Anda di halaman 1dari 7

Nama : Sofia Nadila

NIM : 30302200391
Kelas :B
Mata Kuliah : Hukum Perkawinan Dan Waris Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Anis Mashdurohatun, SH., M.Hum

1. IJIN POLIGAMI
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PARIAMAN Nomor 532/Pdt.G/2019/PA.Prm
TENTANG PENGABULAN IZIN POLIGAMI
Latar belakang
Poligami merupakan suatu praktik dimana seseorang mempunyai lebih dari satu
pasangan secara bersamaan. Bentuknya bisa berbeda-beda, seperti poligini (satu laki-laki
mempunyai banyak istri) atau poliandri (satu perempuan mempunyai banyak suami).
Penerimaan dan legalitas poligami berbeda-beda antar budaya dan sistem hukum.
Salah satu bentuk perkawinan yang sering menjadi topik perbincangan dan perdebatan
di dalam masyarakat adalah poligami, karena mengundang pandangan yang kontroversial.
Disatu sisi poligami ditolakoleh kaum pejuang hak-hak asasi wanita dengan berbagai macam
argumentasi baik berisfat normatif maupun psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan
ketidakadilan gender. Mereka berpendapat bahwapoligami diperbolehkan hanya dalam kondisi
tertentu dengan persyaratan ketat berupa keadilan bagi semua istri.
Pada prinsipnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 3 (1) UU No. 1/74). Dalam
penjelasannya bahwa undang-undang ini menganut asas monogami. (Rofiq, 2015: 139). Hal
ini juga sejalan dengan Firman Allah dalam Surah An-Nisa’[4]:3 yang memiliki arti sebagai
berikut :
“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Alasan-alasan tentang kebolehan dalam melakukan poligami telahdiatur didalam Pasal 4
Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut:
1) Dalam hal seseorang suami akan beristeri lebih dari seseorang, sebagaimana tersebut
didalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seseorang apabila:
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri;
b) Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. (Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1974)

Berkenaan Pasal 4 di atas setidaknya menunjukkan ada tiga alasan yang dijadikan dasar
mengajukan permohonan poligami. Pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri. Kedua, istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. Ketiga, tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat melakukan poligami terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan Tahun 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak
mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka. (Pasal
5 UU Nomor 1 Tahun 1974)
Untuk membedakan persyaratan yang ada di dalam Pasal 4 dan 5adalah, pada Pasal 4
disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada dan dapat mengajukan
permohonan poligami. Adapun Pasal 5 adalah persyaratan kumulatif di mana seluruhnya harus
dapat dipenuhi suami yang melakukan poligami.
Dalam hal ini hakim sebagai pihak yang berwenang memutuskan perkara izin poligami
tentunya mempunyai pertimbangan-pertimbangan serta kriteria-kriteria tertentu dalam
mengabulkan perkara izin poligami. Jika ditinjau dari persyaratan untuk mengajukan izin
poligami, perkara nomor 532/Pdt.G/2019/PA.Prm tidak memenuhi persyaratan alternatif yang
telah diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, namun
izin poligami tetap dikabulkan oleh Pengadilan Agama Pariaman’

Rumusan masalah
Bagaimana pertimbangan hakim dalam mengabulkan Perkara Nomor 532/Pdt.G/2019/PA.Prm
tentang pengabulan izin poligami dengan alasan telah menikah sirri?

