Anda di halaman 1dari 11

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

(Penyelesaian Sengketa Dalam Hukum Keluarga) (DR. Hj. Wahidah, MHI)

SENGKETA HUKUM KEWARISAN : HIBAH

OLEH
NASRULLAH : 220211050109

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCASARJANA/FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
BANJARMASIN
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu anjuran agama Islam adalah tolong menolong antara sesama
muslim ataupun nonmuslim. Bentuk tolong menolong itu bermacam-macam, bisa
berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya. Salah satu diantaranya adalah
hibah.
Hibah ini memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik yang
diberikan perseorangan maupun lembaga, cukup banyak riwayat yang masyarakat
bahwa Nabi Muhammad SAW. Beserta para sahabatnya memberi atau menerima
sesuatu dalam bentuk hibah.
Dalam makalah itu akan dibahas mengenai apa saja yang berkenaan dengan
hibah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan
masalah yang akan menjadi pokok bahasan yaitu:
1. Apa Pengertian Hibah ?
2. Apa Macam-macam Hibah ?
3. Apa Rukun Hibah ?
4. Apa Syarat-syarat Hibah ?
5. Bagaimana Studi Kasus Masalah Akad dan Penyelesaiannya ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah

Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah


hibah yaitu,
‫عقد يفيد التمليك بال عوض حا ل االلحياة تطوعا‬
“akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup
dan dilakukan secara sukarela.1

Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok
persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup,
tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain
untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta
tersebut disebut i’aarah (pinjaman).2

B. Syarat-syarat Hibah
1. Sesuatu yang dihibahkan ialah boleh diperjual belikan.
2. Yang menghibahkan sudah baligh, berakal, tidak terlarang mempergunakan hartanya
dan yang dihibahkan miliknya sendiri.
3. Orang yang menerima hibah dengan syarat berhak memiliki sesuatu yang
dihibahkan. Tidak sah hibah kepada bayi yang dalam kandungan, karena ia tidak
dapat memiliki.
4. Syarat ucapan (shighat) ijab qabul dalam hal jual beli

Hibah itu dianggap dapat menjadi milik yang diberi, dengan syarat, setelah
benda atau barang itu diterima oleh yang diberinya. Kalau orang yang diberi hibah
itu telah menerima pemberian itu, maka tiada hak lagi bagi orang yang memberi
mencabut kembali, kecuali oleh ayah kepada anaknya.

1
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah. Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 242
2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987, Hlm 174
Jika hibah itu dibatasi untuk dipakainya seumur hidup, atau disyaratkan harus
kembali kepeda pemiliknya jika ternyata ia lebih dahulu meninggal, maka benda itu
tetap jatuh menjadi milik yang dijanjikan itu, yakni orang yang diberi hibah, serta
ahli warisnya dikemudian hari.3
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri
memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama
manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar
agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasama
dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam
membangun lembaga-lembaga sosial.4

C. Rukun Hibah
Suatu hibah terjadi apabila memenuhi rukun sebagai berikut :
1. Adanya pemberi hibah (al-wahib), yaitu pemilik sah barang yang dihibahkan. Ketika
penyerahan barang, pemberi hibah dalam keadaan sudah dewasa, sehat jasmani dan
rohani, serta tidak karena terpaksa. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 210 ayat 1,
pemberi hibah adalah orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,
berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya
1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi. Dan
apabila hibah diberikan dan si pemberi hibah dalam keadaan sakit dan dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
2. Adanya penerima hibah (Al-Mauhublahu), yaitu setiap orang, baik perorangan atau
badan hukum. Tidak sah suatu hibah, jika penerima hibah adalah anak yang masih
dalam kandungan.
3. Terjadi ijab qabul, yaitu serah terima antara pemberi dan penerima.
4. Adanya barang yang dihibahkan, yang terdiri dari segala macam barang, baik yang
bergerak atau tidak bergerak; bahkan manfaat atau hasil suatu barang. Dalam
kompilasi hukum Islam pasal 210 ayat 2 disebutkan bahwa harta benda yang
dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

