1. Jelaskan secara rinci tahapan proses peradilan agama Islam dalam perkara
perceraian menurut hukum positif Indonesia!
Seperti yang tertera dalam UU No 7 Tahun 1989 bahwa terkait perceraian terbagi
menjadi tiga macam yaitu; cerai talak, cerai gugat, dan cerai dengan alasan zina.
Mengenai tahapan proses dalam perkara perceraian pada cerai talak yaitu:
• Mengajukan gugatan/permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah, seperti yang tertera dalam Pasal 66 UU No 7 Tahun
1989 bahwa gugatan/permohonan diajukan secara tertulis atau lisan kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah. Gugatan/permohonan diajukan kepada
Pengadilan Agama di daerah hukum tempat kediaman tergugat/pemohon. Tapi,
bila keduanya bertempat tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada
Pengadilan Agama di daerah hukum tempat dilangsungkan pernikahan atau
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
• Dalam surat gugatan/permohonan memuat pertama, nama, umur, pekerjaan,
agama, dan tempat kediaman penggugat dan tergugat. Kedua, posita yang
menguraikan fakta kejadian dan fakta hukum yang mendorong istri ingin
mengajukan perceraian atau suami ingin mengajukan cerai talak. Ketiga, petitum
yang memuat hal-hal yang dituntut berdasarkan posita.
• Pemerikasaan surat gugatan/permohonan oleh Hakim, seperti yang tertera dalam
Pasal 68 bahwa pemeriksaan gugatan/permohonan perceraian dilakukan oleh
Majelis Hakim selambatlambatnya 30 hari setelah berkas atau surat
gugatan/permohonan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan, setelah itu
pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup.
• Membayar biaya perkara pada Pasal 89 Ayat 1 bahwa biaya perkara dalam bidang
perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.
• Penggugat/Pemohon atau Tergugat/Termohon menunggu panggilan sidang
• Para pihak atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan surat panggilan
dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
• Proses persidangan dan putusan, apabila gugatan/permohanan dikabulkan dan
putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Agama
/Mahkamah Syariah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dan
memanggil penggugat dan tergutat atau pemohon dan termohon untuk
melaksanakan ikrar talak.
• Selanjutnya seperti yang tertera dalam Pasal 84 bahwa setelah ikrar talak di
ucapkan panitria berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada
kedua belah pihak selambat-selambatnya 7 hari setelah penetapan ikrar talak.
2. Bagaimana kriteria dan prosedur penunjukan hakim dalam peradilan agama
Islam di Indonesia?
Kriteria dan prosedur penunjukan Hakim dalam Peradilan Agama yaitu terdapat pada
UU No 3 Tahun 2006 Pasal 13 bahwa:
• Untuk dapat diangkat sebagai calon hakim pengadilan agama, seseorang harus
memenuhi syarat sebagai berikut WNI, beragama Islam, bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan UUD RI Tahun 1945, sarjana syariah
dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sehat jasmani dan rohan,
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, serta bukan bekas anggota
organisasi terlarang PKI atau yang terlibat langsung dalam G30S PKI. Untuk dapat
diangkat menjadi calon Hakim harus berumur paling rendah 25 tahun dan untuk
diangkat menjadi ketua atau wakil ketua harus berpengalaman paling singkat 10
tahun sebagai Hakim di Pengadilan Agama.
• Sedangkan untuk dapat diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Agama bahwa
syarat-syarat nya yaitu seperti yang tertera dalam Pasal 14 bahwa syarat yang
dimaksud dalam Pasal 13 Ayat 1, berumur paling rendah 40 tahun, dan
berpengalaman paling singkat 5 tahun sebagai ketua, wakil ketua Pengadilan
Agama atau 15 tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama, serta lulus eksaminasi
yang dilakukan oleh MA.
• Pada Pasal 16 Ayat 1 bahwa sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil ketua,
dan hakim pengadilan wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam.
3. Analisislah peran dan fungsi saksi dalam pembuktian dalam perkara peradilan agama
Islam, serta sejauh mana keabsahan dan kekuatan bukti saksi tersebut!
Salah satu alat bukti yang dapat digunakan untuk menjadi barang bukti dalam
pembuktian adalah kesaksian. Kehadiran saksi dalam memberikan keterangan tentang
apa yang diketahuinya dalam pembuktian pada acara peradilan agama merupakan hal
yang penting mengingat banyaknya peristiwa hukum maupun perbuatan hukum yang
sering kali tidak dicatatkan, baik dicatat secara autentik maupun dicatat sebagai akta
bawah tangan. Sehingga untuk menemukan fakta atas sebuah perkara, kesaksian
sangat diperlukan sebagai alat bukti kesaksian atau keterangan agar persengketaan
yang dapat diselesaikan.
Pembuktian dengan alat bukti saksi dalam pelaksanaan hukum acara perdata di
peradilan agama dalam perkara perceraian, umumnya terbagi ke dalam 3 jenis saksi,
yaitu Saksi yang sengaja dihadirkan yang kesaksiannya sangat diperlukan, Saksi yang
kebetulan pada saat terjadinya suatu kejadian atau peristiwa hukum yang dilakukan
para pihak yang berperkara, dan Kesaksian dari pendengaran (testimonium de auditu).
Keterangan saksi yang dapat digunakan sebagai alat bukti adalah keterangan saksi
yang melihat dan mendengar secara langsung, serta mengalami peristiwa hukum yang
menjadi pokok perkara. Namun permasalahan yang sering muncul dalam pemeriksaan
perkara gugatan perceraian adalah sulitnya mengungkap bentuk perselisihan atau
konflik yang terjadi antara suami dan istri, karena saksi yang dihadirkan oleh
penggugat/pemohon tidak melihat, mendengar dan mengalami secara langsung
penyebab pertengkaran atau perselisihan suami istri tersebut. Kesaksian ini hanya
bernilai kesaksian de auditu.
Secara umum kesaksian de auditu ditolak sebagai alat bukti, ketentuan ini yang sering
kali diyakini dan dianut oleh para praktisi sampai saat ini. Karena keterangan yang
diberikan saksi de auditu tidak memiliki kekuatan sebagai alat bukti dalam
pembuktian di persidangan. Namun, sekalipun demikian hakim memiliki kebebasan
untuk memeriksa atau tidak memeriksanya. Bahkan keterangan saksi de auditu
penerapannya dapat dibenarkan secara eksepsional apabila saksi de auditu berjumlah
beberapa orang, dan keterangan yang disampaikannya mereka dengar langsung baik
dari penggugat maupun tergugat sendiri.
4. Jelaskan perbedaan antara upaya hukum banding dan kasasi dalam sistem
peradilan agama Islam di Indonesia! Sertakan juga contoh kasus yang relevan!
Upaya hukum biasa yang pertama terhadap putusan atau penetapan Pengadilan Agama
adalah upaya banding, yaitu permintaan atua permohonan salah satu pihak yang
berperkara agar penetapan atau putusan yang dihjatuhkan Pengadilan Agama
diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama.
Apabila salah satu atau kedua belah pihak dalam suatu perkara tidak menerima
putusan pengadilan tingkat pertama karena merasa haknya terganggu dengan adanya
putusan itu atau menganggap putusan tersebut tidak benar dan belum adil, maka ia
dapat mengajukan banding. Sedangkan kasasi adalah mohon pembatalan terhadap
putusan/penetapan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) atau terhadap
putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) ke Mahkamah Agung
di Jakarta, melalui pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) yang dahulunya
memutus, karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu dan dengan syarat-
syarat tertentu. Contoh kasus upaya banding dalam sistem Peradilan Agama;
Posisi kasus bahwa seorang wanita bernama Aisha mengajukan gugatan cerai di
pengadilan agama atas dasar ketidakharmonisan pernikahannya dengan suaminya,
Ahmad. Pengadilan agama mengabulkan gugatan cerai tersebut dan memberikan hak
asuh anak kepada Aisha.
Upaya hukum banding bahwa Ahmad merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan
agama dan memutuskan untuk mengajukan upaya hukum banding. Dia merasa bahwa
keputusan pengadilan tidak adil dan menganggap bahwa hak asuh anak seharusnya
diberikan kepadanya.
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama
disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b UU No 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut:
• Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
• Penentuan mengenai harta peninggalan;
• Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
• Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
• Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, dan penentuan bagian-bagiannya.
Dalam penjelasan umum UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan,
bilamana pewarisan itu dilakukan berdasarkan hukum Islam, maka penyelesaiannya
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan pula mengenai
keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah nusantara yang selama
ini berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar hukumnya.
