Disusun oleh:
Egidiawara Hari Niek 2016-0401-164
Devi Ayu Asriani 2016-0401-176
Nindy Maulidya 2016-0401-093
Vazrin Agsella T.B 2016-0401-096
Agung Wijaya 2016-0401-210
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai studi kasus tentang
Wasiat Wajibah tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini merupakan tugas
yang diberikan dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama di Universitas
esa unggul.
Kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mohon kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan
penulisan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami maupun rekan-rekan, sehingga dapat menambah pengetahuan kita bersama.
` Kelompok IV
BAB I
PENDAHULUAN
Pertama : yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima
pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua : orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan
kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan
yang lain, seperti hibah umpamanya.
BAB III
ANALISA KASUS
Lutiyah binti ratmun yang merupakan anak angkat secara adat dari ibu
Sondreg (pewaris) dan Warsumi binti roslam adalah anak perempuan dari bapak
Roslam yang merupakan saudara laki-laki ibu daswi (ibunya pewaris) menggugat
Jumain bin sarmai yang merupakan anak angkat sah secara hukum dari ibu
sondreg (pewaris) karena Jumain memiliki 18 sertifikat Hak Milik dari 50 harta
waris (objek sengketa) peninggalan ibu sondreg (pewaris) sehingga ahli waris
yang lain ( Warsumi dan Lutiyah) tidak mendapatkan harta waris tersebut.
1) Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU KHI berbunyi :
1.0 Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai
dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang
tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
2.0 Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.
Berdasarkan pasal di atas maka dalam Kompilasi Hukum Islam orang
tua angkat secara serta merta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan
karena itu diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3 dari harta
yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat
untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem
pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada
para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu.
2) Ketentuan wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam
menafsirkan QS: Al-Baqarah :180 Artinya : “ Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas 0rang-orang yang
bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah: 180).
Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah di atas,
berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya
wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan
diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan
aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan
dilaksanakan.
3) pasal 201 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan rumusan
“harta peninggalan yang diwasiatkan melebihi sepertiga dari harta warisan,
sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya
dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan”,
oleh karena ahli waris dzawil furudh (Warsumi binti roslam) keberatan
sehingga mengajukan gugatan perkara a quo maka harta peninggalan
Sondreg hanya dapat di kuasai oleh anak angkat dengan lembaga wasiat
wajibah maksimal 1/3 (sepertiga) bagian dari keseluruhan
4) dalam Pasal 185 ayat (1) KHI menyatakan bahwa “ahli waris yang
meninggal terlebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya.”
Maka apabila pewaris meninggal dunia tanpa adanya ahli waris yaitu anak,
duda/janda, ayah, ibu dan saudara sedarah, maka dalam hal ini keponakan
pewaris yang merupakan anak dari saudara perempuan atau saudara laki-
laki termasuk menjadi ahli waris yang menggantikan kedudukan dari orang
tuanya.
5) Pasal 185 ayat (2) KHI yang menyatakan bagian dari ahli waris pengganti
tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang digantikan. keponakan
yang menjadi ahli waris pengganti laki-laki atau perempuan. Dari hal yang
menjadi penentu bagian waris tersebut diatas akan dapat diketahui bagian
keponakan sebagai ahli waris pengganti, yaitu :
Apabila ahli waris yang digantikan adalah saudara perempuan pewaris
maka yang menjadi bagian dari keponakan adalah ½ bagian. Hal ini
merujuk pada ketentuan Pasal 182 KHI.
Apabila ahli waris yang digantikan adalah saudara laki-laki pewaris,
maka akan kedudukan keponakan sebagai ahli waris adalah:
a) Apabila keponakan yang menjadi ahli waris pengganti adalah
perempuan, maka bagiannya adalah ½ bagian jika ia mewaris
sendiri atau 2/3 bagian jika ia mewaris bersama-sama saudara
perempuan lainnya. Kedudukan keponakan perempuan yang
menjadi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian dari
bagian saudara perempuan pewaris.
b) Apabila keponakan yang menjadi ahli waris pengganti adalah laki-
laki, maka ia akan menjadi ahli waris ashobah, yang bagiannya
menghabiskan sisa bagian setelah dikurangi dengan 1/3 bagian yang
telah diberikan kepada anak angkat pewaris melalui wasiat wajibah.
c) Apabila keponakan yang menjadi ahli waris tersebut adalah
keponakan laki-laki bersama saudara perempuannya, maka
bersama-sama akan menjadi ahli waris ashobah yang bagiannya
ditentukan dua banding satu.
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau
kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat,
karena adanya suatu halangan syara’.
Adapun dasar hukum wasiat wajibah ini, menurut Fatchur Rahman, diambil
secara kompromi terhadap pendapat para Ulama Salaf dan Khalaf, yakni :
a) Kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima
pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha dan tabi’in besar ahli fiqh
dan ahli hadis. Antara lain Sa’id ibn Al-Musayyab, Hasan Al-Basry, Thawus,
Ahmad, Ishaq ibn Rahawaih, dan Ibn Hazm.
b) Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang
tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, bila si
mati tidak berwasiat, adalah diambil dari pendapat mazhab Ibn Hazm yang
dinukil dari fuqaha tabi’in dan pendapat Imam Ahmad.
c) Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada
cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah
didasarkan pada pendapat Ibn Hazm dan kaidah.
Dalam pasal 209 menyiratkan :
a) Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau
sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.
b) Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan
tetapi dilakukan oleh negara.
c) Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi
1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.