Disusun Oleh:
Kelas B
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi Ujian
Tengah Semester Tiga yang diampu oleh Bapak Irwan Saleh Indrapradja, S.H.,
M.H. pada mata kuliah Hukum Acara Perdata.
Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran
dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
yang membutuhkan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Uraian kasus posisi dalam kasus tersebut yaitu:
Pada tahun 1991 suami dari Pati yaitu Muping meninggal dunia,
lalu Suruga pun masih tetap tinggal berada di atas tanah sengketa dan belum
membongkar rumah kayunya. Lalu sekitar awal bulan Oktober 2018, Suruga
tiba-tiba saja membangun pondasi rumah di atas tanah sengketa tanpa seizin
dari Pati, pada saat itu Pati sebenarnya telah menegur Suruga namun
dihiraukan.
2
objek sengketa. Dan Suruga juga tidak pernah mengakui bahwa Suruga
sendiri datang menemui suami Pati dengan maksud dan tujuan untuk
meminta izin mendirikan rumah sementara untuk Suruga di atas tanah objek
sengketa, karena di atas objek sengketa yang tinggal di atas objek sengketa
sebelumnya adalah milik orang tua Pati.
Berdasarkan hal tersebut, Suruga memohon kepada Majelis Hakim
untuk segera mempertimbangkan putusan yang akan dibuat.
1.3 Tujuan
Tujuan untuk dibuatnya makalah ini diantara lain:
1) Untuk mengetahui ketentuan Pasal 118 HIR dalam kasus persengketaan tanah
di Kabupaten Bone, Watampone tersebut.
2) Untuk mengetahui hasil putusan Pengadilan Negeri Watampone dalam
menangani kasus tersebut.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Sewaktu suami Pati yang bernama Muping masih hidup dia mengatakan
kepada keluarganya kalau Tanah tersebut telah dibeli dari A. Lummu
4
dan Nurdi selaku saksi pernah melihat ada surat akta jual beli rumah
yang dibuat di Kepala Desa setempat.
Ahmad Tang mengetahui dan menjadi saksi bahwa lebih dahulu ada
rumah Pati daripada rumahnya Suruga. Ahmad Tang melihat bahwa
Sangkala pernah mengerjakan rumah Suruga waktu hendak diperbaiki
dan dijadikan lebih besar.
4) Sangkala
1) Bukti surat T-1 berupa Foto Copy Surat Pemberitahuan Pajak terhutang
Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2018 pada pokonya menunjukkan
adanya pembayaran pajak bumi dan bangunan atas nama Suruga;
5
2) Bukti surat T-2 berupa Surat Pemberitahuan Pajak terhutang Pajak Bumi
dan Bangunan tahun 2012 pada pokoknya menunjukkan adanya
pembayaran pajak bumi dan bangunan atas nama Suruga;
3) Bukti surat T-3 berupa Surat Pemberitahuan Pajak terhutang Pajak Bumi
dan Bangunan tahun 2010 pada pokoknya menunjukkan adanya
pembayaran pajak bumi dan bangunan atas nama Suruga;
4) Bukti surat T-4 berupa daftar himpunan Ketetapan Pajak dan
Pembayaran buku 1,2,3,4,5 tahun 2018 nomor 226 NOP 008.003-0 atas
nama wajib pajak Suruga (Tergugat) pada pokoknya menunjukkan
adanya pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Suruga.
2.2 Ketentuan Pasal 118 HIR Dalam Kasus Persengketaan Tanah yang
Dihadapi Pati dan Suruga
HIR adalah singkatan dari Herzien Inlandsch Reglement yang sering
diterjemahkan menjadi Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui, yaitu hukum
acara dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku di pulau
Jawa dan Madura. Reglemen ini berlaku di jaman Hindia Belanda, tercantum di
Berita Negara (staatblad) No. 16 tahun 1848.4 Bunyi dari Pasal 118 HIR tersebut
yaitu:
6
pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika
tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
2) Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu
dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang
dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat-tergugat satu
sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung,
maka penggugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di
tempat orang yang berutang utama dari salah seorang dari pada orang
berutang utama itu, kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat 2 dari pasal
6 dari reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan
kehakiman.
3) Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat tinggal
sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat
gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal
penggugat atau salah seorang dari pada penggugat, atau jika surat gugat itu
tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua
pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu.
