Anda di halaman 1dari 13

A.

HIBAH

Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa
Indonesia. Kata ini merupakan mashdar dari kata ....yang berarti pemberian.
Apabila seseorang memberikan harta miliknya itu. Sebab itulah, kata hibah
sama artinya dengan istilah pemberian.

Kata hibah juga dipakai oleh al-Qur’an dalam arti pemberian. Hal ini,
umpamanya, dapat ditemui pada firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 38
dan surat Shad ayat 9. Dalam surat Ali Imran ayat 38 itu diceritakan tentang
permohonan (doa) Nabi Zakaria kepada Allah.

“ (Zakaria) berkata: Ya Tuhanku! Anugerahilah aku dari sisiMu seorang anak


keturunan yang baik! Sesungguhnya Engkau adalah Mahamendengar
permintaan”.1

Dalam surat Shad ayat 9 disebutkan:

“ Atau apakah mereka mempunyai perbendaharaan rahmat Tuhan-mu yang


Maha mengetahui?”2

Apabila ditelusuri secara lebih mendalam, istilah hibah itu berkonotasi


memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan
imbalan dan jasa. Menghibahkan tidak sama dengan menjual atau
menyewakan. Oleh sebab itu, istilah balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku
dalam transaksi hibah.

Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak penghibah


bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan. Dikaitkan dengan
suatu perbuatan hukum, hibah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak
milik. Pihak penghibah dengan sukarela memberikan hak miliknya kepada
pihak penerima hibah tanpa ada kewajiban dari penerima itu untuk
1

2
mengembalikan harta tersebut kepada pihak pemilik pertama. Dalam konteks
ini, hibah sangat berbeda dengan pinjaman, yang mesti dipulangkan kepada
pemiliknya semula. Dengan terjadinya akad hibah maka pihak penerima
dipandang sudah mempunyai hak penuh atas harta itu sebagai hak miliknya
sendiri.

Suatu catatan lain yang perlu diketahui ialah bahwa hibah itu mestinya
dilakukan oleh pemilik harta (pemberian hibah) kepada pihak penerima di kala
ia masih hidup. Jadi, transaksi hibah bersifat tunai dan langsung serta tidak
boleh dilakukan atau disyaratkan bahwa perpindahan itu berlaku setelah
pemberi hibah meninggal dunia.

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dengan sederhana dapat


dikatakan bahwa hibah adalah suatu akad pemberian hak milik oleh seseorang
kepada orang lain di kala ia masih hidup tanpa mengharapkan imbalan dan
balas jasa. Oleh sebab itu, hibah merupakan pemberian yang murni, bukan
karena mengharapkan pahala dari Allah, serta tidak pula terbatas berapa
jumlahnya.

Karena hibah merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum


perpindahan hak milik, maka pihak pemberi hibah tidak boleh meminta
kembali harta yang sudah dihibahkannya, sebab hal itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip hibah. Dengan membuat perumpamaan, Rasulullah SAW
mengatakan bahwa kalau pihak pemberi hibah menurut kembali sesuatu yang
telah dihibahkannya maka perbuatannya itu sama seperti anjing yang menelan
kembali sesuatu yang sudah ia muntahkan. Riwayat yang berasal dari Ibnu
Abbas tersebut berbunyi:

“Rasulullah SAW bersabda: Orang yang meminta kembali sesuatu yang sudah
dihibahkannya hal itu adalah ibarat anjing yang menelan kembali sesuatu yang
dia muntahkan”.

Hibah hukumnya dibolehkan, dan bahkan dianjurkan. Dalam suatu riwayat


dari Abu Hurairah dikatakan bahwa:
“Rasulullah SAW mengatakan: Saling memberikan kamu, niscaya kamu akan
saling kasih mengasihi”.

Apakah rukun-rukun hibah itu, sehingga ia dapat dipandang sebagai suatu


perbuatan yang mengandung konsekuensi hukum? Maka dengan menbaca
uraian-uraian di atas, secara sederhana dapat dipahami bahwa hibah sebagai
suatu perbuatan hukum baru dianggap ada apabila terpenuhi empat unsur,
yaitu ada pihak penghibah, ada pihak yang menerima hibah, ada benda yang
dihibahkan, dan ada ijab kabul (transaksi), yang disebut juga dengan akad
hibah.

