Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Sapta Darma hadir diawali dengan tumbuhnya kebudayaan spiritual sejak


jaman prasejarah dengan adanya kebudayaan animisme dan dinamisme. Masuk
jaman sejarah kebudayaan animisme dan dinamisme digantikan dengan
kebudayaan baru yaitu Hindu-Budha, Islam dan Kolonial. Arus kebudayaan baru
yang masuk sangat cepat diiringi dengan adanya kelelahan dalam revolusi
kemerdekaan dan krisis ekonomi yang berkepanjangan maka banyak kelompok
masyarakat yang ingin kembali pada budaya asli. Salah satu bentuk budaya asli
adalah gerakan kebatinan dan salah satunya yaitu kemunculan penghayat
kerohanian Sapta Darma.
Penghayat Sapta Darma memiliki tradisi tersendiri yang oleh masyarakat
awam masih dianggap tabu dan diluar daripada tradisi pernikahan yang terdapat
pada agama yang telah ditetapkan pada umumnya. Salah satu hal yang mencolok
yaitu dalam pelaksanaannya juga disertai dengan yang biasa disebut oleh mereka
para penghayatnya yaitu sujud. Sujud dalam hal ini yang dilakukan oleh
penghayat Sapta Darma yaitu dilaksanakan dalam posisi bersila dan bersedekap
dengan menghadap ke arah timur, kemudian mengucapkan lafal yang berbunyi
“Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rakhim, Allah Hyang Maha
Adil”, kemudian hening dan menenangkan pikiran sampai badan dengan
sendirinya membungkuk dengan tetap dalam keadaan bersila dan bersedekap
hingga dahi menyentuh lantai, yang dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda
oleh setiap penghayatnya mulai dari 30 menit sampai 2 jam lamanya. Namun
dalam praktik perkawinannya, persujudan hanya dilaksanakan dalam waktu 15
menit.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan Sapto Darmo


Kerokhanian Sapta Darma merupakan salah satu aliran kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan Penetapan Presiden RI Nomor
1/PNPS Tahun 1965 Aliran kepercayaan berbeda dengan agama. Adanya
pembedaan ini berimplikasi pada perbedaan kebijakan Negara untuk penganut
agama dan penghayat kepercayaan sehingga menimbulkan permasalahan hak-
hak sipil penghayat kepercayaan di Indonesia.1
Sapta Darma merupakan ajaran berdasarkan wahyu yang diterima oleh
Bapak Hardjosopoero yang mempunyai nama kecil Sopoero, yang kemudian
juga dikenal dengan nama Sri Gutama. Sri Gutama merupakan gelar yang
diberikan kepada Bapak Hardjosopoero sebagai Panuntun Agung Sapta Darma
yang dianugerahkan oleh Hyang Maha Kuasa pada tanggal 27 Desember
1955. Tiga tahun setelah beliau mendapat wahyu sujud pada tanggal 27
Desember 1952 di Pare, Kediri.2
Perkawinan penghayat kepercayaan telah sah dapat dilakukan dan
dicatatkan sesuai dengan kepercayaan pasangan tersebut. Akta yang didapat
nantinya juga tertulis bahwa perkawinan dilaksanakan dihadapan pemuka
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa alias jelas dan tidak
kosong. Namun dalam prakteknya bahwa proses administrasi dari pelaksanaan
perkawinan ini lebih sulit daripada warga yang memiliki identitas bukan
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa alias memeluk salah
satu agama dari keenam agama yang telah diakui di Indonesia. Oleh karena itu
maka para pihak harusnya mendapatkan hak dan melakukan kewajiban yang
sama dengan warga beragama. Begitu pula dalam hak dan kewajiban anak
hasil perkawinan penghayat kepercayaan tentu saja harus sama dengan anak-
anak lainnya yang memeluk salah satu dari keenam agama yang telah diakui
1
Hanung Sito Rohmawati, “Kerokhanian Sapta Darma Dan Permasalahan Hak-Hak Sipil
Penghayat Di Indonesia”, dalam Jurnal Yaqzhan, Vol. 6 No. 1, Juli 2020, hlm. 67
2
Hanung Sito Rohmawati, “Kerokhanian Sapta Darma Dan Permasalahan Hak-Hak Sipil
Penghayat Di Indonesia”. hlm. 70

