Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MENGENAI WASIAT DALAM HUKUM ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam

DOSEN PENGAMPU : ADHAM, S.HI., M.H.

Di Susun Oleh :

Putri Jennyta Bhoki (2133001038)

Kelas Reguler A

UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA

FAKULTAS HUKUM

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada saya. Sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata Kuliah
Hukum islam.dengan judul "WASIAT DALAM HUKUM ISLAM”
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak ADHAM ,S.HI..M.H. selaku Dosen
Pengampu mata kuliah HUKUM ISLAM . Serta ucapan terima kasih kepada segala pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah ilmu
pengetahuan tentang Hukum Islam terutama didalam materi persoalan-persoalan dalam
sitem Wasiat. Kritik dan saran sangat kami harapkan kepada pembaca dalam
pengembangan makalah kedepannya.

Jakarta, 30 Juni 2022,

Penulis.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................4
1.3 Tujuan......................................................................................................................................4

BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN........................................................................................5

2.1 Teori..........................................................................................................................................5
2.2 Pembahasan Rumusan Masalah.............................................................................................6

BAB III PENUTUP........................................................................................................................8

3.1 Kesimpulan...............................................................................................................................8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam Hukum Islam, kewarisan dan wasiat merupakan dua sub bab yang berhubungan.
Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama berkaitan dengan harta peninggalan, yaitu
semua yang ditinggalkan oleh mayit dalam arti apa-apa yang ada saat seseorang
meninggal dunia. Namun, kewarisan mempunyai sifat ijbari, yang secara leksikal berarti
paksaan. Maksudnya yaitu bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal
dengan ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa
tergantung kehendak pewaris atau ahli warisnya. Jadi kewarisan terjadi secara otomatis
dan ahli waris terpaksa menerima kewarisan tersebut.

Sedangkan dalam wasiat bersifat sukarela, jadi wasiat terjadi apabila seseorang yang
meninggal berpesan untuk memberikan hartanya kepada orang yang diberi wasiat. Tetapi
Ibnu Hazm dalam kitabnya al Muhalla menyatakan bahwa wasiat wajib untuk anggota
kerabat yang tidak mewarisi, baik karena perbedaan agama, perbudakan, maupun karena
ter-hijab. Hal ini didukung juga oleh Abu Bakr bin Abdul Aziz, seorang tokoh mazhab
Hanbali, yang menyatakan wasiat seperti itu hukumnya wajib. Dengan datangnya agama
Islam tidaklah menghapus dan membatalkan wasiat yang sudah diterima secara umum
oleh masyarakat pada waktu itu. Islam dapat menerima wasiat yang sudah berjalan lama
itu dengan jalan memberikan koreksi dan perbaikan.

Sehingga wasiat tetap menjadi sesuatu yang diperlukan dengan memperhatikan kerabat
keluarga yang ditinggalkan. Kata wasiat disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 9 kali.
Dalam bentuk kata kerja, wasiat disebut 14 kali, dan dalam bentuk kata benda jadian
disebut 2 kali. Seluruhnya kata wasiat dan derivatnya disebut sebanyak 25 kali. Dalam
penggunaannya, kata wasiat berarti: berpesan, menetapkan, memerintah (QS Al-An’am,
[6]:151, 152, 153; Al-Nisa’ [4]:131), mewajibkan (QS Al-‘Ankabut [29]:8, Luqman

1
[31]:14, Al-Syura [42]: 13, Al-Ahqaf. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf F,
wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang
akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Dalam buku Hukum Kewarisan Islam
sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, wasiat adalah pesan terakhir dari
seseorang yang medekati kematianya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus
dilaksanakan para penerima wasiat terhadap hasrat peninggalannya atau pesan lain di luar
harta peninggalan.

Wasiat merupakan suatu perikatan yang mengharuskan penerima wasiat memperoleh hak
1/3 harta peninggal si pewaris sepeninggalnya atau mengharuskan penggantian hak 1/3
harta tersebut kepada si penerima wasiat sepeninggalnya pewasiat. Imam Syafi’i
mengartikan wasiat sebagai amal sedekah dengan suatu hak yang disandarkan kepada
keadaan setelah mati, baik cara menyandarkan itu dengan perkataan atau tidak. Imam
Hambali menjelaskan bahwa wasiat adalah menyuruh orang lain agar melakukan daya
upaya setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Dasar hukum wasiat dapat kita
lihat di dalam Al-Qur’an surah AlBaqarah ayat 180 dan Surah Al-Maidah ayat 106.
Firman Allah SWT. Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa ma'ruf ialah adil dan
baik. Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal
itu, ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa wasiat merupakan syari’at


