Anda di halaman 1dari 20

Peran Jaksa Dalam

Pembatalan Perkawinan

dan
sun
tra s Pa
il Pu rsita
lsa b nive
n Sa m U
eh a uk u
Ri a s H
u lt
Fak

https://kejati-jawabarat.kejaksaan.go.id/

@kejati_jabar @kejati_jabar
BUKU SAKU
KEJAKSAAN TINGGI JAWA BARAT

RIEHAN SALSABIL PUTRA


201000068
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT,


Tuhan Yang Maha Kuasa atas tersusunnya Buku Saku Kejaksaan
Tinggi Jawa Barat dengan judul Peran Jaksa Dalam Pembatalan
Perkawinan.

Buku saku ini merupakan hasil produk luaran yang saya


hasilkan selama mengikuti program Kuliah Kerja Magang (KKM) di
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dari tanggal 14 September 2023
sampai dengan 14 Desember 2023.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang


telah berperan serta dalam penyusunan Buku Saku ini, terutama
pada Bapak Miptahurohman, S.H., M.H. dan Ibu Rita Noorhayati,
S.H. selaku Jaksa pembimbing saya ketika mengikuti program
Kuliah Kerja Magang di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan tidak lupa
saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Rusli Subrata, S.H., M.H.
selaku dosen pembimbing magang dari pihak Fakultas Hukum
Universitas Pasundan.

Saya menyadari betul sepenuhnya bahwa penyusunan Buku


Saku ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu dengan
segala kerendahan hati saya berharap saran dan kritik demi
perbaikan-perbaikan lebih lanjut. Dengan harapan semoga Buku
Saku ini dapat bermanfaat bagi seluruh pegawai instansi terkait,
penegak hukum dan para mahasiswa hukum lainnya.

Bandung, 14 Desember 2023

Riehan Salsabil Putra

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

A. Konsep Perkawinan Di Indonesia 1

B. Pengertian Pembatalan Perkawinan 2

C. Pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan 6

D. Eksistensi Kejaksaan Dalam Permasalahan Perkawinan 7

E. Tugas Dan Kewenangan Jaksa Pengacara Negara 8

F. Ancaman Sanksi Pidana 10

G.Alur Pengajuan Permohonan Pembatalan Perkawinan 12

DAFTAR PUSTAKA 15

ii
A KONSEP PERKAWINAN
DI INDONESIA

Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan


perkawinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan agamanya masing-masing. (Pasal 2 ayat
1 UU Nomor 1 Tahun 1974)

Berarti, apabila suatu perkawinan yang


tidak dilakukan menurut ketentuan
peraturan perundang-udangan yang
berlaku dan hukum agamanya masing-
masing bisa dikatakan tidak sah
perkawinannya?

Karena pada dasarnya, dasar dan tujuan


dibentuknya perkawinan sudah tercantum dalam
Pasal 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yaitu “Perkawinan dibentuk dengan
tujuan membentuk ikatan keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. “Kemudian perkawinan dikatakan
sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama
dan kepercayaannya masing-masing, dan
perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.

1
B
PENGERTIAN
PEMBATALAN PERKAWINAN

Perkawinan

BATAL

Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan Pengadilan yang


berupa putusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu
dinyatakan tidak sah (no legal force ordeclared void), sehingga
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.

Berdasarkan Pasal 22 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


dan penjelasannya menerangkan bahwa perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Kemudian, pengertian “dapat” dalam
pasal tersebut mengacu pada ketentuan agama masing-masing.

Lebih lanjut, Pasal 37 PP 9 Nomor 1975 menerangkan bahwa


pembatalan perkawinan atau batalnya perkawinan hanya dapat
diputuskan oleh pengadilan. Kemudian dalam bagian penjelasan,
ketentuan pasal tersebut dibuat mengingat bahwa pembatalan
suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik bagi
pasangan dan keluarganya.

2
SYARAT PEMBATALAN
PERKAWINAN DALAM KHI
Menurut Pasal 70 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI), perkawinan akan batal apabila:
Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak
melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang
istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam masa
iddah talak raj’i;
Seseorang menikah bekas istrinya yang telah dili’annya;
Seseorang menikah bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali
talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah
dengan pria lain kemudian bercerai dengan lagi ba’ada al-
dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat
tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas;
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya;
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan
ibu atau ayah tiri;
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak
sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.
Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan
dan istri atau istri-istrinya.

3
SYARAT PEMBATALAN
PERKAWINAN DALAM KHI
Kemudian berdasarkan Pasal 71 Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan dapat
dibatalkan apabila:
Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan
Agama;
Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi istri pria lain yang mafqud;
Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan
suami lain;
Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan;
Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh
wali yang tidak berhak;
Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

4
ALASAN-ALASAN UNTUK PERMOHONAN
PEMBATALAN PERKAWINAN

Batalnya suatu perkawinan atau perkawinan dapat dikatakan batal


dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28 ayat (1) UU
Perkawinan.

