Pembatalan Perkawinan
dan
sun
tra s Pa
il Pu rsita
lsa b nive
n Sa m U
eh a uk u
Ri a s H
u lt
Fak
https://kejati-jawabarat.kejaksaan.go.id/
@kejati_jabar @kejati_jabar
BUKU SAKU
KEJAKSAAN TINGGI JAWA BARAT
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR PUSTAKA 15
ii
A KONSEP PERKAWINAN
DI INDONESIA
1
B
PENGERTIAN
PEMBATALAN PERKAWINAN
Perkawinan
BATAL
2
SYARAT PEMBATALAN
PERKAWINAN DALAM KHI
Menurut Pasal 70 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI), perkawinan akan batal apabila:
Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak
melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang
istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam masa
iddah talak raj’i;
Seseorang menikah bekas istrinya yang telah dili’annya;
Seseorang menikah bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali
talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah
dengan pria lain kemudian bercerai dengan lagi ba’ada al-
dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat
tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas;
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya;
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan
ibu atau ayah tiri;
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak
sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.
Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan
dan istri atau istri-istrinya.
3
SYARAT PEMBATALAN
PERKAWINAN DALAM KHI
Kemudian berdasarkan Pasal 71 Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan dapat
dibatalkan apabila:
Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan
Agama;
Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi istri pria lain yang mafqud;
Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan
suami lain;
Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan;
Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh
wali yang tidak berhak;
Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
4
ALASAN-ALASAN UNTUK PERMOHONAN
PEMBATALAN PERKAWINAN
5
C
PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN
PEMBATALAN PERKAWINAN
6
D
EKSISTENSI KEJAKSAAN DALAM
PERMASALAHAN PERKAWINAN
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, di mana eksistensi
kejaksaan di bidang perdata tetap diakui dan diatur dalam Undang-
Undang Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UU No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang telah berubah menjadi UU No. 11
Tahun 2021, yang selengkapnya adalah:
7
E
TUGAS DAN KEWENANGAN
JAKSA PENGACARA NEGARA
*Vide Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang diubah menjadi UU
No. 11 Tahun 2021
8
Ketentuan mengenai wewenang Jaksa mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan tidak diatur oleh UU peradilan umum maupun
agama, sedangkan dalam UU Perkawinan terdapat aturan yang
menjelaskan siapa saja pihak yang berhak mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan yang dimana UU Perkawinan merupakan salah
satu sumber hukum bagi setiap permasalahan perkawinan di
lingkungan peradilan umum maupun agama. Selain Pasal 26 ayat (1)
UUP, Pasal 23 huruf (c) UU Perkawinan terutama pada kata “pejabat
yang berwenang” harus memperluas makna kata tersebut dan masih
perlu penafsiran lebih lanjut atas Pasal tersebut.
9
F
ANCAMAN SANKSI PIDANA
Perkawinan di atas dapat diperkuat dengan aturan yang ada pada Pasal
45 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
undang-undang perkawinan, sebagai argumentasi tambahan mengenai
tujuan dicantumkannya jaksa sebagai pihak yang berhak mengajukan
pembatalan perkawinan, yaitu mengenai sanksi hukuman benda bagi
pihak mempelai dan pejabat pencatat perkawinan yang melanggar
ketentuan hukum perkawinan.
Dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 disebutkan
bahwa:
10
Wewenang jaksa dalam pembatalan perkawinan yang diatur dalam
Pasal 26 (1) Undang-Undang Perkawinan sebenarnya tidak terlepas dari
penafsiran ketentuan Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975 atau dengan kata
lain, adanya wewenang jaksa tersebut tidak terlepas dari telah terjadinya
suatu pelanggaran hukum perkawinan yang mempunyai sanksi pidana
sehingga jaksa diberi kesempatan untuk membuktikan pelanggaran
tersebut kepada hakim. Di samping itu, dapat dilihat dari pembatasan
alasan yang digunakan oleh jaksa untuk mengajukan pembatalan
perkawinan, yaitu dilakukan di muka pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah dan tanpa dihadiri oleh dua
orang saksi. Di mana seluruh alasan tersebut dikategorikan sebagai
pelanggaran Pasal 3 ayat (1), Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 tahun 1975. Bagi
pihak mempelai serta adanya pegawai pencatat perkawinan yang
melanggar dan mengabaikan sumpah jabatannya.
11
G
ALUR PENGAJUAN PERMOHONAN
PEMBATALAN PERKAWINAN
12
Pemohon dan Termohon
secara pribadi masing-masing
menerima salinan putusan
Pemohon dan Termohon
Pengadilan Negeri atau
menerima Akta Pembatalan
Pengadilan Agama yang belum
Perkawinan dari Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum
tetap.
13
14
DAFTAR PUSTAKA
15