Anda di halaman 1dari 13

BOOK REPORT

TUGAS TERSTRUKTUR HUKUM KEPAILITAN


KP302A

William Hasibuan (312016084)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA JULI 2019
HUKUM KEPAILITAN
ANALISIS HUKUM PERSELISIHAN
&
HARTA KELUARGA SERTA HARTA BENDA PERKAWINAN

Dr. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., CN.


Dr. Hj. Sonny Dewi Judiasih, S.H, M.H, CN.
Rani Surya Pustikasari, S.H.

Penerbit CV Keni Media (Anggota IKAPI)


Jl. Salendro Timur II No. 8, Bandung
Maret 2012
119 hlm
RESUME

BAB I PENDAHULUAN
Sejak diberlakukan Undang-undang perkawinan tgl 1 oktober 1975, maka pada saat ini
peristiwa perkawinan yang dilakukan sebelum 1 oktober 1975 keberadaannya tetap diakui.
Menurut pasal 66 UUP dinyatakan segala hal yang berkaitan dengan perkawinan sepanjang
diatur oleh undang-undang perkawinan maka akan berlaku aturan yang ada di UUP.
Menurut Retnowulan Sutantio, berdasarkan sejarah dan yurisprudensi, hukum yang
berlaku untuk menentukan peraturan harta benda perkawinan yang mana yang harus ditetapkan,
sepenuhnya digantungkan dari hukum yang berlaku sewaktu perkawinan itu dilangsungkan.
Dalam hal ini perlu pula dipertimbangkan hukum perkawinan yang berlaku sebelum
diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW), HOCI
(Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia), Hukum Adat, maupun Hukum Islam.
Umumnya pada kebanyakan keluarga di Indonesia, kewajiban mencari nafkah tertumpu
pada suami sebagai kepala keluarga, tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan piahk istri
untuk membantu suami mencari nafkah juga. Bagi suami-istri yang menjalankan usaha secara
mandiri atau berwiraswasta, agar kebutuhan akan modal usaha atau uang terpenuhi maka suami
atau istri dapat mengajukan pinjaman kepada pihak lain, baik itu lembaga keuangan seperti bank
atau kepada orang perorangan. Orang atau perorangan yang memperoleh pinjaman dari pihak
lain itu disebut dengan “debitor”, sedangkan pihak yang memberikan pinjaman disebut dengan
“kreditor”.
Pada hakikatnya, pemberian pinjaman (kredit) oleh kreditor kepada debitor dilakukan
karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman tersebut tepat pada
waktunya. Adanya jaminan, bukan berarti utang-utang yang dibuat debitor akan selalu dibayar
tepat waktu kepada kreditor, ada kalanya karena suatu alasan tertentu misalnya disebabkan oleh
situasi ekonomi yang sulit, keadaan terpaksa, ataupun karena debitor sendiri yang lalai, utang-
utang tersebut menjadi tidak terbayarkan tepat pada waktunya. Dengan adanya jaminan maka
hak dari kreditor menjadi terlindungi, karena kreditor dapat langsung mengeksekusi barang yang
dijaminkan tersebut sebagai pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh debitor.
Pada hakekatnya, walaupun debitor ketika berutang kepada kreditor tidak menjaminkan
apa-apa, undang-undang akan tetap melindungi kepentingan kreditor, sebagimana tercantum
dalam pasal 1131 KUH Perdata (BW) yang menyebutkan bahwa harta kekayaan debitor, baik
yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan dikemudian hari,
menjadiagunan atas utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan dari utang-
utangnya.
Disamping dari Harta kekayaan debitor yang merupakan jaminan bagi utang-utangnya,
dalam pasal 1132 KUH Perdata (BW) pun disebutkan bahwa harta kekayaan itu dimaksudkan
sebagai jaminan bagi para kreditornya bersama-sama, dan hasil penjualan atas harta kekayaan itu
akan dibagi secara seimbang menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali bilamana
diantara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Untuk mencegah pertentangan atau perselisihan antara para kreditor tersebut, biasanya
debitor atau kreditor lebih memilih menyelesaikan permasalahan tersebut melalui lembaga
kepailitan. Dengan kepailitan akan diadakan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi
massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor yang selanjutnya nanti akan dibagi kepada
kreditor secara berimbang dan adil di bawah pengawasan petugas yang berwenang untuk itu.
Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah perjanjian pinjam meminjam uang
yang dilakukan oleh debitor yang terikat perkawinan yang sah adalah perjanjian pinjam
meminjam uang yang dilakukan tanpa diketahui ataupun disetujui oleh pasangannya masing-
masing. Apabila salah satu pihak yang berutang tersebut misalnya dipailitkan, maka pihak yang
lainnya tidak bersedia turut bertanggung jawab dengan alasan tidak mengetahui ataupun tidak
menyetujui perjanjian utang piutang yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut. Padahal secara
langsung atau tidak langsung pasangan yang tidak terlibat perjanjian utang-piutang tersebut ikut
menikmati hasil perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut. Menurut ketentuan
peraturan Kepailitan, apabila salah satu pihak yang terikat perkawinan yang sah dinyatakan
pailit, maka pasangannya pun secara tertulis akan ikut pailit, dan harta persatuan mereka akan
disita untuk dijadikan pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut.
Dengan kata lain, utang suami atau istri mengakinatkan juga utang sang istri atau sang suami
yang kawin dalam persatuan harta kekayaan (tidak membuat perjanjian pisah harta dalam
perkawinan mereka). Harta persatuan dikenal dalam KUH Perdata (BW)

BAB 2 HARTA BENDA PERKAWINAN DAN KEPAILITAN


A. Harta Benda Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia
Konsekuensi dari adanya suatu perkawinan yang sah adalah terbentuknya harta benda
perkawinan sebagi kekayaan untuk membiayai kebutuhan hidup dalam rumah tangga.
Soerjono Soekanto membagi harta benda perkwainan dalam 4 unsur yaitu :
a. Harta kekayaan yang diperoleh dari suami atau istri, yang merupakan warisan atau hibah/
pemberian dari kerabat yang dibawa dalam keluarga;
b. Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum atau
selama perkawinan;
c. Harta kekayaan yang diperoleh dari hadiah kepada suami atau istri pada waktu
perkawinan;
d. Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami atau istri dalam masa perkawinan.
Menurut Hilman Hadikusumah harta perkawinan dikelompokkan menjadi :
a. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami/istri ke dalam ikatan perkawinan, baik
yang berupa hasil jeri payah masinhg-masing ataupun yang berasal dari hadiah atau
warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan mereka berlangsung;
b. Harta pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil suami/istri selama ikatan
perkawinan berlangsung;
c. Harta peninggalan;
d. Harta pemberian seperti hadiah, hibah, dan lain-lain.
Harta Benda Perkawinan Menurut Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut Pasal 35 UUP disebutkan :
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai harta atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36 UUP menyebutkan bahwa ;
1) Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah
pihak;
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37 UUP menyebutkan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan Pasal 37 yang dimaksud dengan
“hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya,
misalnya Burgerlijk Wetboek (WB) atau KUH Perdata.

B. Harta Benda Perkawinan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia


1. Dasar Penyelesaian Utang Dalam Kepailitan
Dalam hal seorang debitor tidak membayar utangnya secara sukarela, maka kreditor akan
menggugat debitor secara perdata ke pengadilan negeri yang berwenang dan seluruh harta
debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Dalam hal debitor
mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas
semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara, untuk mendapatkan
pelunasan tagihannya terlebih dahulu.
Lembaga Kepailitan yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari apa yang diatur dalam
Pasal 1131 junto 1132 KUH Perdata (BW) mengenai prinsip “paritas creditorium” dan “pari
passu prorata parte” yang merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari debitor terhadap
para kreditornya. Pasal 1131 BW menyatakan bahwa :
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, mejadi tanggungan untuk segala perikatannya
perorangan.”
Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa
para kreditor mempunyai yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak
dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor. Prinsip
paritas kreditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa
barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai
debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian
kewajiban debitor.
2. Pengertian Kepailitan
Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Kepailitan adalah Sita Umum atas semua kekayaan
debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan unsur-unsur dari kepailitan, yaitu :
a. Sita Umum. Sita Umum adalah penyitaan atau pembeslahan terhadap seluruh harta
debitor pailit.
b. Terhadap kekayaan debitor pailit. Hal ini menunjukkan bahwa kepailitan itu terhadap
harta bukan terhadap pribadi debitor.
c. Pengurusan dan pemberesan oleh kurator. Dengan demikian, sejak saat pernyataan pailit
debitor pailit kehilangan hakmya untuk mengurus dan menguasai hartanya.
d. Terdapat hakim pengawas. Tugas utama hakim pengawas dalam kepailitan debitor yang
bersangkutan adalah melakukan pengawasan atas pengurusan dan penguasaan harta
debitor pailit oleh kurator.
Menurut Black Henry Campbell, Bangkrut atau Pailit adalah apabila seseorang pedagang
yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabui
pihak kreditornya. Dalam Ensiklopedi Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan
bahwa yang dimaksudkan dengan pailit atau bangkrut adalah seseorang yang oleh
pengadilan dinyatakan bangkrut dan aktivanya atau warisannya diperuntukkan untuk
membayar utang-utangnya.
3. Syarat-Syarat Untuk Dapat Dinyatakan Pailit
Untuk dapat dinyatakan pailit, debitor harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan
bahwa “debitor” yang mempunyai dua tau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dapat
disimpulkan bahwa sayarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan adalah :
a. Terdapat minimal dua orang kreditor;
b. Ketentuan ini hanya memungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit apabila debitor
memiliki paling sedikit 2 orang kreditor;
c. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

4. Pengetian Kreditor dan Debitor


Menurut Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Pasal 1 angka 1, yang dimaksud Kreditor
adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau udang-undang yang dapat ditagih
dimuka pengadilan. Dari rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari kreditor
adalah :
1) Orang. Pengertian orang bukan hanya manusia atau perorangan tetapi juga badan usaha
baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum. Hal ini
disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 undang-undang kepailitan dan PKPU :
“setiap orang adalah orang perseorangan atu korporasi termasuk korporasi yang
berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbadan hukum dalam likuidasi”.
2) Piutang. Dalam Pasal 1 undang-undang kepailitan dan PKPU tidak terdapat rumusan atau
defenisi piutang, tetapi yang ada adalah defenisi utang (pasal 1 angka 5). Dengan
demikian, untuk pengertian piutang dapat digunakan penafsiran argumen a contrario dari
defenisi utang.
3) Piutang tersebut dapat timbul dari perjanjian atau dari undang-undang. Dengan demikian,
piutang tersebut menimbulkan suatu perikatan. (Pasal 1233 KUHPerdata).
Pengertian Debitor menurut Pasal 1 angka 3 undang-undang kepailitan dan PKPU adalah
orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat
ditagih dimuka pengadilan. Dari rumusan diatas dapat ditarik unsur-unsur debitor adalah :
1) Orang yang menurut Pasal 1 angka 3 undang-undang kepailitan dan PKPU dapat berupa
prang perorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbadan hukum maupun yang
bukan berbadan hukum.
2) Utang yang rumusannya terdapat dalam pasal 1 angka 6 undang-undang kepailitan dan
PKPU yaitu ‘kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang
akan timbul di kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau undang-
undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada
kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.
3) Karena perjanjian atau Undang-Undang.
4) Pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.
5. Pengertian Utang
Dalam kepailitan utang sangat menentukan, karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin
perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Tanpa adanya utang tersebut maka esensi kepailitan
menjadi tidak ada karena Kepailitan adalah merupakan pranata hukum untuk melakukan
likuidasi aset debitor untuk membayar utang-utangnya terhadap para kreditornya.
Pasal 2 ayat (1) undang-undang kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa debitor yang
mempunyai dua tau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Utang yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang kepailitan dan PKPU, defenisinya
telah dicantumkan dalam Pasal 1 angka 6, yaitu :
“kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang yang baik dalam mata
uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di
kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang
wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.”
Suatu utang dikatakan telah jatuh tempo ketika waktu tersebut telah sesuai dengan jangka waktu
yang telah diperjanjikan; atau terdapat hal-hal lain dimana utang tersebut dapat ditagih sekalipun
belum jatuh tempo dengan menggunakan “acceleration clause atau acceleration provision” atau
percepatan jatuh tempo dan default clause.

6. Akibat-Akibat Kepailitan
Akibat yuridis jika debitor dipailitkan diatur dalam Bab II bagian kedua undang-undang
kepailitan dan PKPU, yaitu sbb :
a. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan (pasal 21 undang-undang kepailitan dan
PKPU).
b. Akibat terhadap transfer dana (pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).
c. Akibat terhadap perikatan debitor sesudah ada putusan pernyataan pailit. (pasal 25
undang-undang kepailitan dan PKPU).
d. Akibat terhadap hukium kepada debitor (pasal 25 ayat (2).
e. Akibat hukum terhadap tuntutan atas harta pailit. (Pasal 27).
f. Akibat hukum terhadap eksekusi (pelaksanaan putusan hakim). (pasal 31).
g. Akibat kepailitan terhadap penyanderaan. (pasal 31 ayat (3), pasal 93)
h. Akibat kepailitan terhadap uang paksa (Dwangsom). (pasal 32).
i. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik. (pasal 36).
j. Akibat kepailitan terhadap perjanjian sewa-menyewa. (pasal 38)
k. Akibat kepailitan terhadap perjanjian kerja (pasal 39).
l. Akibat kepailitan terhadap harta warisan. (pasal 40).

Adanya putusan pernyataan pailit mengakibatkan Debitor demi hukum kehilangan


haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak
tanggal putusn pailit diucapkan. (pasal 24 undang-undang kepailitan dan PKPU).

BAB III KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI MENURUT HUKUM YANG


BERLAKU DI INDONESIA
A. Kepailitan Debitor Perorangan yang Terikat Perkawinan
Berbicara mengenai kepailitan terhadap suami atau istri yang akibatnya akan berimbas
terhadap harta perkawinan, maka mau tidak mau harus melihat beberapaa peraturan yang
terdapat dalam KUH Perdata (BW), kaeena di dalam undang-undang mengenai kepailitan sendiri
baik yang terdahulu maupun yang terbaru masih menggunakan konsep dalam KUH Perdata
(BW), hal ini terlihat dari redaksi pasal-pasal terkait yang masih menggunakan istilah “persatuan
harta”.
Pasal 21 undang-undang kepailitan dan PKPU menyakan bahwa kepailitan meliputi
seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit diucapkan, beserta semua kekayaan yang
diperoleh selama kepailitan. Jadi seharusnya, ketika sepasang suami dan istri yang menikah
setelah berlakunya undang-undang perkawinan lalu kemudian dinyatakan pailit, maka harta yang
pailit terbatas pada harta bawaan seharusnya terlindungi demi hukum.
1. Kepailitan Suami dan atau Istri yang Menikah dengan Perjanjian Kawin.
Menurut pasal 60 ayat (1) FV bila seorang suami dinyatakan pailit, istri diperbolehkan
mengambil kembali semua barang bergerak dan tidak bergerak kepunyaannya sendiri, yang tidak
termasuk dalam persatuan harta perkawinan.
Pasal 60 ayat (2) FV menentukan bahwa bila suami atau istri dalam perkawinannya
membawa barang yang tidak diamsukkan dalam harta persatuan (perjanjian nikah), maka hal
yang demikian harus dibuktikan menurur ketentuan pasal 150 KUHPerdata. Yang menyatakan
bahwa :
“Dlam hal tidak adanya persatuan harta kekayaan antara suami dan istri, mengenai masuknya
barang-barang bergerak terkecuali surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan
umum, surat-surat efek, dan surat-surat piutang lainnya atas nama, tidak dapat dibuktikan dengan
cara lain kecuali dengan cara mencantumkan hal itu dalam perjanjian kawin, atau
membuktikannya dengan surat pertelaan yang ditandatangani oleh notaris dan para pihak yang
bersangkutan dan surat tersebut harus dilekatkan pada surat asli perjanjian kawin tersebut yang
mengenai hal itu harus pula dicatat dalam perjanjian kawin itu.
2. Kepailitan Suami atau Istri yang Menikah dengan Persatuan Harta
Dalam hal suami atau istri menikah dengan keadaan harta bersatu, maka pasal 62 ayat (1)
FV ditentukan bahwa kepailitan seorang suami atau istri yag kawin dengan persatuan harta,
diperlakukan sebagi kepailitan dari persatuan harta tersebut. Selanjutnya Pasal 62 ayat (1) FV
menentukan bahwa dengan tidak mengurangi pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal
20 FV, maka kepailitan itu meliputi semua harta kekayaan dlam perkawinan dalam persatuan
harta. Ketentuan pasal ini sejalan dengan ketentuan pasal 21 FV yang menentukan bahwa dalam
perkataan “debitor pailit” termasuk juga suami atau istri debitor pailit yang kawin atas dasar
persatuan harta kekayaan. Dengan kata lain, kepailitan suami atau istri mengakibatkan juga
pailitnya sang istri atau sang suami yang kawin dalam persatuan harta kekayaan (tidak membuat
perjanjian pisah harta dalam perkawinan).
Pasal 64 ayat (1) undang-undang kepailitan dan PKPU menyebutkan kepailitan suami
atau istri yang kawin dalam suatu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan
harta tersebut. Ketentuan demikian yang hakikatnya sama dengan ketentuan pasal 62 ayat (1) FV
yang tidak diubah atau dicabut undang-undang perkawinan merupakan ketentuan yang logis
karena kepailitan itu mengenai harta kekayaan bukan mengenai pribadi yang bersangkutan.
Ketentuan pasal 64 ayat (3) undang-undang kepailitan bahwa dalam hal suami atau istri
yang dinyatakan pailit mempunyai benda yang tidak termasuk persatuan harta, benda tersebut
termasuk harta pailit, tetapi hanya dapat digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau
istri yang dinyatakan pailit.

