dalam Ensiklopedi Islam, para fukaha (ahli fikih)

mendefinisikannya sebagai akad yang mengandung penyerahan hak milik

seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa ganti rugi. Disebutkan pula,

meskipun hibah merupakan akad yang sifatnya untuk mempererat silahturahmi

antara sesama manusia, namun sebagai tindakan hukum, hibah mempunyai rukun

dan syarat yang harus dipenuhi, baik oleh yang memberikan maupun oleh yang

menerima hibah.

Akibatnya, jika salah satu rukun atau syarat hibah tidak terpenuhi, maka

hibah tersebut menjadi tidak sah. Ada beberapa rukun hibah yaitu:15

15
Syafiie Hassanbasri, Ensiklopedia Islam, Hibah. Kompas. Jakarta, 3 Oktober 2001

12
a. Ada ijab dan Kabul yang menunjukkan ada pemindahan hak milik seseorang

(yang menghibahkan) kepada orang lain (yang menerima hibah). Bentuk

ijab bisa dengan kata-kata hibah itu sendiri, dengan kata-kata hadiah, atau

dengan kata-kata lain yang mengandung arti pemberian. Terhadap qabul

(penerimaan dari pemberian hibah), para ulama berbeda pendapat. Imam

Maliki dan Imam Syafi'i menyatakan bahwa harus ada pernyataan menerima

(qabul) dari orang yang menerima hadiah, karena qabul itu termasuk rukun.

Sedangkan bagi segolongan ulama Mazhab Hanafi, qabul bukan termasuk

rukun hibah. Dengan demikian, sigat (bentuk) hibah itu cukup dengan ijab

(pernyataan pemberian) saja.

b. Ada orang yang menghibahkan dan yang akan menerima hibah. Untuk itu,

disyaratkan bahwa yang diserahkan itu benar-benar milik penghibah secara

sempurna dan penghibah harus orang yang cakap untuk bertindak menurut

hukum. Oleh karena itu, harta orang lain tidak boleh dihibahkan. Demikian

pula hibah orang gila atau anak kecil. Syarat lain yang penting bagi

penghibah adalah bahwa tindakan hukum itu dilakukan atas kesadaran

sendiri, bukan karena ada paksaan dari pihak luar.

c. Ada harta yang akan dihibahkan, dengan syarat harta itu milik penghibah

secara sempurna (tidak bercampur dengan milik orang lain) dan merupakan

harta yang bermanfaat serta diakui agama.

Dengan demikian, jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, harta

tersebut masih dalam khayalan atau harta yang dihibahkan itu adalah benda-benda

13
yang materinya diharamkan agama, maka hibah tersebut tidak sah. Rukun hibah

berdasarkan hukum Islam terbagi menjadi tiga bagian, antara lain :16

a. Pernyataan tentang pemberian itu oleh yang memberi hadiah (idjab),

b. Diterimanya pemberian itu oleh yang diberi hadiah (qabul),

c. Penyerahan milik itu (qabdlah).

Syarat-syarat hibah agar perjanjian hibah sah dan dapat dilaksanakan

apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :17

a. Syarat-syarat bagi penghibah

1) Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian

tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.

2) Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu

alasan.

3) Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa

dan tidak kurang akal).

4) Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.

b. Syarat-syarat bagi penerima hibah

Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu

hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang

tersebut (penerima hibah) sudah lahir, tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak,

kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah,

walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian

memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.

16
Asaf A.A. Fyzee, Op, Cit., hal. 3.
17
Suharwadi Chairiumam Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, 1996, hal 35

14
c. Syarat-syarat bagi benda yang dihibahkan

1) Benda tersebut benar-benar ada;

2) Benda tersebut mempunyai nilai;

3) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan

pemilikannya dapat dialihkan;

4) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada

penerima hibah.

Hibah artinya pemberian, yaitu pemberian seseorang kepada keluarganya,

teman sejawatnya atau kepada orang-orang yang memerlukan dari hartanya

semasa hidupnya. Pemberian yang dimaksud di atas, tentunya pemberian menurut

yang dikehendaki oleh agama Islam. Sebab seseorang bisa saja memberikan

seluruh harta bendanya terhadap siapa saja yang dikehendaki. Pemberian yang

semacam ini jelas akan mendatangkan mudharat, yakni mudharat kepada ahli

warisnya, oleh karena itu Rasulullah SAW melarang berwasiat melebihi sepertiga

dari harta warisan, sedangkan wasiat pada hakekatnya sama saja dengan hibah,

keduanya bisa mendatangkan kerugian kepada ahli warisnya. Sedangkan syarat-

syarat hibah menurut ulama Hanabilah terdiri dari:

a. Hibah dari harta yang boleh ditasarufkan

b. Terpilih dan sungguh-sungguh

c. Harta yang diperjualbelikan

d. Tanpa adanya pengganti

e. Orang yang sah memilikinya

f. Sah menerimanya

15
g. Diterima walinya, sebelum penerima cukup umur

h. Menyempurnakan pemberian

i. Tidak disertai syarat waktu

j. Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, mukallaf, dan rasyid)

k. Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.