Islam yang mempunyai fungsi bagi manusia, sehingga tak ada seorang ulama atau orang
Islam yang menentang dengan adanya wasiat, bahkan perbuatan ini banyak dilakukan
oleh umat Islam masa lalu. Pelaksanaan wasiat tidak hanya diatur dalam hukum Islam
dan KHI, hukum Barat yang berlaku di Indonesia yang tertuang dalam Kitab
UndangUndang Hukum Perdata juga mengatur tentang wasiat. Dalam Pasal 875 KUH
Perdata menyebut wasiat dengan testament (yaitu kehendak terakhir), bahwa apa yang
dikehendaki seseorang akan terselenggara apabila telah meninggal dunia, dan juga dalam
arti surat yang memuat tentang ketetapan hal tersebut. Sehingga testament adalah suatu

2
akta yang memuat suatu pernyatan seseorang tentang apa yang dikehendakinya kan
terjadi setelah meninggal dunia, yang mana dalam hal tersebut dapat di cabut kembali.

Dalam Kompilasi Hukum Islam seseorang yang akan berwasiat dijelaskan pada pasal 194
yang berbunyi:
1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun. Berakal sehat dan tanpa
adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga.
2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat 1 pasal ini baru
dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 194 di atas, terlihat sangat jelas bahwa seseorang
yang akan melakukan wasiat yang mempunyai kekuatan hukum yang kuat di Indonesia
harus berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, apabila seseorang yang melakukan wasiat
yang belum cakap umur menurut Kompilasi Hukum Islam maka wasiatnya batal. Dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 194 Ayat (1) tentang batas usia orang berwasiat berbeda
jauh dengan pendapatnya ulama. menurut Imam Malik wasiat orang safih (bodoh) dan
anak-anak yang belum baligh hukumnya sah.

Dapat disimpulkan bahwa orang yang berwasiat harus orang mukallaf dan atas
kehendaknya sendiri dan tidak sah wasiatnya anak yang masih kecil, orang gila, dan
budak, sekalipun itu budak mukatab. Orang yang berwasiat itu adalah orang yang cakap
bertindak hukum. Dalam kaitan ini, ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang
berwasiat itu disyaratkan telah berakal, namun para ulama berbeda pendapat dalam
masalah baligh. Ulama mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa orang
yang berwasiat itu disyaratkan baliqh dan berakal, oleh sebab itu, wasiat anak kecil yang
belum baligh menurut mereka tidak sah, karena wasiat merupakan akad yang bersifat
pemindahan harta secara sukarela tanpa imbalan. Kata baligh menurut Sulaiman Rasjid
ialah anak-anak yang sudah ada salah satu sifat yang terdapat pada dirinya diantaranya:

3
pertama, telah berumur 15 tahun. Kedua telah keluar mani. Ketiga telah haid bagi anak
perempuan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Wasiat dan Bagaimana Hukum Wasiat Itu?
2. Bagaimana hukum wasiat kepada non muslim dalam perspektif hukum Islam?
3. Bagaimana hukum wasiat kepada non muslim dalam perspektif hukum positif?
4. Bagaimana persamaan dan perbedaan hukum wasiat kepada non muslim dalam
perspektif hukum Islam dan hukum positif.

1.3 Tujuan
Suatu langkah atau perbuatan akan mengarah jika dalam perbuatan tersebut mempunyai
tujuan. Demikian juga halnya dalam makalah ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui Pengertian Hukum Wasiat
2. Untuk mendeskripsikan hukum wasiat kepada non muslim dalam perspektif hukum
Islam.
3. Untuk mendeskripsikan Hukum Wasiat Kepada Non Muslim Dalam Perspektif
Hukum Positif.
4. Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan Hukum Wasiat kepada non muslim
dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif.

4
BAB II

TEORI DAN PEMBAHASAN

2.1 Teori

A. Pengertian Wasiat
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang
meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau
memberi pesan atau pengampuan. Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang
diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi meninggal dunia. Wasiat
juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata washa merupakan bentuk
jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta, sedang iishaa’, wishayaa dan
washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan kepemilikkan yang disandarkan kepada
keadaan atau masa setelah kematian seseorang dengan cara tabbaru’ atau hibah, baik
sesuatu yang akan dimiliki tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna
barang. Wasiat berbeda dengan hibah yang merupakan tabbaru’ atau pemberian
kepemilikkan tanpa ganti, karena wasiat dilaksanakan setelah kematian sedang hibah
dilaksanakan semasa hidup. Definisi ini juga mencakup pembebasan hutang karena
pembebasan hutang adalah memberikan kepemilikkan piutang kepada orang yang
berhutang. Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah "memberikan Wahbah
Az-Zuhaili, opcit, h. 154 19 Ibid 20 Ibid, h. 155 hak secara suka rela yang dikaitan
dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata atau bukan” sedangkan
menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut : “wasiat itu adalah pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang , ataupun manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat mati.
Berdasarkan kepada definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa wasiat ialah pemberian
harta, hak atau manfaat oleh seseorang kepada seseorang yang lain semasa hayatnya
tanpa apa-apa balasan dan berkuatkuasa selepas kematiannya. Harta yang hendak
diwasiatkan mestilah tidak melebihi 1/3 dari keseluruhan harta si mati.