2
di Indonesia dan harusnya sudah tidak ada perlakuan diskriminatif lagi dari
masyarakat sekitar maupun di kalangan bidang manapun yang dialami oleh
golongan penghayat kepercayaan dan pada dasarnya setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, mendapatkan lingkungan yang baik, berhak memeluk
agama dan memiliki kebebasan meyakini kepercayaan, berhak melakukan
pengembangan diri dengan mendapat pendidikan yang layak sehingga menjadi
pribadi yang bermartabat dan dihormati antar sesama manusia.3

B. Asas Perkawinan Sapto Darmo


Sapta Darma merupakan lembaga yang legal dan diakui oleh hukum,
sehingga dalam aspek pernikahnya pun juga berdasar pada Undang-Undang.
Dalam UU Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974 dijelaskan mengenai asas
monogami yang tertuang dalam Pasal 3 ayat (I) yang berbunyi sebagai
berikut:
Pada asasnya dalam suatu perkawinan. seorang pria hanya boleh.mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya. boleh mempunyai seorang suami.”
Namun monogami disini tidaklah mutlak. Artinya asas monogamy
masih dapat ditempuh, dibuka kemungkinan bagi seorang pria untuk beristeri
lebih dari seorang, apabila hal tersebut dikehendaki oleh pihak - pihak yang
bersangkutan.Salah satu alasan suami melakukan perkawinan lagi dikarenakan
suatu hal juga tercantum pada Pasal 4 ayat (I) Undang -Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
b. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
c. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
d. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.4
Dalam pengajuan yang dilatarbelakangi satu alasan diatas juga harus
didukung dengan syarat-syarat lain yang telah tercantum dalam Pasal 5
sebagai berikut:5
3
Rizky Sabilatus Safina & Fauzul Aliwarman, “Akibat Hukum Perkawinan Penghayat
Kepercayaan Di Indonesia”, dalam Prosiding Seminar Nasional Hukum & Teknologi Volume 1:
Nomor 1: Desember 2020, hlm. 592
4
Undang -Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 4 ayat (I)
5
Maria Frasnsiska Anne, “Keabsahan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 dalam hubungannya dengan Undang-Undang
Perkawinan (suatu Analisa Yuridis)” dalam Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 15

3
1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri – isteri
Pada persyaratan yang pertama ini menunjukkan bahwa suami
yang hendak menikah lagi harus mengutarakan maksudnya itu dengan
terus terang kepada isterinya. Karena tidak akan ada istri yang rela jika
suaminya menikah dua kali. Sehingga untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan suami untuk kawin lagi, undang-undang
melindungi isteri dengan memberi syarat ini. Oleh karenanya apabila
didapati istri menyetujui suami menikah lagi, maka tidak akan menjadi
sebuah masalah bagi si suami untuk kawin lagi.6
Dijelaskan pada Pasal 5 ayat (2) UU Perkawinan bahwa ada
pengecualian mengenai syarat pertama, bahwa persetujuan tidak
diperlukan bagi. seorang suami apabila isteri/isteri-isteri tidak mungkin
dimintai persetujuannya. dan tidak dapat menjadi pihak. dalam perjanjian.
Selanjutnya dalam UU Perkawinan juga memberi beberapa
pengecualian lagi yaitu apabila istri tidak memberi kabar sekurangnya 2
(dua) tahun, dan juga apabila ada sebab-sebab lain yang perlu diselesaikan
dengan putusan dari Hakim Pengadilan.
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Tujuan dari diberlakukanya syarat ini adalah agar jangan sampai
suami hanya dapat melakukan perkawinan tanpa memberikan kebutuhan
hidup keluarga yang lama dan keluarga yang baru. Kebutuhan keluarga
bukan hanya cukup dengan memberi uang saja, tetapi kebutuhan akan
kasih sayang yang diperlukan isteri dan anak - anak.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
Artinya dalam pernikahan lebih dari satu istri seorang suami
diwajibkan untuk memberikan paengayoman dan kebutuhan secara adil
antara keluarga baru dengan keluarga lama, agar tidak terjadi ketimpaan

