NIM : 3002223034
Pendahuluan
Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana pemberi tersebut
dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah ada hubungannya dengan
kewarisan. Hal ini secara gamblang ditegaskan dalam hukum positif di indonesia seperti;
Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan KUH Perdata. Selain itu, adanya posibilitas
pembatalan hibah yang telah diberikan oleh seorang pemberi hibah kepada yang menerima
hibah sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan
KUHPerdata.
Hibah dalam bahasa Belanda adalah schenking, sedangkan menurut istilah yang
dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, adalah sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna
1
Hukum Zone, “Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”,
http://hukumzone.blogspot.com/2016/05/hibah-menurut-kitab-undang-undang-hukum.html, Diakses tanggal
16 November 2016, Pukul 15.45 WIB.
1
Penghibahan termasuk perjanjian dengan cuma-cuma (om niet) dimana perkataan
dengan cuma-cuma itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang
pihak yang lainnya tidak usah memberikan kontraprestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang
demikian juga dinamakan sepihak (unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal-balik
(bilateral). Perjanjian yang banyak tentunya adalah bertimbal-balik, karena yang lazim adalah
bahwa orang yang menyanggupi suatu prestasi karena ia akan menerima suatu
kontraprestasi.2
Penghibahan itu sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri atau ketika
anak-anak mereka mulai menikah dan membentuk keluarga sendiri. Penghibahan itu
dilakukan ketika si pemberi hibah itu masih hidup, dengan tujuan untuk menghindari
percekcokan yang akan terjadi diantara anakanaknya itu apabila ia telah meninggal dunia.
Penghibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai akibat karena kekhawatiran si pemberi
hibah sebab ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung atau ibu tiri, atau juga karena
dikalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang mungkin disangkal keanggotaannya
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 210
ayat (1), orang yang berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya
paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau
Salah satu sebab perpindahan hak milik menurut pandangan hukum Islam adalah
dengan hibah. Dengan menghibahkan suatu benda berarti keluarlah sesuatu itu dari wahib
(yang menghibahkan) dan berpindah kedalam milik mawhub lah (yang menerima hibah).
Dalam Islam, seseorang dianjurkan untuk suka memberi. Sekurangnya ada dua hal yang
2
R Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1995, hlm. 94-95
3
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm
132
2
hendak dicapai oleh hibah. Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab
dan kasih sayang di antara sesama manusia serta akan memperat hubungan silaturrahim.
Sedangkan menyambung dan mempererat silaturrahim adalah salah satu ajaran Islam. Di
dalam suatu pemberian harta selain warisan adapula yang diberikan karena hibah. Hibah
diberikan kepada orang yang bukan ahli waris tetapi ia berhak untuk mendapatkannya seperti
anak angkat. Anak angkat bukanlah ahli waris asli tetapi ia mendapatkan sepertiga dari harta
atau wasiat wajibah. Dasar hukum hibah ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat An-Nisa’
ayat 4:
صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۗ فَا ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ۤ ْيـًٔا َّم ِر ۤ ْيـًٔا
َ َو ٰاتُوا النِّ َس ۤا َء
pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
Pada ayat yang lain dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 262:
ٌ ْاَلَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ اَ ْم َوالَهُ ْم فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ ثُ َّم اَل يُ ْتبِعُوْ نَ َمٓا اَ ْنفَقُوْ ا َمنًّا َّوٓاَل اَ ًذ ۙى لَّهُ ْم اَجْ ُرهُ ْم ِع ْن َد َربِّ ِه ۚ ْم َواَل خَ و
َف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ زَ نُوْ ن
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan
tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.
Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
perjanjian hibah, mensyaratkan adanya bentuk tertentu, yaitu akta notaris atau akta otentik,
3
sehingga disini berfungsi sebagai salah satu unsur perjanjian yaitu syarat mutlak untuk
Setiap hibah yang dibuat dihadapan Notaris berbentuk Akta. Pertimbangan tersebut
yang dimiliki olehNotaris, maka akta hibah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat
otentik dari akta itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang
syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan adanya kausa yang halal, misalnya
mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak,
menandatangani akta dan segalanya. Sebelum ditanda tangani, akta terlebih dahulu dibacakan
kepada penghadap dan saksisaksi yang dilakukan oleh Notaris yang membuat akta tersebut.
Pembacaan akta tidak dapat diwakili oleh orang lain atau didelegasikan pembacaan akta
tersebut kepada pegawai kantor Notaris melainkan harus dilakukan oleh Notaris sendiri.5
4
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung 2008, hlm.
375.
5
5 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hal. 201.
4
Pengertian Hibah
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah
yaitu:
Artinya:
“Pemilikan yang munjiz (selesai) dan muthlak pada sesuatu benda ketika hidup tanpa
Didalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok
persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa
adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk
dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut
disebut i’jarah (pinjaman).6
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta benda
a) Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda dengan tanpa ada syarat
harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi
masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah milik si
pemberi.
b) Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa mengharap
imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharap
imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan hadiah. Dan apabila
6
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, Cet. XX, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987) h. 174
5
pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala
seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui
atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk
dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada
imbalan.
dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian yang mana
Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup hadiah dan sedekah.
Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat mazhab tersebut berlainan
“hibah adalah memberikan hak milik sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh
ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesama manusia dalam hal kebaikan”
Dalam KUH Perdata, hibah disebut schenking yang berarti suatu persetujuan, dengan si
pemberi hibah diwaktu hidupnya dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak ditarik kembali,
menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah untuk digunakan sebagai
layaknya milik pribadi. Dalam KUH Perdata sama sekali tidak mengakui lain-lain hibah,
6
kecuali hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Hibah itu hanya mengenal benda-
benda yang sudah ada, jika benda itu meliputi benda yang akan ada di kemudian hari, maka
sekedar mengenai hal ini hibahnya adalah batal (pasal 1666 dan 1667 KUH Perdata).
2. Dalam pasal 171 huruf g KHI, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Pengertian ini sama dengan definisi yang banyak disebut dalam kitab fiqih tradisional
bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah pemilikan sesuatu melalui akad tanpa
mengharapkan imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika si pemberi hibah masih
hidup.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kerelaan dalam melakukan perbuatan
hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada dalam
hibah berarti akad yang pokoknya adalah pemberian harta milik seseorang kepada
orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah
akhirat;
c) Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi
imbalan.
7
Landasan Hukum Hibah
1. Surat Al-Baqarah:195
ََواَ ْنفِقُوْ ا فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ َواَل تُ ْلقُوْ ا بِا َ ْي ِد ْي ُك ْم اِلَى التَّ ْهلُ َك ِة ۛ َواَحْ ِسنُوْ ا ۛ اِ َّن هّٰللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِ ْين
Maka untuk itulah, dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk
berbuat sunnah dalam arti berbuat kebaikan yaitu berinfak, seperti: sodaqoh, wakaf,
2. Surat Ali-Imran:92
لَ ْن تَنَالُوا ْالبِ َّر َح ٰتّى تُ ْنفِقُوْ ا ِم َّما تُ ِحبُّوْ نَ ۗ َو َما تُ ْنفِقُوْ ا ِم ْن َش ْي ٍء فَا ِ َّن هّٰللا َ بِ ٖه َعلِ ْي ٌم
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
8
Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan
warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat
terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan
terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau
setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh
karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris. Sedangakan hibah yang di berikan
kepada non ahli waris, meskipun dalam kitab-kitab fiqh tak ada batasan berapapun
Untuk itu, Berkaitan dengan masalah di atas pasal 210 KHI telah memberikan
solusi,
kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki”
Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat
dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah:
pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan
kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak
ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi
sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga
harta peninggalan.
9
Kajian Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS
Penyelesaian konflik pewarisan akibat hibah berdasarkan Putusan Nomor 95/
(ahli waris sah) yang konon tidak mampu membuktikan ketidakabsahan surat keterangan
hibah. Konflik penghibahan dan pewarisan menjadi penting untuk diteliti, karena banyak
korban, bahkan terjadi kejahatan terhadap sesama ahli waris dan anak di luar kawin di
Indonesia. Anak luar kawin memiliki surat keterangan hibah. Walaupun hibah tersebut cacat
hukum, dibuat penghibah seolah sewaktu masih hidup, tidak ada tanda-tanda pewaris
(almarhum) memberikan hibah seluruh hartanya tanpa memberitahu istri dan anaknya.
Pewaris dikenal sebagai bapak yang jujur, sehat jasmani rohani, dan mengerti istri dan
anaknya kelak yang akan mewarisi hartanya. Tidak mungkin untuk menghibahkan seluruh
harta kepada orang lain tanpa memberitahu kepada keluarga (istri dan anaknya). Fenomena
hukum tersebut menggambarkan betapa lemahnya peradilan di Republik ini. Konflik yang
berkepanjangan dan berakhir di pengadilan, tidak sesuai dengan harapan masyarakat (korban)
pencari keadilan yang berakibat masyarakat mencari hukum dengan main hakim sendiri
(eigenrichting).7
Hakim terpasung dengan ketentuan formal hukum, yang hanya mengandalkan law
and logic atau law and logic bound yang memarginalkan behaviour. Hanya memburu
kepastian hukum saja dan mengebiri keadilan substansial, tidak menggunakan perasaan/hati
nurani/moral/ etik. Korban (ahli waris anak dan istri sah) dalam posisi lemah sebagai wong
cilik yang tak berdaya walaupun sebagai ahli waris sah, harus menyerah kalah ketika hakim
pengadilan negeri, pengadilan tinggi (banding) dan Mahkamah Agung dalam keputusan
kasasinya menyatakan menolak gugatan penggugat dan menghukum penggugat (ahli waris
7
Arief, B.N. (2001). Masalah penegakan hukum & kebijakan penanggulangan kejahatan. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
10
anak dan istri sah) dengan harus membayar biaya perkara selama sidang di pengadilan. Hal
ini memberi pelajaran kepada kita bahwa hak mewaris dari ahli waris sah digagalkan dengan
Dari fenomena tersebut di atas, bahwa positivisme hukum yang telah mendominasi
peradilan mengalami kebuntuan karena tidak mendapatkan keadilan substantif. Oleh karena
itu dianggap perlu ada kajian sosiologi yang lebih mendalam yang mampu menjelaskan
membangun ide baru (theory building). Mengingat kajian hukum tidak hanya pada ranah
normatif yuridis/ penerapan peraturan perundang-undangan saja, tapi juga pada non-normatif
meninggalkan manusia dan masyarakatnya dalam berhukum, dalam upaya mencari keadilan
(searching for justice). Kebijakan dari pengembangan pola berhukum progresif dapat
substantive (Rahardjo, 1972: 23-24) tentang penyelesaian konflik pewarisan dan hibah
berdasarkan hukum progresif pada kajian Putusan Nomor 95/ PDT.G/2008/PN.BKS yang
dipandang kurang mencapai keadilan dari pihak penggugat dan dicari solusinya dengan
pendekatan moral kemanusiaan. Demikian realitas yang ada dalam praktik pengadilan, di
mana hakim hanya mengandalkan proses formalisme hukum (textbook) dalam menegakkan
tawarkan agar hakim berparadigma cara berhukum progresif yang berlandaskan progresivitas
manusia bahwa sebenarnya manusia itu baik, penuh empati, tolong-menolong dan memiliki
11
Secara ekonomi menjadi persoalan tersendiri karena menerima nasib sebagai orang
yang kehilangan harta satu-satunya peninggalan mendiang suaminya (tanah, rumah, dan
penghasilan lainnya), secara sosial budaya ada kesenjangan, kohesi, dan harmonisasi
menurun, terjadi semacam beban moral dan malu kepada sesama warga di lingkungan tempat
tinggal. Dari fenomena tersebut timbul suatu permasalahan sebagai bahan kajian dalam
penelitian ini, dengan harapan ada penyelesaian yang lebih arif dan bijaksana yang bertumpu
pada nilai-nilai kemanusiaan, ada suatu empati kalau memang kalah di pengadilan. Demikian
“pembuktian.” Keputusan pengadilan ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang dan
bagi korban (ahli waris sah) masih menaruh dendam, karena tidak mendapatkan keadilan.
penggugat tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum. Lagi
pula mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi.
Karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan
penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, atau bila pengadilan
tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004.
Dalam putusan kasasi menyatakan bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak
12
diajukan oleh para pemohon kasasi tersebut harus ditolak, maka para pemohon kasasi
Dari fondasi demikian ada rasa senasib seperjuangan (expride corps) kepada sesama
hendaknya mempertimbangkan secara moral. Tidak kaku hanya berdasarkan hukum tertulis
saja yang bertindak dalam memutus perkara dan condong bersifat asal-asalan saja
(underestimate), namun juga menimbang kepentingan, nasib si kalah yang harus melangkah
bagaimana dalam memperjuangkan haknya, harus menerima sebagai si miskin karena tidak
jelas dengan keputusan pengadilan kalah kemudian harus bertempat tinggal di mana.
Kebiasaan masyarakat dengan hukum rakyat yang merupakan fundamental dari Sistem
Pembangunan Hukum Nasional (Hartono, 2011a: 9-10), yang merupakan kebiasaan dalam
kehidupan berhukum setiap hari di masyarakat, harapan masyarakat warga agar hukum rakyat
dimunculkan, dilaksanakan sebagai hukum/ aturan yang digunakan agar tercapai keadilan
substansial. Adanya keinginan agar digunakan hukum rakyat dan hukum negara, realitasnya
hukum rakyat banyak yang dikalahkan, model budaya manusia abad sekarang terutama
generasi-generasi kaum borjuis yang berpaham modern, kental dengan intervensi kapitalisme,
Dari fondasi demikian ada rasa senasib seperjuangan (expride corps) kepada sesama
hendaknya mempertimbangkan secara moral. Tidak kaku hanya berdasarkan hukum tertulis
saja yang bertindak dalam memutus perkara dan condong bersifat asal-asalan saja
13
(underestimate), namun juga menimbang kepentingan, nasib si kalah yang harus melangkah
bagaimana dalam memperjuangkan haknya, harus menerima sebagai si miskin karena tidak
jelas dengan keputusan pengadilan kalah kemudian harus bertempat tinggal di mana.