Adapun alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan


perkawinan dalam Pasal 26 dan 27 UU Perkawinan yaitu sebagai
berikut :

Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat


perkawinan yang tidak berwenang;
Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah;
Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang
saksi;
Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar
hukum;
Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai
diri suami atau istri.

5
C
PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN
PEMBATALAN PERKAWINAN

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:


Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
dari suami atau istreri;
Suami atau isteri;
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan
belum diputuskan;
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16
Undang-Undang ini dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus.

*Vide Pasal 23 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Diantara pihak yang berhak mengajukan permohonan pembatalan


perkawinan salah satunya terhadap Jaksa. Apabila mencermati secara
teliti terhadap UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan beserta aturan
pelaksanaan yaitu, PP No. 9 tahun 1975 yang didalamnya mengatur
masalah batalnya perkawinan, yakni Pasal 23 UUP dengan didukung
oleh Pasal 38 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 tidak menyebutkan Jaksa
sebagai pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan. Aturan
yang menyebutkan bahwa Jaksa termasuk salah satu pihak yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan adalah dalam Pasal 26 ayat (1) UU
Perkawinan. Penyebutanya pun diantara para pihak dalam garis
keturunan lurus kedua pihak tersebut merupakan bentuk pengulangan
dari bunyi Pasal 23 UU Perkawinan.

6
D
EKSISTENSI KEJAKSAAN DALAM
PERMASALAHAN PERKAWINAN
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, di mana eksistensi
kejaksaan di bidang perdata tetap diakui dan diatur dalam Undang-
Undang Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UU No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang telah berubah menjadi UU No. 11
Tahun 2021, yang selengkapnya adalah:

Di bidang Perdata dan TUN Kejaksaan dengan kuasa khusus


dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk
dan atas nama Negara atau Pemerintah

Berkaitan dengan tugas wewenang penegakan hukum, satuan kerja


JAMDATUN (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara)
mempunyai fungsi membatalkan suatu perkawinan apabila yang
dilakukan di muka catatan sipil yang tidak berwenang, wali nikah yang
tidak sah atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 26 ayat 1 UU
No. 1 tahun 1974).

Tujuan adanya aturan tersebut adalah supaya penegakan hukum di


bidang perkawinan yang dilakukan atas nama pemerintah atau negara,
dalam rangka memelihara ketertiban umum guna menghindari
terjadinya suatu pelanggaran dan terciptanya kepastian hukum di
tengah-tengah masyarakat benar-benar terwujud.

7
E
TUGAS DAN KEWENANGAN
JAKSA PENGACARA NEGARA

Jaksa Pengacara Negara (JPN) adalah Jaksa yang melaksanakan tugas di


bidang Perdata dan Tata Usaha Negara berdasarkan surat perintah
tugas untuk melakukan penegakan hukum, memberikan pertimbangan
hukum, melaksanakan tindakan hukum lain dan memberikan pelayanan
hukum kepada masyarakat dan atau berdasarkan surat kuasa khusus
untuk bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas
nama Pemberi Kuasa dalam hal ini negara atau pemerintah.

*Vide Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang diubah menjadi UU
No. 11 Tahun 2021

Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (TUN), Kejaksaan dengan


Kuasa Khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah.

Kewenangan Jaksa sebagai Adapun kewenangan jaksa


pengacara negara untuk sebagai pengacara negara
melaksanakan kepentingan juga termuat dalam beberapa
hukum baik upaya non aturan, diantaranya Pasal 26
litigasi maupun upaya ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
litigasi berupa mengajukan 1974 tentang Perkawinan
gugatan ke Pengadilan terkait pengajuan gugatan
Tinggi. pembatalan perkawinan

8
Ketentuan mengenai wewenang Jaksa mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan tidak diatur oleh UU peradilan umum maupun
agama, sedangkan dalam UU Perkawinan terdapat aturan yang
menjelaskan siapa saja pihak yang berhak mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan yang dimana UU Perkawinan merupakan salah
satu sumber hukum bagi setiap permasalahan perkawinan di
lingkungan peradilan umum maupun agama. Selain Pasal 26 ayat (1)
UUP, Pasal 23 huruf (c) UU Perkawinan terutama pada kata “pejabat
yang berwenang” harus memperluas makna kata tersebut dan masih
perlu penafsiran lebih lanjut atas Pasal tersebut.

