Anda di halaman 1dari 15

HIBAH HANYA KEPADA SALAH SATU ANAK MENURUT HUKUM

WARIS ISLAM DI INDONESIA (STUDI KASUS PUTUSAN


PENGADILAN AGAMA PEKANBARU NOMOR:
0214/PDT.G/2017/PA.PBR, PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA
PEKANBARU NOMOR: 0027/PDT.G/ 2017/PTA.PBR, PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 558 K/AG/2017.)

Tasya Vidi Putri


(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti)
(Email: tasyavdptr@yahoo.com)

Wahyuni Retnowulandari
(Dosen Fakultas Hukum Trisakti)
(Email: wahyuni.r@trisakti.ac.id)

ABSTRAK
Penelitian normatif ini mengangkat masalah Hibah yang dalam praktek cukup
banyak menimbulkan masalah, sebagaimana dalam tulisan ini Hibah hanya
diberikan kepada salah satu anak sehingga menimbulkan masalah yang
bagaimana sesungguhnya pengaturan Hibah di Indonesia, apakah dapat hanya
diberikan pada salah satu anak saja dan putusan pengadilan terkait pembatalan
hibah tersebut telah sesuai dengan ketentuan Hukum Waris Islam di Indonesia.
Hasil penelitian ini terdapat dalam Pasal 210 dan 211 KHI , Hibah pada
dasarnya hanya boleh 1/3 dari harta si pemberi Hibah, Hibah yang diberikan
dari orangtua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan dengan
deminkian Hibah tidak dapat diberikan pada satu Ahli Waris saja. Sehingga
Putusan Pengadilan yang akan membatalkan Hibah tersebut telah sesuai dengan
ketentuan Hukum Waris Islam dan rasa keadilan bagi Ahli Waris.

Kata kunci: Hibah,Hukum Waris Islam.

hal 1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Salah satu bentuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT)


dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial, adalah hibah atau pemberian.
Hibah, yang dalam pengertian umum shadaqah dan hadiah, dilihat dari
aspek vertikal artinya ia dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan
seseorang. Semakin banyak berderma dan bershadaqah akan semakin
memperkuat dan memperkokoh keimanan dan ketakwaan. Dilihat dari
sudut lain, hibah juga mempunyai aspek horizontal yaitu dapat
berfungs4sebagai upaya mengurangi kesenjangan antara kaum yang
berpunya dengan kaum yang tidak punya serta menghilangkan rasa
kecemburuan sosial. 1
Hibah dalam kompilasi hukum Islam sendiri adalah pemberian suatu
benda secara sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain
yang masih hidup untuk dimiliki. Setiap orang yang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tidak adanya paksaan
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta bendanya
kepada orang lain atau kepada suatu lembaga untuk dimiliki. Hibah harus
dilakukan dihadapan dua orang saksi dan harta yang dihibahkan itu
haruslah barang-barang milik pribadi (hak milik) orang yang memberi
2
hibah. Hibah yang dilakukan orangtua kepada anak-nya dapat
diperhitungkan sebagai harta warisan apabila orangtuanya meninggal
dunia. Hibah yang diberikan pada saat orang yang memberikan hibah
dalam keadaan sakit yang membawa kematiannya, maka hibah yang
demikian itu haruslah mendapat persetujuan dari ahli warisnya, sebab
yang merugikan para ahli waris dapat diajukan pembatalannya ke

1 H. Chuzaimah T Yanggo dan HA Hafiz anshary AZ MA , Problematika Hukum Islam

Kontemporer, (Jakarta:PT Pustaka Firdaus,1995), h. 81.