6
Maria Frasnsiska Anne, “Keabsahan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 dalam hubungannya dengan Undang-Undang
Perkawinan (suatu Analisa Yuridis)”., hlm. 16

4
diantara mereka. Keadilan ini harus benar-benar dijalankan sungguh-
sungguh sebagai seorang suami dan bapak yang bijaksana bukan hanya
sebatas perjanjian sebelum dilakukannya pernikahan yang kedua.7

C. Syarat-syarat Perkawinan Sapto Darmo


Adapun seseorang bisa melangsungkan perkawinan jika telah
memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 6
yang menyebutkan bahwa:
1. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai.8 Untuk bias
melangsungkan perkawinan dibutuhkan persetujuan dari kedua calon
mempelai. Mereka harus saling menyayangi karena menikah merupakan
salah satu hak asasi manusia.
2. Izin kedua orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21
tahun. Dalam dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6) Undang-undang
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menyebutkan batasan usia untuk
diperbolehkanya melangsungkan perkawinan:
a. Perkawinan yang dilangsungkan seorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahuun harus mendapat izin dari kedua orang tua.
b. Apabila satu dari orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka dalam pasal
ini dijelaskan cukup memperoleh persetujuan dari orang tua yang
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
c. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh
dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah atau yang masih senasab.
d. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan
dalam ayat (2) (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih

7
Maria Frasnsiska Anne, “Keabsahan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 dalam hubungannya dengan Undang-Undang
Perkawinan (suatu Analisa Yuridis)”., hlm. 16
8
Tengku Erwinsyahbana, “Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan
Pancasila”, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.3 Juli, 2015, hlm. 23.

5
tidak menyatakan kehendaknya, maka pengadilan akan meinta izin
kepda orang yang dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat diatas.
e. Ketentuan ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini, berlaku
sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.9
Syarat-syarat perkawinan harus dipenuhi oleh para calaon mempelai yang
akan melangsungkan perkawinan tanpa ada perkecualian ras, golongan
atau agama. Syarat ini merupakan kewajiban dalam tatacara perkawinan
yang sesuai dengan Undang- Undang.
a. Indonesia juga mengatur syarat sah perkawinan yang diatur dalam
Pasal 2 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 Nomor 1, yakni: 10
(1) Perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut perundang-undangan
yang berlaku.
Kedua syarat tersebut adalah kewajiban yang harus dipenuhi sebelum
melakukan perkawinan. Syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga keduanya
harus dipenuhi agar perkawinan mendapatkan pengakuan sah oleh Negara.
Dalam hal ini, penghayat kepercayaan juga mentaati peraturan
perundang-undangan karena mereka juga termasuk bagian dari penduduk
Indonesia. Agar perkawinan penghayat kepercayaan mendapatkan pengakuan
oleh Negara yang mereka lakukan pertama adalah melakukan perkawinan
sesuai dengan tata cara kepercayaannya dan selanjutanya mencatatkan
perkawinannya ke Dinas Capil sesuai aturan undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 105 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 maka
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Pasal 81-83 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 yang mengatur persyaratan dan tata
cara pencatatan peristiwa penting:

9
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan
(6)
10
Undang-Undang Republik Indonesia, tentang Sahnya Perkawinan Pasal 2