3
Moh. Rifai, Fiqih. CV Wicaksana, Semarang, 1984, hlm. 108
4
Satria Effendi & M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Kencana
Jakarta, 2004, hlm. 471
D. Pencabutan Hibah
Pada dasarnya, hibah tidak dapat dicabut kembali karena merupakan
pemberian yang telah diterima oleh yang diberi hibah. Dalam hal ini, ulama’ fiqh
sepakat atas pelarangan tersebut.
Beberapa ulama mazhab memberikan acuan tentang seorang ayah yang
mencabut kembali hibahnya dari anaknya. Imam Malik dan sebagian besar ulama
mazhab berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali hibahnya kepada anaknya
selama anak tersebut belum kawin, atau belum terkait perjanjian dengan orang lain
atas nama anak tersebut.begitu juga seorang ibu boleh mencabut kembali hibah
kepada anaknya, selama ayahnya masih hidup. Imam ahmad dan fuqaha zhahiri
berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali apa yang telah
dihibahkannya secara mutlak apakah anak tersebut sudah kawin atau belum terikat
perjanjian pada orang lain.5
Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula
dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1. Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah Dalam hal
yang ini barang yang dihibahkan tetap tinggal pada penghibah, atau ia boleh meminta
kembali barang itu, bebas dari semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan
atas barang itu oleh penerima hibah serta hasil dan buah yang telah dinikmati oleh
penerima hibah sejak ia alpa dalam memenuhi syarat-syarat penghibahan itu. Dalam
hal demikian penghibah boleh menjalankan hak-haknya terhadap pihak ketiga yang
memegang barang tak bergerak yang telah dihibahkan sebagaimana terhadap
penerima hibah sendiri.
2. Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu
usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah. Dalam hal ini
barang yang telah dihibahkan tidak boleh diganggu gugat jika barang itu hendak atau
telah dipindahtangankan, dihipotekkan atau dibebani dengan hak kebendaan lain oleh
penerima hibah, kecuali kalau gugatan untuk membatalkan penghibahan itu susah
diajukan kepada dan didaftarkan di Pengadilan dan dimasukkan dalam pengumuman
tersebut dalam Pasal 616 KUHPerdata. Semua pemindah tanganan, penghipotekan
atau pembebanan lain yang dilakukan oleh penerima hibah sesudah pendaftaran
tersebut adalah batal, bila gugatan itu kemudian dimenangkan.

5
Siah Khosyi’ah, Wakaf dan Hibah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 242-243.
3. Jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi
nafkah kepadanya. Dalam hal ini barang yang telah diserahkan kepada penghibah
akan tetapi penerima hibah tidak memberikan nafkah, sehingga hibah yang telah
diberikan dapat dicabut atau ditarik kembali karena tidak dilakukannya pemberian
nafkah.

E. Studi Kasus Masalah Akad Hibah dan Penyelesaiannya


1. al-umra dan al-ruqba
Al-umra di ambil dari kata ‘umr, yakni jika pemberi hibah berkata kepada
penerima hibah, “Saya membangun rumah ini untukmu,” “Saya membuat rumah ini
untuk kamu sepanjang usia saya,” “Seumur hidup kamu, “Sepanjang hayat kamu,”
atau “Sepanjang hayatku, jika kamu meninggal, rumah ini aku warisi. Shighat-
shighat di atas adalah shighat akad hibah. Akan tetapi, shighat tersebut diikat dengan
waktu, yakni umur orang yang memberi hibah atau umur orang yang menerimanya.
Sementara itu, salah satu syarat shighat hibah adalah tidak diikat dengan waktu.
Meskipun demikian, ulama Mazhab Hanafiah dan Syafi’iah menyepakati sahnya
akad hibah tersebut, tetapi syarat yang ditetapkan batal. Ketentuan ini didasarkan
pada hadis-hadis shahih Rasulullah Saw., diantaranya hadis riwayat Imam Bukhari
dan Muslim. Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Al-Umra
dibolehkan.” Keduanya juga meriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata, “Nabi Saw.
melakukan hibah al-umri bagi orang yang menerima hibahnya. Dalam sebuah hadis
riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda, “Al-Umri bagi orang yang
menerima hibah.” Selain itu, Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis dari
Jabir ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Tahanlah harta-harta kalian dan
jangan merusaknya. Siapa yang memberikan umra maka harta tersebut menjadi milik
orang yang diberi, baik ketika masih hidup, ketika sudah meninggal dan bagi
keturunannya.6
Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim. Hadis ini
memberitahukan bahwa al-umra adalah hibah yang sah. orang yang menerima hibah
tersebut berhak penuh atas harta yang dihibahkan. Harta itu tidak akan kembali
kepada orang yang menghibahkan selamanya.