2 H.Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia
,(Jakarta:Prenada Media Group,2006), h. 144.

hal 2
Pengadilan Agama agar hibah yang diberikan itu supaya dibatalkan. 3
Sayyid Sabiq dan Chairuman Pasaribu mengemukakan bahwa para ahli
hukum Islam sepakat pendapatnya bahwa seseorang dapat menghibahkan
semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya. Tetapi
Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkik mazhab Hanafi
mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun
untuk keperluan kebaikan. 4 Sekalipun hibah memiliki dimensi taqarrub
dan sosial yang mulia, di sisi lain terkadang hibah juga dapat
menumbuhkan rasa iri dan benci, bahkan ada pula yang meimbulkan
perpecahan di antara mereka yang menerima hibah, terutama dalam hibah
terhadap keluarga atau anak-anak.
Hibah seorang ayah terhadap anak-anak dalam keluarga tidak sedikit
yang dapat menimbulkan iri hati, bahkan perpecahan keluarga. Artinya,
hibah yang semula memiliki tujuan mulia sebagai taqarrub dan kepedulian
sosial dapat berubah menjadi bencana dan malapetaka
keluarga. 5 Kompilasi Hukum Islam menganut prinsip hibah hanya boleh
dilakukan 1/3 dari harta yang dimilikinya, hibah orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai waris. Apabila dilaksanakan menyimpang
dari ketentuan tersebut, diharapkan agar tidak terjadi pemecahan di antara
keluarga. 6 Sehingga walaupun hibah dan pewarisan merupakan hal yang
berbeda, hibah dari orang tua terhadap anaknya merupakan salah satu
faktor yang penting dalam hukum kewarisan islam. Selain itu dalam
hukum islam dikenal pula perbuatan hukum hibah yang dilakukan setelah
meninggalnya penghibah yang dikenal dengan hibah wasiat. Hibah wasiat
diambil dari bahasa arab, sehingga dalam hukum kewarisan Islam
kedudukannya hibah wasiat sangat penting sebab Al-Qur’an menyebut
perihal hibah wasiat berulang kali. 7

3 Ibid.
4 H Abdul Manan, Op.Cit., h. 137.
5 H. Chuzaimah T Yanggo dan HA Hafiz anshary AZ MA , Op.Cit., h. 81.
6 H.Abdul Manan, Op.Cit., h. 138.
7 Erman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: CV Mandar Maju,

1995), h. 73.

hal 3
Namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang masih tidak
mengerti lebih mendalam mengenai hibah dan wasiat sehingga sering
menimbulkan permasalahan. Seperti contohnya, permasalahan yang
timbul dari perbuatan hibah, terkadang hibah juga sering menimbulkan
rasa iri dan benci bahkan menimbulkan perpecahan di antara mereka yang
menerima hibah, terutama hibah terhadap keluarga atau anak-anak. Hal
tersebut bisa saja terjadi disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya
yaitu adanya faktor kecondongan hati. Terdapat suatu kasus seorang ayah
yang memberikan hibah hanya kepada salah satu anaknya saja sehingga
dianggap tidak adil dan menimbulkan sengketa di antara mereka. Hal
tersebut dianggap tidak sejalan dengan ketentuan hukum Islam di
Indonesia. Inilah pokok permasalahan yang ingin penulis bahas dalam
penelitian ini, suatu permasalan yang barangkali sering dihadapi dan
dialami banyak orang.
2. Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat dikemukakan rumusan


masalah sebagai berikut:

1. Apakah hibah dapat hanya diberikan pada salah satu anak saja?

2. Apakah putusan pengadilan terkait pembatalan hibah tersebut telah


sesuai dengan ketentuan Hukum Waris Islam di Indonesia?

B. Metode Penelitian

Penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Hibah


Kepada Salah Satu Anak Menurut Hukum Waris Islam di Indonesia Objek
penelitiannya adalah Hibah kepada hanya salah satu anak. Tipe penelitian
tentang Hibah ini adalah normatif yang bersifat deskriptif belaka. Data yang
digunakan adalah data sekunder yang bersumber pada bahan hukum primer
yaitu bahan-bahan hukum yang terkait dengan skripsi ini, seperti Al-quran,
hadist, dan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 (Kompilasi Hukum
Islam), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Putusan Pengadilan Agama

hal 4
Pengadilan Agama Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr tentang perkara
pembatalan hibah, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru Nomor:
0027/Pdt.G/2017/PTA.Pbr, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 558
K/Ag/2017 dan bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain sebagai
berikut buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan,dokumen-
dokumen resmi,makalah dalam jurnal internet terkait Waris, Wasiat dan
Hibah. 8 Kemudian disusun secara kualitatif dan disimpulkan secara deduktif,
artinya adalah metode menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari
pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum. 9

C. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN


1. Pengaturan Pemberian Hibah Kepada Salah Satu Anak Saja Dalam
Keluarga Menurut Hukum Waris Islam Di Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai Hibah, Hibah menurut KHI
adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimilki. Dalam Pasal
210 KHI, Hibah harus dikukan oleh orang yang telah berumur sekurang-
kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan serta dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimilki. Harta benda yang
dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. KHI juga mengatur dalam
Pasal 211, bahwa Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
sebagai warisan. Jika dilihat dari ketentuan tersebut, hibah yang diberikan oleh
H Tabrani kepada anaknya dapat dianggap atau diperhitungkan sebagai
warisan. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah, karena Pemberi Hibah
hanya memberikan hibahnya kepada salah satu anaknya saja yaitu H. Susiana
Aggraini Tabrani tanpa sepengetahuan anak-anak lainnya yang dapat
menimbulkan perbedaan pendapat diantara mereka, apakah besar hibah yang

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3, (Jakarta:Universitas


Indonesia, 1986), h. 52.
9 Ibid., h. 5.

hal 5
diberikan kepada salah satu anak tersebut sesuai dengan Kompilasi Hukum
Islam atau mungkin lebih besar dari yang diatur oleh Kompilasi Hukum
Islam. Perbedaan atau kecurigaan itu timbul dikarenakan munculnya perasaan
ketidakadilan karena tidak adanya keterbukaan diantara mereka.
Dalam Pasal 210 KHI, sudah sangat jelas diatur bahwa pemberi hibah
dapat menghibahkan hartanya sebanyak-banyaknya adalah 1/3 dari harta
bendanya. Sehingga apabila pemberi hibah tidak mengikuti aturan yang telah
diatur tersebut, maka dapat menimbulkan sengketa. Hibah juga sangat
memiliki hubungan terhadap kewarisan Islam, karena menurut Pasal 213 KHI
“hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang
dekat dengan kematian, harus mendapatkan persetujuan dari ahli warisnya”.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga mengatur mengenai hibah. Dalam
Pasal 675 angka 4 KHESY, Hibah adalah penyerahan kepemilikan suatu
barang kepada oranglain tanpa imbalan apa pun. Dalam hal hibah yang
diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang sudah dewasa, harta yang
diberikan sebagai hibah itu harus diserahkan dan harus diterima oleh anak
tersebut. Suatu hibah yang diberikan kepada seorang anak bisa dinyatakan
transaksi hibah telah terjadi dengan sempurna. Dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 708, jika si penerima hibah adalah seorang anak yang sudah cakap
bertindak (mumayiz), maka transaksi hibah itu dianggap telah sempurna bila
anak itu sendiri yang mengambil langsung hibah itu, meskipun ia mempunyai
seorang wali.
KHESY tidak diatur mengenai pemberian hibah kepada salah satu orang
anak. Melainkan, hanya membahas mengenai ketentuan-ketentuaran, syarat-
syarat serta rukun hibah. Baik Kompilasi Hukum Islam maupun Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah sebenarnya tidak diatur mengenai pemberian hibah
yang diberikan kepada salah satu anak saja. Namun apabila hibah tersebut
diketahui melebihi batas maksimal pemberian hibah yang diatur dalam Pasal
210 KHI, maka dapat menimbulkan sengketa di dalam keluarga. Karena
seperti yang kita ketahui dalam Pasal 211 KHI ditegaskan bahwa Hibah dari
orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, sehingga

hal 6
apabila hibah tersebut diberikan lebih dari batas maksimal yang ditentukan
dalam KHI maka akan menyinggung harta waris para ahli waris dan dapat
menimbulkan sengketa di dalam keluarga. Menurut penulis, selain kita
berpegang kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum
waris Islam, kita juga patut mempelajari hukum waris Islam secara Syariah
seperti Al’Qur’an, Hadist, Ijtihad. Karena sebagai umat Islam, kita wajib
untuk mengikuti ajaran-ajaran yang telah diatur dalam agama kita yaitu agama
Islam agar tidak adanya sengketa yang bisa menimbulkan perpecahan di
dalam keluarga.