Syarat-Syarat Penghibah:

a. Memiliki apa yang dihibahkan.

b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.

c. Penghibah orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.

d. Penghibah tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan

keridhaan dalam keabsahannya.

Syarat-Syarat Penerima Hibah:

a. Benar-benar ada di waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau

diiperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah.

b. Apabila penerima hibah itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia

masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharanya,

atau orang yang mendidiknya, sekalipun dia orang asing.

Syarat-Syarat Objek Hibah:

a. Benar-benar ada.

b. Harta yang bernilai.

c. Dapat dimiliki zatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang

biasanya dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah

16
tangan; maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di

udaara, masjid-masjid atau pesantren.

d. Tidak berhubungan dengan tempat milik si pemberi, seperti menghibahkan

tanaman, pohon atau bangunan tanpa tanahnya. Akan tetapi yang dihibahkan

itu wajib dipisahkan dan diserahkan kepada si penerima, sehingga menjadi

milik baginya.

e. Dikhususkan; Yakni tidak untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan

itu tidak sah kecuali bila ditentukan (untuk siapa) seperti halnya jaminan.

(Malik, Asy-Syafi'i Ahmad dan Abu Tsur berpendapat tidak disyaratkannya

sarat ini, kata mereka hibah untuk umum yang tidak dibagi-bagi itu tetap

sah.)

Dalam ketentuan KUH Perdata yang masih digunakan di Indonesia, syarat-

syarat hibah ditentukan pada Pasal 1882 KUH Perdata yang mengatur bahwa

penghibaan itu harus dilakukan dengan akta notaris terutama untuk barang tidak

bergerak, sedangkan untuk barang bergerak dapat dihibahkan begitu saja, maka

suatu penghibahan yang dilakukan diluar dari itu adalah batal. Akta notaris ini

merupakan syarat mutlak dari sahnya suatu hibah, dengan sendirinya kalau hibah

dibuat dengan cara dibawah tanga adalah batal.18

B. Penarikan Hibah

Penarikan hibah merupakan perbuatan yang diharamkan meskipun hibah

itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Sunnah Nabi

18
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, “Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat”, CV. Sinar Grafika, Jakarta, hal. 91.

17
Muhammad Saw menunjukkan bahwa beliau dengan tegas tidak menyukai

penarikan kembali suatu pemberian. Dan hal ini dapat dimaklumi, sebab

dahulunya sebagaimana juga sekarang ini kebiasaan memberi hadiah telah

memperbaiki hubungan sesama manusia dan telah memperbaiki hubungan sesama

manusia dan telah membuka jalan kearah kerukunan sesama manusia. Dalam

hukum hanafi, penarikan kembali suatu pemberian dianggap sebagai hal yang

tidak disukai, jika ditinjau dari segi akhlak dalam beberapa hal tidaklah demikian

diangggap sah. Dan dalam hubungan ini, penarikan pemberian dapat ditafsirkan

sebagi talaq yang merupakan perbuatan tercela.19

Menurut hukum Islam, semua perhubungan (transaksi) atas dasar suka rela

dapat dicabut kembali. Jadi, penarikan kembali adalah salah satu sifat dari hukum

pemberian. Tetapi, tidak semua pemberian dapat dicabut kembali. Pencabutan

kembali suatu pemberian yang telah disempurnakan hanyalah mungkin dengan

jalan pengadilan atau dengan persetujuan orang yang memberi. Suatu pernyataan

dari si pemberi tidaklah cukup untuk menarik kembali pemberian.20

Penarikan kembali, tidak halal bagi seseorang menarik kembali sesuatu

pemberian kepada siapa pun, kecuali orang tua yang menarik kembali pemberian

kepada anaknya. Dengan demikian, orang dapat menarik kembali hibah yang telah

diserahkan kepada anaknya. Berdasarkan riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas

yang disandarkan kepada Nabi : “Tidak halal seseorang menarik kembali

19
Asaf A.A.Op, Cit,, hal 62
20
Ibid, hal 63

18
pemberiannya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya, jika ayah menghibahkan

sesuatu kepada cucunya sampai garis ke bawah boleh ditarik kembali.21

Mengenai alasan-alasan pembatalan hibah diatur dalam Pasal 1688 KUH

Perdata, yang menyebutkan bahwa suatu hibah tidak dapat ditarik kembali

maupun dihapuskan karenanya, melainkan dalam hal-hal yang berikut :22

a. Karena tidak dipenuhi syarat-syarat dimana penghibahan telah dilakukan,

b. Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan

kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan

lain terhadap si penghibah,

c. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah

orang ini jatuh dalam kemiskinan.