Pembahasan
Secara etimologis kata nikah (kawin) mempunyai beberapa arti yaitu, berkumpul,
bersatu, bersetubuh, dan akad. Pada hakikatnya, makna nikah adalah persetubuhan. Kemudian
secara majaz diartikan akad, karena termasuk pengikatan sebab akibat. Secara terminologis,
menurut ulama mata’akhirin, nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (suami-isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-
menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing.
(Mardani, 2017: 23-24).
Kata poligami, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang artinya
banyak sedangkan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungan, maka
poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.
Sistemperkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang istri dalam waktu
yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu
yang bersamaan. Pengertian Poligami menurut bahasa Indonesia adalah sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu
bersamaan. (Tihamisohari, 2010: 351)
Nikah sirri adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan tetapi
belum dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan bagi yang beragama Islam. Nikah
sirri suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam di dunia, memenuhi baik rukun
maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak dicatat pada Pejabat Pencatat Nikah. Baik pihak
laki-laki dan perempuan yang melakukan perkawinan untuk kesekian kalinya oleh karena itu
perkawinan tersebut di daftarkan pada Pejabat Pencatat Nikah (PPN). (Jubaidah, 2012: 345).
Dari kasus-kasus permohonan poligami yang diterima oleh Pengadilan Agama
Pariaman ada beberapa alasan yang metalarbelakangi para pihak untuk mengajukannya seperti
dikarenakan istri mengalami cacat badan, memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
tidak dapat menjalankan kewajibannya dan ada pula yang beralasan jika istri tidak bisa
melahirkan keturunan yang mana dari alasan-alasan tersebut memang sesuai dengan apa yang
ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 57
tentang poligami. Namun terdapat juga beberapa alasan lain yang mendorong diajukannya izin
poligami seperti calon istri kedua atau seterusnya sudah dinikahi secara sirri. Kasus semacam
ini juga ditangani di Pengadilan Agama Pariaman yaitu Putusan Perkara Nomor
532/Pdt.G/2019/PA.Prm.
Dalam permohonan izin poligami perkara nomor 532/Pdt.G/2019/PA.Prm adalah
disebabkan karena suami telah menikah sirri dengan calon istri kedua, dan permohonan izin
poligami ini dikabulkan karena demi kemashlahatan istri yang sudah dinikahkan secara sirri.
Menurut pendapat hakim anggota Niswati selaku hakim anggota dalam putusan ini, bahwa
setelah beliau melakukan pengecekan kembali dalam putusan ini, beliau menyatakan bahwa di
dalam putusan ini terdapat ketidaktepatan dalam pengambilan salah satu dasar hukum yaitu
Pasal 4 Ayat (2) huruf a yang dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dalam pengabulan putusan
ini. jika ditinjau dari Pasal 5 ayat (1) izin poligami ini sudah memenuhi syarat komulatif.
Selanjutnya menurut beliau pertimbangan yang mendasar dari dikabulkannya izin poligami ini
adalah demi kemashlahatan. Menurut beliau dari pada adanya perceraian lebih baik adanya
poligami.