Selain dari itu, berdasarkan pasal 107 UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan
permohonan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang agama
yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Terkait dengan implementasi hukum waris dalam peradilan agama Islam dengan fokus
pada isu ketidaksetaraan warisan antara laki-laki dan perempuan, yaitu bisa di
upayakan dengan pemahaman ulang terhadap prinsip kesetaraan, pemberian opsi
kepada perempuan, kompensasi dan wasiat, dan reformasi hukum. Adapun mengenai
implementasinya bahwa terdapat beberapa putusan Pengadilan Agama berusaha
memberikan hak yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan, dan terdapat
putusan Mahkamah Agung RI yang menggariskan tentang kedudukan anak
perempuan yang menghijab anak laki-laki dan perempuan.
Khusus mengenai ekonomi syariah pada penjelasan pada Pasal 49 huruf (i) disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prisip syariah antara lain meliputi Bank Syariah, Lembaga
Keuangan Syariah, Asuransi Syariah, Re Asuransi Syariah, Reksadana Syariah,
Obligasi Syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, Sekuritas Syariah,
Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Dana pensiun lembaga keuangan syariah dan
Bisnis Syariah.
8. Jelaskan konsep keadilan restoratif dalam konteks peradilan agama Islam dan
bagaimana penerapannya dapat memperbaiki hubungan sosial dalam
masyarakat?
Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan dalam sistem peradilan yang berfokus
pada pemulihan hubungan yang rusak akibat tindakan kriminal atau pelanggaran
hukum. Dalam konteks peradilan agama Islam, konsep keadilan restoratif dapat
diintegrasikan dengan prinsip-prinsip hukum Islam untuk mencapai pemulihan dan
rekonsiliasi dalam masyarakat. Adapun Konsep keadilan restoratif dalam Peradilan
Agama yaitu dengan pemulihan atau rehabilitasi terhadap pelaku, partisipasi bersama
dari semua pihak yang terlibat, mekanisme pemulihan dengan cara rekonsiliasi atau
mediasi, menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan keadilan.
9. Apa peran ahli waris dan pihak ketiga dalam pelaksanaan putusan peradilan
agama Islam terkait dengan harta warisan? Apa implikasi hukumnya jika ada
sengketa di antara ahli waris?
Dalam pelaksanaan putusan peradilan agama Islam terkait dengan harta warisan,
peran ahli waris dan pihak ketiga memiliki peran krusial. Mengenai peranan ahli waris
yaitu pihak yang menerima harta warisan sesuai dengan hukum Islam, memiliki
kewajiban untuk melaksanakan putusan peradilan terkait dengan pembagian warisan,
dan ahli waris dapat terlibat dalam proses hukum, baik sebagai pemohon atau pihak
yang menanggapi gugatan.
Sedangkan peranan pihak ketiga yaitu memiliki tanggung jawab untuk mengeksekusi
pembagian harta warisan sesuai dengan keputusan peradilan, dapat berperan sebagai
fasilitator dalam proses pembagian warisan, memastikan bahwa proses pelaksanaan
putusan dilakukan secara tertib dan adil, dan dalam keterlibatan dalam proses
administratif bahwa pihak ketiga, terutama notaris, dapat terlibat dalam proses
administratif yang diperlukan untuk transfer kepemilikan harta, pembagian sertifikat,
atau dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan peradilan.
Terkait dengan implikasi hukum jika ada sengketa dapat diajukan ke Pengadilan
Negeri bila penyelesaiannya tunduk pada Hukum Adat atau KUHPerdata atau dapat
diajukan ke Pengadilan Agama bila penyelesaiannya tunduk pada Hukum Islam. Bagi
Pewaris yang beragama Islam, dasar hukum utama yang menjadi
pegangan adalah UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Secara eksplisit, Hukum Islamlah yang harusnya menjadi
pilihan hukum bagi mereka yang beragama Islam. Namun, ketentuan ini tidak
mengikat karena UU Peradilan Agama ini tidak secara tegas mengatur persoalan
penyelesaian pembagian harta waris bagi pewaris yang beragama Islam.
Dalam penerapan hukum Islam secara utuh di Indonesia termasuk bidang pidana Islam
menjadi impian besar. Hal itu didasari atas anggapan bahwa dengan diberlakukannya
hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari semakin merebak di
tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat diminimalisir. Implementasi
hukuman pidana Islam juga dianggap sebagai langkah untuk menjaga konsistensi
dengan nilai-nilai Islam dalam sistem hukum Indonesia dan bagi sebagian masyarakat
yang mendukung implementasi hukuman pidana Islam, kebijakan ini dapat
meningkatkan kepuasan dan kepercayaan terhadap sistem peradilan agama.