Dalam hukum Islam, di atur bahwa ada beberapa hibah yang tidak dapat

ditarik kembali, antara lain :23

1) Pemberian kepada seseorang yang berhubungan dengan orang yang memberi

dalam rangka pertalian yang terlarang (kawin mengawini)

2) Dari seorang istri kepada suaminya atau dari suami ke istrinya.

3) Bilamana yang memberi atau yang menerima meninggal dunia.

4) Bilamana barang yang diberikan itu telah hilang atau hancur.

5) Bilamana barang yang diberikan itu telah dipindahkan oleh yang menerima

melalui pemberian, penjualan atau tindakan-tindakan lainnya.

21
Abd. Somad, Hukum Islam “Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia”,
Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal 362.
22
Soedharyo Soimin, Op, Cit,, hal 92.
23
Asaf A.A. Fyzee, Op, Cit., hal 64.

19
6) Bilamana barang pemberian itu telah bertambah nilainya, biar apapun yang

menyebabkan tambahan itu.

7) Bilamana si pemberi telah menerima penggantian kerugian (‘iwadl) untuk

pemberian tersebut.

8) Bilamana pemberian itu mempunyai tujuan keagamaan atau kerohanian,

sebab dalam keadaan yang demikian pemberian itu bersifat sadaqah.

C. Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam

Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang juga berlaku di

Indonesia mempunyai kedudukan dan arti yang sangat penting dalam rangka

pelaksanaan pembangunan manusia seutuhnya yakni baik pembangunan dunia

maupun pembangunan akhirat, dan baik dibidang materiel, maupun dibidang

mental-spiritual.24 Di Indonesia sendiri dikenal adanya Kompilasi Hukum Islam

atau KHI, dimana sebagai rujukan hukum bagi umat muslim dalam hal aturan

keperdataan masyarakat Indonesia disamping KUH Perdata. Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia memiliki dasar hukum yakni Instruksi Presiden Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri

Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 Tentang pelaksanaan

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991.

Kompilasi Hukum Islam diharapkan dapat menyatukan hakim-hakim

Peradilan Agama di Indonesia dalam memecahkan berbagai masalah yang

dimajukan kepada mereka. Selain dari itu, seperti dikemukakan oleh Wasit

24
Arfin Hamid, Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar Dalam
Memahami Realitasnya di Indonesia), Op, Cit,, hal 26

20
Aulawi, Kompilasi Hukum Islam mudah-mudahan dapat (1) memenuhi asas

manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat dalam hukum Islam, (2) mengatasi

berbagai masalah khilafiyah, (3) mampu menjadi bahan baku dan berperan aktif

dalam pembinaan hukum nasional.25

Kompilasi Hukum Islam memuat substansi hukum penghibahan yang

terdiri dari 5 Pasal mulai Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 yaitu:

1. Pasal 210 berisi tentang syarat harta yang akan dihibahkan dengan orang

yang menghibahkan

2. Pasal 211 berisi tentang hibah orang tua ke anak

3. Pasal 212 berisi tentang pencabutan atau pembatalan hibah

4. Pasal 213 berisi tentang pemberian hibah dari pemberi hibah yang sudah

mendekati ajalnya

5. Pasal 214 berisi tentang pembuatan surat hibah bagi Warga Negara Asing.

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) tersebut disyaratkan selain harus

merupakan hak penghibah, penghibah telah pula berumur 21 tahun, berakal sehat

dan didasarkan atas kesukarelaan dan sebanyak-banyaknya 1/3 dari hartanya

(Pasal 210). Sedangkan hibah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya,

kelak dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, apabila orang tuanya meninggal

dunia (Pasal 211). Penarikan hibah terhadap harta yang telah dihibahkan tidak

mungkin untuk dilakukan, kecuali hibah yang dilakukan orang tua kepada

anaknya (Pasal 213).