6
Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah terj. Fiqh Al-Mu’awadhah, Mizan
Media Utama, Bandung, 2010, hlm. 105
Jika mereka mengetahui hal tersebut, siapa yang ingin melakukannya, ia
boleh hibah dengan umra.Siapa yang ingin, boleh meninggalkannya. Sebelumnya,
mereka membayangkan bahwa hibah umra sama dengan ariyah dan harta yang
dihibahkan akan kembali padanya.
Sedangkan Al-ruqba adalah hibah yang terjadi jika pemberi hibah berkata,
“Rumahku ini untukmu selama masa pengawasanku,” “Aku memintamu menjaga
rumah ini,” atau “Aku membuat rumah ini untukmu dalam pengawasanku.”
Maksudnya, kalau kamu meninggal sebelum saya, rumah ini kembali menjadi milik
saya. Jika saya meninggal sebelum kamu, rumah ini tetap menjadi milikmu.” Istilah
ini diambil dari kata al-taraqqub yang berarti menunggu. Artinya, masing-masing
menunggu kematian kawannya. Shighat ini merupakan salah satu shighat hibah yang
diakui syariat meskipun diikat dengan sebuah syarat.
Menurut ulama Mazhab Syafi’iah, ini adalah akad hibah yang sah, namun
syaratnya batal. Hal demikian disebabkan adanya hadis yang menunjukkan
keabsahannya dan kebatalan syaratnya, sama dengan al-umra. Jabir ra. meriwayatkan
sebuah hadis dari Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Hibah al-umra dibolehkan bagi
orang yang melakukannya, begitu juga hibah al-ruqba dibolehkan bagi yang
melakukannya.” Maksudnya adalah yang berlaku dan yang sudah terjadi. Ini
merupakan pengecualian dari kebatalan hibah yang terikat dengan syarat
sebagaimana kita ketahui.
Imam Al-Subki dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menjelaskan tentang sahnya
hibah al-umra dan al-ruqba jauh dari qiyas. Ulama Mazhab Syafi’iah sepakat dengan
Abu Yusuf dari Mazhab Hanafiah dalam menganggap hibah al-ruqba sebagai akad
hibah yang sah. sementara itu, Abu Hanifah sendiri dan Muhammad berpendapat
bahwa hibah tersebut hukumnya batal karena menyertakan syarat tertentu dengan
ijab yang menghalangi kepemilikan saat itu juga. Hal itu menjadi penentu terjadi atau
tidaknya akad. Menurut mereka, hal demikian menghalangi sahnya hibah.
Hal ini berbeda dengan hibah al-umra karena pemanfaatan harta di sana tidak
menghalangi penyerahan kepemilikan barang pada saat transaksi. Oleh karena itu
hibahnya sah, tetapi syarat penentuan waktunya batal. Argument kedua didasarkan
pada hadis riwayat Al-Syu’bi dari Syuraih bahwa Rasulullah Saw. membolehkan
hibah al-umra dan membatalkan hibah al-ruqba. Imam Al-Kasani berkata, “Kedua
hibah tersebut tidak dapat ditolak (sahnya).” Keduanya berkata, “Jika pemberi hibah
menyerahkan hibahnya kepada penerima yang memiliki pinjaman, kapan pun ia bisa
memintanya kembali. Hanya saja, akad pinjam-meminjam di sini menjadi sah karena
pemberi hibah menyerahkan hibahnya kepada penerima dan membebaskannya untuk
memanfaatkannya. Ini termasuk kategori ariyah (pinjaman).7
2. Pemberian dalam khitbah
Masalah khitbah (dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinangan dan
tunangan), adalah materi pembahasan yang termasuk dalam Fiqh Munakahat, tetapi
dalam pelaksanaan khitbah di masyarakat di Indonesia terdapat pemberian dari pihak
laki-laki kepada pihak wanita. Maka persoalan ini sesungguhnya dibahas dalam
masalah hibah yang merupakan bagian dari pembahasan Fiqih Muamalah.8
Tunangan biasanya datang dari pihak laki-laki kepada pihak wanita untuk
diminta menjadi calon istri. Bila lamaran ini diterima oleh pihak wanita, maka
biasanya pihak wanita diberi cincin atau yang semisal sebagai tanda bahwa
lamarannya diterima. Kiranya tidak menjadi permasalahan, apabila rencana
perkawinan berjalan lancar, tetapi yang jadi masalah adalah jika rencana perkawinan
itu dibatalkan. Apakah tanda pengikat (cincin tunangan) yang telah diterima oleh
pihak wanita itu wajib dikembalikan atau tidak? Mengenai masalah ini, para ulama
berbeda pendapat, Mazhab Syafi’I, Maliki dan Hambali mempunyai pandangan yang
berbeda tentang permasalahan di atas.
Menurut Mazhab Syafi’I, benda-benda tunangan yang telah diterima pihak
wanita sebagai pemberian pihak pria adalah hadiah, karenanya wajib untuk
dikembalikan, baik benda-benda tersebut masih utuh ataupun sudah rusak. Bila
benda tunangan itu sudah rusak atau hilang, maka pihak wanita wajib
menggantikannya dengan benda yang serupa atau membayar dengan uang yang
seharga bagi benda tunangan tersebut. Kewajiban pengembalian benda tunangan ini
berlaku apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik atas permintaan pihak laki-laki
maupun pihak wanita. Menurt Mazhab Hanafi, benda-benda yang telah diberikan
oleh pihak laki-laki kepada pihak pinangannya dapat diminta kembali apabila benda-
benda itu masih utuh, misalnya gelang, kalung, cincin, jam dan sebagainya. Apabila
benda-benda itu sudah berkurang atau bertambah, seperti kain yang sudah dijadikan
baju, jam dan cincin yang sudah dijual, maka pihak laki-laki tidak berhak meminta
kembali dan tidak boleh meminta ganti rugi atas hilangnya barang-barang yang telah
dia berikan.

