Anda di halaman 1dari 6

HIBAH (PEMEBRIAN)

 DEFINISI

Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba, yang berarti
pemberian.
Sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian harta
milik orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 171:g mendefinisikan hibah sebagai
berikut :
“Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.
Kedua definisi di atas sedikit berbeda, akan tetapi pada intinya sama, yaitu hibah
merupakan pemberian sesuatu kepada orang lain atas dasar sukarela tanpa imbalan.
Pemberian hibah seseorang atas harta milik biasanya terhadap penyerahan, maksudnya
adalah usaha penyerahan sesuatu kepada orang lain dan usaha-usaha dibatasi oleh sifat yang
menjelaskan hakekat hibah itu sendiri. Kemudian kata harta hak milik berarti bahwa yang
diserahkan adalah materi dari harta tersebut.
Kata “di waktu masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik
itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sudah matinya yang berhak, maka disebut wasiat,
tanpa imbalan, berarti itu semata-mata kehendak sepihak tanpa mengharapkan apa-apa.

 DASAR HUKUM

Adapun dasar hibah menurut Islam adalah firman Allah yang menganjurkan kepada umat
Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya. Islam
menganjurkan agar umatnya suka member karena memberi lebih baik dari pada menerima.
Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mencari ridha Allah dan
mempererat tali persaudaraan, sebagaimana dalam firman Allah :

“Tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan takwa dan janganlah kamu sekalian
tolong menolong atas sesuatu dosa dan permusuhan”. (Q.S Al – Maidah : 2).

Firman Allah, artinya :


“Dan meberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir
( yang memerlukan pertolongan), dan orangorang yang meminta”. (Q.S. Al – Baqarah : 17).

Rasulallah bersabda, artinya :


“Dari Abi Hurrairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda : saling memberi hadialah kamu
sekalian niscaya kamu akan mencintai”. (HR. Al – Bukhari)
Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, dapat ditemui ayat sabda Nabi yang secara
langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadist di atas dapat
dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama,
melakukan infaq, sedekah dan pemberianpemberian lain termasuk hibah.
Semua barang yang tidak diperjualkan, maka tidak boleh dihibahkan, seperti barang-
barang yang haram dan najis juga barang yang belum diketahui asal-usulnya.
Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah
ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak
bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis.
Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak
milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan.
Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam,
yaitu :
· Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya
pemberian.
· Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan
pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan
kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang harus didaftarkan.

 RUKUN

Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab keduannya termasuk
akad seperti halnya jual-beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat :

1.Wahib (pemberi)
2.Mauhud lah (penerima)
3.Mauhud (barang yang dihibahkan)
4.Ijab dan qabul

 SYARAT

Syarat hibah menurut ulama Hanabilah ada 11 :

1.Hibah dari harta yang boleh di tasharrufkan


2.Terpilih dan sungguh-sungguh
3.Harta yang diperjualbelikan
4.Tanpa adanya pengganti
5.Orang yang sah memilikinya
6.Sah menerimanya
7.Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu
8.Menyempurnakan pemberian
9.Tidak disertai syarat waktu
10.Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, dan mukallaf)
11.Mauhub harus berupa harta yang khusus

a. Syarat bagi Penghibah (pemberi hibah) :

1. Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang
dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan milik karena itu mustahil orang yang tidak
memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain.
2. Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya jika terjadi persoalan atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai
harta tersebut.
3. Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu harus orang
dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4. Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyratkan
kerelaan dalam kebebasan.
5. Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiyar dalam melakukan
tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang
dikatakan ikhtiar dalam keadaan tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya
bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkan dengan matang.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 210 (1) mensyaratkan pemberi hibah telah
berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) Tahun.

b. Syarat bagi Penerima Hibah :

1. Bahwa ia telah ada dalam arti yang sebenarnya karena itu tidak sah anak yang lahir
menerima hibah.
2. Jika penerima hibah itu orang yang belum mukalaf, maka yang bertindak sebagai penerima
hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang bertanggung jawab memelihara dan
mendidiknya.

c.Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan :

1. Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan.
2. Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam.
3. Barang itu telah menjadi milik sah dari harta penghibah mempunyai sebidang tanah yang
akan dihibahkan adalah seperempat tanah itu, di waktu menghibahkan tanah yang seperempat
harus dipecah atau ditentukan bagian dan tempatnya.
4. Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan
pihak lain seperti harta itu dalam keadaan digadaikan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) membatasi harta yang dihibahkan sebanyak-banyaknya
sepertiga ( 1/3 ) dari harta milik penghibah, sebagaimana tersebut dalam Pasal 210 Ayat ( 1 ).

d. Syarat bagi Sigat atau Ijab Qabul :

Setiap hibah harus ada Ijab Qabul, tentu saja Sigat itu hendaklah ada persesuaian antara Ijab dan
Qabul, bagi orang yang tidak atau dapat berbicara, maka sigat hibah cukup dengan isyarat, asal
isyarat itu benarbenar mengandung arti hibah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah.