5
Wasiat ialah pemberian hak untuk memeliki suatu benda atau mengambil manfaatnya,
setelah meninggalnya si pemberi wasiat, melalui pemberian sukarela. Wasiat dianggap
jika dibuat dalam keaadaan sehat . Adapun rukun wasiat itu ada empat, yaitu:
a) redaksi wasiat (shighat)
b) pemberi wasiat (mushiy)
c) penerima wasiat (mushan lahu)
d) barang yang diwasiatkan (mushan bihi).

B. Syarat-Syarat Wasiat
Syarat-syarat bagi orang yang menerima wasiat, dalam mazhab Hanafi disebutkan
sebagai berikut:
a. orang yang akan menerima wasiat itu harus sudah ada ketika wasiat itu
diikrarkan.
b. sudah ada ketika orang yang berwasiat itu meninggal dunia
c. bukan orang yang menjadi sebab meninggalnya orang yang berwasiat dengan
cara pembunuhan.
d. bukan ahli waris pemberi wasiat.

2.2 Pembahasan Rumusan Masalah

A. Wasiat Dalam Hukum Positif


Wasiat atau testament ialah suatu pernyataan yang berisikan tentang kehendak terakhir
seseorang setelah ia meninggal dunia. Sedangkan pengertian wasiat menurut Pasal 875
BW adalah suatu akta yang isinya tentang pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi
setelah meninggal dunia, dan dapat ditarik kembali olehnya15 Kompilasi Hukum Islam
mendefenisikan wasiat sebagai berikut: Pemberian suatu benda dari pewaris kepada
orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia ”(Pasal 171
huruf f KHI) Di dalam terminology hukum perdata positif,sering disebut dengan istilah
testament.

6
B. Wasiat kepada Non Muslim
Dalam Hukum Islam Seorang Muslim boleh mewasiatkan sebagian hartanya kepada non-
Muslim dan sebaliknya, Muslim boleh menerima wasiat dari non-Muslim.Yang dilarang
adalah menerima warisan dari non-Muslim atau mewariskan kepada non-Muslim. “Dari
Usamah bin Zaid r.a, katanya Nabi saw. bersabda, “Orang Muslim tidak boleh mewarisi
orang kafir dan orang Muslim tidak boleh menerima warisan dari orang kafir.” ( H.R.
Muslim ). Para ulama berbeda pendapat tentang sahnya wasiat seorang muslim diberikan
kepada kafir harbi. Mazhab Maliki, Hambali, dan mayoritas Syafi‟i mengatakan bahwa
wasiat seperti itu sah, sedangkan mazhab Hanafi dan mayoritas Imamiyah mengatakan
tidak sah17 .

C. Wasiat Kepada Non Muslim Dalam Hukum Positif


Didalam hukum positif belum diatur secara rinci bagaimana wasiat kepada non muslim
hanya saja dalam pasal 878 disebutkan Ketetapan dengan surat wasiat untuk kepentingan
orang-orang miskin,tanpa penjelasan lebihlanjut, dianggap telah dibuat untuk
kepentingan semua orang yang menyandang sengsara tanpa membedakan agama yang
dianut, dalam lembaga fakir-miskin di tempat warisan itu terbuka. Di dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) tidak dijelaskan mengenai wasiat terhadap orang kafir, baik kafir
zimmi maupun kafir harbi. KHI hanya menjelaskan, bahwa wasiat kepada ahli waris
hanya berlaku apabila disetujui oleh semua ahli waris.

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Wasiat adalah pesan terakhir yang diuapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan
oleh seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkan.
Wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang haram, terkadang makruh, dan
terkadang mubah (boleh). Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat adalah orang yang
ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan
kompetensi ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar , dan
tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian. Apabila orang yang memberi
wasiat itu orang yang kurang kompetensinya, yaitu karena dia masih anak-anak,
gila, hamba sahaya, dipaksa, atau dibatasi; wasiatnya itu tidak sah.
Tidak sah mewasiatkan bukan harta, seperti bangkai, dan yang tidak bernilai, bagi
orang yang mengadakan askad wasiat, seperti khamar bagi kaum muslim.
Orang yang berwasiat biasanya ada yang memiliki ahli waris dan tidak. Bila dia
mempunyai ahli waris maka dia tidak boleh mewaistkan lebih dari 1/3 hartanya. Apabila
dia mewasiatkan hartanya lebih sepertiga, maka wasiat itu tidak di laksanakan.

Anda mungkin juga menyukai