6
Mengenai pemuka agama yang bertugas menikahkan anggota penghayat
kepercayaan harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, yakni :
a. Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka
penghayat.
b. Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat
kepercayaan, untuk mengisi dan mentandai tangani surat perkawinan.
c. Pemuka penghayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdaftar
pada kementrian yang bidang tugasnya secara teknis membina
organisasi penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (Pasal 81)11
Selanjutnya persyaratan harus dilengkapi oleh calon pengantin wajib dan
melaporkannya kepda Instansi Pelaksanaan atau UPTD Instansi Pelaksana
paling lambat 60 (enam puluh) hari, meliputi :
a. Surat perkawinan dari pemuka penghayat
b. Fotocopy KTP
c. Pas foto suami dan istri
d. Akta kelahiran, dan
e. Paspor suami dan/ atau istri bagi warga asing. (Pasal 81 ayat (2). 12
Dalam tahapan selanjutnya, setelah semua persyaratan terpenuhi maka
pejabat instansi akan melakukan verifikasi dan memproses Akta
Perkawinan.
(1) Pejabat Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat
perkawinan sebagaimana dalam pasal 82 dengan tata cara:
a. Menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepda pasangan
suami istri
b. Melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum
dalam formulir pencatatan perkaiwnan
c. Mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan
kutipan akta perkawinan Penghayat kepercayaan.

11
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2006 Pasal 81
12
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2006 Pasal 82

7
(2) Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c diberikan kepada masing-masing suami dan istri. (Pasal 83). 13
Dicatatkanya perkawinan merupakan prinsip dasar hukum perkawinan
yang tercantum pada Undang-undang No. 1 Tahun 1947 tentang perkawinan.
Pencatatan perkawinan berkaitan dengan erat dengan sah atau tidaknya
perkawinan dan menentukan keabsahan nilai sebuah perkawinan. Maksudnya
selain memenuhi syariat agama atau hukum adat (kepercayaan) juga
digunakan untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan.14
Untuk menjamin hak-hak keperdataan dan kewajiban yang ditimbulkan
akibat adanya perkawinan, maka perlu diadakan pencatatan pernikahan.
Walaupun perkawinan termasuk dalam hukum perdata namun Negera juga
harus memberikan perlindungan hukum dengan melakukan pencatatan
administrasi kependudukan.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan menjadi suatu kebutuhan formal untuk
memberikan asas legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan
suatu konsekuensi yuridis dalam hak-hak keperdataan, dan kewajiban seperti
wajibnya memberi nafkah dan hak pewarisan. Perkawinan dicatat dalam suatu
akte resmi (akta otentik) dan dimuat dalam daftar pencatatan yang dikelurakan
oleh lembaga yang menaunginnya. Adapun tujuan dicatatkannya perkawinan
sebagai berikut:
1. Mentertibkan proses administrasi perkawinan.
2. Untuk mendapatkan jaminan hak (akte kelahiran, KTP, KK dan lainnya).
3. Melindungi status perkawinan.
4. Memberikan kepastian status hukum kepada suami, istri dan anak.
5. Memberikan perlindungan pada hak-hak sipil yang diakibatkan oleh
adanya perkawinan. 15
Oleh sebab pencatatan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan
adalah kewajiaban ketika melangsungkan perkawinan di Indonesia. Namun
13
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2006 Pasal 83
14
Rahmadi Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-
Undangan Perkawinan Di Indonesia”, dalam Jurnal Legaliasasi Indonesia, Vol.14 No.13,
Februari, 2016, hlm. 255
15
Rahmadi Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-
Undangan Perkawinan Di Indonesia”., hlm. 259

8
dalam praktiknya, pencatatan nikah dan pembuatan akta hanya dianggap
sebagai kewajiban administratif. Tidak dianggap sebagai penentu keabsahan
suatu perkawinan.
Untuk konteks Indonesia, perkawinan harus dilaksanakan dihadapan
dan dicatatkan oleh pejabat yang diserahi tugas. Karena pencatatan
perkawinan akan menentukan status perkawinan terutama dari segi kacamata
hukum, dan juga berimbas dalam perlindungan hukum yang akan didapatkan.
Adapun syarat perkawinan penghayat kepercayaan Sapta Darma menjelaskan
bahwa ;
1. Wajib memenuhi persyaratan sebelum melakukan perkawinan.
2. Menyiapkan kain putih berukuran 1x2 meter untuk pasujud kedua
mempelai.
3. Mengumpulkan foto 3x4 sebanyak 2 lembar sebagai dokumentasi
Tuntunan.
4. Melakukan Sujud sebelum melakukan perkawinan.
5. Pakaian keduanya bebas sesuai dengan adat kebiasaan atau (nasional).
6. Bagi calon yang berstatus janda atau duda wajib menunjukkan surat cerai.
7. Anggota Sapta Darma tidak boleh beristri lebih 1 orang.
8. Anggota Sapta Darma tidak boleh melakukan perceraian
9. Perkawinan dicatatakan di buku Tuntunan Agung. 16