Kompilasi Hukum Isalam (KHI) mensyaratkan hibah harus dilaksanakan di hadapan dua
orang saksi (Pasal 210 Ayat 1).

 MACAM-MACAM

1. Hibah Bersyarat
Apabila hibah dikaitkan dengan suatu syarat seperti syarat pembatasan penggunaan barang oleh
pihak penghibah kepada pihak penerima hibah, maka syarat tersebut tidak sah sekalipun
hibahnya itu sendiri sah. Seperti seorang yang menghibahkan sebidang tanah kepada orag lain
dengan syarat pihak penerima hibah tidak boleh mengharap tanah tersebut tanpa seizing pihak
penghibah, persyaratan yang demikian jelas bertentangan dengan prinsip hibah.

2. Hibah 'Umra Atau Hibah Manfaat

Yaitu hibah bersyarat dalam bentuk bahwa seseorang dibolehkan memiliki sesuatu yang semula
milik penghibah selama penerima hibah masih hidup. Bila penerima hibah meninggal dunia,
maka harta tersebut harus dikembalikan kepada pihak penghibah. Jenis transaksi ini lebih tepat
disebut sebagai ariah (pinjaman) dan hal ini boleh dilakukan.

3. Hibah Ruqbah

Adalah pemberian bersyarat, jika syarat itu ada maka harta itu menjadi milik penerima hibah dan
bila syarat itu tidak ada maka harta itu menjadi milik penerima hibah dan bila syarat itu tidak ada
maka harta itu akan kembali kepada pemberi hibah. Misalnya seseorang penghibah berkata
bahwa "rumah ini dibrikan kepadamu dan akan menjadi milikmu bila aku mati terlebih dahulu,
ini berarti bila pihak yang menerima hibah meniggal dunia terlebih dahulu maka benda yang
dihibahkan tersebut kembali kepada pihak penghibah. Sama dengan 'umra jenis ini juga
dibolehkan berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
"Dari Jabir r.a. dikatakan bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda:"'Umra itu boleh dilakukan
oleh siapa yag sanggup melakukannya dan ruqbah itu juga boleh dilakukan oleh orang yang
sanggup melakukannya." (diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasa'I, dan Ibnu Majah)

 HUKUM

a.Hukum Hibah
Dasar dan ketetapan hbah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhublah (pene rima
hibah) tanpa adanya pengganti.

b.Sifat Hukum Hibah


Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan
demkian, dapat dibatalkan oleh pemberi sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw.

Dari Abu Hurairah :


“ Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang dihibahkan selama tidak ada pengganti.” (HR.
Ibnu Majah dan Daruquthni)
Dengan demikian, dibolehkan mengembalikan barang yang telah dihibahkan. Akan
tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu,
yang diberi hibah harus ridha. Hal itu diibaratkan adanya cacat dalam jual beli setelah barang
dipegang pembeli.
Ulama hanafiyah berpendapat ada 6 perkara yang melarang wahib mengembalikan barang yang
telah dihibahkan, yaitu :

1. Penerima membrikan ganti ;


a.pemberi yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah, Hanabilah, dan
Syafi’iyahmenganggap hibah seperti ini sebagai jual beli dan bukan hibah.
b.pengganti yang diakhirkan.

2. Penerima maknawi ;
a.pahala dari Allah, sedekah kepada orang fakir tidak boleh diambil lagi.
b.pemberian dalam rangka silaturahmi.
c.pemberian dalam hubungan suami istri.

3. Tambahan yang ada pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhublah
(orang yang diberi hibah)

4. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual kepada orang lain.
5. Salah seorang yang akad meninggal.

6. Barang yang dihibahkan rusak.

Ulama Mlikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak
boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil. Jika belum
bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak tersebut tidak memiliki utang.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapt bahwa hibah tidak dapat dikembalikan, kecuali
pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah Saw bersabda :
“Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya.”

Anda mungkin juga menyukai