Anda di halaman 1dari 16

HIBAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:

Fiqih Mawaris

Dosen Pengampu:

Fatimatuz Zahro, M.H.I

Disusun Oleh:

Ulil Aidi (21302004)

Arjun Rahmatulloh (21302047)

M Sihabul Milah (21302058)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2023-2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Hibah”.
Dan juga kami berterimakasih kepada Ibu Fatimatuz Zahro, M.H.I selaku Dosen mata kuliah
Fiqih Mawaris yang telah memberikan kepercayaan kepada kami dalam penyelesaian makalah
ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai mata kuliah Fiqih Mawaris. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat
di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Kediri, 26 Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah ..................................................................................................... 3


B. Hukum dan Dasar Dari Hibah................................................................................. 4
C. Rukun dan Syarat Hibah ......................................................................................... 6
D. Hal-hal Yang Dapat Membatalkan Hibah ............................................................... 8
E. Macam-macam Hibah ............................................................................................. 9
F. Ketentuan Hibah Menurut Kompilasi Hukum Islam .............................................. 10
G. Hikmah Dari Hibah ................................................................................................. 10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 12
B. Saran........................................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hibah dalam bahasa Belanda adalah schenking, sedangkan menurut istilah yang
dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata adalah Suatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda
guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Dalam hukum adat, yang dimaksud dengan hibah adalah harta kekayaan seseorang
yang dibagi-bagikannya diantara anak-anaknya pada waktu ia masih hidup.
Penghibahan itu sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri atau ketika anak-
anak mereka mulai menikah dan membentuk keluarga sendiri. Penghibahan itu
dilakukan ketika si pemberi hibah itu masih hidup, dengan tujuan untuk menghindari
percekcokan yang akan terjadi diantara anak-anaknya itu apabila ia telah meninggal
dunia. Penghibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai akibat karena kekhawatiran
si pemberi hibah sebab ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung atau ibu tiri, atau
juga karena di kalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang mungkin disangkal
keanggotaannya sebagai ahli waris.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (g) dikatakan hibah adalah
pemberian sesuatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Selanjutnya Menurut Pasal 210 Kompilasi
Hukum Islam pada ayat (1) menyatakan bahwa orang yang telah berumur sekurang-
kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan
sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan
dua orang saksi untuk dimiliki. Selanjutnya pada ayat (2) menyatakan harta benda yang
dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Dengan demikian apabila seseorang
yang menghibahkan harta yang bukan merupakan haknya, maka hibahnya menjadi
batal.

1
B. Rumusan Masalah
A. Apa itu pengertian hibah?
B. Bagaimana hukum dan dasar hukum dari hibah?
C. Apa saja rukun dan syarat dari hibah?
D. Hal apa saja yang dapat membatalkan hibah?
E. Apa saja macam-macam dari hibah?
F. Bagaimana ketentuan hibah menurut kompilasi hukum Islam?
G. Bagaimana hikmah disyariatkannya hibah?
C. Tujuan
A. Mengetahui pengertian hibah.
B. Mengetahui hukum dan dasar dari hibah.
C. Mengetahui rukun dan syarat hibah.
D. Mengetahui hal-hal yang dapat membatalkan hibah.
E. Mengetahui macam-macam hibah.
F. Mengetahui ketentuan hibah menurut kompilasi hukum Islam.
G. Mengetahui hikmah disyariatkannya hibah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah
Kata hibah berasal dari hubub ar-rih yang berarti hembusan angin. Dan kata ini
digunakan untuk menunjuk pemberian dan kebajikan kepada orang lain, baik dengan
harta maupun lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian hibah adalah
pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
Menurut syariat, hibah adalah akad yang berisi pemberian sesuatu oleh seseorang atas
hartanya kepada orang lain ketika dia masih hidup tanpa imbalan apapun. Hibah adalah
pemberian kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan dari orang diberi. Walaupun
demikian sunah hukumnya membalas pemberian tersebut dengan sesuatu yang nilainya
sama atau lebih baik atau minimal dengan ucapan terima kasih dan mendoakan si
pemberi. Hukum berhibah adalah sunah sebagaimana sunahnya menerima hadiah. Baik
pemberian itu dari sesama muslim maupun dari non-muslim. Hibah yang ikhlas sama
dengan hadiah dan sedekah.1
Jumhur ulama mendefinisikan hibah sebagai akad yang mengakibatkan pemilikan
harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain
secara suka rela. Ulama mazhab Hambali mendefinisikan hibah sebagai pemilik harta
dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi hibah boleh
melakukan sesuatu tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu
maupun tidak, bedanya ada dan dapat diserahkan, penyerahannya dilakukan ketika
pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan. Kedua definisi itu sama-sama
mengandung makna pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa
mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.2
Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana pemberi tersebut
dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah ada hubungannya dengan
kewarisan. Hal ini secara gamblang ditegaskan dalam hukum positif di Indonesia
seperti; Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan KUH Perdata. Selain itu, adanya
posibilitas pembatalan hibah yang telah diberikan oleh seorang pemberi hibah kepada
yang menerima hibah sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, Hukum
Adat dan KUH Perdata.