D. Praktek Perkawinan Sapto Darmo


Dalam ajaran kerohanian pernikahan bukan hanya sekedar urusan
kawin yang pijakannya hanya sekedar memberi payung hukum, perkawinan
itu sakral dan berhubungan dengan penciptaan manusia baru (anak) oleh
Tuhan. Kesadaran tentang bagaimana manusia itu diciptakan.
Tata cara perkawinan merupakan wujud nyata penjelasan pandangan
Jawa terhadap hakekat perkawinan, yang fokus utama kepada kodrat Tuhan
untuk penciptaan atau perkembang biakan manusia.

16
Heru Sesetyo, Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat, (t,t. : t.p, 1998), hlm. 150

9
1. Pelaksanaan
Perkawinan secara kerohanian Sapta Darma dilaksanakan sebelum
perkawinan menurut adat. Sebelum petugas menjalankan tugasnya ia
diwajibkan menjalankan sujud terlebih dahulu, satu jam sebelum upacara
perkawinan dilaksanakan. Calon temanten harus datang di tempat upacara
tepat waktu, petugas mengatur duduk kedua mempelai, dua orang saksi,
kedua orang tua mempelai, para warga dan para tamu undangan lainnya.
2. Arah Duduk
Arah duduk kedua mempelai, dan para warga yang akan mengikuti
sujud menghadap ke timur. Calon mempelai duduk diatas kain putih
berukuran 1x2 meter. Calon mempelai putri duduk di sebelah kiri dan
calon mempalai pria duduk di sebelah kanan.17
Menurut keterangan lain, adapun prosesi pelaksanaan perkawinan
penghayat kepercayaan Sapta Darma yang harus dipatuhi, karena akan
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan menurut mereka.
1. Pelaksanaan
Perkawinan Sapta Darma boleh dilakukan dirumah atau disanggar,
namun kebanyakan dari penghayat akan melakukan perkawinan mereka
disanggar dan disaksikan oleh para anggota lainnya. Dalam prosesnya
mereka harus melakukan sujud terlebih dahulu kemudian dilanjutkan
dengan perkawinan adat dan pencatatan perkawinan oleh pencatat sipil.
2. Arah duduk
Kedua mempelai duduknya harus menghadap ke arah sujud yakni
menghadap ke timur dan kedua calon mempelai menduduki kain putih
yang ukuranya 1x2 meter. Posisi duduk pengantin pria di sebelah kanan
dan pengatin wanita duduk di sebelah kiri.
3. Tempat duduk
Kedua calon mempelai duduk berada di paling depan, kemudian
sampingnya adalah kedua orangtua dan sanksi. Depan mempelai adalah
tuntutan atau petugas. Disusul belakangnya adalah para warga atau

17
Budiman Pratama, “Kajian Historis Aliran Kepercayaan Sapta Darma Di Kecamatan
Ponggok Kabupaten Blitar”, dalam Artikel Skripsi Universitas Nusantara PGRI Kediri, 2017, hlm.
3-4