Lebih lanjut tentang pelaksanaan kewenangan Kejaksaan dalam


membatalkan perkawinan diatur oleh Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor : PER-025/A/JA/11/2015 yaitu :
1. Jaksa Pengacara Negara mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan dalam hal terjadi perkawinan yang dilangsungkan
dimuka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali
nikah yang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi;
2. Permohonan Pembatalan Perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama
atau Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana perkawinan
dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami istri atau tempat
tinggal suami/istri;
3. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.

9
F
ANCAMAN SANKSI PIDANA

Perkawinan di atas dapat diperkuat dengan aturan yang ada pada Pasal
45 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
undang-undang perkawinan, sebagai argumentasi tambahan mengenai
tujuan dicantumkannya jaksa sebagai pihak yang berhak mengajukan
pembatalan perkawinan, yaitu mengenai sanksi hukuman benda bagi
pihak mempelai dan pejabat pencatat perkawinan yang melanggar
ketentuan hukum perkawinan.
Dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 disebutkan
bahwa:

1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan


yang berlalu, maka:
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10
ayat (3), 40, peraturan pemerintah ini, dihukum dengan hukuman
dengan setinggi-tingginya Rp 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b. Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal
6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44, peraturan pemerintah ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
2.Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.

10
Wewenang jaksa dalam pembatalan perkawinan yang diatur dalam
Pasal 26 (1) Undang-Undang Perkawinan sebenarnya tidak terlepas dari
penafsiran ketentuan Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975 atau dengan kata
lain, adanya wewenang jaksa tersebut tidak terlepas dari telah terjadinya
suatu pelanggaran hukum perkawinan yang mempunyai sanksi pidana
sehingga jaksa diberi kesempatan untuk membuktikan pelanggaran
tersebut kepada hakim. Di samping itu, dapat dilihat dari pembatasan
alasan yang digunakan oleh jaksa untuk mengajukan pembatalan
perkawinan, yaitu dilakukan di muka pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah dan tanpa dihadiri oleh dua
orang saksi. Di mana seluruh alasan tersebut dikategorikan sebagai
pelanggaran Pasal 3 ayat (1), Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 tahun 1975. Bagi
pihak mempelai serta adanya pegawai pencatat perkawinan yang
melanggar dan mengabaikan sumpah jabatannya.

11
G
ALUR PENGAJUAN PERMOHONAN
PEMBATALAN PERKAWINAN

Pemohon atau Kuasa Pemohon mengajukan permohonan


Hukum mendatangi secara tertulis/lisan kepada Ketua
PA bagi beragama Pengadilan (Ps. 118 ayat (1) HIR/Ps.
Islam dan PN bagi 142 ayat (1) Rbg), sekaligus
Non-Muslim (Ps. 73 membayar uang muka perkara
UU No. 7/1989) kepada Bendaharawan Khusus.

Pemohon dan Termohon secara


pribadi atau melalui kuasanya wajib Pemohon dan suami/istri (atau
membuktikan kebenaran dari dalil- beserta istri barunya) sebagai
dalil permohonan pembatalan Termohon menghadiri sidang
perkawinan (tuntutan) di muka Pengadilan berdasarkan surat
Sidang Pengadilan berdasarkan alat Panggilan dari Pengadilan, atau
bukti, saksi, persangkaan hakim, dapat mewakilkan kepada
atau sumpah salah satu pihak (Ps. kuasa hukum yang ditunjuk.
164 HIR/Ps. 268 Rbg). Selanjutnya (Ps.121,124, dan 125 HIR)
Hakim memeriksa dan memutus
perkara tersebut.

12
Pemohon dan Termohon
secara pribadi masing-masing
menerima salinan putusan
Pemohon dan Termohon
Pengadilan Negeri atau
menerima Akta Pembatalan
Pengadilan Agama yang belum
Perkawinan dari Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum
tetap.

Setelah menerima Akta


Pembatalan Perkawinan,
Pemohon segera meminta
penghapusan pencatatan
perkawinan di buku register
Kantor Urusan Agama (KUA)
atau Kantor Catatan Sipil (KCS).

13
14
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin. 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika
Mardatillah, Aida. “Mengulas Tugas dan Fungsi Jaksa Pengacara
Negara”, https://www.hukumonline.com/berita/a/mengulas-tugas-
dan-fungsi-jaksa-pengacara-negara-lt61ee84de0c7f8/?page=all,
diakses pada tanggal 07 Desember 2023
Misbahuddin, Ahud. 1998. Mengulas Tugas dan Fungsi Jaksa Pengacara
Negara. Dalam Mimbar Hukum No. 39
Prodjohamidjojo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia.
Jakarta: Centre Publishing
Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jakarta
Republik Indonesia. 1975. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Republik Indonesia. 1991. Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Indonesia. Jakarta
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jakarta
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: PER-025/A/JA/11/2015. Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai