BAB I PENDAHULUAN
Sejak diberlakukan Undang-undang perkawinan tgl 1 oktober 1975, maka pada saat ini
peristiwa perkawinan yang dilakukan sebelum 1 oktober 1975 keberadaannya tetap diakui.
Menurut pasal 66 UUP dinyatakan segala hal yang berkaitan dengan perkawinan sepanjang
diatur oleh undang-undang perkawinan maka akan berlaku aturan yang ada di UUP.
Menurut Retnowulan Sutantio, berdasarkan sejarah dan yurisprudensi, hukum yang
berlaku untuk menentukan peraturan harta benda perkawinan yang mana yang harus ditetapkan,
sepenuhnya digantungkan dari hukum yang berlaku sewaktu perkawinan itu dilangsungkan.
Dalam hal ini perlu pula dipertimbangkan hukum perkawinan yang berlaku sebelum
diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW), HOCI
(Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia), Hukum Adat, maupun Hukum Islam.
Umumnya pada kebanyakan keluarga di Indonesia, kewajiban mencari nafkah tertumpu
pada suami sebagai kepala keluarga, tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan piahk istri
untuk membantu suami mencari nafkah juga. Bagi suami-istri yang menjalankan usaha secara
mandiri atau berwiraswasta, agar kebutuhan akan modal usaha atau uang terpenuhi maka suami
atau istri dapat mengajukan pinjaman kepada pihak lain, baik itu lembaga keuangan seperti bank
atau kepada orang perorangan. Orang atau perorangan yang memperoleh pinjaman dari pihak
lain itu disebut dengan “debitor”, sedangkan pihak yang memberikan pinjaman disebut dengan
“kreditor”.
Pada hakikatnya, pemberian pinjaman (kredit) oleh kreditor kepada debitor dilakukan
karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman tersebut tepat pada
waktunya. Adanya jaminan, bukan berarti utang-utang yang dibuat debitor akan selalu dibayar
tepat waktu kepada kreditor, ada kalanya karena suatu alasan tertentu misalnya disebabkan oleh
situasi ekonomi yang sulit, keadaan terpaksa, ataupun karena debitor sendiri yang lalai, utang-
utang tersebut menjadi tidak terbayarkan tepat pada waktunya. Dengan adanya jaminan maka
hak dari kreditor menjadi terlindungi, karena kreditor dapat langsung mengeksekusi barang yang
dijaminkan tersebut sebagai pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh debitor.
Pada hakekatnya, walaupun debitor ketika berutang kepada kreditor tidak menjaminkan
apa-apa, undang-undang akan tetap melindungi kepentingan kreditor, sebagimana tercantum
dalam pasal 1131 KUH Perdata (BW) yang menyebutkan bahwa harta kekayaan debitor, baik
yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan dikemudian hari,
menjadiagunan atas utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan dari utang-
utangnya.
Disamping dari Harta kekayaan debitor yang merupakan jaminan bagi utang-utangnya,
dalam pasal 1132 KUH Perdata (BW) pun disebutkan bahwa harta kekayaan itu dimaksudkan
sebagai jaminan bagi para kreditornya bersama-sama, dan hasil penjualan atas harta kekayaan itu
akan dibagi secara seimbang menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali bilamana
diantara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Untuk mencegah pertentangan atau perselisihan antara para kreditor tersebut, biasanya
debitor atau kreditor lebih memilih menyelesaikan permasalahan tersebut melalui lembaga
kepailitan. Dengan kepailitan akan diadakan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi
massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor yang selanjutnya nanti akan dibagi kepada
kreditor secara berimbang dan adil di bawah pengawasan petugas yang berwenang untuk itu.
Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah perjanjian pinjam meminjam uang
yang dilakukan oleh debitor yang terikat perkawinan yang sah adalah perjanjian pinjam
meminjam uang yang dilakukan tanpa diketahui ataupun disetujui oleh pasangannya masing-
masing. Apabila salah satu pihak yang berutang tersebut misalnya dipailitkan, maka pihak yang
lainnya tidak bersedia turut bertanggung jawab dengan alasan tidak mengetahui ataupun tidak
menyetujui perjanjian utang piutang yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut. Padahal secara
langsung atau tidak langsung pasangan yang tidak terlibat perjanjian utang-piutang tersebut ikut
menikmati hasil perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut. Menurut ketentuan
peraturan Kepailitan, apabila salah satu pihak yang terikat perkawinan yang sah dinyatakan
pailit, maka pasangannya pun secara tertulis akan ikut pailit, dan harta persatuan mereka akan
disita untuk dijadikan pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut.
Dengan kata lain, utang suami atau istri mengakinatkan juga utang sang istri atau sang suami
yang kawin dalam persatuan harta kekayaan (tidak membuat perjanjian pisah harta dalam
perkawinan mereka). Harta persatuan dikenal dalam KUH Perdata (BW)
6. Akibat-Akibat Kepailitan
Akibat yuridis jika debitor dipailitkan diatur dalam Bab II bagian kedua undang-undang
kepailitan dan PKPU, yaitu sbb :
a. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan (pasal 21 undang-undang kepailitan dan
PKPU).
b. Akibat terhadap transfer dana (pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).
c. Akibat terhadap perikatan debitor sesudah ada putusan pernyataan pailit. (pasal 25
undang-undang kepailitan dan PKPU).
d. Akibat terhadap hukium kepada debitor (pasal 25 ayat (2).
e. Akibat hukum terhadap tuntutan atas harta pailit. (Pasal 27).
f. Akibat hukum terhadap eksekusi (pelaksanaan putusan hakim). (pasal 31).
g. Akibat kepailitan terhadap penyanderaan. (pasal 31 ayat (3), pasal 93)
h. Akibat kepailitan terhadap uang paksa (Dwangsom). (pasal 32).
i. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik. (pasal 36).
j. Akibat kepailitan terhadap perjanjian sewa-menyewa. (pasal 38)
k. Akibat kepailitan terhadap perjanjian kerja (pasal 39).
l. Akibat kepailitan terhadap harta warisan. (pasal 40).
B. Kepailitan Suami atau istri yang Menyebabkan Masuknya Harta Bersama Kedalam
Boedel Pailit Dalam Praktik
Putusan pengadilan Niaga No. 13/Pailit/1998/PN. Niaga/Jkt.Pst dilatar belakangi adanya
suatu permohonan pailit yang diajukan oleh Eddy Soedarmono (pemohon) terhadap Ira
Chrysanti (termohon I) dan Sani Rahardjo (termohon 2II). Eddy Soerdarmono (pemohon)
merupakan kreditor dari Ira Chrysanti (termohon I). Sedangkan Sani Rahardjo (termohon II)
adalah suami dari Ira Chrysanti (termohon I) dan diantara mereka terikat perkawinan yang sah.
Dalam putusannya Ira dann Sani (termohon) dinyatakan pailit. Karena keduanya tidak memiliki
perjanjian pemisahan harta perkawinan. Harta yang diperoleh suami dan istri tersebut mejadi
harta bersama dan dimasukkan dalam. harta pailit.
A. Tanggung Jawab Suami atau Istri Terhadap Utang Yang Di Buat Selama Perkawinan
Yang Mengakibatkan Salah Satu Pihak Dinyatakan Pailit
Menurut ketentuan dalam pasal 35 ayat (1) undang-undang perkawinan yang menjadi
harta bersama adalah harta yang benda yang diperoleh selama perkawinan saja, harta yang yang
diperoleh sebagai hadiah atau warisan dikuasai masing-masing pihak dan merupakan harta
bawaan dari suami dan istri masing-masing, sebagaimana tertuang dalam pasal 35 undang-
undang perkawinan. Undang-undang perkawinan hanya mengakui percampuran harta secara
terbatas, tidak seperti percampuran harta secara bulat sebagaimana diatur oleh KUHPerdata
(BW).
Dalam kepailitan menurutn undang-undang kepailitan dan PKPU orang perorangan yang
terikat perkawinan, maka setiap pernyataan mengenai debitor pailit meliputi istri atau suami
debitor pailit yang kawin dalam persatuan harta. Ketentuan tersebut mengadopsi konsepsi
persatuan harta menurut BW.
Ketentuan dalam pasal 64 undang-undang kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa
kepailitan suami atau istri yang kawin dalam persatuan harta diperlakukan sebagai kepailitan
persatuan harta tersebut. Bila suami atau itsri yang telah dinyatakan pailit mempunyai barang-
barang yang tidak jatuh dalam persatuan harta, barang-barang itu pun termasuk dalam kepailitan.
Itu berarti kepailitan suami atau istri yang menikah dengan percampuran harta secara terbatas
juga demi hukum mengakibatkan pailitnya atau suami yang menjadi pasangan hidupnya.
Berdasarkan pengaturan dalam undang-undang kepailitan dan PKPU dihubungkan
dengan pengaturan dalm hukum perkawinan yang diatur dalam BW mengenai harta benda
perkawinan, maka tanggung jawab suami istri terhadap utang yang dibuat selama perkawinan,
yaitu :
1) Jika utang tersebut termasuk utang pribadi maka untuk orang menikah dengan persatuan
harta (tanpa perjanjian kawin). (pasal 64 ayat (1) dan (3) undang-undang kepailitan dan
PKPU).
2) Jika utang tersebut termasuk utang bersama, maka dengan tidak memperdulikan siapa
yang membuat utang tersebut, suami dan istri bertanggung jawab dengan harta
persatuannya, jika suami istri tersebut menikah dengan persatuan harta. Jika suami istri
itu menikah dengan perjanjian perkawinan dimana tidak dikenal harta persatuan maka
harta masing-masing pihak suami atau istri itulah yang harus dipertanggung jawabkan.
B. Kedudukan Harta Bawaan Suami atau Istri Bilamana Harta Bersama Tidak
Mencukupi Untuk Membayar Utang
Pada dasarnya menurut ketentuan pasal 64 ayat (3) undang-undang kepailitan dan PKPU, harta
yang tidak termasuk ke dalam harta persatuan (harta pribadi atau bawaan) bisa termasuk harta
pailit, tetapi hanya dapat digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau istri yang
dinyatakan pailit. Menurut ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa harta pribadi suami atau
istri hanya dapat digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau istri yang dinyatakan
pailit tersebut.
Harta bawaan suami atau istri yang tidak terlibat utang bilamana harta bersama tidak
mencukupi untuk membayar utang, sebenarnya bisa digunakan untuk membayar utang yang
dibuat selama perkawinan berlangsung, akan tetapi sebelumnya perlu dibuktikan terlebih dahulu
apakah saat debitor melakukan perbuatan hukum utang piutang tersebut pasangan dari debitor
pailit mengetahui atau menyetujui. Seseorang dianggap mengetahui atau menyetujui secara
tertulis yaitu dengan adanya akta, secara lisan, ataupun secara diam-diam. Apabila bisa
dibuktikan pasangan dari debitor pailit tersebut mengetahui dan menyetujui utang yang dibuat
selama selama perkawinan maka walaupun tidak terlibat secara langsung sebagai pihak dalam
perjanjian maupun sebagai penjamin, harta bawaan pasangan debitor pailit dapat diambil untuk
dimasukkan ke dalam boedel pailit untuk pembayaran utang.
Pada asasnyaa yang perlu dijadikan patokan dalam kepailitan suami atau istri adalah
ketika salah satu pihak pailit, maka pasangannya pun akan ikut pailit kecuali ada perjanjian
pekawinan dan ada harta bawaan yang bisa dibuktikan.
Ketentuan Pasal 64 ayat (3) undang-undang kepailitan dan PKPU jika dihubungkan
dengan prinsip tanggung jawab diatas dapat disimpulkan, walaupun harta pribadi hanya dapat
digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau istri yang dinyatakan pailit, akan tetapi
apabila para pihak secara sukarela ingin menyerahkan harta pribadinya masuk ke dalam boedel
pailit untuk dijadikan pembayaran utang hal tersebut diperbolehkan. Jadi pada intinya menurut
prinsip tanggung jawab diatas, harta bawaan sebenarnya dapat dipakai untuk melunasi utang-
utang yang dibuat selama perkawinan bilamana harta bersama tidak mencukupi untuk membayar
utang.
Keunggulan dan Kelemahan Buku :
Keunggulan :
Buku memberikan pemahaman bagi pembaca mengenai kepailitan diliat dari sisi hukum
perselisihan dan hukum keluarga dan harta benda perkawinan, dimana buku ini mengupas tuntas
tentang kepailitan yang terjadi dalam perkawinan itu sendiri.
Buku ini dapat menjadi sumber pembelajaran bagi mahasiswa karena pada setiap bab terdapat
target bagi pembaca/mahasiswa untuk menguasai suatu materi dan memungkinkan untuk dapat
dijadikan sumber soal Tes.
Kelemahan :
Buku ini hanya membahas kepailitan secara khusus yaitu kepailitan yang terjadi antara suami
atau istri yang terikat perkawinan. Tidak membahas kepailitan secara luas atau umum, seperti
apa yang terjadi bila suatu perusahaan pailit , etc. Sehingga pembaca kurang bisa memahami
maksud yang dituju dari buku ini.