25
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1991, hal 268

21
Ketentuan mengenai hibah diatur dalam Pasal 210 sampai dengan Pasal

214 pada BAB VI Kompilasi Hukum Islam tentang Hukum Kewarisan. Pasal 210

mengatur tentang (1) orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,

berakal sehat dan tanpa ada paksaan dapat menghibahkan. (2) Harta benda yang

dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Kemudian dalam Pasal 211

mengatur tentang hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan

sebagai warisan. Pasal 212 mengatur tentang penarikan hibah, dimana hibah tidak

dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Pasal 213

mengatur tentang hibah yang diberikan pada satu penerima hibah dalam keadaan

sakit yang dekat dengan kematiannya, maka harus mendapatkan persetujuan dari

ahli warisnya. Pasal 214 mengatur tentang warga negara Indonesia yang berada di

negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan konsulat atau Kedutaan

Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan ketentuan pasal-

pasal ini.26

26
Kompilasi Hukum Islam

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penarikan hibah oleh orang tua dari anaknya yang telah meninggal dunia

dapat didilakukan, apalagi jika harta yang dihibahkan melebihi sepertiga

bagian. Sesuai ketentuan-ketentuan yang telah diuruaikan, maka menurut

penulis, penarikan hibah dapat dilakukan oleh orang tua kepada anak yang

sudah meninggal dunia. Hal ini tentu dengan syarat-syarat penarikan hibah

dan hukum yang berlaku.

2. Kedudukan hukum mengenai penarikan hibah diatur dalam Pasal 210

sampai dengan Pasal 214 pada BAB VI Kompilasi Hukum Islam tentang

Hukum Kewarisan. Pasal 210 mengatur tentang (1) orang yang telah

berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada

paksaan dapat menghibahkan. (2) Harta benda yang dihibahkan harus

merupakan hak dari penghibah. Kemudian dalam Pasal 211 mengatur

tentang hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai

warisan. Pasal 212 mengatur tentang penarikan hibah, dimana hibah tidak

dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Pasal 213

mengatur tentang hibah yang diberikan pada satu penerima hibah dalam

keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya, maka harus mendapatkan

persetujuan dari ahli warisnya. Pasal 214 mengatur tentang warga negara

Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di

23
hadapan konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang

isinya tidak bertentangan ketentuan pasal-pasal ini.

B. Saran

1. Kepada Pemerintah, para Ulama, para Ahli Hukum Islam, dan

stakeholder terkait (Ulil Amri), agar dapat duduk bersama untuk

membahas terkait masalah hibah, terutama penarikan hibah. Diharapkan

adanya perubahan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur lebih

terperinci terkait kebolehan pernarikan hibah oleh orang tua dari anaknya

yang sudah meninggal. Perubahan ini sangat penting guna menyamakan

presepsi para Ulama, pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat

muslim di Indonesia yang masih menggunakan Hukum Islam dalam

kehidupan kesehariannya.

2. Penarikan hibah dalam kedudukan hukum menurut Kompilasi Hukum


diharapkan lebih memaparkan secara terperinci sehingga kebolehan
pernarikan hibah oleh orang tua dari anaknya yang sudah meninggal
dapat dilihat lebih jelas.

24
DAFTAR PUSTAKA

AliMuhammad Daud, 1991. Asas-Asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.

PasaribuSuharwadi Chairiumam, 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar


Grafika, Jakarta.

RamulyoM. Idris, 2004. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan


Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika,
Jakarta.

SabiqSayyid, 1995. Pelaksanaan Hukum Waris Dalam Lingkungan Minangkabau,


Gunung Agung, Jakarta.

SabiqSayyid, 1996. Fiqh al-Sunnah, Al-Ma’rif, Bandung.

ShomadAbdul, 2010. Hukum Islam, Penorman Prinsip Syariah Dalam Hukum


Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Soedharyo Soimin, 2004. Hukum Orang dan Keluarga, “Perspektif Hukum


Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat”, CV. Sinar
Grafika, Jakarta.

SoiminSoedharyo, 2004. Hukum Orang dan Keluarga, “Perspektif Hukum


Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat”, edisi revisi,
Sinar Grafika, Jakarta.

SomadAbd., 2010. Hukum Islam “Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum


Indonesia”, Prenada Media Group, Jakarta.

Subekti, 1995. Aneka Perjanjian, PT Aditya Bakti, Bandung.

SuparmanEman, 1995. Intisari Hukum Waris Indonesia, Penerbit Mandar Maju,


Bandung.

SuparmanEman, 2014. Intisari Hukum Waris Indonesia, Armico, Bandung.

25

Anda mungkin juga menyukai