Kesimpulan
Pertimbangan utama majelis hakim dalam mengabulkan izin poligami adalah
berdasarkan mashlahah yaitu kemaslahatan keluarga. Selanjutnya hakim mepertimbangkan
Pasal 4 ayat (2) huruf a yaitu isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri dan pasal 5 ayat
1, isteri pertama telah membuat surat persetujuan izin poligami. Di samping itu hakim juga
mempertimbangkan adanya penyataan suami untuk berlaku adil kepada seluruh isterinya.
2. GUGAT CERAI/CERAI TALAK DITOLAK KARENA BUKTI ELEKTRONIK
(KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NOMOR
0074/PDT.G/2016/PA.TNK )
Dalam beberapa kasus, hakim menolak gugatan cerai karena bukti elektronik tidak diakui
sebagai bukti yang valid. Misalnya, dalam perkara perceraian, bukti elektronik seringkali
dianggap sebagai bukti permulaan atau bukti IV, dan banyak hal yang perlu diperhatikan dalam
menilai validitas bukti elektronik
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menilai validitas bukti elektronik meliputi:
1. Karakteristik khusus bukti elektronik: Bukti elektronik memiliki karakteristik khusus,
yaitu disimpan dalam media elektronik dan dapat dengan mudah direkayasa
2. Syarat formil dan pembuktian: Hakim memerlukan penilaian terhadap syarat formil dan
pembuktian bukti elektronik sebagai bukti permulaan atau bukti IV
3. Analisis permasalahan: Hakim melakukan analisis permasalahan sebelum menentukan
putusan
Meskipun demikian, terdapat beberapa putusan hakim yang menolak gugatan cerai karena
bukti elektronik tidak diakui sebagai bukti yang valid. Misalnya, dalam Studi Kasus Putusan
Pengadilan Agama Nomor 0074/PDT.G/2016/PA.TNK. hakim menolak gugatan cerai karena
bukti elektronik tidak diakui sebagai bukti yang valid. Dalam kasus lainpun, hakim menolak
gugatan cerai karena bukti elektronik tidak diakui sebagai bukti yang valid. Secara
keseluruhan, menilai validitas bukti elektronik dalam perkara perceraian memerlukan perhatian
yang lebih mendalam dan penilaian yang ketat.
Berawal dari putusan Pengadilan Agama Tanjungkarang Nomor 0074/Pdt.G/PA.Tnk
dimana Hakim mengenyampingkan bukti elektronik yang diajukan tergugat pada proses
pembuktian perkara perceraian tersebut dengan alasan dan dasar pertimbangan hakim menolak
bukti elektronik yang di ajukan oleh tergugat adalah karena bukti yang di ajukan yaitu berupa
rekaman suara via telepon, foto,SMS, Salinan chat di BBM dan Facebook tidak menunjukan
perzinaan dan tidak melalui proses pemeriksaan oleh ahli, dan jika mengacu kepada hukum
perdata, bukti elektronik tersebut bukan merupakan alat bukti yang sah.
Pembuktian perzinaan dengan alat bukti elektronik bisa diterima sebagai alat bukti yang
sah, asalkan alat bukti elektronik tersebut menerangkan akan adanya perzinaan, dan didukung
dengan saksi, serta bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, tetapi tidak semua Hakim
berpendapat bahwa bukti elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Sehingga
diharapkan kedepannya aturan terkait pembuktian harus mengakomodir tentang alat bukti
elektronik mengingat hubungan keperdataan di era globalisasi telah mencakup hubungan
keperdataan menggunakan teknologi dan komunikasi yang berkembang sangat pesat.
3.PUTUSAN HAKIM: PEMBAGIAN HARTA BERSAMA ADANYA PERJANJIAN
KAWIN
(Putusan Perkara No.458/Pdt.G/2020/PA.Pkb)
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin suami dan isteri untuk membentuk rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Tujuan dari perkawinan yaitu membentuk
keluarga yang bahagia dan sebagai jalan bagi makhluk Allah swt untuk berkembang biak dan
melestarikan kehidupannya. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 dinyatakan bahwa
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssagan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian dan perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang
pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Akibat dari putusnya ikatan perkawinan karena perceraian
adalah sebagai berikut :
1. Mengenai hubungan bekas suami dan bekas isteri : Bekas suami wajib memberikan mut’ah
yang layak kepada mantan istri, kemudian memberikan nafkah selama masa iddah. Untuk
bekas istri selama masa iddah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak
menikah dengan pria lain. Biaya hidup bagi bekas istri yang bersangkutan dengan syarat-syarat
yang wajar. Jadi jangan bersifat uang penghibur tapi harus bersifat uang kewajiban.
2. Mengenai anak- anak : Anak-anak yang masih dibawah umur 21 tahun maka berhak diasuh
oleh ibunya. Dalam hal nafkah seorang ayah wajib memberikan nafkah untuk anaknya sampai
anak itu menikah dan dapat hidup mandiri.
3. Mengenai harta benda : dalam hal harta benda atau harta kekayaan yang tak terpisah (harta
syirkah) yang merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami isteri
(syirkah) selama perkawinan menjadi milik bersama dari suami istri untuk kepentingan
bersama. Karena itu apabila ikatan perkawinan putus baik meninggalnya salah satu pihak atau
oleh perceraian, maka harta ini dibagi antara suami dan istri. Hal ini yang sering disebut dengan
harta bersama.
Harta bersama dalam KHI adalah harta kekayaan dalam suatu perkawinan atau syirkah
adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan
perkawinan yang berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.Jadi harta
apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah sampai saat perkawinan
pecah, seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.
Dalam prakteknya bila terjadi perceraian diantara suami isteri biasanya harta bersama
dibagi dua dengan pembagian yang sama rata, hal ini dapat dilihat di mana Mahkamah Agung
dalam putusan-putusannya dalam pemeriksaan kasasi selalu menentukan bahwa pembagian
secara 50:50 kecuali jika ada perjanjian kawin yang dilakukan sebelum pernikahan.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan
terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan
mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik dan cermat.
Berdasarkan kewenangannya untuk memeriksa dan menyelesaikan suatu perkara yang
diajukan kepada Pengadilan Agama Pangkalan Balai telah berhasil mengadili dan menjatuhkan
putusan terhadap surat gugatan yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Pangkalan
Balai dengan Register Perkara Nomor 458/Pdt.G/2020/PA.Pkb tentang gugatan harta bersama.
Tentang nafkah anak, menimbang, bahwa Penggugat mohon agar Tergugat ditetapkan
untuk memberikan nafkah dan kebutuhan lainlain kepada kedua anak Penggugat dan
Tergugat, yaitu untuk M. Richen Ardiansyah dan Aulia Khoirunnisa masing-masing setiap
bulannya sejumlah Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) sehingga total
keseluruhan untuk nafkah dan biaya 2 orang anak Penggugat dan Tergugat sejumlah Rp.
3.000.000,00 (tiga juta rupiah) setiap bulannya; Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat
tersebut, Tergugat dalam jawaban dan dupliknya pada intinya tidak sanggup dikarenakan pada
saat ini Tergugat tidak mempunyai pekerjaan. maka gugatan Penggugat mengenai nafkah anak
tidak sebagaimana tuntutan Penggugat, namun disesuaikan dengan kemampuan Tergugat.
Tentang harta bersama, Majelis Hakim berpendapat bahwa Objek Sengketa telah
terbukti secara hukum merupakan harta bersama yang diperoleh dalam masa perkawinan
Penggugat dan Tergugat; Menimbang, Majelis Hakim telah berkesimpulan bahwa objek
sengketa adalah harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat yang
sumber pembelian dan renovasi objek sengketa tersebut tidak diketahui apakah dari harta
bawaan Penggugat ataupun Tergugat. Maka berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perkawinan jo Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, harta bersama tersebut
di atas harus dibagi secara natura dan masing-masing mendapatkan ½ (setengah) bagian dan
apabila tidak dapat dibagi secara natural maka harta bersama tersebut harus dijual/dilelang dan
dari hasil penjualan/lelang tersebut dibagi dua masing-masing mendapatkan ½ (setengah)
bagian.