10
anggota penghayat kepercayaan. Posisi tempat duduk boleh berubah sesuai
dengan situasi. Tempat duduk pembantu pejabat pencatatan sipil adalah
didepan sebelah kanan kedua calon mempelai, dengan arah menghadap
kedua calon mempelai pada saat melaksanakan tugasnya. Tempat duduk
para tamu yang menghadiri perkawinan disesuaikan menurut keadaan
setelah selesai pengaturan tempat tersebut, maka protokol mempersilahkan
orang tua/ wali menyampaikan niatnya untuk mengawinkan putranya
kepada petugas/ tuntunan. Petugas selanjutnyammelaksanakan tugasnya
dilanjutkan untuk sujud bersama yang diikutimoleh para warga.18
Adapun prosesi upacara perkawinan sebagai berikut, pertama prosesi
hening pembuka, serah terima kedua mempelai, perlengkapan administrasi
dan pernyataan tuntunan, prosesi sujud bersama, dilanjut dengan prosesi
pembacaan janji prasetya oleh kedua mempelai, pengukuhan sahnya
perkawinan dan terakhir wejangan oleh pemuka penghayat dan hening
penutup.
Pada waktu sujud bersama dilaksanakan, maka pemuka
kepercayaanmmenunggu dan memperhatikan kedua calon mempelai apakah
mereka betulbetul menjalankan sujud atau tidak. Setelah sujud bersama
selesai, maka protokol mempersilakan pemuka kepercayaan untuk
melaksanakan tugasnya dan mengharap supaya para hadirin mengikuti
tatacara perkawinan dengan tenang (dengan suasana hening). Kemudian
pemuka kepercayaan mengambil tempat duduk yaitu di muka agak ke
samping kanan dengan kedua calon mempelai dengan jarak ± 1 (satu) meter
dan didampingi oleh 2 (dua) orang saksi yang duduk di sebelah kanannya
(disesuaikan dengan keadaan). Setelah itu Pemuka kepercayaan melaksanakan
tugasnya untuk menyaksikan prosesi pernikahan sesuai kepercayaa Sapta
Darma. 19

18
Afina Dilla Aulia Yudhiarti, “Perkawinan Penghayat Sapta Darma Ditinjau Dengan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974: Studi Kasus di Wilayah Persatuan Warga
Sapta Darma (PERSADA) Kota Surabaya”, dalam SAKINA: Journal of Family Studies Volume 3
Issue 2 2019 hlm. 4
19
Afina Dilla Aulia Yudhiarti, “Perkawinan Penghayat Sapta Darma Ditinjau Dengan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974: Studi Kasus di Wilayah Persatuan Warga
Sapta Darma (PERSADA) Kota Surabaya”, hlm. 5

11
Kemudian kedua calon mempelai mengucapkan prasetya yang dituntun
oleh Pemuka Kepercayaan sebagai berikut :
“Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang
maha Adil”. 20
Kami berdua (A+B = mengucapkan namanya masing-masing) prasetya
dihadapan Hyang Maha Kuasa.
1. Kanthi jujur lan sucining ati wiwit dinten punika kula sagah netepi
kewajiban minongko jodo bebrayan kulo.
2. Kanti jujur lan sucining ati sagah netepi darmaning warga Kerokhanian
Sapta Darma nindakaken sedaya ajaranipun.
3. Sadaya punika awit saking pitedah saha kanugrahaning Hyang Maha
Kuwasa.
4. Makaten prasetya kula kekalih mugi Hyang Maha Kuasa tansah maringi
pangayoman, ketentreman lan kebahagiaan.21
Setelah kedua calon mempelai selesai mengucapkan prasetya maka
pemuka kepercayaan menutup tugasnya dengan mengesahkan pernikahan
sebagai berikut: Kanti punika upacara Perkawinan kula nyatakaken syah
miturut Kerokhanian Sapta Darma.22
Kemudian mempelai berdua dipersilahkan untuk menandatangani Akta
Perkawinan yang telah disediakan oleh Pejabat sipil dan diikuti pula pemuka
agama serta 2 (dua) orang saksi yang juga ikut menanda tangani akta tersebut.
Setelah itu acara selanjutnya adalah wejangan yang disampaikan oleh pemuka
agama. Wejangan tersebut untuk memberikan penjelasan kepada kedua
mempelai untuk membina keluarga dengan hati yang suci karena Hyang Maha
Kuasa.Setelah itu prosesi dilakukan dengan memberikan ucapan selamat
kepada kedua mempelai.
Sebelum melakukan prosesi perkawinan mereka harus mendatangi
kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk melengkapi persyaratan

20
Afina Dilla Aulia Yudhiarti, “Perkawinan Penghayat Sapta Darma Ditinjau Dengan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974: Studi Kasus di Wilayah Persatuan Warga
Sapta Darma (PERSADA) Kota Surabaya”, hlm. 5
21
Persada Pusat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Yogyakarta: Persatuan
Warga Sapta Darma, 2010), hlm. 35.
22
Persada Pusat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga., hlm. 37.

12
yang telah ditentukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Sebelumnya mereka harus mengajukan surat atau mengisi blangko
pendaftaran yang telah disediakan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil kemudian mereka harus melengkapi persyaratan berupa fotocopy Akte
kelahiran, KTP , KK, surat pemberitahuan nikah dari penghayat kepercayaan,
foto, surat dari kepala desa (N1, N2, N3,N4) dan surat pernyataan belum
pernah menikah atau surat cerai jika yang pernah menikah.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, pihak Disdukcapil akan
mengkonfirmasi dan akan memberikan Akta pernikahan pada saat
diberlangsungkannya pernikahan tersebut. Petugas sipil akan menyaksikan
dan mentandatangai Akta Nikah setelah pernikahan dilakukan sesuai tata cara
penghayat kepercayaan. Setelah semua berkas dilengkapi maka tahapan
selanjutkan mereka serahkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
untuk proses selanjutnya. 23

E. Status Perkawinan Penganut Aliran Sapta Darma


Secara formal, eksistensi aliran kepercayaan di Indonesia, diatur dalam:
1. UUD 1945 pasal 29, yang menyebutkan “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama
dan kepercayaannya itu.” Kata “kepercayaan” dalam pasal ini, diusulkan
oleh Mr. Wongsonagoro dalam sidang BPUKPI agar merujuk pada
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.24
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam penjelasan pasal demi
pasal disebutkan: “dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, sesuai dengan UUD 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundangundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan/ditentukan lain dalan UU
23
Persada Pusat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga., hlm. 38
24
Ernawati Putriningrum, Penyelenggaraan Perkawinan Bagi Aliran Kepercayaan Di
Indonesia,” Skripsi Semarang, IAIN Walisongo, 2009, hlm. 46

13
ini.”Di sini jelas bahwa kata “kepercayaan” yang dimaksud dalam pasal 2
ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merujuk pada kata
“kepercayaan” yang ada pada pasal 29 UUD 1945, yang berarti
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.25
Walaupun eksistensi aliran kepercayaan ini telah diatur sedemikian
rupa dalam tata perundangan di Indonesia, dan aturan mengenai pencatatan
perkawinannya telah ditetapkan, namun masih saja menyisakan persoalan.
Persoalan itu menyangkut pencatatan perkawinan bagi penghayat aliran
kepercayaan yang tidak berorganisasi dan tidak dicatatkan di Departemen
Budaya dan Pariwisata. Dapat dicontohkan di sini adalah jika Penganut aliran
Penghayat ini, tidak tercatat di Kementerian Budaya dan Pariwisata, sehingga
akan banyak menemui kendala saat mereka akan menikah. Dengan demikian,
baik UU Adminduk maupun PP No. 37 Tahun 2007 belum sepenuhnya
mengakomodir kepentingan aliran kepercayaan terutama mereka yang tidak
berada di bawah naungan Menteri Budaya dan Pariwisata.26
Hemat penulis, status hukum perkawinan bagi penghayat kepercayaan,
dapat dilihat dari dua segi. Pertama, kepastian hukum adanya peristiwa
perkawinan. Dari sini, penulis melihat bahwa ada niatan dari pemerintah untuk
mengakomodir perkawinan penghayat aliran kepercayaan. Meski demikian,
tidak semua penghayat aliran kepercayaan dapat merasakan sikap akomodatif
pemerintah.
Kedua, dari aspek tinjauan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menyangkut sah atau tidaknya perkawinan yang tertulis dalam pasal 2. Pasal
ini terbukti menimbulkan multi interpretasi. Hemat penulis agar ada kejelasan
terhadap status perkawinan aliran kepercayaan, maka kalimat sah menurut
agama dan kepercayaannya itu harus dijelaskan maksud yang terkandung di
dalamnya. Apakah agama dan kepercayaan itu merujuk pada satu substansi
atau dua substansi. Penjelasan itu tentunya harus berwujud sebuah regulasi
baik dalam bentuk Undang-undang atau aturan lainnya. Dalam hukum Islam,

