Anda di halaman 1dari 15

ANALISA KASUS WASIAT WAJIBAH

NOMOR PERKARA: 029/Pdt.G/2014/PTA.Smg

Disusun oleh:
Egidiawara Hari Niek 2016-0401-164
Devi Ayu Asriani 2016-0401-176
Nindy Maulidya 2016-0401-093
Vazrin Agsella T.B 2016-0401-096
Agung Wijaya 2016-0401-210

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai studi kasus tentang
Wasiat Wajibah tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini merupakan tugas
yang diberikan dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama di Universitas
esa unggul.

Kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mohon kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan
penulisan makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami maupun rekan-rekan, sehingga dapat menambah pengetahuan kita bersama.

Jakarta, 15 Oktober 2018

` Kelompok IV
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Secara realita banyak pasangan suami istri yang sudah mapan dan
perekonomian yang berlebihan belum berhasil memperoleh keturunan
sementara disatu sisi pasangan suami istri yang belum siap secara
perekonomian belum tercukupi justru banyak mempunyai keturunan. Dari
gambaran tersebut diatas suami istri yang tak memperoleh keturunan dapat
mengangkat anak dari kedua orang tua yang menyerahkan anaknya untuk di
adopsi menjadi anak angkat. Dengan demikian terjadilah peralihan
tanggungjawab dari orang tua yang menyerahkan anaknya kepada yang
menerima, kemudian bersedia mendidik dan membesarkannya sebagaimana
anak kandungnya sendiri.
Proses pengangkatan anak mengakibatkan ketentuan hukum baru, dimana
jika terjadi sesuatu musibah dan mengakibatkan kematian terhadap orang tua
angkat tersebut maka akan terjadi perubahan sosial tentang pembagian harta
warisan yang ditinggalkan . kedudukan anak angkat/orang tua angkat pada
hukum waris yang di atur dalam Hukum adat keduanya adalah ahli waris yang
saling mewarisi dan menurut Kompilasi Hukum Islam anak angkat/orang tua
angkat berhak mendapatkan  wasiat wajibah sebanyak 1/3 apabila anak angkat
tidak menerima warisan. Sementara Kitab Undang undang Hukum Perdata
pasal 832 dan dalam hukum Islam keduanya tidak termasuk ahli waris

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan wasiat wajibah?
2. Apa dasar hukum wasiat wajibah?
3. Bagaimana perbedaan wasiat dan wasiat wajibah?
4. Bagaimana syarat dan perhitungan pembagian wasiat wajibah?
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian wasiat wajibah
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari wasiat wajibah
3. Agar bisa membedakan wasiat biasa dengan wasiat wajibah
4. Agar mengetahui syarat cara perhitungan pembagian wasiat wajibah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Wasiat Wajibah

Istilah “wasiat” diambil dari washaitu-ushi asy-syai’a (aku menyambung


sesuatu).Dalam syari’at, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat
oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi
wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat. 1
                                Yang dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak
dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang
meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik diucapkan atau tidak
diucapkan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal
dunia.. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat
tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya
didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat
tersebut harus dilaksanakan.2
                        Wasiat wajibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang wajib
kepada ahli waris atau kaum keluarga terutama cucu yang terhalang dari
menerima harta warsian karena ibu atau ayah mereka meninggal sebelum kakek
atau nenek mereka meninggal atau meninggal bersamaan. Ini karena berdasarkan
hukum waris  mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan kakek
dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu tersebut.3

1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008.  jilid 4, h. 523


2 uparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002, h.163
3 Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’I, Hazairin dan KHI,
(Pontianak: Romeo Grafika, 2006), h.98  
Hukum Wasiat
                        Menurut pendapat yang berasal dari empat Imam dan para ulama zaidiyah,
hukum wasiat dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan kondisi. Kadang
wasiat menjadi wajib, sunnah, haram, makhruh, dan kadang mubah.
a. Wasiat hukumnya wajib, jika seseorang menanggung kewajiban syar’i
yang dia khawatirkan akan tersia-siakan jika tidak diwasiatkannya, seperti
zakat.
b. Wasiat hukumnya sunnah, jika dilakukan dalam ibadah-ibadah atau
diberikan kepada karib kerabat yang miskin dan orang-orang miskin yang
shaleh diantara manusia.
c. Wasiat hukumnya haram, jika menimbulkan kerugian bagi ahli waris.
d. Wasiat hukumnya makruh, jika harta orang yang berwasiat sedikit,
sedangkan dia memiliki seorang ahli waris atau beberapa orang ahli waris
yang membutuhkannya.
e. Wasiat hukumnya mubah, jika wasiat itu ditujukan kepada kerabat-kerabat
atau tetangga –tetangga yang penghidupan mereka sudah tidak
kekurangan.4

Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari


anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Atas
fenomena ini, Abu Muslim Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat diwajibkan
untuk golongan-golongan yang tidak mendapatkan harta pusaka. Ditambahkan
oleh Ibnu Hazmin. 5
Ketentuan wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam
menafsirkan QS: Al-Baqarah :180
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu-

4 Asyhari Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Surabaya: Pustaka Hikamah


Perdana, 2005, h.227
5 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik
Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, 1982, h, 78
bapak dan kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas 0rang-orang
yang bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah: 180).6
        Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah di atas,
berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib,
sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga
pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan
bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan.

Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :

Pertama : yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima
pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua : orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan
kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan
yang lain, seperti hibah umpamanya.

2.2 Dasar Hukum Wasiat Wajibah

Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam


Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan
orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan
ayat (2) berbunyi :  
1.0 Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai
dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang
tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
2.0 Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.7
6 Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Sinergi Pustaka Indonesia : 2012), h.
34
7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Akademia
Pressindo, 1992) h. 28
Konsep 1/3 (satu pertiga) harta peninggalan didasarkan pada hadits Sa’ad bin
Abi Waqash, seorang sahabat Nabi. Sa’ad bin Abi Waqash. 8 sewaktu sakit
dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya, “Saya mempunyai harta banyak akan tetapi
hanya memiliki seorang perempuan yang mewaris. Saya sedekahkan saja dua
pertiga dari harta saya ini.” Rasulullah menjawab “Jangan.” “Seperdua?” tanya
Sa’ad lagi. Dijawab Rasulullah lagi dengan “Jangan.” “Bagaimana jika
sepertiga?” tanya Sa’ad kembali. Dijawab Rasulullah “Besar jumlah sepertiga itu
sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan
adalah lebih baik.”
Berdasarkan aturan ini  orang tua anak atau anak angkat tidak akan
memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris.  Dalam Kompilasi
Hukum Islam orang tua angkat secara serta merta dianggap telah meninggalkan
wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3  dari
harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk
orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa
sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat
wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu. 
Peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan di dalam fiqh
bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku diberbagai dunia Islam
kontemporer. Alqur’an menolak penyamaan hubungan karena pengangkatan anak
yang telah berkembang di dalam adat masyarakat bangsa arab, waktu itu karena
ada hubungan pertalian darah. 
Sedangkan di dalam masyarakat muslim Indonesia sering terjadi adanya
pengangkatan anak terutama bagi mereka yang di dalam perkawinannya tidak
dikaruniai keturunan. Pengangkatan anak yang biasanya dikukuhkan dengan
aturan adat ini, sering menimbulkan kesulitan, perasaan tidak puas, bahkan tidak
jarang adanya tuduhan tidak adil ketika salah satu pihak meninggal dunia. Dalam
hubungan pengangkatan anak hal ini sering terjadi anak angkat tidak memperoleh
harta sedikitpun karena orang tua angkatnya tidak sempat berwasiat atau tidak

8 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1981, h. 102


tahu bahwa anak angkatnya tidak berhak memperoleh warisan (menurut fiqh)
namun sebaliknya sebagian orang tua angkat menempuh dengan cara hibah, yang
kadang-kadang juga tidak mulus karena sesudah hibah dilakukan terjadi
pertengkaran dan ketidakakuran antara  anak dengan orang tua angkat tersebut.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri
mengenai konsep wasiat wajibah ini hanya kepada anak angkat dan orang tua
angkat saja. Dalam pasal 209 KHI disebutkan bahwa harta peninggalan anak
angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 KHI, terhadap
orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat wajibah sebanyak
sepertiga dari harta warisan anak angkatnya. Sedangkan terhadap anak angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga
dari harta warisan orang tua angkatnya. Berbeda dengan konsep wasiat wajibah
yang diatur dalam fiqih yang memberlakukan wasiat wajibah hanya bagi orang
yang memiliki hubungan darah dengan si pewaris.
Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang terjadi ditengah
masyarakat maka diberlakukanlah peraturan mengenai hukum wasiat wajibah
karena hubungan pengangkatan anak dimasukkan ke dalam Kompilasi Hukum
Islam yang merupakan dasar hukum bagi umat Islam di Indonesia.