4) Bila dengan surat syah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan,
maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu kepada
ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat
kedudukan yang dipilih itu.
Berdasarkan isi Pasal 118 HIR tersebut jika dihubungkan dengan kasus
sengketa tanah yang tengah dihadapi antara Pati dengan Suruga di Watampone,
Sulawesi Selatan. Dapat saya simpulkan bahwa;
Dalam penyelesaian sengketa tanah harus diselesaikan melalui pengadilan
terkait dengan hak kepemilikan tanah. Penyelesaian sengketa pertanahan yang
bersifat keperdataan oleh pengadilan, dilakukan melalui proses gugatan
berdasarkan ketentuan HIR. Secara umum, untuk gugatan perdata, pengajuan
gugatan didasarkan pada asas Actor Sequitur Forum Rei. Asas tersebut diatur
dalam Pasal 118 ayat (1). Namun, penerapan asas tersebut tidaklah mutlak,
setidaknya ada 7 patokan dalam menentukan kewenangan relatif pengadilan
berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, yakni: 1) Actor Sequitur Forum Rei
(gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal tergugat); 2) Actor
Sequitur Forum Rei dengan Hak Opsi (dalam hal ada beberapa orang tergugat,
7
gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal salah satu tergugat atas
pilihan penggugat); 3) Actor Sequitur Forum Rei Tanpa Hak Opsi, tetapi
berdasarkan tempat tinggal debitur principal (dalam hal para tergugat salah satunya
merupakan debitur pokok/debitur principal, sedangkan yang selebihnya
berkedudukan sebagai penjamin, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri
pada tempat tinggal debitur pokok/principal); 4) Pengadilan Negeri di Daerah
Hukum Tempat Tinggal Penggugat (dalam hal tempat tinggal atau kediaman
tergugat tidak diketahui); 5) Forum Rei Sitae (Gugatan diajukan ke Pengadilan
Negeri berdasarkan patokan tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi
objek sengketa); 6) Kompetensi Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili (para
pihak dalam perjanjian dapat menyepakati domisili pilihan yakni menyepakati
untuk memilih Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan
sengketa yang timbul dari perjanjian); 7) Negara atau Pemerintah dapat Digugat
pada Setiap PN (dalam hal Pemerintah Indonesia bertindak sebagai penggugat atau
tergugat mewakili negara, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di mana
departemen yang bersangkutan berada).
Jadi berdasarkan narasi tersebut, Pati dapat mengajukan gugatan kepada
Suruga di Pengadilan Negeri Watampone, karena mengimplementasikan dari Asas
Actor Sequitur Forum Rei (gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat
tinggal tergugat) dan kebetulan domisili dari pihak Tergugat dan Penggugat sama
(tetanggaan) yaitu di Kota Watampone, Sulawesi Selatan. Dan juga dikarenakan
objek gugatannya adalah tanah, maka gugatan selalu dapat diajukan kepada
Pengadilan Negeri di mana tanah itu berada atau mengacu pada Forum Rei Sitae
(gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan patokan tempat terletak
benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa).
8
membuktikan dalil gugatannya sedangkan Suruga tidak dapat membuktikan dalil-
dalil bantahannya, yang selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan
petitium dari gugatan Penggugat, sebagai berikut:
9
“barangsiapa mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu
perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang itu
harus membuktikan adanya hak atau kejadian itu.”
Pembuktian merupakan suatu upaya untuk meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil-dalil gugatan / bantahan dalil gugatan yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan di persidangan. Pembuktian dalam
hukum acara perdata dikenal dua macam, yakni: hukum pembuktian
materiil dan hukum pembuktian formil. Hukum pembuktian materiil
mengatur tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat bukti tertentu di
persidangan serta mengatur tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti.
Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang cara menerapkan
alat bukti. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara adalah
peristiwanya atau kejadian-kejadian yang menjadi pokok sengketa, bukan
hukumnya, sebab yang menentukan hukumnya adalah Hakim. Dari
peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenarannya, kebenaran yang
harus dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran formil, sedangkan
dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil. Upaya mencari
kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta
dilarang mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum (vide-
Pasal 178 HIR/189 ayat (3) RBG). Hakim hanya cukup membuktikan
dengan memutus berdasarkan bukti yang cukup. Dalam memeriksa suatu
perkara perdata hakim setidaknya harus melakukan tiga tindakan secara
bertahap yakni: mengkonstantir yakni melihat benar tidaknya peristiwa
yang diajukan sebagai dasar gugatan, mengkualifisir peristiwa,
mengkonstituir yakni memberi hukumnya.
