Anda di halaman 1dari 11

SYARAT-SYARAT

PERKAWINAN
> MAULANA FAHRUL HIDAYAT 202010115062
Undang-undang No 1 tahun 19 74 tantang perkawinan

“ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yg bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa”

Dasar hukum yang di gunakan di Indonesia

Syariah
Undang-undang perkawinan
KHI Pada dasarnya dalam melaksanakan proses perkawinan/
pernikahan sudah barang tentu harus memenuhi ketentuan
rukun dan syarat-syarat perkawinan, jika salah satu rukun
dan syarat perkawinan tidak terpenuhi mengakibatkan
tidak sahnya suatu pernikahan/ perkawinan.
Rukun Perkawinan
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam

Calon suami dan istri


Ijab dan Qobul

Wali Nikah
Saksi Nikah
Syarat Perkawinan menurut
kompilasi hukum islam
Syarat Khusus

Syarat Umum
Beragama islam
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan
larangan perkawinan dalam Al-Quran yg
Dewasa rohani
termuat dalam Qs. Al- Baqrah (2) : tentang dan jasmani
larangan perkawinan karena perbedaan
agama, dan di dalam Qs. An-Nisa (4) : 22, Menyetujui Tidak terdapat
23, 24 tentang larangan perkawinan karena perkawinan halangan dan larangan
tersebut perkawinan
hubungan sedarah atau semenda
Syarat-syarat Perkawinan menurut Undang-
undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Syarat Materil ( Pasal 6-12)

1. Adanya Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);


2. Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);
3. Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 19 tahun, kecuali ada
dispensasi dari pengadilan (Pasal 7);
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan keluarga atau darah yang
tidak boleh kawin (Pasal 8);
5. Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain dan calon mempelai pria juga tidak
dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain, kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk poligami
(Pasal 9);
6. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin
kembali (untuk ketiga kalinya) (Pasal 10);
7. Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang berstatus janda (Pasal 11);
Syarat Formal
Berhubungan langsung dengan tata
cara perkawinan
1. Pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.
2. Pengumuman untuk melangsungkan perkawinan.
3. Calon suami isteri harus memperlihatkan akta kelahiran
4. Akta yang memuat izin untuk melangsungkan perkawinan dari mereka yang harus
memberi izin atau akta dimana telah ada penetapan dari pengadilan.
5. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus memperlihatkan akta perceraian, akta
kematian atau dalam hal ini memperlihatkan surat kuasa yang disahkan pegawai pencatat
Nikah.
6. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung tanpa pencegahan.
7. Dispensasi untuk kawin, dalam hal dispensasi diperlukan.
Surat surat yang berkaitan dengan Perkawinan

1. Keterangan lurah/kepala desa yang menyatakan identitas : nama, tempat dan tanggal lahir, nama orang tua.
2. Keterangan mengenai nama agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal dan nama serta tempat tinggal
orang tua calon mempelai.
3. Izin tertulis dari orang tua atau/izin pengadilan jika para calon belum mencapai umur 21 tahun.
4. Izin isteri atau izin pengadilan bagi calon suami yang hendak kawin lagi.
5. Dispensasi pengadilan atau pejabat yang ditunjuk bagi calon mempelai di bawah umur untuk kawin.
6. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau surat cerai.
7. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan/Keamanan atau Panglima TNI apabila seorang
calon mempelai atau kedua-duanya anggota Tentara Nasional Indonesia.
8. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah satu calon
mempelai atau kedua-duanya tidak dapat menghadiri sendiri atau ada alasan yang penting, sehingga
mewakilkan kepada orang lain.
Perkawinan dapat dilakukan oleh

Berbeda warganegara beda agama

Satu warganegara dan satu agama

Berbeda kewarganegaraaan dan satu agama


Satu warganegara dan beda agama
Perkawinan yang di lakukan di luar negri

Pasal 56, menjelaskan bahwa perkawinan yang di langsungkan di luar wilayah Indonesia antara
seorang WNI dengan WNI serta seseorang WNI dengan WNA adalah sah jika dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara mana tempat d langsungkannya perkawinan dengan
memenuhi ketentuan Undang Undang Perkawinan

Namun dalam watu selambat lambatnya 1 tahun setelah pernikahan jika kembali ke Indonesia
maka surat bukti perkawinan mereka harus di daftarkan ke kantor pencattan perkawinana di
wilayah hukum tempat tingal.
PERKAWINAN CAMPURAN

Perkawinan ini diatur dalam pasal 57–62 Undang-Undang Perkawinan. Yang


dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan warga negara Indonesia, jadi perkawinan
campuran antara sesama warga negara Indonesia, yang masing-masing calon
mempelai ada perbedaan agama atau hukumnya. Misalnya seorang wanita
Indonesia beragama Katolik menikah dengan seorang laki-laki Indonesia
beragama Islam, atau perkawinan antara seorang Indonesia yang kawin dengan
seorang asing, warga negara asing.
Akibat perkawinan
campuran

Pasal 56 UU Perkawinan, WNI atau WNA dapat memperoleh kewarganegaraan dari pasangnnya atau
kehilangan kewarganegaraannya sesuai undang-undang kewarganegaraan Indonesia yang berlaku

Dalam hal perkawinan beda agama yang salah seorang calonnya beragama Islam maka : Al-Quran surat
Al-Baqarah (2): 221 seorang wanita muslim tidak diperbolehkan menikah dengan pria bukan
muslim.

kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan pernikahan beda agama ini, merujuk pada ketentuan
Pasal 42 UUP yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah yang
dilakukan baik di Kantor Urusan Agama (untuk pasangan yang beragama Islam) maupun Kantor Catatan
Sipil (untuk pasangan yang beragama selain Islam), maka kedudukan anak tersebut adalah anak yang sah
di mata hukum dan memiliki hak dan kewajiban anak dan orang tua seperti tertuang dalam Pasal 45 s.d.
Pasal 49 UUP.

Anda mungkin juga menyukai