Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH HIBAH DAN WAKAF MENURUT HUKUM PERDATA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih di MA Dosen Pengampu :
Bapak Ainun Yudhistira, MHI.

Disusun Oleh:

1. Asita Ayu Isna (203111078)


2. Desi Fitria Ningrum (203111097)
3. Syifana Mardhatillah (203111102)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Harta kekayaan berupa benda yang dikuasai oleh manusia sebagai titipan dan amanah
dari Allah SWT mempunyai fungsi sosial. Sementara manusia adalah makhluk sosial yang
harus berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga dapat saling bantu dan
menolong antar sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk hidup layak
dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaannya.

Disamping itu pada satu sisi, manusia adalah khalifah Allah di muka bumi yang
diberikan amanah untuk mengelola dan memakmurkan bumi ini, atau dengan kata lain
bahwa harta kekayaan yang dimiliki pada hakikatnya adalah pinjaman dan merupakan hak
mutlak sang pencipta (Allah SWT), karenanya dalam penggunaan segala fasilitas yang ada
harus senantiasa dalam kerangka koridor kemanusiaan serta berfungsi sosial.

Sehubungan dengan hal tersebut pemilik tunggal (mutlak) apa yang ada di atas dunia
dan segala isinya. Akan tetapi juga manusia diberi wewenang untuk memperoleh apa yang
ada di bumi dan dilangit. Manusia diberi hak milik relatif atas segala sesuatu yang ada di
dunia ini. Allah SWT menghendaki agar terdapat keseimbangan hidup dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, manusia dianjurkan agar dalam usaha mencari rezeki yang kemudian
diperolehnya jangan sampai digunakan untuk berfoya-foya atau menyombongkan diri.
Bagi mereka yang memiliki harta yang berkelebihan hendaknya memberikan sebagian
kekayaannya kepada kekurangan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Hibah dan Wakaf?


2. Apa saja syarat dari Hibah dan Wakaf?
3. Apa saja fungsi dan tujuan Wakaf ?
4. Bagaimana pelaksanaan Hibah dan Wakaf dalam hukum perdata ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dasar hukum Hibah dan Wakaf.
2. Untuk mengetahui syarat Hibah dan Wakaf.
3. Untuk mengetahui fungsi dan tujuan Wakaf.
4. Untuk mengetahui pelaksanaan Hibah dan Wakaf dalam hukum perdata.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Hibah

Hibah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti sebagai pemberian secara
sukarela dengan prosedur melakukan pengalihan atas kepemilikan hak kepada orang lain.
Maksud dari definisi dalam KBBI tersebut hampir sama dengan pengertian yang dipahami oleh
kebanyakan orang. Selain itu, para penerima nya tidak memiliki kewajiban lagi untuk
memberikan imbalan kepada si pemberi nya. Hibah adalah pemberian yang dilakukan secara
sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada pihak lain. Berdasarkan Pasal
1666 KUHPerdata, penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah
menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk
kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.Penghibahan hanya dapat
dilakukan di antara orang-orang yang masih hidup.

B. Syarat Sah Hibah

Adapun syarat-syarat sahnya pemberian hibah, antara lain:

1. Penerima hibah sudah dewasa dan cakap melakukan tindakan hukum;


2. Pemberi hibah memiliki harta atau barang yang sudah ada untuk dihibahkan;
3. Pemberi hibah dan penerima hibah bukan merupakan suami-istri dalam suatu
perkawinan;
4. Penerima hibah harus sudah ada pada saat penghibahan terjadi;
5. Penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak
miliknya atas barang yang dihibahkan itu, penghibahan demikian sekedar mengenai
barang itu dipandang sebagai tidak sah
6. Suatu penghibahan adalah batal jika dilakukan dengan membuat syarat bahwa penerima
nya akan melunasi utang atau beban-beban lain di samping apa yang dinyatakan dalam
akta nya itu sendiri atau dalam daftar dilampirkan;
7. Penghibah boleh memberikan syarat-syarat untuk menguasai barang nya.
C. 1Pelaksanaan Hibah Menurut Hukum Perdata

Lahirnya Undang-Undang Hukum Perdata merupakan warisan dari penjajah


bangsa Eropa yang bersumber dari Kode Civil Perancis. Pada buku ketiga bab kesepuluh
mengatur tentang hibah, yang secara rinci mengatur tentang tata cara atau unsur-unsur dan
syarat-syarat suatu hibah.

Apabila kita mengkaji pasal-pasal yang mengatur tentang hibah dalam hukum perdata,
maka dapat dikatakan bahwa unsur-unsur suatu hibah ada tiga macam, yaitu ada si
penghibah, penerima hibah dan barang atau benda yang dihibahkan.

1. Si Penghibah
Si penghibah adalah pemilik harta yang akan memberikan sebagian hartanya kepada
seseorang, baik kepada ahli waris, kerabat maupun orang lain yang telah dianggap layak
untuk diberikan hibah. Dengan demikian, si penghibah berinisiatif merelakan harta atau
barang miliknya untuk dihibahkan apabila telah memenuhi syarat dan benar-benar hak
miliknya secara jelas tanpa ada keragu-raguan lagi. Si penghibah ingin memberikan
sesuatu yang dibolehkan dalam hukum secara cuma-cuma tanpa mengharapkan
penggantian atau imbalan jasa. Akan tetapi tidak dibolehkan memberi hibah apabila belum
dewasa, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1677 KUH Perdata.7

2 Penerima Hibah

Dalam Pasal 1678 KUH Perdata dijelaskan bahwa antara suami isteri selama dalam status
perkawinan dilarang untuk penghibahan. Namun ketentuan ini tidak berlaku terhadap
hadiahhadiah atau pemberian-pemberian barang bergerak, yang harganya tidak terlampau
tinggi, mengingat kemampuan si penghibah. Untuk menerima suatu hibah dibolehkan
orang yang belum dewasa, tetapi ia harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya, bahkan
dalam Pasal 1679 KUH Perdata dinyatakan, bahwa orang yang menerima hibah itu harus
sudah ada (sudah dilahirkan) pada saat dilakukan penghibahan. Dalam Pasal 2 KUH
Perdata lebih lanjut dinyatakan bahwa “anak yang ada dalam kandungan pun dianggap
sebagai telah dilahirkan manakala kepentingan si anak itu menghendaki”. Sementara itu,
dalam Pasal 1680 KUH Perdata dinyatakan bahwa: Penghibahan kepada lembaga-lembaga
umum atau lembaga-lembaga agama tidak mempunyai akibat selamanya sekedar oleh
presiden atau penguasa-penguasa yang telah ditunjuk olehnya telah diberikan kekuasaan
pada pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk menerima pemberian-pemberian itu.
Selanjutnya pada Pasal 904 s/d 907 KUH Perdata dijelaskan bahwa tidak dibenarkan
menerima hibah: guru-guru/pengasuh dari muridnya, orang yang mempunyai hubungan

1
Zainudin, Asriadi ,2017, Perbandingan Hibah menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam,Jurnal Al-
Himayah. Vol.1 Page 92-105 , Gorontalo
khusus seperti dilarang pemberian hibah wasiat kepada walinya atau kepada dokter yang
merawat selama sakitnya atau kepada notaris yang membuat testament hibah wasiat.

3. Barang Yang Dihibahkan Di dalam Pasal 1688 KUH Perdata dinyatakan bahwa : Suatu
hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan karenanya, melainkan dengan hal-
hal yang berikut:

1. Karena tidak dipatuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan yang telah dilakukan.

2. Jika penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan
yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan si penghibah.

3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini
dalam kemiskinan.

Selanjutnya hibah meliputi barang bergerak dan tidak bergerak, dengan demikian, dalam
pengalihannya, pemindahanya telah diatur dalam Pasal 1682 s/d pasal 1687 KUH Perdata,
yang pada prinsipnya dapat dipahami sebagaimana penjelasan Subekti bahwa dari Pasal
1682 s/d Pasal 1687 tersebut dapat dilihat bahwa untuk penghibahan benda tak bergerak
ditetapkan suatu formalitas dalam bentuk akta notaris. Tetapi untuk menghibahkan benda
yang bergerak yang berbentuk atau surat penghibahan atas tunjuk (aan toonder) tidak
diperlukan suatu formalitas dan dapat dilakukan dengan secara sah dengan penyerahan
barangnya begitu saja kepada si penerima hibah kepada pihak ketiga yang menerima
pemberian hibah atas namanya.

D. Pengertian Wakaf

Secara etimologi, wakaf berasal dari kata arab al-waqf, kata ini memiliki makna yang
Sama dengan kata al-habs, yang berarti “menahan”. Secara terminologi, ada beberpa
redaksi yang dikemukakan para ulama fiqih dalam mendefinisikan kata wakaf. Dalam kitab
fiqh alsunnah disebutkan bahwa al-waqf adalah menahan harta dan meberikan mandaat
dijalanallah. Selain itu ada beberapa redaksi yang senada dengan definisi tersebut, yaitu
menahan asal harta dan menjalankan hasilnya; menahan atau menghentikan harta yang
dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada allah;
menahan suatu benda dan menjalankan manfaatnya dengan menggunakan kata “aku
mewakafkan” atau ”aku menahan” atau kata yang senada dengan itu. Wakaf berasal dari
kata waqafa, sinonim kata habasa yang artinya berhenti, diam di tempat,atau menahan.
Secara istilah, para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf, namun maksudnya sama
yaitu istilah untuk menunjuk suatu perbuatan hukum melepaskan milik/aset pribadi untuk
kepentingan keagamaan dan kemasyarakatan.2

Menurut UU RI No. 41/2004 Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamnya guna
kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Definisi yang termuat dalam Undang-Undang ini tampaknya sama dengan definisi wakaf
yang tercantum dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia pasal 215 jo. pasal 1 (1) PP No.
28 Tahun 1977. Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf
bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang
yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syari’ah Islam.

E. Unsur-unsur Rukun Wakaf

Perbuatan hukum wakaf sah apabila memenuhi unsur-unsur rukun wakaf3, yaitu:

1) Orang yang wakaf (waqif),

2) Harta yang diwakafkan,

3) Tujuan wakaf atau peruntukkan wakaf (mauquf‘alaihi),

4) Ikrar wakaf (sighat)

Menurut UU RI No. 41/2004 Pasal 6, wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur sebagai
berikut:

a) Wakif.

b) Nazhir (pengelola wakaf).

c). Harta benda wakaf.

d) Ikrar wakaf.

2
Hamzani,A. Mukhidin. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Harta Benda Wakaf Sebagai Aset
Public Di Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan. Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan. Vol 16(2): 161-163.
3
Abdullah,J. Qodin,N. 2014. Penyelesaian Sengketa Wakaf Dalam Hukum Positif. Jurnal Ziswaf.
Vol 1(1): 44-45.
e) Peruntukkan wakaf.

f) Jangka waktu wakaf.

F. Syarat-syarat Wakaf

1. Syarat-syaratnya dikemukakan pada pasal 217 KHI :

a). Benda-benda hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan
sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatah hukum,
atas kehendak sendiri.

b). Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas nemanya adalah
prngurusnya yang sahmenurut hukum (ps. 3 PP No. 28/1977).

2. terdapat rumusan bahwa harta yang diwakafkan dikatakan sah apabila memenuhi syarat-
syarat berikut :

a. Harta benda memiliki nilai guna. Wakaf adalah mengambil manfaat benda yang
diwakafkan.

b. Benda yang diwakafkan adalah milik sempurna (al-milk al-tam) dari si Waqif.

c. Benda yang diwakafkan harus diketahui ketika terjadi akad wakaf.

d. Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.

G. Fungsi Wakaf

Komplikasi Hukum Islam 216 dan PP.No.28/1977 pasal 2 dijelaskan bahwa fungsi
wakaf dan mengenalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluanyadengan ajaran Islam. Jadi fungsi wakaf menurut KHI Pasal 216 dan Pasal 5 UU
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dimaksudkan dengan adanya wakaf terciptanya sarana
dan prasarana bagi kepentingan umum sehingga terwujudnya kesejahteraan bersama baik
dalam hal ibadah ataupun dalam hal mu‟amalah. Dengan demikian orang yang
kehidupannya di bawah garis kemiskinan dapat tertolong kesejahteraannya dengan adanya
wakaf. Kemudian umat Islam yang lainnya dapat menggunakan benda wakaf sebagai
fasilitas umum sekaligus dapat mengambil manfaatnya.4

4 Shiddiq, M. 2019. Hak Atas Kekayaan Intelektual Sebagai Objek Wakaf Dalam Konteks Fiqh Dan Hukum Positif. Jurnal Hukum Keluarga
Islam dan Kemanusiaan. Vol 1 (2): 135-137.
H. Tujuan Wakaf

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum wakaf adalah bahwa wakaf memiliki fungsi sosial. Allah
memberikan manusia kemampuan dan karakter yang beraneka ragam. Dari sinilah,
kemudian timbul kondisi dan lingkungan yang berbeda di antara masing-masing individu.
Ada yang miskin, kaya, cerdas, bodoh, kuat dan lemah. Di balik semua itu, tersimpan
hikmah. Di mana, Allah memberikan kesempatan kepada yang kaya menyantuni yang
miskin, yang cerdas membimbing yang bodoh dan yang kuat menolong yang lemah, yang
demikian merupakan wahana bagi manusia untuk melakukan kebajikan sebagai upaya
mendekatkan diri kepada Allah, sehingga interaksi antar manusia saling terjalin.

b. Tujuan Khusus

Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting, yaitu


pengkaderkan, regenerasi, dan pengembangan sumber daya manusia. Sebab, manusia
menunaikan wakaf untuk tujuan berbuat baik, semuanya yaitu beramal karena untuk
keselamatan hamba pada hari akhir kelak. Maka, wakafnya tersebut menjadi sebab
keselamatan, penambahan pahala, dan pengampunan dosa. Semangat sosial, yaitu
kesadaran manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat. Sehingga, wakaf
yang dikeluarkan merupakan bukti partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Motivasi
keluarga, yaitu menjaga dan memelihara kesejahteraan orang-orang yang ada dalam
nasabnya. Seseorang mewakafkan harta bendanya untuk menjamin kelangsungan hidup
anak keturunannya, sebagai cadangan di saat-saat mereka membutuhkannya. Dorongan
kondisional, yaitu terjadi jika ada seseorang yang ditinggalkan keluarganya, sehingga tidak
ada yang menanggungnya, seperti seorang perantau yang jauh meninggalkan keluarga.
Dengan sarana wakaf, si wakif bisa menyalurkan hartanya untuk menyantuni orang-orang
tersebut. Tujuan wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 4 menyatakan
bahwa : Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hibah adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dengan mengalihkan hak atas
sesuatu kepada pihak lain. Berdasarkan Pasal 1666 KUHPerdata, penghibahan adalah
suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara
cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang
menerima penyerahan barang itu.Penghibahan hanya dapat dilakukan di antara orang-
orang yang masih hidup.

. Dalam kitab fiqh alsunnah disebutkan bahwa al-waqf adalah menahan harta dan
meberikan mandaat dijalanallah. Selain itu ada beberapa redaksi yang senada dengan
definisi tersebut, yaitu menahan asal harta dan menjalankan hasilnya; menahan atau
menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk
mendekatkan diri kepada allah; menahan suatu benda dan menjalankan manfaatnya dengan
menggunakan kata “aku mewakafkan” atau ”aku menahan” atau kata yang senada dengan
itu.
DAFTAR PUSTAKA

Zainudin, Asriadi ,2017, Perbandingan Hibah menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam,Jurnal
Al-Himayah. Vol.1 Page 92-105 , Gorontalo

Hamzani,A. Mukhidin. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Harta Benda Wakaf Sebagai Aset
Public Di Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan. Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan. Vol 16(2): 161-163.

Abdullah,J. Qodin,N. 2014. Penyelesaian Sengketa Wakaf Dalam Hukum Positif. Jurnal Ziswaf.

Shiddiq, M. 2019. Hak Atas Kekayaan Intelektual Sebagai Objek Wakaf Dalam Konteks Fiqh
Dan Hukum Positif. Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan. Vol 1 (2): 135-137.

Naimah. 2018. Implementasi Yuridis Terhadap Kedudukan Wakaf Produktif Berbasis


Peningkatan Ekonomi Masyarakat Di Indonesia. Jurnal Studi Ekonomi. Vol 9 (1): 10-24.

Latuconsina,A. 2013. Dinamika Wakaf Di Indonesia. Jurnal Tahkim. Vol 9 (2): 23.

Anda mungkin juga menyukai