4. PEMBAGIAN GONO GINI


(Putusan pengadilan agama pamekasan nomor : 0406/Pdt.G/2016/PA.Pmk)
Tentang pembagian harta bersama/gono gini karena hukum positif atau KHI merupakan
acuan bagi hakim pengadilan Agama untuk memutuskan perkara bagi yang beragama Islam.
Apabila terjadi perselisihan atau sengketa didalamnya tentang kepemilikan seperti yang
tertuang dalam putusan pengadilan agama pamekasan nomor : 0406/Pdt.G/2016/PA.Pmk
Tentang pembagian harta bersama dimana penggugat (Istri) mendapatkan sebesar 7,14 %,
Sedangkan tergugat (Suami) sebesar 92,86 %; adapun objek sengketanya adalah sebuah rumah
tembok perpanin seperti yang sudah dijelaskan dibagian pokok perkara dalam putusan ini
,maka cara penyelesaianya menurut fuqaha diantaranya Imam al-Syafii Imam Hanafi dan
Imamiyyah.
Seperti yang dijelaskan diatas yang pada intinya harta suami tetap dikuasai suami
sepenuhnya, begitu juga sebaliknya apabila terjadi perselisihan maka harus diambil sumpahnya
salah satu dari mereka, yang bersengketa apabila kedua duanya sama sama bersumpah maka
barang/harta tersebut di bagi dua atau separo separo, beda dengan Imamiyyah selain diminta
sumpahnya maka harus menunjukkan bukti-bukti kepemilikan.maka apa yang diputuskan oleh
pengadilan agama pamekasan dalam perkara tersebut diatas tentang pembagian harta bersama
hemat penulis sudah cukup adil, dan patut diapresiasi disamping sudah memenuhi sebagian
syarat hukum materiil mulai dari teknik penyusunan gugatan sampai tahap pembuktian
sebagian sudah memenuhi unsur materiil, sesuai dengan pasal 8 nomor 3 Rv (Reglement of de
Rrchtsvordering) seperti yang dijelaskan oleh yahya harahap dalam bukunya “Hukum Acara
Perdata”; tentang gugatan,persidangan, penyitaan ,pembuktian , dan putusan pengadilan. ia
mendefinisikan, gugatan perdata sebagai gugatan yang mengandung sengketa diantara para
pihak yang berperkara dengan posisi para pihak
a. yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut sebagai penggugat (plaintiff)
b. yang ditarik sebagai lawan yang berkedudukan sebagai tergugat (defendent).19
Walaupun dalam putusan majelis hakim dalam perkara ini, tidak sepenuhnya memenuhi
hukum materiil dengan mengabaikan ketentuan pasal 97 KHI dan pasal 128 -berbagai
pertimbangan dan alasan, dimana fakta dalam persidangan terbukti bahwa satu rumah tembok
permanin adalah hasil pembelian berdua suami istri/patungan antara penggugat dan tergugat
seharga 70.000.000 (Tuju puluh juta rupiah) dengan rincian uang tergugat 65.000.000(enam
puluh lima juta rupiah) berasal dari harta warisan orang tuanya, sedangkan 5000.000 (lima juta
rupaih) uang penggugat berasal pinjam ke tantenya, sehingga hakim menghukum tergugat
dengan menyerahkan 7,14 %. terhadap penggugat. dan menghukum penggugat dengan
membayar semua biaya yang timbul dalam perkara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai