Anda di halaman 1dari 17

HIBAH

Disusun Oleh : Usman Pajar Siregar

NIM : 3002223034

Pendahuluan

Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana pemberi tersebut

dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah ada hubungannya dengan

kewarisan. Hal ini secara gamblang ditegaskan dalam hukum positif di indonesia seperti;

Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan KUH Perdata. Selain itu, adanya posibilitas

pembatalan hibah yang telah diberikan oleh seorang pemberi hibah kepada yang menerima

hibah sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan

KUHPerdata.

Hibah dalam bahasa Belanda adalah schenking, sedangkan menurut istilah yang

dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, adalah sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu hidupnya, dengan

cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna

keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.1

1
Hukum Zone, “Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”,
http://hukumzone.blogspot.com/2016/05/hibah-menurut-kitab-undang-undang-hukum.html, Diakses tanggal
16 November 2016, Pukul 15.45 WIB.

1
Penghibahan termasuk perjanjian dengan cuma-cuma (om niet) dimana perkataan

dengan cuma-cuma itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang

pihak yang lainnya tidak usah memberikan kontraprestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang

demikian juga dinamakan sepihak (unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal-balik

(bilateral). Perjanjian yang banyak tentunya adalah bertimbal-balik, karena yang lazim adalah

bahwa orang yang menyanggupi suatu prestasi karena ia akan menerima suatu

kontraprestasi.2

Penghibahan itu sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri atau ketika

anak-anak mereka mulai menikah dan membentuk keluarga sendiri. Penghibahan itu

dilakukan ketika si pemberi hibah itu masih hidup, dengan tujuan untuk menghindari

percekcokan yang akan terjadi diantara anakanaknya itu apabila ia telah meninggal dunia.

Penghibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai akibat karena kekhawatiran si pemberi

hibah sebab ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung atau ibu tiri, atau juga karena

dikalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang mungkin disangkal keanggotaannya

sebagai ahli waris.3

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 210

ayat (1), orang yang berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya

paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau

lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.

Salah satu sebab perpindahan hak milik menurut pandangan hukum Islam adalah

dengan hibah. Dengan menghibahkan suatu benda berarti keluarlah sesuatu itu dari wahib

(yang menghibahkan) dan berpindah kedalam milik mawhub lah (yang menerima hibah).

Dalam Islam, seseorang dianjurkan untuk suka memberi. Sekurangnya ada dua hal yang

2
R Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1995, hlm. 94-95
3
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm
132

2
hendak dicapai oleh hibah. Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab

dan kasih sayang di antara sesama manusia serta akan memperat hubungan silaturrahim.

Sedangkan menyambung dan mempererat silaturrahim adalah salah satu ajaran Islam. Di

dalam suatu pemberian harta selain warisan adapula yang diberikan karena hibah. Hibah

diberikan kepada orang yang bukan ahli waris tetapi ia berhak untuk mendapatkannya seperti

anak angkat. Anak angkat bukanlah ahli waris asli tetapi ia mendapatkan sepertiga dari harta

atau wasiat wajibah. Dasar hukum hibah ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat An-Nisa’

ayat 4:

‫صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۗ فَا ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ۤ ْيـًٔا َّم ِر ۤ ْيـًٔا‬
َ ‫َو ٰاتُوا النِّ َس ۤا َء‬

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu

sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu

(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Pada ayat yang lain dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 262:

ٌ ْ‫اَلَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ اَ ْم َوالَهُ ْم فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ ثُ َّم اَل يُ ْتبِعُوْ نَ َمٓا اَ ْنفَقُوْ ا َمنًّا َّوٓاَل اَ ًذ ۙى لَّهُ ْم اَجْ ُرهُ ْم ِع ْن َد َربِّ ِه ۚ ْم َواَل خَ و‬
َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ زَ نُوْ ن‬

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak

mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan

tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.

Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Bagi perjanjian yang digolongkan dalam perjanjian formil termasuk didalamnya

perjanjian hibah, mensyaratkan adanya bentuk tertentu, yaitu akta notaris atau akta otentik,

3
sehingga disini berfungsi sebagai salah satu unsur perjanjian yaitu syarat mutlak untuk

adanya perjanjian tersebut.4

Setiap hibah yang dibuat dihadapan Notaris berbentuk Akta. Pertimbangan tersebut

sangat penting karena menyangkut harta kekayaan seseorang. Kewenangan-kewenangan

yang dimiliki olehNotaris, maka akta hibah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat

otentik dari akta itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang

syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan

untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan adanya kausa yang halal, misalnya

mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak,

menandatangani akta dan segalanya. Sebelum ditanda tangani, akta terlebih dahulu dibacakan

kepada penghadap dan saksisaksi yang dilakukan oleh Notaris yang membuat akta tersebut.

Pembacaan akta tidak dapat diwakili oleh orang lain atau didelegasikan pembacaan akta

tersebut kepada pegawai kantor Notaris melainkan harus dilakukan oleh Notaris sendiri.5

4
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung 2008, hlm.
375.
5
5 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hal. 201.

4
Pengertian Hibah

Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah

yaitu:

ٍ ‫ق فِى َع ْي ٍن َحاﻠَ ْال َحيَا ِةبِاَل ِع َو‬


‫ض َولَوْ ِمنَ ااْل َ ْعلَى‬ ْ ‫ك ُم ْن ِج ٌز ُم‬
ٌ َ‫طل‬ ٌ ‫تَ ْملِ ْي‬

Artinya:

“Pemilikan yang munjiz (selesai) dan muthlak pada sesuatu benda ketika hidup tanpa

penggantian meskipun dari yang lebih tinggi.”

Didalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok

persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa

adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk

dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut

disebut i’jarah  (pinjaman).6

Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta benda

maupun yang lainnya. Menurut istilah syara’ ialah:

a) Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda dengan tanpa ada syarat

harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi

masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah milik si

pemberi.

b) Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa mengharap

imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharap

imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan hadiah. Dan apabila

6
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, Cet. XX, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987) h. 174

5
pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala

maka ini dinamakan sedekah.

c) Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki sesuatu oleh

seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui

atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk

diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib,

dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada

imbalan.

d) Menurut Madzhab Syafii, hibah mengandung dua pengertian:

1) Pengertian khusus, yaitu pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan

dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian yang mana

tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan tidak

dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena menutup

kebutuhan orang yang diberikannya.

Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup hadiah dan sedekah.

Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat mazhab tersebut berlainan

redaksinya namun intinya tetaplah sama, yaitu;

“hibah adalah memberikan hak milik sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh

ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesama manusia dalam hal kebaikan”

Dalam KUH Perdata, hibah disebut schenking yang berarti suatu persetujuan, dengan si

pemberi hibah diwaktu hidupnya dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak ditarik kembali,

menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah untuk digunakan sebagai

layaknya milik pribadi. Dalam KUH Perdata sama sekali tidak mengakui lain-lain hibah,

6
kecuali hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Hibah itu hanya mengenal benda-

benda yang sudah ada, jika benda itu meliputi benda yang akan ada di kemudian hari, maka

sekedar mengenai hal ini hibahnya adalah batal (pasal 1666 dan 1667 KUH Perdata).

2. Dalam pasal 171 huruf g KHI, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela

dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Pengertian ini sama dengan definisi yang banyak disebut dalam kitab fiqih tradisional

bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah pemilikan sesuatu melalui akad tanpa

mengharapkan imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika si pemberi hibah masih

hidup.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kerelaan dalam melakukan perbuatan

hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada dalam

pelaksanaan hibah. Jadi asasnya adalah sukarela.

hibah berarti akad yang pokoknya adalah pemberian harta milik seseorang kepada

orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah

mempunyai pengertian hal-hal yang meliputi :

a) Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;

b) Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan pahala di

akhirat;

c) Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi

imbalan.