10
Kekuatan pembuktian bersifat sempurna dan mengikat artinya, sempurna
berarti hakim harus menganggap semua yang tertera dalam akta yang
diajukan sebagai bukti itu merupakan hal yang benar, kecuali pihak lawan
dapat membuktikan dengan akta lain bahwa akta yang diajukan tidak benar.
Mengikat artinya hakim terikat dengan akta yang diajukan oleh pihak
sebagai bukti, selama akta tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan undang-
undang tentang sahnya suatu akta. Suatu alat bukti dianggap sah memiliki
nilai sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian, apabila
telah mencapai batas minimal pembuktian. Dalam hal ini terkait dengan alat
bukti permulaan yang merupakan alat bukti yang tidak memenuhi batas
minimal alat bukti, sehingga alat bukti tersebut tidak dapat diterima sebagai
bukti untuk mendukung dalil gugatan kecuali ditambah dengan paling
sedikit satu alat bukti lagi. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam acara
pembuktian di persidangan antara lain: segala sesuatu yang dianggap telah
diketahui oleh umum, hal-hal yang dilihat sendiri oleh hakim di persidangan
dalam proses persidangan, seperti pihak tergugat tidak hadir, hal-hal yang
diajukan oleh penggugat yang diakui oleh tergugat.
11
dan tergugat, alat-alat bukti apa saja yang sah menurut hukum, apakah alat
bukti tersebut telah mencapai batas minimal sehingga memiliki kekuatan
pembuktian.5
Mengadili
• Dalam Eksepsi
- Menolak eksepsi dari Suruga selaku Tergugat untuk seluruhnya.
• Dalam Pokok Perkara
1) Menolak eksepsi dari Suruga selaku tergugat untuk seluruhnya;
2) Mengabulkan gugatan Pati selaku penggugat untuk seluruhnya;
3) Menyatakan menurut hukum bahwa Tanah Perumahan sengketa
adalah milik Pati yang diperoleh dari suaminya bernama Muping
(alm);
4) Menyatakan menurut hukum bahwa penguasaan Tegugat atas
Tanah Perumahan sengketa adalah penguasaan yang tanpa hak dan
melawan hukum;
5) Menghukum Suruga atau kepada siapa saja yang memperoleh hak
dari padanya atas Tanah Perumahan sengketa untuk mengosongkan
Tanah Perumahan Sengketa, kemudian menyerahkan Tanah
Perumahan sengketa kepada Pati dalam keadaan kosong;
6) Menghukum Suruga selaku tergugat untuk membayar biaya yang
timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 2.886.000,- (dua juta delapan
ratus delapan puluh enam ribu rupiah).
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Surat gugatan merupakan surat yang dibuat oleh orang yang merasa
dirugikan dan diajukan kepada pengadilan yang berwenang dengan
identitas baik pihak Penggugat maupun pihak Tergugat jelas dan lengkap
serta ada hubungan hukum dengan permasalahan atau peristiwa yang
merupakan alasan-alasan dari pada tuntutan atau petitum yang harus
dirumuskan dengan kata lain gugatan harus jelas, lengkap dan sempurna.
2) Penggugat adalah orang atau pihak yang merasa dirugikan / dilanggar
haknya oleh orang atau pihak lain (Tergugat).
3) Hukum acara adalah rangkaian aturan yang mengatur tata cara
mengajukan suatu perkara ke suatu badan peradilan (pengadilan), serta
cara-cara hakim memberikan putusan. Hukum acara mengatur cabang-
cabang hukum yang umum, seperti hukum acara pidana dan perdata.
Masing-masing negara yang memiliki yurisdiksi dan kewenangan
mahkamah yang beragam memiliki aturan yang berbeda-beda mengenai
hukum acara. Dalam kasus ini termasuk ke dalam hukum acara perdata
yang bersumber pada UU; Yurisprudensi; Doktrin; dan Kebiasaan.
Sedangkan definisi hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara
perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya
menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.
13
DAFTAR PUSTAKA
Digilib.unissula.ac.id.>pendahuluan(http://repository.unissula.ac.id/15667/6/Bab%20I
.pdf) diakses pada tanggal 09 November 2021 pukul 13.17
14