1
Ahmad Rofiq, 2000, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 65.
2
Abdul aziz dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. 1. h. 540.

3
Penghibahan termasuk perjanjian dengan cuma-cuma dimana perkataan dengan
cuma-cuma itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak
yang lainnya tidak usah memberikan kontraprestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang
demikian juga dinamakan sepihak (unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal-
balik (bilateral). Perjanjian yang banyak tentunya adalah bertimbal-balik, karena yang
lazim adalah bahwa orang yang menyanggupi suatu prestasi karena ia akan menerima
suatu kontraprestasi.3
Penghibahan itu sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri atau ketika
anak-anak mereka mulai menikah dan membentuk keluarga sendiri. Penghibahan itu
dilakukan ketika si pemberi hibah itu masih hidup, dengan tujuan untuk menghindari
percekcokan yang akan terjadi diantara anak-anaknya itu apabila ia telah meninggal
dunia. Penghibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai akibat karena kekhawatiran
si pemberi hibah sebab ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung atau ibu tiri, atau
juga karena dikalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang mungkin disangkal
keanggotaannya sebagai ahli waris.4
Adapun hibah dengan makna umum, mencakup hal-hal berikut ini:5
a) Ibra’ (penghapusan hutang) yaitu penghibahan hutang kepada orang yang
berhutang.
b) Sedekah yaitu penghibahan sesuatu yang dimaksudkan untuk mendapatkan
pahala di akhirat.
c) Hadiah yaitu penghibahan sesuatu yang mengharuskan si penerimanya untuk
mengganti (dengan yang lebih baik).
B. Hukum Dan Dasar Dari Hibah
Pada dasarnya memberikan suatu harta benda kepada pihak lain hukumnya adalah
mubah, namun bisa berubah tergantung pada kondisi yang ada. Maka hukum hibah
dapat terbagi menjadi sunah, haram dan makruh:
1) Sunah, hibah termasuk Sunah yang dianjurkan untuk dikerjakan, karena
banyaknya maslahat yang terkandung didalamnya seperti melembutkan hati,
memupuk tali silahturahmi dan sebagainya.

3
R Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti), 94-95.
4
Abdul Manan, 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group), 132.
5
Dwi Putra Jaya, 2020, Hukum Kewarisan di Indonesia,(Bengkulu: Zara Abadi), 145.

4
2) Haram, hibah bisa menjadi haram apabila dimaksudkan untuk kezaliman, dan
kemaksiatan, yaitu seperti pemberian hibah kepada orang lain berupa harta yang
secara terang-terangan berujung dengan kemaksiatan.
3) Makruh, hibah bisa menjadi makruh apabila orang yang memberi hibah
memiliki sifat riya’ dan sombong, yaitu seperti pemberian harta hibah dengan
maksud memperoleh imbalan sesuatu.6
Dasar pengambilan hukum mengenai hibah yaitu berdasarkan pada Al-Qur’an,
hadis dan ijma’:
1) Al-Qur’an

‫َج ُرُه ْم عِْن َد َرِّبِِ ْم َوََل‬ َِّ ‫الَّ ِذين ي ْن ِف ُقو َن أَموا ََلم ِِف سبِ ِيل‬
ْ ‫اَّلل ُُثَّ ََل يُْتبِعُو َن َما أَنْ َف ُقوا َمنًّا َوََل أَ ًذى ۙ ََلُْم أ‬ َ ُْ َ ْ َُ
‫ف َعلَْي ِه ْم َوََل ُه ْم ََْيَزنُو َن‬
ٌ ‫َخ ْو‬
Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah ayat 262)
ِ ‫اَّلل َش ِدي ُد الْعِ َق‬ ِ َّ ‫اْل ُِْث والْعُ ْدو ِان ۚ واتَّ ُقوا‬ ِ
‫اب‬ ََّ ‫اَّللَ ۖ إ َّن‬ َ َ َ ِْ ‫ َوتَ َع َاونُوا َعلَى الْ ِِب َوالتَّ ْق َو ٰى ۖ َوََل تَ َع َاونُوا َعلَى‬...
Artinya: “....dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
(Qs. Al-Maidah ayat 2)
2) Hadist

,ُ‫ضا َعهُ الَّ ِذي َكا َن عِنْ َده‬ ِ


َ َ‫ فَأ‬,‫ت َعلَى فَ َر ٍس ِِف َسبِْي ِل هللا‬ ِ
ُ ْ‫ ََحَل‬:‫َع ْن عُ َمَرَرض َي ا هللُ َعنْهُ قَا َل‬
:‫ال‬َ ‫صلَّى هللاُ َعلَي ِه َو َسلِ َم فَ َق‬ َّ ِ‫ت الن‬
َ ‫َِّب‬ ُ ْ‫ فَ َسآَل‬,‫ص‬ ٍ ‫ت آَنَّهُ يَبِْي عُهُ بُِر ْخ‬
ُ ْ‫ فَظَنَ ن‬,ُ‫ت آَ ْن آَ ْش ََِتيَه‬ُ ‫فَآَ َرْد‬
‫ك َوآِ ْن آَ ْعطَا َكهُ بِ ِد ْرُه ْم فَإِ َّن الْ َعائِ َد ِِف ِهبَتِ ِه َكا الْ َعا ئِ ِد ِِف قَ ْيئِ ِه‬ َ ِ‫ص َدقَت‬ ِ
َ ‫َلَ تَ ْش ََِته َوَلَ تَعُ ْد ِِف‬

Artinya: “Dari Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata, ‘Aku pernah memberikan
seekor kuda untuk digunakan di jalan Allah, namun orang yang kuberi kuda itu
menelantarkannya. Maka aku hendak membelinya dan aku menduga dia akan

6
Arif Munandar Riswanto, 2010, Khazanah Buku Pintar Islam I. (Garut: Mizan), 95.

5
menjual kuda itu dengan harga yang murah. Maka aku bertanya kepada Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka beliau menjawab, ‘Janganlah engkau
membelinya dan jangan engkau tarik kembali sedekahmu, meskipun dia
menyerahkannya dengan harga satu dirham, karena orang yang menarik
kembali hibahnya seperti orang yang menjilat kembali muntahannya.”
3) Ijma’
Para ulama sepakat bahwa hibah hukumnya sunah sebagai sarana tolong-
menolong di antara sesama manusia dan hibah kepada kerabat dekat adalah
lebih utama, karena akan memperkokoh tali silaturahim dan menumbuhkan
kasih sayang di antara sesama manusia. Akan tetapi hukumnya bisa jadi haram
apabila tujuannya maksiat, seperti kaitannya dengan suap-menyuap. Begitu juga
hukumnya makruh apabila tujuannya ingin dilihat oleh orang lain (Riya). Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim.
Dengan demikian, dapat dibatalkan oleh pemberi, sebagaimana disebutkan
dalam sabda Rasulullah saw, dari Abu Hurairah:”Pemberi hibah lebih berhak
atas barang yang dihibahkan selama tidak ada pengganti”. (HR. Ibnu Majah dan
Daruquthni). Maka, dari penjelasan hadits tersebut dibolehkan mengembalikan
barang yang telah dihibahkan. Akan tetapi dihukumi makruh, sebab perbuatan
itu termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hibah harus
ridha. Hal itu diibaratkan adanya cacat dalam jual beli setelah barang dipegang
pembeli.7
C. Rukun Dan Syarat Hibah
Oleh karena hibah adalah merupakan akad atau perjanjian berpindahnya hak milik,
maka dalam pelaksanaannya membutuhkan rukun dan syarat-syarat sebagai ketentuan
akad tersebut dapat dikatakan sah.
Rukun hibah ada tiga macam, yaitu:
1) Aqid (wahid dan mauhud lahu) yaitu penghibahan dan penerima hibah.
2) Mauhud yaitu barang yang dihibahkan
3) Sighat yaitu ijab dan qobul.
Ketiga rukun akan dijelaskan sebagai berikut:

7
Ismail Nawawi, 2012, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer: Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan Sosial
(Bogor: Ghalia Indonesia), 258.

6
1) Penghibahan dan Penerima Hibah Penghibahan yaitu orang yang memberikan
harta miliknya sebagai hibah. Orang ini harus memenuhi syarat-syarat:
a) Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah, dengan demikian
tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b) Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu
alasan.
c) Penghibahan tidak dipaksa Untuk memberikan hibah, dengan demikian
haruslah didasarkan kepada kesukarelaan.
2) Barang yang Dihibahkan Yaitu suatu harta benda atau barang yang diberikan
dari seseorang kepada orang lain. Pada dasarnya Segala benda dapat dijadikan
hak milik adalah dapat dihibahkan, baik benda itu bergerak atau tidak bergerak,
termasuk Segala macam piutang. Tentunya benda-benda atau barang-barang
tersebut harus Memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Banda tersebut benar-benar ada.
b) Benda tersebut mempunyai nilai.
c) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan
pemilikannya dapat dialihkan.
d) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada
penerima hibah.
e) Benda tersebut telah diterima atau dipegang oleh penerima.
f) Menyendiri menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan terhadap
barang-barang bercampur dengan milik orang lain, sedangkan menurut
ulama Malikiyah, Hambaliyah, dan Syafi'iyah hal tersebut dibolehkan.
g) Penerima pemegang hibah atas seizin wahib.8
3) Sigat adalah kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang melaksanakan hibah
karena hibah adalah akad yang dilaksanakan oleh dua pihak yaitu penghibah
dan penerima hibah, maka sigat hibah itu terdiri ijab dan qobul, yang
menunjukkan pemindahan hak milik dari seseorang (yang menghibahkan)
kepada orang lain (yang menerima hibah). Sedangkan pernyataan menerima
(qobul) dari orang yang menerima hibah. Karena qobul ini termasuk rukun. Bagi
segolongan ulama madzhab Hanafi, qobul bukan termasuk rukun hibah.

8
Chairuman Pasaribu, dan Suhrawardi, 1994, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), 115.

7
D. Hal-hal Yang Dapat Membatalkan Hibah
Untuk mengetahui sejauh mana faktor yang dapat menyebabkan batalnya suatu
hibah pada Pasal 1688 KUH Perdata dan Pasal 210-214 Kompilasi Hukum Islam pada
perkara Nomor 245/Pdt.G/2009/PA Lbt, berdasarkan pertimbangan Hakim dan
wawancara dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pasal 1688 KUH Perdata yang berbunyi:
a) Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah.
Maksud dari ketentuan ini, bahwa dalam hibah telah ditentukan syarat-
syarat yang harus dijalankan oleh si penerima hibah sesuai dengan apa
yang telah diatur oleh undang-undang. Misalnya si penerima hibah
belum/tidak ada pada saat penghibahan dilakukan (telah meninggal
dunia/belum dilahirkan) maka penghibahan tersebut dapat dibatalkan.
b) Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut
melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri
penghibah. Maksud dari ketentuan ini adalah suatu hibah dapat
dibatalkan oleh pemberi hibah, apabila penerima hibah telah melakukan
perbuatan-perbuatan ataupun memberikan bantuan dalam hal perbuatan
yang dapat mengancam jiwa dan keselamatan dari pemberi hibah, atau
perbuatan-perbuatan lain yang melanggar undang-undang dan dapat
diancam dengan hukuman pidana. Suatu contoh kejahatan lain (selain
pembunuhan) terhadap si penghibah adalah penistaan.
c) Jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk
memberi nafkah kepadanya.
2) Pasal 210-214 Kompilasi Hukum Islam (KHI):
Menurut Kompilasi Hukum Islam proses hibah tertuang dalam Pasal 210
sampai 214. Yang pertama yaitu menjelaskan bahwa yang dapat melakukan
hibah adalah orang yang sekurang-kurangnya telah berumur 21 tahun dan
berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dari orang lain untuk menghibahkan
sebanyak-banyaknya 1/3 hartanya kepada orang lain atau lembaga dan harus
harus disaksikan oleh dua orang saksi, dan tidak lupa harta benda yang
dihibahkan harus merupakan hak milik dari si penghibah (wahab).
Kompilasi Hukum Islam menganut prinsip bahwa hibah hanya boleh
dilakukan 1/3 dari harta yang dimiliknya, apabila hibah yang diberikan oleh
seorang pemberi hibah yang melebihi 1/3 dari harta kekayaannya maka dapat
8
dibatalkan karena tidak memenuhi syarat dalam penghibahan serta melanggar
ketentuan sebagaimana diatur didalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam.
Putusan tersebut diatas dapat kita lihat bahwa Hakim didalam pertimbangan
hukumnya merujuk kepada ketentuan Pasal 210 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam yang berbunyi: “orang yang sekurang-kurangnya telah berumur 21
tahun, berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-
banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan oleh
dua orang saksi untuk dimiliki”.9
E. Macam-macam Hibah
Hibah dalam islam terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya:
1. Hibah Bersyarat
Apabila hibah dikaitkan dengan suatu syarat seperti syarat pembatasan penggunaan
barang oleh pihak penghibah kepada pihak penerima hibah, maka syarat tersebut
tidak sah sekalipun hibahnya itu sendiri sah. Seperti seorang yang menghibahkan
sebidang tanah kepada orag lain dengan syarat pihak penerima hibah tidak boleh
mengharap tanah tersebut tanpa seizing pihak penghibah, persyaratan yang
demikian jelas bertentangan dengan prinsip hibah.
2. Hibah ‘Umra atau Hibah Manfaat
Yaitu hibah bersyarat dalam bentuk bahwa seseorang dibolehkan memiliki sesuatu
yang semula milik penghibah selama penerima hibah masih hidup. Bila penerima
hibah meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikembalikan kepada pihak
penghibah. Jenis transaksi ini lebih tepat disebut sebagai ariah (pinjaman) dan hal
ini boleh dilakukan.
3. Hibah Ruqbah
Adalah pemberian bersyarat, jika syarat itu ada maka harta itu menjadi milik
penerima hibah dan bila syarat itu tidak ada maka harta itu menjadi milik penerima
hibah dan bila syarat itu tidak ada maka harta itu akan kembali kepada pemberi
hibah. Misalnya seseorang penghibah berkata bahwa "rumah ini diberikan
kepadamu dan akan menjadi milikmu bila aku mati terlebih dahulu, ini berarti bila
pihak yang menerima hibah meninggal dunia terlebih dahulu maka benda yang
dihibahkan tersebut kembali kepada pihak penghibah.

9
Lestarina Alfianika Saipe, “Pembatalan Hibah Menurut Kompilasi Hukum Islam dan KUH Perdata”,Jurnal of
Generalis, Vol. 2, No. 3, 2021,1042

9
F. Ketentuan Hibah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
mengatur secara khusus mengenai hibah yaitu dalam Buku II Bab VI dari Pasal 210
214, sedangkan untuk pembatalan atau penarikan hibah secara khusus diatur dalam
Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 210 ayat 1 mengatur mengenai
pembatasan hibah yang harus diberikan yaitu bahwa “seseorang dapat menghibahkan
hartanya sebanyak- banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain dimana orang
tersebut berumur sekurang- kurangnya 21 tahun dan berakal sehat, yang dilakukan
tanpa adanya paksaan dan dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki”.
Kemudian ayat 2 menyatakan bahwa “Harta benda yang akan dihibahkan haruslah
hak dari pemberi hibah”. Selanjutnya dalam Pasal 211 menjelaskan bahwa “Hibah yang
berasal dari orang tua kepada anak kandungnya dapat diperhitungkan sebagai waris”.
Untuk penarikan atau pembatalan hibah dijelaskan secara jelas dalam Pasal 212
Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “Suatu hibah tidak dapat ditarik
kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anak kandungnya”. Selain itu, untuk
seseroang yang dalam keadaan sakit dan ingin menghibahkan harta bendanya harus
memperoleh persetujuan ahli warisnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 213
Kompilasi Hukum islam “Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam
keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan ahli
warisnya”.10
G. Hikmah Dari Hibah
Hikmah dari suatu hibah sangatlah besar, karena hibah bisa menghilangkan rasa iri
dengki, dan menyatukan hati untuk bisa saling menyayangi serta mampu menimbulkan
rasa cinta dalam hati. Hibah menunjukkan kemuliaan akhlak, adanya sifat- sifat yang
tinggi, keutamaan dan kemuliaan. Oleh karena itu Rasulullah SAW. bersabda: “Saling
beri memberilah kamu sekalian, sesungguhnya hibah itu menghilangkan iri dengki”
Beri-memberi mengandung keutamaan yang besar bagi manusia, karena mampu
menciptakan rasa cinta dalam hati dan mampu menghilangkan rasa dengki pada
seseorang. Selain itu memberi adalah salah satu sifat kesempurnaan, Allah mensifati
dirinya dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia) “
(QS. Ali- Imran:8)

10
Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Bab VI, Pasal 210

10
Berdasarkan firman Allah sebagaimana dijelaskan diatas, apabila seseorang suka
memberi, maka orang tersebut termasuk orang yang memiliki sifat yang mulia dimana
dengan memberi sesuatu kepada seseorang dapat memperoleh sifat yang paling mulia
karena dalam memberi dapat menimbulkan kegembiraan dalam hati kepada orang yang
diberi, mewariskan rasa kasih sayang dan mampu memupuk tali silahturahmi, selain itu
dapat menghilangkan rasa iri hati, maka orang yang suka memberi termasuk kedalam
orang- orang yang beruntung.11
Menurut hukum islam hibah mengandung beberapa hikmah yang sangat besar, antara
lain:
1. Menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling tolong-menolong.
2. Menimbulkan sifat kedermawanan dan menghapus sifat iri dengki terhadap
orang lain.
3. Menumbuhkan sifat terpuji yaitu saling menyayangi antar sesama manusia,
serta menghapus sifat tercela yaitu rakus, kebencian, dan lain sebagainya.

11
Ahmad- Jurjawi, 1992, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: CV. Asy-Syifa), 397.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana pemberi tersebut
dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah ada hubungannya dengan
kewarisan. Dasar hukum hibah terdapat pada Al-Qur’an, hadis dan juga ijma’. Rukun
dan syarat hibah terdiri dari Aqid (wahid dan mauhud lahu) yaitu penghibahan dan
penerima hibah, mauhud yaitu barang yang dihibahkan, sighat yaitu ijab dan qobul.
Faktor yang membatalkan hibah Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi
oleh penerima hibah. Maksud dari ketentuan ini, bahwa dalam hibah telah ditentukan
syarat-syarat yang harus dijalankan oleh si penerima hibah sesuai dengan apa yang telah
diatur oleh undang-undang. Misalnya si penerima hibah belum/tidak ada pada saat
penghibahan dilakukan (telah meninggal dunia/belum dilahirkan) maka penghibahan
tersebut dapat dibatalkan.
Macam-macam hibah terdiri atas hibah bersyarat, hibah 'Umra Atau Hibah
Manfaat, hibah ruqbah. Ketentuan hibah menurut kompilasi hukum islam terdapat
dalam Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
mengatur secara khusus mengenai hibah yaitu dalam Buku II Bab VI dari Pasal 210-
214. Hikmah hibah yaitu menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling tolong-
menolong, menimbulkan sifat kedermawanan dan menghapus sifat iri dengki terhadap
orang lain.
B. Saran
Kami selaku penyusun sangat menyadari masih jauh dari sempurna dan tentunya
banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini disebabkan karena
masih terbatasnya kemampuan kami. Oleh karena itu, kami selaku pembuat makalah
ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami juga
mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan pembaca
pada umumnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media Group.
Ahmad Jurjawi, 1992, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, Semarang: CV. Asy-Syifa.
Ahmad Rofiq, 2000, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Arif Munandar Riswanto, 2010, Khazanah Buku Pintar Islam I, Garut: Mizan.
Chairuman Pasaribu, dan Suhrawardi, 1994, Hukum Perjanjian Dalam Islam, .Jakarta: Sinar
Grafika.
Dwi Putra Jaya, 2020, Hukum Kewarisan di Indonesia, Bengkulu: Zara Abadi.
Ismail Nawawi, 2012, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer: Hukum Perjanjian, Ekonomi,
Bisnis dan Sosial, Bogor: Ghalia Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Bab VI, Pasal 210
Lestarina Alfianika Saipe, “Pembatalan Hibah Menurut Kompilasi Hukum Islam dan KUH
Perdata”, Jurnal of Generalis, Vol. 2, No. 3, 2021
R Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Jakarta: PT Citra Aditya Bakti.
.

13

Anda mungkin juga menyukai