Kebiasaan masyarakat dengan hukum rakyat yang merupakan fundamental dari Sistem
Pembangunan Hukum Nasional (Hartono, 2011a: 9-10), yang merupakan kebiasaan dalam
kehidupan berhukum setiap hari di masyarakat, harapan masyarakat warga agar hukum rakyat
dimunculkan, dilaksanakan sebagai hukum/ aturan yang digunakan agar tercapai keadilan
substansial. Adanya keinginan agar digunakan hukum rakyat dan hukum negara, realitasnya
hukum rakyat banyak yang dikalahkan, model budaya manusia abad sekarang terutama
generasi-generasi kaum borjuis yang berpaham modern, kental dengan intervensi kapitalisme,
kejanggalan tentang pelaksanaan penghibahan. Dari hasil penelitian pada Putusan Nomor 95/
PPT.G/2008/PN.BKS, antara lain ada kejelasan yang berbeda dari PPATS/Camat Bekasi yang
terdahulu dan sekarang dari buku desa yang mencatat tentang peralihan hak atas tanah.
Berbeda tentang kejelasan keberadaan kebenaran dari penghibahan. Kejelasan PPATS yang
satu menyatakan bukan hibah tapi jual beli, yang lain menyatakan dari hibah. Menurut saksi
desa yang akrab dan menjadi pesuruh almarhum pewaris menyatakan tidak pernah dilakukan
di atas, dengan menganalisis dan menjelaskan dari segi etika, kepatutan, manusiawi, dengan
cara logika pun perlu dijelaskan, apakah ada ahli waris (istri dan anak sah) dari mendiang
suaminya (pewaris) harus tidak menerima apapun dari harta yang ditinggalkan suaminya.
Apakah wajar jika seluruh harta tanpa kecuali dihibahkan oleh almarhum (suami) kepada
9
Rahardjo (2007, Oktober). Hukum progresif berdamai dengan alam. Jurnal Hukum Progresif, 3(2),
14
orang lain ketika masih hidup, dia dalam keadaan sehat jasmani rohani. Apakah dia bangga
kalau seluruh harta diserahkan ke orang lain tanpa ada dalih apapun dan kemudian hari akan
menyengsarakan istri dan anaknya. Kajian pengkritisan secara logika yang timbul dari hati
menegakkan hukum harus menggunakan hati nurani, tidak hanya berhukum secara linier
semata (Arief, 2001: 4-5) demi tercapainya perlindungan (defend) dan kesejahteraan
tersebut di atas dengan pertimbangan ahli waris sangat membutuhkan penghidupan dan masa
depan butuh kesejahteraan dan perlindungan hukum, pertimbangan moral, walaupun secara
fakta (bukti adanya hibah) penerima hibahlah yang berhak atas harta peninggalan pewaris
Kesimpulan
menegakkan hukum harus menggunakan hati nurani, tidak hanya berhukum secara linier
semata (Arief, 2001: 4-5) demi tercapainya perlindungan (defend) dan kesejahteraan
tersebut di atas dengan pertimbangan ahli waris sangat membutuhkan penghidupan dan masa
depan butuh kesejahteraan dan perlindungan hukum, pertimbangan moral, walaupun secara
fakta (bukti adanya hibah) penerima hibahlah yang berhak atas harta peninggalan pewaris
hukum progresif anak luar kawin tidak diakui mampu menguasai harta pewaris, termasuk
bagian ahli waris sah. Karena terbukti anak luar 96 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017:
79 - 97 kawin menerima hibah dari almarhum/pewaris ketika masih hidup dan surat
keterangan hibah dimaksud dapat dibuktikan di sidang pengadilan. Dalam pandangan hukum
15
progresif lebih melihat dengan cara pandang logika berhukum progresif dengan fondasi
progresivitas manusia bahwa manusia sebenarnya baik, empati, penuh rasa kasih sayang
terhadap sesama. Maka pandangan hukum progresif, bahwa hukum untuk manusia bukan
untuk yang lain, berhukum yang baik berhukum yang tidak meninggalkan manusia dan
hukum bukan suatu institusi yang final tapi berproses (law a process law in the making).
Berangkat dari pandangan hukum progresif terkait dengan peradilan waris dan hibah tersebut
kasihan (empati) kepada korban (anak dan istri pewaris/almarhum). Seyogianya hakim
mampu berbuat bijak (mampu mencari hukum) dengan suasana yang demikian, juga anak
luar kawin untuk menyerahkan sebagian harta peninggalan almarhum demi kelangsungan
16
Daftar Pustaka
Perdata”, http://hukumzone.blogspot.com/2016/05/hibah-menurut-kitab-undang-
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hal. 201.
Yusriyadi. (2004). Polisi dan aspek penegak hukum secara sosiologis. Jurnal Hukum
Progresif, 4(1),
17