B. Kepailitan Suami atau istri yang Menyebabkan Masuknya Harta Bersama Kedalam
Boedel Pailit Dalam Praktik
Putusan pengadilan Niaga No. 13/Pailit/1998/PN. Niaga/Jkt.Pst dilatar belakangi adanya
suatu permohonan pailit yang diajukan oleh Eddy Soedarmono (pemohon) terhadap Ira
Chrysanti (termohon I) dan Sani Rahardjo (termohon 2II). Eddy Soerdarmono (pemohon)
merupakan kreditor dari Ira Chrysanti (termohon I). Sedangkan Sani Rahardjo (termohon II)
adalah suami dari Ira Chrysanti (termohon I) dan diantara mereka terikat perkawinan yang sah.
Dalam putusannya Ira dann Sani (termohon) dinyatakan pailit. Karena keduanya tidak memiliki
perjanjian pemisahan harta perkawinan. Harta yang diperoleh suami dan istri tersebut mejadi
harta bersama dan dimasukkan dalam. harta pailit.

BAB IV KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM BOEDEL PAILIT TERKAIT


DIPAILITKANNYA SUAMI ATAU ISTRI

A. Tanggung Jawab Suami atau Istri Terhadap Utang Yang Di Buat Selama Perkawinan
Yang Mengakibatkan Salah Satu Pihak Dinyatakan Pailit
Menurut ketentuan dalam pasal 35 ayat (1) undang-undang perkawinan yang menjadi
harta bersama adalah harta yang benda yang diperoleh selama perkawinan saja, harta yang yang
diperoleh sebagai hadiah atau warisan dikuasai masing-masing pihak dan merupakan harta
bawaan dari suami dan istri masing-masing, sebagaimana tertuang dalam pasal 35 undang-
undang perkawinan. Undang-undang perkawinan hanya mengakui percampuran harta secara
terbatas, tidak seperti percampuran harta secara bulat sebagaimana diatur oleh KUHPerdata
(BW).
Dalam kepailitan menurutn undang-undang kepailitan dan PKPU orang perorangan yang
terikat perkawinan, maka setiap pernyataan mengenai debitor pailit meliputi istri atau suami
debitor pailit yang kawin dalam persatuan harta. Ketentuan tersebut mengadopsi konsepsi
persatuan harta menurut BW.
Ketentuan dalam pasal 64 undang-undang kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa
kepailitan suami atau istri yang kawin dalam persatuan harta diperlakukan sebagai kepailitan
persatuan harta tersebut. Bila suami atau itsri yang telah dinyatakan pailit mempunyai barang-
barang yang tidak jatuh dalam persatuan harta, barang-barang itu pun termasuk dalam kepailitan.
Itu berarti kepailitan suami atau istri yang menikah dengan percampuran harta secara terbatas
juga demi hukum mengakibatkan pailitnya atau suami yang menjadi pasangan hidupnya.
Berdasarkan pengaturan dalam undang-undang kepailitan dan PKPU dihubungkan
dengan pengaturan dalm hukum perkawinan yang diatur dalam BW mengenai harta benda
perkawinan, maka tanggung jawab suami istri terhadap utang yang dibuat selama perkawinan,
yaitu :
1) Jika utang tersebut termasuk utang pribadi maka untuk orang menikah dengan persatuan
harta (tanpa perjanjian kawin). (pasal 64 ayat (1) dan (3) undang-undang kepailitan dan
PKPU).
2) Jika utang tersebut termasuk utang bersama, maka dengan tidak memperdulikan siapa
yang membuat utang tersebut, suami dan istri bertanggung jawab dengan harta
persatuannya, jika suami istri tersebut menikah dengan persatuan harta. Jika suami istri
itu menikah dengan perjanjian perkawinan dimana tidak dikenal harta persatuan maka
harta masing-masing pihak suami atau istri itulah yang harus dipertanggung jawabkan.