7
Landasan Hukum Hibah

1. Surat Al-Baqarah:195

َ‫َواَ ْنفِقُوْ ا فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ َواَل تُ ْلقُوْ ا بِا َ ْي ِد ْي ُك ْم اِلَى التَّ ْهلُ َك ِة ۛ َواَحْ ِسنُوْ ا ۛ اِ َّن هّٰللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِ ْين‬

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu

menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena

sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. “

Maka untuk itulah, dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk

berbuat sunnah dalam arti berbuat kebaikan yaitu berinfak, seperti: sodaqoh, wakaf,

hibah, dan lain-lain

2. Surat Ali-Imran:92

‫لَ ْن تَنَالُوا ْالبِ َّر َح ٰتّى تُ ْنفِقُوْ ا ِم َّما تُ ِحبُّوْ نَ ۗ َو َما تُ ْنفِقُوْ ا ِم ْن َش ْي ٍء فَا ِ َّن هّٰللا َ بِ ٖه َعلِ ْي ٌم‬

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu

menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,

maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”

8
Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan

warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat

pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat,

terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan

terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau

setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh

karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris. Sedangakan hibah yang di berikan

kepada non ahli waris, meskipun dalam kitab-kitab fiqh tak ada batasan berapapun

jumlahnya namun tak menutup kemungkinan seseorang akan menghibahkan seluruh

hartanya, yang nantinya akan berakibat membahayakan ahli waris.

Untuk itu, Berkaitan dengan masalah di atas pasal 210 KHI telah memberikan

solusi,

3. KHI PASAL 210 yang berbunyi:

“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa

adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya

kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki”

Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat

dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah:

pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan

kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak

ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi

sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga

harta peninggalan.

Analisis Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif

9
Kajian Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS
Penyelesaian konflik pewarisan akibat hibah berdasarkan Putusan Nomor 95/

PDT.G/2008/PN.BKS, keputusan hakim pada sidang pengadilan menolak gugatan penggugat

(ahli waris sah) yang konon tidak mampu membuktikan ketidakabsahan surat keterangan

hibah. Konflik penghibahan dan pewarisan menjadi penting untuk diteliti, karena banyak

persoalan-persoalan penghibahan dan pewarisan berujung dengan konflik yang menimbulkan

korban, bahkan terjadi kejahatan terhadap sesama ahli waris dan anak di luar kawin di

Indonesia. Anak luar kawin memiliki surat keterangan hibah. Walaupun hibah tersebut cacat

hukum, dibuat penghibah seolah sewaktu masih hidup, tidak ada tanda-tanda pewaris

(almarhum) memberikan hibah seluruh hartanya tanpa memberitahu istri dan anaknya.

Pewaris dikenal sebagai bapak yang jujur, sehat jasmani rohani, dan mengerti istri dan

anaknya kelak yang akan mewarisi hartanya. Tidak mungkin untuk menghibahkan seluruh

harta kepada orang lain tanpa memberitahu kepada keluarga (istri dan anaknya). Fenomena

hukum tersebut menggambarkan betapa lemahnya peradilan di Republik ini. Konflik yang

berkepanjangan dan berakhir di pengadilan, tidak sesuai dengan harapan masyarakat (korban)

pencari keadilan yang berakibat masyarakat mencari hukum dengan main hakim sendiri

(eigenrichting).7

Hakim terpasung dengan ketentuan formal hukum, yang hanya mengandalkan law

and logic atau law and logic bound yang memarginalkan behaviour. Hanya memburu

kepastian hukum saja dan mengebiri keadilan substansial, tidak menggunakan perasaan/hati

nurani/moral/ etik. Korban (ahli waris anak dan istri sah) dalam posisi lemah sebagai wong

cilik yang tak berdaya walaupun sebagai ahli waris sah, harus menyerah kalah ketika hakim

pengadilan negeri, pengadilan tinggi (banding) dan Mahkamah Agung dalam keputusan

kasasinya menyatakan menolak gugatan penggugat dan menghukum penggugat (ahli waris

7
Arief, B.N. (2001). Masalah penegakan hukum & kebijakan penanggulangan kejahatan. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.

10
anak dan istri sah) dengan harus membayar biaya perkara selama sidang di pengadilan. Hal

ini memberi pelajaran kepada kita bahwa hak mewaris dari ahli waris sah digagalkan dengan

surat keterangan hibah.

Dari fenomena tersebut di atas, bahwa positivisme hukum yang telah mendominasi

peradilan mengalami kebuntuan karena tidak mendapatkan keadilan substantif. Oleh karena

itu dianggap perlu ada kajian sosiologi yang lebih mendalam yang mampu menjelaskan

kebuntuan positivisme hukum dimaksud, yakni dengan cara mengembangkan logika

berhukum secara progresif yang mampu menjelaskan (explain), mengkritisi kemudian

membangun ide baru (theory building). Mengingat kajian hukum tidak hanya pada ranah

normatif yuridis/ penerapan peraturan perundang-undangan saja, tapi juga pada non-normatif

yuridis/evaluasi dan pengembangan dengan mengambil pola berhukum progresif yang

meninggalkan manusia dan masyarakatnya dalam berhukum, dalam upaya mencari keadilan

(searching for justice). Kebijakan dari pengembangan pola berhukum progresif dapat

digunakan sebagai kebijakan dalam menentukan langkah demi terwujudnya keadilan

substantive (Rahardjo, 1972: 23-24) tentang penyelesaian konflik pewarisan dan hibah

berdasarkan hukum progresif pada kajian Putusan Nomor 95/ PDT.G/2008/PN.BKS yang

dipandang kurang mencapai keadilan dari pihak penggugat dan dicari solusinya dengan

pendekatan moral kemanusiaan. Demikian realitas yang ada dalam praktik pengadilan, di

mana hakim hanya mengandalkan proses formalisme hukum (textbook) dalam menegakkan

hukum, dengan mengesampingkan moral kemanusiaan. Dari fenomena tersebut penulis

tawarkan agar hakim berparadigma cara berhukum progresif yang berlandaskan progresivitas

manusia bahwa sebenarnya manusia itu baik, penuh empati, tolong-menolong dan memiliki

rasa kasih sayang.8


8
Yusriyadi. (2004). Polisi dan aspek penegak hukum secara sosiologis. Jurnal Hukum Progresif,
4(1),

11
Secara ekonomi menjadi persoalan tersendiri karena menerima nasib sebagai orang

yang kehilangan harta satu-satunya peninggalan mendiang suaminya (tanah, rumah, dan

penghasilan lainnya), secara sosial budaya ada kesenjangan, kohesi, dan harmonisasi

menurun, terjadi semacam beban moral dan malu kepada sesama warga di lingkungan tempat

tinggal. Dari fenomena tersebut timbul suatu permasalahan sebagai bahan kajian dalam

penelitian ini, dengan harapan ada penyelesaian yang lebih arif dan bijaksana yang bertumpu

pada nilai-nilai kemanusiaan, ada suatu empati kalau memang kalah di pengadilan. Demikian

paradigma hukum positif dalam penerapannya secara prosedural yang mengutamakan

“pembuktian.” Keputusan pengadilan ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang dan

bagi korban (ahli waris sah) masih menaruh dendam, karena tidak mendapatkan keadilan.

Pertimbangan hakim menolak permohonan kasasi karena keberatan yang diajukan

penggugat tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum. Lagi

pula mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu

kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi.

Karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan

penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam

memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan yang

mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, atau bila pengadilan

tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004.

Dalam putusan kasasi menyatakan bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak

bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang

12
diajukan oleh para pemohon kasasi tersebut harus ditolak, maka para pemohon kasasi

dihukum membayar biaya perkara tingkat kasasi ini.

Dari fondasi demikian ada rasa senasib seperjuangan (expride corps) kepada sesama

manusia. Fenomena demikian seyogianya hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan

hendaknya mempertimbangkan secara moral. Tidak kaku hanya berdasarkan hukum tertulis

Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman) | 89

saja yang bertindak dalam memutus perkara dan condong bersifat asal-asalan saja

(underestimate), namun juga menimbang kepentingan, nasib si kalah yang harus melangkah

bagaimana dalam memperjuangkan haknya, harus menerima sebagai si miskin karena tidak

jelas dengan keputusan pengadilan kalah kemudian harus bertempat tinggal di mana.

Kebiasaan masyarakat dengan hukum rakyat yang merupakan fundamental dari Sistem

Pembangunan Hukum Nasional (Hartono, 2011a: 9-10), yang merupakan kebiasaan dalam

kehidupan berhukum setiap hari di masyarakat, harapan masyarakat warga agar hukum rakyat

dimunculkan, dilaksanakan sebagai hukum/ aturan yang digunakan agar tercapai keadilan

substansial. Adanya keinginan agar digunakan hukum rakyat dan hukum negara, realitasnya

hukum rakyat banyak yang dikalahkan, model budaya manusia abad sekarang terutama

generasi-generasi kaum borjuis yang berpaham modern, kental dengan intervensi kapitalisme,

condong menggunakan hukum negara daripada hukum/budaya rakyat.

Dari fondasi demikian ada rasa senasib seperjuangan (expride corps) kepada sesama

manusia. Fenomena demikian seyogianya hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan

hendaknya mempertimbangkan secara moral. Tidak kaku hanya berdasarkan hukum tertulis

Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman) | 89

saja yang bertindak dalam memutus perkara dan condong bersifat asal-asalan saja

13
(underestimate), namun juga menimbang kepentingan, nasib si kalah yang harus melangkah

bagaimana dalam memperjuangkan haknya, harus menerima sebagai si miskin karena tidak

jelas dengan keputusan pengadilan kalah kemudian harus bertempat tinggal di mana.

Kebiasaan masyarakat dengan hukum rakyat yang merupakan fundamental dari Sistem

Pembangunan Hukum Nasional (Hartono, 2011a: 9-10), yang merupakan kebiasaan dalam

kehidupan berhukum setiap hari di masyarakat, harapan masyarakat warga agar hukum rakyat

dimunculkan, dilaksanakan sebagai hukum/ aturan yang digunakan agar tercapai keadilan

substansial. Adanya keinginan agar digunakan hukum rakyat dan hukum negara, realitasnya

hukum rakyat banyak yang dikalahkan, model budaya manusia abad sekarang terutama

generasi-generasi kaum borjuis yang berpaham modern, kental dengan intervensi kapitalisme,

condong menggunakan hukum negara daripada hukum/budaya rakyat.9

Hasil beberapa analisis penelitian (pada objek penelitian) realitasnya banyak

kejanggalan tentang pelaksanaan penghibahan. Dari hasil penelitian pada Putusan Nomor 95/

PPT.G/2008/PN.BKS, antara lain ada kejelasan yang berbeda dari PPATS/Camat Bekasi yang

terdahulu dan sekarang dari buku desa yang mencatat tentang peralihan hak atas tanah.

Berbeda tentang kejelasan keberadaan kebenaran dari penghibahan. Kejelasan PPATS yang

satu menyatakan bukan hibah tapi jual beli, yang lain menyatakan dari hibah. Menurut saksi

desa yang akrab dan menjadi pesuruh almarhum pewaris menyatakan tidak pernah dilakukan

penghibahan antara almarhum dengan anak luar kawin.

Pandangan pola berhukum progresif dalam Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS

di atas, dengan menganalisis dan menjelaskan dari segi etika, kepatutan, manusiawi, dengan

cara logika pun perlu dijelaskan, apakah ada ahli waris (istri dan anak sah) dari mendiang

suaminya (pewaris) harus tidak menerima apapun dari harta yang ditinggalkan suaminya.

Apakah wajar jika seluruh harta tanpa kecuali dihibahkan oleh almarhum (suami) kepada

9
Rahardjo (2007, Oktober). Hukum progresif berdamai dengan alam. Jurnal Hukum Progresif, 3(2),

14
orang lain ketika masih hidup, dia dalam keadaan sehat jasmani rohani. Apakah dia bangga

kalau seluruh harta diserahkan ke orang lain tanpa ada dalih apapun dan kemudian hari akan

menyengsarakan istri dan anaknya. Kajian pengkritisan secara logika yang timbul dari hati

nurani yang mestinya harus dicakup oleh hukum itu sendiri.