2. Kesesuaian Putusan Pengadilan Agama Pekanbaru Nomor


0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru
Nomor: 0027/Pdt.G/2017/PTA.Pbr, Putusan Mahkamah Agung Nomor:
558 K/Ag/2017 tentang Perkara Pembatalan Hibah Menurut Ketentuan
Hukum Waris Islam Di Indonesia
Putusan Pengadilan Agama Pekanbaru tersebut tidak sesuai hukum waris
Islam yang berlaku di Indonesia, dikarenakan perbuatan memberikan hibah
hanya kepada salah satu anak dinilai kurang baik jika dilihat dari sabda Nabi
Muhammad SAW yang berbunyi ““Takutlah engkau kepada Allah dan
bersikaplah adil terhadap anak-anak kalian”, terlebih pemberian hibah
tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan anak-anak lainnya sehingga dapat
memunculkan perbedaan pendapat mengenai besar pemberian hibah tersebut.
Selain itu, hibah tersebut diberikan melalui surat wasiat yang tidak sesuai
ketentuan formal, dikarenakan surat pemberian hibah tersebut dibuat dengan
judul “Surat Wasiat” , sebagaimana kita tahu dalam Pasal 171 huruf (F) KHI
bahwa wasiat merupakan “Pemberian seseorang kepada orang lain, baik
berupa benda, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat
sebagai pemberian yang berlaku setelah wafatnya orang yang berwasiat”.
Sedangkan, kenyataannya dalam kasus tersebut. Wasiat sudah digunakan
sebelum wafatnya Pemberi Wasiat, juga dilakukan tanpa adanya dua orang
saksi dan tidak dilakukan dihadapan notaris. Karena jika melihat ketentuan

hal 7
Kompilasi Hukum Islam, Pada Pasal 195 yang berbunyi “Wasiat dilakukan
secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang
saksi, atau dihadapan Notaris. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-
banyaknya (1/3) sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris
menyetujui. Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli
waris”. Sehingga, judul “Surat Wasiat” yang dibuat oleh Pemberi Hibah
tersebut kurang tepat dikarenakan tidak mengikuti ketentuan formal dan
materil Hukum Waris Islam yang ada di Indonesia.
Penghibahan yang dilakukan oleh pemberi hibah tersebut juga tidak sesuai
dengan KHI yaitu melebihi batas maksimum yang telah diatur dalam Pasal
210 KHI yaitu harta yang dapat dihibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
benda pemberi hibah. Maka dengan dilakukannya hal tersebut, pemberian
hibah kepada salah satu anak tersebut sangatlah tidak adil, karena
sebagaimana diketahui dalam Pasal 211 KHI “ Hibah dari orang tua kepada
anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan” sehingga hibah yang melebihi
batas maksimal tersebut dapat mengurangi bagian harta waris anak-anak yang
lainnya. Dalam Surat Hibah Wasiat itu juga Pemberi Hibah memberikan hibah
berupa tanah sebagai objek hibah. Sehingga menurut penulis diperlukannya
akta hibah yang otentik sebagai bukti telah dihibahkan tanah tersebut. Karena
apabila kita melihat Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), “Hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah, di
waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali
menyerahkan sesuatu benda guna kepentingan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu”.
Hibah harus diadakan antara orang yang masih hidup. Apabila hibah atas
benda tidak bergerak agar mendapatkan kepastian hukum maka atas hibah
tersebut seluruh warga Negara Indonesia harus tunduk pada aturan
pelaksanaan hibah yang diatur dalam KUHPer Pasal 1682 KUHPer yang
menyatakan bahwa “Hibah atas benda tidak bergerak hanya dapat dilakukan
dengan Akta Notaris dan dapat dinyatakan batal demi hukum apabila tidak
dilakukan dengan Akta Notaris”. Maka dari itu, sangatlah penting apabila