B. Kedudukan Harta Bawaan Suami atau Istri Bilamana Harta Bersama Tidak
Mencukupi Untuk Membayar Utang

Pada dasarnya menurut ketentuan pasal 64 ayat (3) undang-undang kepailitan dan PKPU, harta
yang tidak termasuk ke dalam harta persatuan (harta pribadi atau bawaan) bisa termasuk harta
pailit, tetapi hanya dapat digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau istri yang
dinyatakan pailit. Menurut ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa harta pribadi suami atau
istri hanya dapat digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau istri yang dinyatakan
pailit tersebut.
Harta bawaan suami atau istri yang tidak terlibat utang bilamana harta bersama tidak
mencukupi untuk membayar utang, sebenarnya bisa digunakan untuk membayar utang yang
dibuat selama perkawinan berlangsung, akan tetapi sebelumnya perlu dibuktikan terlebih dahulu
apakah saat debitor melakukan perbuatan hukum utang piutang tersebut pasangan dari debitor
pailit mengetahui atau menyetujui. Seseorang dianggap mengetahui atau menyetujui secara
tertulis yaitu dengan adanya akta, secara lisan, ataupun secara diam-diam. Apabila bisa
dibuktikan pasangan dari debitor pailit tersebut mengetahui dan menyetujui utang yang dibuat
selama selama perkawinan maka walaupun tidak terlibat secara langsung sebagai pihak dalam
perjanjian maupun sebagai penjamin, harta bawaan pasangan debitor pailit dapat diambil untuk
dimasukkan ke dalam boedel pailit untuk pembayaran utang.
Pada asasnyaa yang perlu dijadikan patokan dalam kepailitan suami atau istri adalah
ketika salah satu pihak pailit, maka pasangannya pun akan ikut pailit kecuali ada perjanjian
pekawinan dan ada harta bawaan yang bisa dibuktikan.
Ketentuan Pasal 64 ayat (3) undang-undang kepailitan dan PKPU jika dihubungkan
dengan prinsip tanggung jawab diatas dapat disimpulkan, walaupun harta pribadi hanya dapat
digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau istri yang dinyatakan pailit, akan tetapi
apabila para pihak secara sukarela ingin menyerahkan harta pribadinya masuk ke dalam boedel
pailit untuk dijadikan pembayaran utang hal tersebut diperbolehkan. Jadi pada intinya menurut
prinsip tanggung jawab diatas, harta bawaan sebenarnya dapat dipakai untuk melunasi utang-
utang yang dibuat selama perkawinan bilamana harta bersama tidak mencukupi untuk membayar
utang.
Keunggulan dan Kelemahan Buku :
Keunggulan :
Buku memberikan pemahaman bagi pembaca mengenai kepailitan diliat dari sisi hukum
perselisihan dan hukum keluarga dan harta benda perkawinan, dimana buku ini mengupas tuntas
tentang kepailitan yang terjadi dalam perkawinan itu sendiri.
Buku ini dapat menjadi sumber pembelajaran bagi mahasiswa karena pada setiap bab terdapat
target bagi pembaca/mahasiswa untuk menguasai suatu materi dan memungkinkan untuk dapat
dijadikan sumber soal Tes.

Kelemahan :
Buku ini hanya membahas kepailitan secara khusus yaitu kepailitan yang terjadi antara suami
atau istri yang terikat perkawinan. Tidak membahas kepailitan secara luas atau umum, seperti
apa yang terjadi bila suatu perusahaan pailit , etc. Sehingga pembaca kurang bisa memahami
maksud yang dituju dari buku ini.

Anda mungkin juga menyukai