25
Ernawati Putriningrum, Penyelenggaraan Perkawinan Bagi Aliran Kepercayaan Di
Indonesia,” hlm. 46
26
Hani Zain Fathuri, “Praktik Perkawinan Penganut Aliran Sapta Darma Di Kabupaten
Ponorogo Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, dalam Skripsi, Institut
Agama Islam Negeri Ponorogo, 2018, hlm. 65

14
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.27
Menurut penulis, oleh karena peraturan perkawinan memiliki dasar
konstitusi yang berada di bawahnya, maka UU Perkawinan sudah seharusnya
tidak boleh bertentangan dengan aturan yang berada di atasnya. Selain itu,
karena hukum diperuntukan bagi perlindungan dan pemenuhan hak semua
warga negara, maka kepentingan aliran kepercayaan juga sudah semestinya
diakomodir. Dalam tradisi hokum Islam, maka pemenuhan terhadap hak
warga negara itu harus mempertimbangkan aspek maslahat. Kemaslahatan
tersebut akan terwujud apabila semua hak-hak dasar sebagai warga negara
bisa terpenuhi.

27
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2010), hlm. 114

15
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dapat ditarik kesimpulan, yaitu:


1. Syarat perkawinan penganut aliran Sapta Darma sudah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, namun terkait masalah perceraian dan beristri
lebih dari seorang (poligami) penganut aliran Sapta Darma tidak
memperbolehkan dan hal itu telah menyalahi aturan dalam perundang-
undangan.
2. Status perkawinan penganut aliran Sapta Darma adalah sah secara Undang-
Undang, namun masih terjadi ketidak sinkronan antara aturan-aturan lainnya
dalam Undang-Undang sehingga menyebabkan terjadinya kesulitan dalam
pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika


Pressindo, 2010)

Afina Dilla Aulia Yudhiarti, “Perkawinan Penghayat Sapta Darma Ditinjau


Dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974: Studi Kasus
di Wilayah Persatuan Warga Sapta Darma (PERSADA) Kota Surabaya”,
dalam SAKINA: Journal of Family Studies Volume 3 Issue 2 2019

Budiman Pratama, “Kajian Historis Aliran Kepercayaan Sapta Darma Di


Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar”, dalam Artikel Skripsi Universitas
Nusantara PGRI Kediri, 2017

Ernawati Putriningrum, Penyelenggaraan Perkawinan Bagi Aliran Kepercayaan


Di Indonesia,” Skripsi Semarang, IAIN Walisongo, 2009

Hani Zain Fathuri, “Praktik Perkawinan Penganut Aliran Sapta Darma Di


Kabupaten Ponorogo Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974”, dalam Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2018

Hanung Sito Rohmawati, “Kerokhanian Sapta Darma Dan Permasalahan Hak-


Hak Sipil Penghayat Di Indonesia”, dalam Jurnal Yaqzhan, Vol. 6 No. 1,
Juli 2020

Heru Sesetyo, Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat, (t,t. : t.p, 1998)

Maria Frasnsiska Anne, “Keabsahan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan


Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 dalam hubungannya
dengan Undang-Undang Perkawinan (suatu Analisa Yuridis)” dalam
Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23


Tahun 2006

Persada Pusat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Yogyakarta:


Persatuan Warga Sapta Darma, 2010)

Rahmadi Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-


Undangan Perkawinan Di Indonesia”, dalam Jurnal Legaliasasi Indonesia,
Vol.14 No.13, Februari, 2016

Rizky Sabilatus Safina & Fauzul Aliwarman, “Akibat Hukum Perkawinan


Penghayat Kepercayaan Di Indonesia”, dalam Prosiding Seminar
Nasional Hukum & Teknologi Volume 1: Nomor 1: Desember 2020

17
Tengku Erwinsyahbana, “Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum
Berdasarkan Pancasila”, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.3 Juli, 2015

Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

18

Anda mungkin juga menyukai