hal 8
hibah tersebut harus dilakukan dengan Akta Notaris agar terdapat bukti
pemberian hibah secara resmi dan otentik. Sehingga menurut penulis, Putusan
Pengadilan Agama Pekanbaru nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr tersebut tidak
sesuai karena perbuatan hibah yang dilakukan oleh Prof H Tabrani tidak
sesuai dengan ketentuan Hukum Waris Islam di Indonesia.
Dikarenakan gugatan penggugat tidak diterima, maka Para Penggugat
melakukan Banding agar mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya dari
Hakim Pengadilan dengan tujuan agar permasalahan ini dapat terselesaikan.
Akan tetapi, Hakim Pengadilan dalam banding hanya menguatkan saja
putusan Hakim Pengadilan Agama Pekanbaru. Sehingga para penggugat
melakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pada saat kasasi, akhirnya permohonan Para Penggugat pun diterima.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi dengan
melakukan pembatalan Surat Wasiat. Hal tersebut dikarenakan, Pengadilan
Tinggi Agama Pekanbaru yang menguatkan Putusan Pengadilan Agama
Pekanbaru telah salah dan keliru dalam menerapkan hukum.
Secara formal, surat wasiat yang berisi pemberian hibah yang dibuat oleh
Prof. Dr. H. Tabrani (Pemberi Hibah) pada tanggal 8 Januari 2009, yang
ditandatangani bersama Penerima Wasiat (Dr. dr. Hj. Susiana Angraini
Tabrani/Termohon Kasasi/Tergugat II) di bawah tangan adalah batal demi
hukum, karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu surat wasiat menurut
Hukum Waris Islam di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 194 dan
195 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
Pasal 194 KHI: “Pewasiat adalah orang yang telah berumur sekurang-
kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat
mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Harta
Benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan
terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini baru dapat
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia”

Pasal 195 KHI: “Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi,
atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris. Wasiat hanya
diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali

hal 9
apabila semua ahli waris menyetujui. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku
bila disetujui oleh semua ahli waris. Pernyataan tersebut harus dibuat secara
lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau
di hadapan Notaris.”

Dilihat secara materil, surat wasiat yang berisi pemberian hibah yang
dibuat oleh Prof. Dr. H. Tabrani Rab, M.Kes. bertanggal 8 Januari 2009, tidak
sejalan dengan ketentuan hukum Waris Islam. Karena dinilai tidak adil dalam
memberikan hibah yaitu hanya memberikan hibah kepada salah satu anaknya
saja. Dalam pandangan hukum Islam kekayaan orang tua mempunyai 3 (tiga)
fungsi, yaitu untuk kepentingan nafkah keluarga, untuk kepentingan keluarga,
dan untuk kepentingan anak yang ditinggal ketika yang bersangkutan
meninggal dunia.
Sehingga Para Pemohon Kasasi/Para Penggugat (Dr. dr. Hj. Diana Tabrani
dan dr. Irma Tabrani, Sp.P.) sebagai anak kandung dari Hj Tabrani dan
sebagai saudara kandung Penerima Hibah memiliki legal standing untuk
membatalkan hibah yang diberikan melalui Surat wasiat, karena mempunyai
hak terhadap objek hibah yang merupakan harta orang tua Para Pemohon
Kasasi/Para Penggugat, serta hak memberi persetujuan atau tidak memberi
persetujuan. Sehingga, Surat wasiat yang berisi pemberian hibah tersebut
dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan segala perbuatan
hukum yang dilakukan berdasarkan surat wasiat tersebut adalah batal demi
hukum.
Dengan demikian, menurut Penulis putusan Mahkamah Agung itu dapat
dibenarkan karena sesuai dengan Hadist an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu
anhu, yang berbunyi : “Ayahnya datang bersamanya kepada Rasulullah SAW,
dan menyatakan: “Aku telah memberi anakku ini seorang bocah yang ada
padaku”. Rasulullah SAW bertanya: “Apakah kepada seluruh anak-anakmu,
kamu memberinya seperti ini?”. Ia menjawab: “Tidak”. Rasulullah SAW
kemudian bersabda lagi: “Tariklah kembali darinya”. (HR Muslim). 10
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda, yang berbunyi:

10 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2015),


h.128.

hal 10
“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana
kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan
berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 12.003)
Sehingga dengan melihat hadist diatas, memberikan hibah hanya kepada
salah satu anak dinilai tidak adil. Selain itu, didalam kasus ini Hj Tabrani
membuat surat hibah yang berjudul “Surat Wasiat” yang berisi perihal
menghibahkan hartanya tanpa mengikuti ketentuan Pasal 210 KHI yang
memberikan ketentuan bahwa batas maksimum hibah adalah 1/3 (sepertiga)
dari harta benda si pemberi hibah serta hibah tersebut tidak dilakukan
dihadapan dua orang saksi. Hibah yang dilakukan oleh Hj Tabrani juga dapat
menimbulkan sengketa diantara keluarga, karena dilakukan secara diam-diam
tanpa memberitahu anak-anak lainnya dan tidak mengikuti ketentuan hukum
Waris Islam. Karena Hibah dari orangtua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan, sebagaimana Pasal 211 KHI mengaturnya.
Sebagai Warga Negara Indonesia, hibah atas benda yang tidak bergerak juga
sebaiknya dilakukan dengan Akta Notaris sebagaimana Pasal 1682 KUHPer
yang menyatakan bahwa hibah atas benda tidak bergerak hanya dapat
dilakukan dengan Akta Notaris dan dapat dinyatakan batal demi hukum
apabila tidak dilakukan dengan Akta Notaris , agar akta hibah tersebut dapat
memberikan kepastian hukum bagi para pemiliknya. Selain itu, persetujuan
anak-anak lainnya juga sangat diperlukan untuk menunjukan itikad baik dari
Orang tua dalam hal ini adalah Pemberi Hibah bahwa Hibah yang dia berikan
kepada anaknya adalah untuk kebaikan.
Namun, jika melihat ketentuan Hibah maupun Wasiat di dalam Kompilasi
Hukum Islam, keputusan hakim di dalam putusan Mahkamah Agung tersebut
sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai karena pemberian hibah tersebut
seharusnya dapat tetap diberikan tanpa membatalkan Surat Wasiat yang berisi
pemberian Hibah yang dibuat oleh Hj Tabrani dengan syarat hibah tersebut
harus diberikan kepada semua anak-anaknya dengan jumlah maksimal 1/3
(sepertiga) dari harta yang akan dihibahkan tersebut sesuai dengan ketentuan
Pasal 210 KHI yaitu bahwa harta yang dapat dihibahkan sebanyak-banyaknya

hal 11
1/3 (sepertiga) dari harta benda pemberi hibah. Dikarenakan hibah ini
diberikan kepada anak kandung si pemberi hibah, maka hibah tersebut harus
diberikan adil kepada semua anak tersebut. Sebagaimana kita lihat di dalam
Kompilasi Hukum Islam, tidak adanya alasan pembatalan hibah yang
dilakukan atas dasar ketidakadilan dalam memberikan hibah dan dikarenakan
Hibah ini berupa sejumlah tanah atau benda tidak bergerak, maka sebagai
Warga Negara Indonesia diwajibkan untuk tunduk pada aturan pelaksanaan
Hibah yang diatur dalam KUHPER Pasal 1682 yang menyatakan bahwa
Hibah atas benda tidak bergerak hanya dapat dilakukan dengan akta notaris.
Sehingga selain harus memenuhi ketentuan Hibah yang diatur didalam
Kompilasi Hukum Islam, pemberian hibah berupa objek benda tidak bergerak
juga harus mengikuti ketentuan formal yang berlaku di Indonesia.

D. PENUTUP DAN SARAN

1. Kesimpulan
1) Dalam Pasal 211 KHI dijelaskan bahwa “Hibah dari orang tua
kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”. Sehingga
apabila hibah yang diberikan hanya kepada salah satu anak tersebut
melebihi batas maksimum memberikan hibah yaitu seperti yang
diatur dalam Pasal 210 KHI batas maksimum memberikan hibah
sebanyak-banyaknya adalah 1/3 dari harta benda si pemberi hibah.
Maka hibah tersebut dapat mengurangi harta waris si pemberi
hibah, apabila si pemberi hibah meninggal dunia. Sehingga
perbuatan hibah hanya kepada salah satu anak saja dalam keluarga
merupakan perbuatan yang tidak sah dan tidak adil.
2) Putusan Hakim Pengadilan Agama dan Putusan Pengadilan Tinggi
Agama tidak sesuai dengan hukum Islam yang mengatur mengenai
perbuatan memberikan hibah kepada salah satu anak karena dinilai
kurang baik. Hibah tersebut juga diketahui melebihi batasan
maksimal dalam memberikan hibah yaitu sebanyak-banyaknya 1/3

hal 12
dari harta benda si pemberi hibah serta pemberian hibah tidak
dilakukan dihadapan dua orang saksi. Hal tersebut diatur lebih
lanjut di dalam Pasal 210 KHI. Jika melihat ketentuan Hibah
maupun Wasiat di dalam Kompilasi Hukum Islam, keputusan
hakim di dalam putusan Mahkamah Agung juga sebenarnya tidak
sepenuhnya sesuai karena pemberian hibah tersebut seharusnya
dapat tetap diberikan tanpa membatalkan Surat Wasiat yang berisi
pemberian Hibah yang dibuat oleh Hj Tabrani dengan syarat hibah
tersebut harus diberikan kepada semua anak-anaknya dengan
jumlah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta yang akan dihibahkan
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 210 KHI yaitu bahwa harta
yang dapat dihibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari
harta benda pemberi hibah. Dikarenakan hibah ini diberikan kepada
anak kandung si pemberi hibah, maka hibah tersebut harus
diberikan adil kepada semua anak tersebut. Sebagaimana diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak adanya alasan pembatalan
hibah yang dilakukan atas dasar ketidakadilan dalam memberikan
hibah dan dikarenakan Hibah ini berupa sejumlah tanah atau benda
tidak bergerak, maka sebagai Warga Negara Indonesia diwajibkan
untuk tunduk pada aturan pelaksanaan Hibah yang diatur dalam
KUHPER Pasal 1682 yang menyatakan bahwa Hibah atas benda
tidak bergerak hanya dapat dilakukan dengan akta notaris.

2. Saran

Pemberian hibah harus diberikan sesuai dengan ketentuan yang


telah diatur baik dalam KHI, KHESY maupun ketentuan Syariah
seperti Al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad. Pemberian hibah kepada
anak juga harus diberikan secara adil. Jika Orang tua ingin
memberikan hibah hanya kepada salah satu anak, maka hibah
tersebut harus dilakukan dengan adanya persetujuan dari anak-anak

hal 13
yang lain dengan disertai alasan-alasan yang melatarbelakangi hal
tersebut. Hibah atas benda tidak bergerak juga penting untuk
mempunyai kepastian hukum. Maka atas hibah benda tidak
bergerak tersebut seluruh WNI (Warga Negara Indonesia) wajib
tunduk pada peraturan pelaksanaan hibah yang diatur dalam
KUHPer, sebagaimana diatur dalam Pasal 1682 KUHPer yang
menyatakan bahwa hibah atas benda tidak bergerak hanya dapat
dilakukan dengan Akta Notaris dan dapat dinyatakan batal demi
hukum apabila tidak dilakukan dengan Akta Notaris. Sehingga
dengan mengikuti ketentuan hukum waris Islam secara Syariah
maupun formil, tidak adanya sengketa yang akan timbul
dikemudian hari.

REFERENSI
BUKU
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Katalog Dalam Terbitan,
2004.

Erman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju,


1995.

_______, Hukum Waris Indonesia, Cet 2, Bandung: PT Refika Aditama, 2007.

H. Chuzaimah T Yanggo dan HA Hafiz Anshary AZ MA, Problematika Hukum


Islam Kontemporer, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995.

H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:


Prenada Media Group, 2006.

H. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan
BW, Cet. 4, Bandung: PT Refika Aditama, 2014.

H. M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam


Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Sinar Grafika, 1994.

Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

hal 14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986.

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi


Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER)

TESIS
Karina Minardi, “Analisis Hukum Terhadap Keabsahan Akta Hibah Yang Dibuat
Oleh Notaris Terhadap Sertipikat Hak Guna Bangunan Yang Telah Berakhir
Masa Berlakunya”, Tesis Universitas Indonesia, Depok, 2011.

hal 15

Anda mungkin juga menyukai