7
Ibid, hlm. 106-107
8
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 216
Mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila pembatalan pihak wanita maka
dia (pihak wanita) wajib mengembalikan benda-benda yang dia terima dari pihak
laki-laki. Bila benda itu masih utuh, maka yang harus dikembalikan adalah benda
tersebut. Sedangkan jika benda itu sudah tidak ada, baik dijual, hilang atau karena
yang lainnya, maka ia wajib menggantinya, baik dengan benda yang serupa maupun
dengan uang yang senilai dengan benda tersebut. Apabila pembatalan datangnya dari
pihak laki-laki, maka pemberian yang telah diterima oleh pihak wanita, tidak
diperbolehkan untuk diminta kembali, baik barang itu masih utuh, berubah maupun
hilang. Dalam riwayat lain menurut Mazhab Maliki, apabila adat (kebiasaan) berbeda
dengan ketentuan Malikiyah di atas, maka yang diberlakukan adalah adat atau
kebiasaan.
Ketiga mazhab di atas berbeda karena perbedaan tolak ukur yang dipakai.
Hanafi bertolak ukur pada keutuhan benda pemberinya, Maliki bertolak ukur kepada
pihak yang membatalkan dan adat, Syafi’I menggunakan kaidah umum bahwa
pemberian itu sama dengan pemberian yang berimbalan, yakni boleh diminta
kembali bila imbalannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Adapun hadis yang
dijadikan alasan adalah hadis riwayat Imam Ahmad dan ibnu Majah dari Ibnu Abbas
ra.9

9
Ibid, hlm. 217-218
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa


hal, yaitu :
1. Hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik
seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.
2. Syarat-syarat hibah yaitu: Sesuatu yang dihibahkan ialah boleh diperjual belikan,
yang menghibahkan sudah baligh, berakal, tidak terlarang mempergunakan hartanya
dan yang dihibbahkan miliknya sendiri, Orang yang menerima hibah dengan syarat
berhak memiliki sesuatu yang dihibahkan dan adanya shigat (ucapan) ketika ijab
qabul.
3. Rukun hibah terdiri dari: adanya pemberi hibah (al-wahib), adanya penerima hibah
(Al-Mauhublahu), terjadi ijab qabul, dan adanya barang yang dihibahkan.

B. Penutup

Demikian makalah ini di buat. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan


dan pembahasan makalah ini saya mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun
sangat di butuhkan untuk lebih baiknya makalah yang di buat selanjutnya. Selamat
membaca dan semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Rajawali Pers, Jakarta, 2010


Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah terj. Fiqh Al-Mu’awadhah,
Mizan Media Utama, Bandung, 2010
Moh. Rifai, Fiqih. CV Wicaksana, Semarang, 1984
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah. Pustaka Setia, Bandung, 2001
Siah Khosyi’ah, Wakaf dan Hibah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010
Satria Effendi & M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer,
Kencana Jakarta, 2004
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987

Anda mungkin juga menyukai