2.3 Perbedaan Antara Wasiat dengan Wasiat Wajibah

No Perbedaan Wasiat biasa Wasiat wajibah

1 Dari segi Orang lain selain Diberikan kepada


yangorang orang yang menjadi anak angkat yang tidak
menerima ahli waris. mendapat wasiat biasa.
wasiat. Cucu laki-laki maupun
cucu perempuan yang
orang tuanya mati
mendahului atau
bersama-sama kakek
atau neneknya
(pewasiat).
2 Dari   sunah wajib
segi hukum
2.4 Rukun Wasiat
a. Orang yang berwasiat, dengan syarat :
 Berakal sehat                    
 Baligh
 Atas kehendak sendiri
 Harta yang sah/miliknya

b. Orang yang menerima wasiat (Mushalahu), dengan syarat :


 Jelas identitasnya
 Harus ada ketika pembuatan pernyataan wasiat
 Bukan bertujuan untuk maksiat
 Bukan pewaris, kecuali diizini keluarga

c. Sesuatu yang diwasiatkan (Mushabihi), dengan syarat :


 Milik pemberi wasiat
 Sudah berwujud
 Dapat dimiliki/pemberi manfaat
 Tidak melebihi 1/3

BAB III
ANALISA KASUS

3.1 DUDUK PERKARA

Lutiyah binti ratmun yang merupakan anak angkat secara adat dari ibu
Sondreg (pewaris) dan Warsumi binti roslam adalah anak perempuan dari bapak
Roslam yang merupakan saudara laki-laki ibu daswi (ibunya pewaris) menggugat
Jumain bin sarmai yang merupakan anak angkat sah secara hukum dari ibu
sondreg (pewaris) karena Jumain memiliki 18 sertifikat Hak Milik dari 50 harta
waris (objek sengketa) peninggalan ibu sondreg (pewaris) sehingga ahli waris
yang lain ( Warsumi dan Lutiyah) tidak mendapatkan harta waris tersebut.

3.2 ANALISA KASUS

1) Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU KHI berbunyi :  
1.0 Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai
dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang
tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
2.0 Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.
Berdasarkan pasal di atas maka dalam Kompilasi Hukum Islam orang
tua angkat secara serta merta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan
karena itu diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3  dari harta
yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat
untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem
pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada
para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu. 
2) Ketentuan wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam
menafsirkan QS: Al-Baqarah :180 Artinya : “ Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas 0rang-orang yang
bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah: 180).
Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah di atas,
berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya
wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan
diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain  dan
aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan
dilaksanakan.
3) pasal 201 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan rumusan
“harta peninggalan yang diwasiatkan melebihi sepertiga dari harta warisan,
sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya
dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan”,
oleh karena ahli waris dzawil furudh (Warsumi binti roslam) keberatan
sehingga mengajukan gugatan perkara a quo maka harta peninggalan
Sondreg hanya dapat di kuasai oleh anak angkat dengan lembaga wasiat
wajibah maksimal 1/3 (sepertiga) bagian dari keseluruhan
4) dalam Pasal 185 ayat (1) KHI menyatakan bahwa “ahli waris yang
meninggal terlebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya.”
Maka apabila pewaris meninggal dunia tanpa adanya ahli waris yaitu anak,
duda/janda, ayah, ibu dan saudara sedarah, maka dalam hal ini keponakan
pewaris yang merupakan anak dari saudara perempuan atau saudara laki-
laki termasuk menjadi ahli waris yang menggantikan kedudukan dari orang
tuanya.
5) Pasal 185 ayat (2) KHI yang menyatakan bagian dari ahli waris pengganti
tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang digantikan. keponakan
yang menjadi ahli waris pengganti laki-laki atau perempuan. Dari hal yang
menjadi penentu bagian waris tersebut diatas akan dapat diketahui bagian
keponakan sebagai ahli waris pengganti, yaitu :
 Apabila ahli waris yang digantikan adalah saudara perempuan pewaris
maka yang menjadi bagian dari keponakan adalah ½ bagian. Hal ini
merujuk pada ketentuan Pasal 182 KHI.
 Apabila ahli waris yang digantikan adalah saudara laki-laki pewaris,
maka akan kedudukan keponakan sebagai ahli waris adalah:
a) Apabila keponakan yang menjadi ahli waris pengganti adalah
perempuan, maka bagiannya adalah ½ bagian jika ia mewaris
sendiri atau 2/3 bagian jika ia mewaris bersama-sama saudara
perempuan lainnya. Kedudukan keponakan perempuan yang
menjadi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian dari
bagian saudara perempuan pewaris.
b) Apabila keponakan yang menjadi ahli waris pengganti adalah laki-
laki, maka ia akan menjadi ahli waris ashobah, yang bagiannya
menghabiskan sisa bagian setelah dikurangi dengan 1/3 bagian yang
telah diberikan kepada anak angkat pewaris melalui wasiat wajibah.
c) Apabila keponakan yang menjadi ahli waris tersebut adalah
keponakan laki-laki bersama saudara perempuannya, maka
bersama-sama akan menjadi ahli waris ashobah yang bagiannya
ditentukan dua banding satu.

3.3. PERHITUNGAN HARTA WARISAN MENGGUNAKAN WASIAT


WAJIBAH :
 karena anak angkat dari Sondreg tersebut dua orang yaitu Lutiyah binti
Ratmun dan Jumain bin Sarmai, maka bagian dari anak angkat dalam bentuk
wasiat wajibah tersebut yaitu maksimal 1/3 (sepertiga) harus dibagi dua
masing-masing memperoleh 1/2 dari 1/3 bagian.
 ibu pewaris (Daswi binti Kasbullah) mewarisi harta sebanyak 1/3 bagian
dan pewaris tidak mempunyai anak, saudara laki-laki yang dapat mewarisi
secara ashobah (seluruh harta) atau ahli waris lain karenanya bagian ibu
(Daswi bin Kasbullah) sebesar 1/3 bagian tersebut jatuh kepada saudara laki-
laki (Roslam bin Kasbullah), kemudian bagian dari Roslam tersebut jatuh
pula kepada anaknya (Warsumi binti Roslam), menggantikan posisi
bapaknya maka, Warsumi Binti Roslam menjadi Zawil Arham ditambah
dengan Rad 1/3 bagian + (1/2 X 1/3 Rad) sebesar 6/12
 bagian Lutiah Binti Ratmun ( Anak Angkat Berdasarkan Adat) Dan
Juma’in Bin Sarma’i ( Anak Angkat Berdasarkan Penetapan
Pengadilan Negeri Batang ) ditambah Rad masing-masing adalah ½ X 1/3
bagian wasiat wajibah + ( ¼ X 1/3 Rad ) sebesar masing-masing 3/12 bagian
yang diperkecil dengan rumusan dalam amar putusan ini.
BAB IV
KESIMPULAN

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau
kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat,
karena adanya suatu halangan syara’.
Adapun dasar hukum wasiat wajibah ini, menurut Fatchur Rahman, diambil
secara kompromi terhadap pendapat para Ulama Salaf dan Khalaf, yakni :
a) Kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima
pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha dan tabi’in besar ahli fiqh
dan ahli hadis. Antara lain Sa’id ibn Al-Musayyab, Hasan Al-Basry, Thawus,
Ahmad, Ishaq ibn Rahawaih, dan Ibn Hazm.
b) Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang
tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, bila si
mati tidak berwasiat, adalah diambil dari pendapat mazhab Ibn Hazm yang
dinukil dari fuqaha tabi’in dan pendapat Imam Ahmad.
c) Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada
cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah
didasarkan pada pendapat Ibn Hazm dan kaidah.
Dalam pasal 209 menyiratkan :
a) Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau
sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.
b) Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan
tetapi dilakukan oleh negara.
c) Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi
1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.

Anda mungkin juga menyukai