Pihak penghibah adalah orang yang memberikan hibah atau orang yang
menghibahkan hartanya kepada pihak lain. Pemberi hibah sebagai salah satu
pihak pelaku dalam transaksi hibah disyaratkan:

1. Ia mestinya sebagai pemilik sempurna atas sesuatu benda yang


dihibahkan. Karena hibah mempunyai akibat perpindahan hak milik,
otomatis pihak penghibah dituntut sebagai pemilik yang mempunyai hak
penuh atas benda yang dihibahkan itu. Tak boleh terjadi seseorang yang
menghibahkan sesuatu yang bukan miliknya, dan bila hal seperti ini terjadi
maka perbuatan itu batal demi hukum.
2. Pihak penghibah mestinya seorang yang cakap bertindak secara sempurna,
yaitu baligh dan berakal. Orang yang sudah cakap bertindaklah yang bisa
dinilai bahwa perbuatan yang dilakukannya sah, sebab ia sudah
mempunyai pertimbangan yang sempurna. Orang yang cakap bertindaklah
yang dapat mengetahui baik dan buruk dari suatu perbuatannya, dan
sekaligus di tentu sudah mempunyai pertimbangan yang matang atas
untung rugi perbuatannya menghibahkan sesuatu miliknya. Dalam
kerangka ini, anak-anak yang belum dewasa, kendatipun sudah mumayyiz,
dipandang tidak berhak melakukan hibah. Hibah juga tidak boleh
dilakukan oleh orang yang dalam pengampuan (perwalian).
3. Pihak penghibah hendaklah melakukan perbuatannya itu atas kemauan
sendiri dengan penuh kerelaan, dan bukan dalam keadaan terpaksa.
Kerelaan adalah salah satu prinsip utama dalam transaksi di bidang
kehartabendaan. Orang yang dipaksa menhibahkan sesuatu miliknya,
bukan dengan ikhtiarnya, sudah pasti perbuatannya itu tidak sah.3

Unsur berikutnya dalam hibah ialah adanya pihak penerima hibah. Karena
hibah itu merupakan transaksi langsung, maka penerima hibah disyaratkan
sudah wujud dalam artinya yang sesungguhnya ketika akat hibah dilakukan.
Oleh sebab itu, hibah tidak boleh diberikn kepada anak yang masih dalam
kandungan, sebab ia belum wujud dalam arti yang sebenarnya. Dalam
persoalan ini, pihak penerima hibah tidak disyaratkan supaya baligh berakal.
Kalau sekiranya penerima hibah belum cakap bertindak ketika pelaksanaan
transaksi, ia diwakuli oleh walinya. Walilah yang bertidak untuk dan atas
nama penerima hibah di kala penerima hibah itu belum ahliyah al-ada’ al-
kamilah. Selain orang, lembaga juga bisa menerima hibah, seperti lembaga
pendidikan.

Rukun hibah yang ketiga ialah objek yang dijadikan hibah atau benda
yang dihibahkan. Tidak ada hibah bila sekiranya tidak ada sesuatu yang
dihibahkan. Pertanyaan yang muncul ialah apakah syarat-syarat yang harus
dipunyai oleh sesuatu yang dihibahkan sehingga ia bisa menjadi barang hibah?
Untuk itu ada beberapa syarat yang mesti terpenuhi, yakni:

1. Benda yang dihibahkan tersebut mestinya milik yang sempurna


dari pihak yang menghibah. Ini berarti bahwa hibah tidak sah bila
sesuatu yang dihibahkan itu buka milik sempurna dari pihak
penghibah.
2. Barang yang dihibahkan itu sudah ada dalam arti yang
sesungguhnya ketika transaksi hibah dilaksanakan. Tidak sah
menghibahkan sesuatu yang belum wujud.

3
3. Objek yang dihibahkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki
oleh agama. Tidaklah dibenarkan menghibahkan sesuatu yang
tidak boleh dimiliki, seperti menghibahkan minuman yang
memabukkan.
4. Harta yang dihibahkan tersebut mestilah telah terpisah secara jelas
dari harta milik penghibah.4

Unsur hibah yang terakhir ialah akad atau ijab kabul. Dalam hubungan ini,
penekanan yang menjadi sasaran ialah kepada shigat dalam transaksi hibah
tersebut sehingga perbuatan itu sungguh mencerminkan terjadinya
pemindahan hak milik melalui hibah. Ini berarti bahwa walaupun tiga unsur
pertama sudah terpenuhi dengan segala persyaratannya, hibah tetap dinilai
tidak ada bila transaksi hibah tidak dilakukan.

Yang menjadi pertanyaan ialah apakah ada sesuatu ketentuan agama


tentang “lafaz” apa yang harus dipakai untuk melakukan ijab kabul hibah
tersebut? Agama tidak pernah menentukan ketetapan khusus dalam bidang
ini. Dalam persoalan ini, yang dipentingkan agama bukanlah apa lafaznya,
tetapi traksaksi yang dilakukan itu mestilah menunjukkan adanya serah terima
hibah. Ini berarti bahwa lafaz apapun boleh dipergunakan asal mengandung
makna hibah. Bagi orang bisu, umpamanya, ijab kabul boleh memakai bahasa
isyarat, asalkan antara penghibah dan penerima hibah terdapat kesamaan
pemahaman yang mengandung arti transaksi hibah.

Kalau di atas sudah dikatakan bahwa hibah itu merupakan salah satu
bentuk pemindahan hak milik dari penghibah kepada pihak penerima hibah,
maka pernyataan yang muncul ialah bolehkah hibah dilakukan dengan
bersyarat? Pada persoalan ini terdapat beberapa bentuk, yaitu hibah bersyarat,
hibah ‘umriy, dan hibah ruqbiy.

Apabila hibah dikaitkan dengan sesuatu syarat, seperti syarat pembatasan


penggunaan barang oleh pihak penghibah kepada penerima hibah, maka

4
Helmi karim,fiqh muamalah,hlm 77-78
syarat tersebut tidak sah, sekalipun hibahnya itu sendiri sah. Semua bentuk
persyaratan pembatasan itu tidak sah. Persyaratan yang demikian jelas
bertentangan dengan prisip hibah, seperti seseorang yang menghibahkan
bidang tanah kepada orang lain dengan syarat pihak penerima hibah tidak
boleh menggarap tanah tersebut tanpa seizin pihak penghibah.

Ada pula hibah bersyarat dalam bentuk bahwa seseorang dibolehkan


memiliki sesuatu yang semula punya penghibah selam penerima hibah masih
hidup. Bila penerima hibah wafat, harta itu mesti dikembalikan kepada pihak
penghibah. Hibah jenis ini disebut ‘umriy, yang disebut pula dengan hibah
manfaat. Kendatipun dalam hibah jenis ini fasid, jenis ini lebih tepat disebut
sebagai ariyah (pinjaman), dan hal ini boleh dilakukan. Harta yang
dihibahkan itu mesti dikembalikan kepada pemiliknya semula bila penerima
hibah sudah wafat.

Adapun hibah ruqbiy adalah pemberian bersyarat, seperti yang biasa


berlaku dalam masyarakat Arab jahiliah. Jika syarat itu ada, harta itu menjadi
milik penerima hibah, dan apabila syarat itu tidak ada maka harta itu kembali
kepada pemberi hibah. Contohnya ialah bila seorang penghibah berkata
bahwa “rumah ini diberikan kepadamu dan akan menjadi milikmu bila aku
mati terlebih dahulu”. Ini berarti bila pihak yang menerima hibah meninggal
terlebih dahulu maka benda yang dihibahkan tersebut kembali kepada pihak
penghibah.5

Sama dengan ‘umrit hibah jenis ini juga diperbolehkan. Dalam suatu
riwayat dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Dari Jabir r.a dikatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:‘umriy itu
boleh dilakukan oleh siapa yang sanggup melakukannya dan ruqbiy itu juga
boleh dilakukan oleh orang yang sanggup melakukannya”.

B. SEDEKAH

5
Helmi karim,fiqh muamalah,78-79
Sekarang mari pula dilihat pemindahan hak milik dalam bentuk sedekah.
Sedekah (shadaqah) adalah pemberian sesuatu benda oleh seseorang kepada
orang lain karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah SWT dan
tidak mengharapkan sesuatu imbalan jasa atau penggantian. Banyak ayat dan
hadist Nabi SAW yang memerintahkan umat islam supaya bersedekah. Ini
berarti bahwa bersedekah itu mempunyai motivasi agama. Pada motivasi
ingin mencari pahala dan keridhaan Allah itulah letak perbedaan yang
mendasar antara sedekah dan hibah.

Para ulam membagi sedekah itu kepada sedekah wajib dan sedekah sunat.
Sedekah wajib adalah pemberian harta yang wajib ditunaikan oleh seseorang
yang telah memiliki harta dalam jumlah tertentu (smpai senisab) dengan
syarat-syarat tertentu dan diberikan dalam jumlah tertentu kepada pihak-pihak
tertentu pula yang sudah diatur oleh agama. Istilah lain untuk jenis sedekah
wajib ialah “zakat” yang pembicaraannya dikupas dalam fiqh ibadah.

Adapun sedekah sunat ialah pemberian harta oleh seseorang kepada pihak
lain dengan mengharapkan pahala dari Allah di luar pembayaran zakat.
Padanan kata jenis ini yang selalu dipakai dalam masyarakat kita ialah
“infak”. Jumlahnya tidak ditentukan kadarnya, semakin banyak sudah tentu
semakin baik.

Unsur-unsur yang harus ada dalam sedekah adalah adanya pihak yang
bersedekah, adanya pihak yang menerima sedekah, adanya benda yang
disedekahkan, dan adanya shigat ijab kabul. Persyaratan untuk setiap rukun
sedekah sama dengan persyaratan dengan hibah.

C. HADIAH

Bentuk lain dari pemindahan hak milik yang berdekatan dengan dua jenis
di atas ialah hadiah. Pada dasarnya hadiah tidak berbeda dari hibah. Hanya
saja, kebiasaannya, hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan
kekaguman seseorang.
Seseorang pimpinan, umpamanya, biasa memberikan hadiah kepada
bawahannya sebagai tanda penghargaan atas prestasinya dan untuk
memacunya supaya lebih berprestasi. Demikian pula, bisa terjadi, seseorang
bawahan memberikan hadiah kepada atasan sebagai tanda ucapan terima
kasih. Pemberian hadiah bisa pula terjadi antara orang yang setaraf, dan
bahkan antara seorang muslim dan non muslim, atau sebaliknya. Dalam
persoalan ini, hadiah haruslah dibedakan dengan risywah (sogok).
Perbedaannya amat halus, yakni terletak pada motivasi yang
melatarbelakanginya.

Sebagimana hibah, hadiah juga diperbolehkan oleh agama. Rasulullah


SAW sendiri pernah menerima hadiah semasa hidupnya., sebagai tanda rasa
hormat dan bersahabat dari pihak lain. Dalam perjalanan sejarah, Umar Bin
Abdul Aziz pernah mengharamkan “hadiah”. Kenapa demikian? Karena pada
masa itu Umar melihat bahwa gejala yang terjadi dalam masyarakat dalam
pemberian dan penerimaan hadiah bukan lagi murni hadiah, tetapi sudah
mengarah kepada risywah.

Rukun dan syarat hadiah sama dengan hibah dan sedekah. Untuk
terwujudnya suatu hadiah maka mestilah ada pihak yang memberikan hadiah,
pihak penerima hadiah, materi yang dihadiahkan, dan ijab kabul sebagai
tanda adanya transaksi hadiah.
HIBAH, SEDEKAH, DAN HADIAH

1. Hibah, yaitu memberikan barang dengan tidak ada tukarannya dan tidak
ada sebabnya.
2. Sedekah, yaitu memberikan barang dengan tidak ada tukarannya karena
mengharapkan pahala diakhirat.
3. Hadiah, yaitu memberikan barang dengan tidak ada tukarannya serta
dibawa ketempat yang diberi karena hendak memuliakannya.6

Di antara beberapa kebaikan itu disebut disebutkan dalam firman Allah SWT:

“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,


orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan, dan orang-orang
yang meminta-minta.” (Al-Baqarah: 177)

Sabda Rasulullah SAW:

“Dari Abu Hurairah, “Rasulullah Saw telah bersabda. “Seakiranya saya


diundang untuk memakan sepotong kaki binatang, pasti akan saya kabulkan
undangan tersebut, begitu juga kalau sepotong kaki binatang dihadiahkan
kepada saya, tentu akan saya terima’.”(Riwayat Bukhari)

Rukun Hibah, Sedekah, dan Hadiah

1. Ada yang memberi. Syaratnya ialah orang yang berhak memberikan


hartanya dan memiliki barang yang diberikan. Maka anak kecil, orang
gila, dan yang menyia-nyiakan harta tidak sah memberikan harta benda
mereka kepada yang lain, begitu juga wali terhadap harta benda yang
diserahkan kepadanya.
2. Ada yang diberi. Syaratnya yaitu berhak memiliki. Tidak sah memberi
kepada anak yang masih berada di dalam kandungan ibunya dan
kepada binatang, karena keduanya tidak dapat memiliki.
3. Ada ijab dan kabul, misalnya orang yang memberi berkata, “ Saya
berikan ini kepada engkau.” Jawab yang diberi, “Saya terima.” Kecuali
6
Sulaiman rasjid,fiqh islam,hlm 326
sesuatu yang menurut kebiasaan memang tidak perlu mengucapkan
ijab dan kabul, misalnya seorang istri menghibahkan gilirannya kepada
madunya, dan bapak memberikan pakaian kepada anaknya yang masih
kecil. Tetapi apabila suami memberikan perhiasan kepada istrinya,
tidaklah menjadi milik istrinya selain dengan ijab dan kabul.
Perbedaan antara pemberian bapak kepada anak dengan pemberian
suami kepada istri ialah: Bapak adalah wali anaknya, sedangkan suami
bukanlah wali terhadap istrinya. Pemberian pada waktu perayaan
menghitan anak hendaklah dilakukan menurut adat yang berlaku di
tiap-tiap tempat tentang perayaan itu.
4. Ada barang yang diberikan. Syaratnya, hendaklah barang itu dapat
dijual, kecuali:
a. Barang-barang yang kecil. Misalnya dua atau tiga butir biji
beras, tidak sah dijual, tetapi sah diberikan.
b. Barang yang tidak diketahui tidaklah sah dijual, tetapi sah
diberikan.
c. Kulit bangkai sebelum disamak tidaklah sah dijual, tetapi sah
diberikan.7

Tetapnya pemberian menjadi milik

Barang yang diberikan belum tentu menjadi milik orang yang diberi kecuali
sesudah diterimanya, tidak dengan semata-mata akad. Keterangan: Nabi Saw.
pernah memberikan 30 buah kasturi kepada Najasyi, kemudian Najasyi
meninggal dunia sebelum menerimanya. Nabi Saw. mencabut pemberian itu.

Kalau salah orang yang memberi atau yang diberi mati sebelum menerima,
ahli warisnya boleh menerima, atau menerimakan barang yang telah
diakadkan itu, dan boleh juga mencabutnya.8

Keadilan terhadap beberapa anak

7
Sulaiman rasjid,fiqh islam,hlm 328
8
Sulaiman rasjid,fiqh islam,hlm 328
Sabda Rasulullah Saw.

“Dari Nu’man. Nabi Saw. bersabda, “Hendaklah kamu adil antara beberapa
anakmu. (Perkataan ini beliau ulangi sampai tiga kali).” (Riwayat Ahmad,
Abu Daud, dan Nasai)

Maka dengan hadis itu timbul dua pendapat antara beberapa ulam yang
terkemuka.

1. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa menyamakan pemberian


antara beberapa anak hukumnya sunat. Alasannya dengan
mengartikan suruhan dalam hadis tersebut sebagai suruhan sunat,
bukan wajib karena ada qarinah.
2. Sebagian ulama berpendapat wajib disamakan. Golongan inipun
beralasan pada hadis tersebut, dan mereka memahamkan arti suruhan
dalam hadis itu dengan makna wajib.

Perbedaan paham tersebut ialah apabila kebutuhan antara beberapa anak itu
sama, tetapi apabila kebutuhannya tidak sama, tidak ada halangan
mengadakan pembagian dengan melebihkan yang satu dari yang lainnya.

Mencabut pemberian

Pemberian yang sudah diberikan dan sudah diterima tidak boleh dicabut
kembali, kecuali pemberian bapak kepada anaknya, tidak berhalangan dicabut
atau dimintanya kembali.

Sabda Rasulullah Saw.:

“Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Nabi Saw. telah bersabda, “Tidak halal
bagi seorang laki-laki muslim bila ia memberikan sesuatu kemudian
dicabutnya kembali, kecuali pemberian bapak kepada anaknya.” (Riwayat
Ahmad dan dinilai sahih oleh Tirmizi dan Ibnu Hibban)
Seorang bapak dibolehkan mencabut pemberian kepada anaknya karena ia
berhak menjaga kemaslahatan anaknya, juga cukup menaruh perhatian (kasih
sayang kepada anaknya).

Sungguh tidak berhalangan apabila bapak mencabut pemberian kepada


anaknya, tetapi dengan syarat “barang yang diberikan itu masih dalam
kekuasaan anaknya”, berarti masih tetap kepunyaan anaknya, meskipun
sedang dirungguhnya. Maka apabila milik anak telah hilang, sibapak tidak
boleh mencabut pemberiannya lagi, walaupun barang itu kembali kepada
anak dengan jalan lain. Bapak dibolehkan mengambil harta anaknya apabila
ia menginginkannya.

Sabda Rasulullah Saw.:

“Ddari Aisyah, “Rasulullah Saw. telah bersabda, ‘anak seorang laki-laki


adalah sebaik-baiknya usahanya. Oleh karenanya, tidak ada halangan bagi
laki-laki mengambil harta anaknya’.” (Riwayat Ahmad)

DAFTAR PUSTAKA
Karim, Helmi.1997.Fiqh Muamalah.PT RajaGrafindo Persada:Jakarta

Rasjid, Sulaiman.1994.Fiqh Islam.Sinar Baru Algensindo:Bandung

Anda mungkin juga menyukai