Dari pandangan progresivitas manusia penegak hukum seyogianya dalam

menegakkan hukum harus menggunakan hati nurani, tidak hanya berhukum secara linier

semata (Arief, 2001: 4-5) demi tercapainya perlindungan (defend) dan kesejahteraan

(welfare). Keputusan pengadilan hendaknya memutuskan yang adil, dalam keputusan

tersebut di atas dengan pertimbangan ahli waris sangat membutuhkan penghidupan dan masa

depan butuh kesejahteraan dan perlindungan hukum, pertimbangan moral, walaupun secara

fakta (bukti adanya hibah) penerima hibahlah yang berhak atas harta peninggalan pewaris

Kesimpulan

Dari pandangan progresivitas manusia penegak hukum seyogianya dalam

menegakkan hukum harus menggunakan hati nurani, tidak hanya berhukum secara linier

semata (Arief, 2001: 4-5) demi tercapainya perlindungan (defend) dan kesejahteraan

(welfare). Keputusan pengadilan hendaknya memutuskan yang adil, dalam keputusan

tersebut di atas dengan pertimbangan ahli waris sangat membutuhkan penghidupan dan masa

depan butuh kesejahteraan dan perlindungan hukum, pertimbangan moral, walaupun secara

fakta (bukti adanya hibah) penerima hibahlah yang berhak atas harta peninggalan pewaris

Dapat disimpulkan bahwa penyelesaian konflik pewarisan akibat hibah berdasarkan

hukum progresif anak luar kawin tidak diakui mampu menguasai harta pewaris, termasuk

bagian ahli waris sah. Karena terbukti anak luar 96 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017:

79 - 97 kawin menerima hibah dari almarhum/pewaris ketika masih hidup dan surat

keterangan hibah dimaksud dapat dibuktikan di sidang pengadilan. Dalam pandangan hukum

15
progresif lebih melihat dengan cara pandang logika berhukum progresif dengan fondasi

progresivitas manusia bahwa manusia sebenarnya baik, empati, penuh rasa kasih sayang

terhadap sesama. Maka pandangan hukum progresif, bahwa hukum untuk manusia bukan

untuk yang lain, berhukum yang baik berhukum yang tidak meninggalkan manusia dan

masyarakatnya. Tujuan berhukum demi tercapainya keadilan substansial dan memandang

hukum bukan suatu institusi yang final tapi berproses (law a process law in the making).

Berangkat dari pandangan hukum progresif terkait dengan peradilan waris dan hibah tersebut

di atas seyogianya penyelesaiannya tidak meninggalkan etika moral

kemanusiaan/menggunakan perasaan. Dengan pendekatan kemanusiaan ada rasa belas

kasihan (empati) kepada korban (anak dan istri pewaris/almarhum). Seyogianya hakim

mampu berbuat bijak (mampu mencari hukum) dengan suasana yang demikian, juga anak

luar kawin untuk menyerahkan sebagian harta peninggalan almarhum demi kelangsungan

hidup keluarganya (almarhum), demi tercapai keadilan antar pihak.

16
Daftar Pustaka

Hukum Zone, “Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata”, http://hukumzone.blogspot.com/2016/05/hibah-menurut-kitab-undang-

undang-hukum.html, Diakses tanggal 16 November 2016, Pukul 15.45 WIB.

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Prenada Media


Group, Jakarta, 2008, hlm 132

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra


Aditya, Bandung 2008, hlm. 375.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hal. 201.

Arief, B.N. (2001). Masalah penegakan hukum & kebijakan penanggulangan


kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Yusriyadi. (2004). Polisi dan aspek penegak hukum secara sosiologis. Jurnal Hukum
Progresif, 4(1),

17

Anda mungkin juga menyukai