Anda di halaman 1dari 217

PENGANTAR

HUKUM ACARA PERADILAN


AGAMA
RUJUKAN UTAMA

1. UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan


Agama
2. UU No. 1 tahun 1974 jo PP No. 9 tahun
1975 tentang Perkawinan
3. Kompilasi Hukum Islam (disebarluaskan
dengan Inpres No. 1 tahun 1991).
• Peradilan Agama adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam
KEKUASAAN KEHAKIMAN

• PENGADILAN AGAMA

• PENGADILAN TINGGI AGAMA

• MAHKAMAH AGUNG
KEKUASAAN PENGADILAN
• Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang2 yang beragama Islam di bidang :
1. Perkawinan;
2. Kewarisan, wasiat, dan hibah; yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam.
3. Wakaf dan shadaqah
BIDANG PERKAWINAN

Adalah hal-hal yang diatur dalam atau


berdasarkan Undang-undang Perkawinan
yang berlaku
BIDANG KEWARISAN

• Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli


waris
• Penentuan mengenai harta peninggalan
• Penentuan bagian masing-masing ahli
waris
• Melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut
Pasal 50 UUPA

• Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak


milik atau keperdataan lain dalam perkara-
perkara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 49, maka khusus mengenai obyek
yang menjadi sengketa tersebut harus
diputus lebih dahulu oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum
Pengadilan dapat memberikan
keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum Islam kepada instansi
pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta
HUKUM ACARA (pasal 54)

Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan


dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam UU ini
PA tidak boleh menolak perkara

Pasal 54
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan memutusnya
PENYELESAIAN SECARA DAMAI

• Pengadilan Agama tidak menutup


kemungkinan usaha penyelesaian perkara
secara damai
• Peradilan dilakukan demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
• Tiap penetapan dan putusan dimulai
dengan kalimat bismillahirrahmanirrahim
diikuti dengan demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa
BANDING (pasal 61)

Atas penetapan dan putusan Pengadilan


Agama dapat dimintakan banding oleh
pihak yang berperkara kecuali apabila
Undang2 menentukan lain
KASASI (pasal 63-64)
• Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi
Agama dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara
• Penetapan dan putusan Pengadilan yang
dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya
ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam
amarnya menyatakan penetapan atau putusan
tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun
ada perlawanan, banding, atau kasasi
PERCERAIAN (pasal 65)

• Perceraian hanya dapat dilakukan di


depan sidang pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
PERCERAIAN

• BILA YANG MENGAJUKAN SUAMI =


PERMOHONAN TALAK
• BILA YANG MENGAJUKAN ISTRI =
GUGATAN CERAI
PERMOHONAN TALAK
PERMOHONAN TALAK DIAJUKAN KEPADA
PENGADILAN YANG DAERAH HUKUMNYA
MELIPUTI TEMPAT KEDIAMAN
TERMOHON (ISTRI), KECUALI APABILA
TERMOHON DENGAN SENGAJA
MENINGGALKAN TEMPAT KEDIAMAN
YANG DITENTUKAN BERSAMA TANPA
IZIN PEMOHON
PERMOHONAN TALAK

• Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar


negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Pemohon
• Pemohon dan Termohon di luar negeri :
permohonan diajukan kepada Pengadilan di
wilayah hukum dimana mereka menikah atau
kepada PA Jakarta Pusat
PERMOHONAN TALAK

• Permohonan soal penguasaan anak,


nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan
bersama-sama dengan permohonan cerai
talak ataupun sesudah ikrar talak
diucapkan
MUATAN PERMOHONAN
TALAK
• Nama, umur dan tempat kediaman
pemohon
• Nama, umur dan tempat kediaman
termohon
• Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai
talak
PEMERIKSAAN CERAI TALAK

• Maksimal 30 hari setelah berkas atau surat


permohonan cerai didaftarkan di
kepaniteraan.
• Dilaksanakan dalam sidang tertutup
• PERMOHONAN TALAK DAPAT
DIKABULKAN SETELAH KEDUA BELAH
PIHAK TIDAK MUNGKIN LAGI
DIDAMAIKAN DAN TELAH CUKUP ALASAN
PERCERAIAN
• ISTRI DAPAT MENGAJUKAN BANDING
IKRAR TALAK

• SETELAH PENETAPAN TERSEBUT


MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP,
PENGADILAN MENENTUKAN HARI SIDANG
PENYAKSIAN IKRAR TALAK, DENGAN
MEMANGGIL SUAMI DAN ISTRI ATAU
WAKILNYA UNTUK MENGHADIRI SIDANG
TERSEBUT
IKRAR TALAK

• JIKA ISTRI TELAH MENDAPAT


PANGGILAN SECARA SAH ATAU PATUT,
TETAPI TIDAK DATANG MENGHADAP
SENDIRI ATAU TIDAK MENGIRIM
WAKILNYA, MAKA SUAMI ATAU
WAKILNYA DAPAT MENGUCAPKAN IKRAR
TALAK TANPA HADIRNYA ISTRI ATAU
WAKILNYA.
IKRAR TALAK

• JIKA DALAM MAKSIMAL 6 BULAN SEJAK


PENETAPAN HARI SIDANG PENYAKSIAN
IKRAR TALAK, SUAMI ATAU KUASANYA
TIDAK DATANG, MAKA GUGURLAH
PENETAPAN TERSEBUT DAN PERCERAIAN
TIDAK DAPAT DIAJUKAN LAGI
BERDASARKAN ALASAN YANG SAMA.
PUTUSNYA PERKAWINAN

• Hakim membuat penetapan yang isinya


menyatakan bahwa perkawinan putus
sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan
tersebut tidak dapat dimintakan banding
atau kasasi
CERAI GUGAT
• Diajukan ke PA di wilayah kediaman
Penggugat
• Apabila Penggugat tinggal di luar negeri,
gugatan diajukan ke PA di wilayah kediaman
Tergugat
• Apabila Penggugat dan Tergugat tinggal di
LN, gugatan diajukan ke PA di wilayah
tempat mereka menikah atau ke PA Jakarta
Pusat
GUGAT CERAI KARENA SALAH
SATU PIHAK MJD TERPIDANA
• Apabila gugatan cerai didasarkan atas alasan
salah satu pihak mendapat pidana penjara,
maka untuk memperoleh putusan perceraian,
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan
salinan putusan Pengadilan yang berwenang
yang memutuskan perkara disertai keterangan
yang menyatakan bahwa putusan itu telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
• Apabila karena alasan cacat badan, atau
penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami,
maka Hakim dapat memerintahkan
tergugat untuk memeriksakan diri ke
Dokter
CERAI KARENA SYIQAQ

• Apabila gugatan perceraian didasarkan atas


alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian harus mendengar
keterangan saksi-saksi yang berasal dari
keluarga orang2 yg dekat dengan suami dan
istri.
• (Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan
terus menerus antara suami dan istri0
PISAH RUMAH SUAMI ISTRI

• Selama berlangsungnya gugatan


perceraian, karena alasan tertentu
Pengadilan dapat mengizinkan suami istri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu
rumah.
• Pengadilan dapat memutuskan :
a. Menentukan nafkah yang ditanggung oleh
suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. Menentukan hal2 yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang2 yang menjadi harta
bersama suami istri atau barang2 yang
menjadi hak istri.
PEMERIKSAAN GUGATAN
PERCERAIAN
• Dilakukan maksimal 30 hari setelah berkas
atau surat gugatan perceraian didaftarkan
ke Kepaniteraan.
• Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan
dalam sidang tertutup
PUTUSAN TERHADAP GUGAT
CERAI
• Putusan pengadilan mengenai gugatan
perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
• Suatu perceraian dianggap terjadi beserta
segala akibat hukumnya terhitung sejak
putusan Pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
PERDAMAIAN

• Pada sidang pertama, hakim berusaha


mendamaikan kedua pihak.
• Apabila terjadi perdamaian, maka tidak
dapat diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan yang ada dan telah
diketahui oleh penggugat sebelum
perdamaian tercapai.
GUGATAN SOAL PENGUASAAN ANAK,
NAFKAH ANAK, NAFKAH ISTRI, DAN HARTA
BERSAMA SUAMI ISTRI DAPAT DIAJUKAN
BERSAMA-SAMA DENGAN GUGATAN
PERCERAIAN ATAUPUN SESUDAH PUTUSAN
PERCERAIAN MEMPEROLEH KEKUATAN
HUKUM TETAP.
KERANGKA HISTORIS
PEMBENTUKAN UU NO.7 TAHUN
1989 TENTANG PERADILAN
AGAMA
PERTEMUAN KE-5
A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN UU NO.7
TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang tindakan


sementara untuk menyelenggarakan susunan
kekuasaan dan acara peradilan pengadilan sipil.
Bangsa indonesia menghendaki peradilan agama
yang berdiri sendiri, sesuai pasal 24 dan 25 UUD
1945. pada tahun 1946 berdasarkan Penetapan
Pemerintah No.5 /SD/1946 pembinaan Lembaga
Pradilan agama diserahkan dari Kementerian
Kehakiman kepada Kementerian agama.
• Sebagai pelaksanaan dari UU Darurat No. 1 tahun
1951 tentang telah keluar PP No. 45 Tahun 1957
tentang pembentukan Pengadilan Agama /Mahkamah
Syariah diluar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan.
• Usaha persiapan RUU Pengadilan Agama telah dimulai
oleh Departemen Agama sejak tahun 1961 yaitu sejak
dibentuknya Panitia dengan keptusan Menteri Agama
No.66 tahun 1961. masa 28 tahun Pembentukan UU
No. 7 Tahun 1989 (1961-1989) itu dibagi menjadi 2
tahap :
1. selama 27 tahun (1961-1988) merupakan
kegiatan mempersiapkan RUU
2.satu tahun membahas di DPR/XII/1989 tanggal 3
Desember 1988 dibicarakan di DPR sampai disetujui
dalam sidang Pleno DPR RI tanggal 14 Desember
1989
Lanjutan Asas dalam UU
PA & Susunan Hierarki
PA
Pertemuan 6
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Jenis APS:
• Pengadilan
• Mediasi (tahkim)
• Musyawarah

Tahkim:
• An Nisa:35 “maka angkatlah seorang hakam dari keluarga si lelaki dan seorang hakam
dari keluarga si wanita ...”
• Sunnah HR An-Nasa’i bahwa Abu Syuriah menerangkan kepada Nabi Muhammad SAW,
kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara, kemudian mereka datang kepadanya dan
dia pun memutuskan perkara itu. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak.
Mendengar itu, Nabi menyambut baik dan menyetujuinya
• Dapat dilaksanakan untuk segala masalah kecuali pidana dan qishash
• Putusan hakim dapat sama ataupun berbeda dari putusan hakam

Musyawarah:
• Termasuk dalam asas hukum acara peradilan agama (mengusahakan perdamaian)
• An Nisa:128 “...dan mengadakan perdamaian itu lebih baik bagi mereka ...”
• Umar bin Khattab “ubahlah pihak2 yang bermusuhan tersebut menjadi pihak2 yang
berdamai, sebab putusan pengadilan dapat menimbulkan rasa dendam yang terpendam
Hukum Acara
Hukum acara yang berlaku: hukum acara perdata
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali secara khusus diatur
dalam undang-undang ini (Ps 54 UU 7/1989)
Umum: Ps 118-245 HIR dan Ps 142-314 RBg
Khusus/pelengkap: Ps 54-91 UU PA
Pengaturan khusus:
Ps 65-88 UU 7/1989 (perlindungan wanita)
Cerai talak yang datang dari pihak suami
Cerai gugat yang datang dari pihak istri
Cerai dengan alasan zina
Cerai gugat diajukan ke peradilan di wilayah Pgg (Ps
73(1) UU 7/1989)
Ps 86(2) UU 7/1989: masuknya pihak ketiga dalam
pembagian harta
Hukum Acara - 2
Peradilan khusus: bidang perdata Islam tertentu
dan hanya untuk orang Islam di Indonesia. Untuk
itu bisa disebut Peradilan Islam di Indonesia.
Asas dalam proses berperkara menurut syariah:
Orang yang berperkara (cakap atau wakilnya)
Pgg dan Tgg harus hadir dan didengar keterangannya
Pemanggilan para pihak harus secara patut
Perlakuan yang sama
Diusahakan penyelesaian secara damai
Peradilan dilaksanakan secara terbuka kecuali
masalah kehormatan dan masalah keluarga
Hukum Acara - 3
Selain itu, terdapat pula asas:
 Kewenangan (absolut dan relatif) badan peradilan tergantung tauliyah
negara
 Pada dasarnya masyarakat berhak mendapat layanan keadilan dari
negara secara cuma2
 Badan peradilan hanya satu tingkat agar perkara dapat diselesaikan
dengan waktu singkat namun tidak menutup kemungkinan dalam
beberapa tingkat demi tercapainya keadilan
 Bila salah satu pihak mendalilkan bahwa ia mempunyai hak, sedangkan
pihak lain yang membantah berkewajiban untuk membuktikannya
 Peristiwa yang telah terbukti, dapat menjadi landasan hakim dalam
memutus perkara
 Alat bukti (bayyinah) menurut syariah terdiri dari:
 Ikrar (pengakuan)
 Persaksian
 Surat
 Persangkaan kuat (qarinah)
 Hakim mengadili berdasarkan hukum (tertulis dan tidak tertulis),
terutama didasarkan pada Al Quran dan Sunnah
Kekuasaan Kehakiman
Mahkamah Mahkamah
Agung Konstitusi

Peradilan Peradilan Peradilan Peradilan


umum agama TUN militer

Kekuasaan Kehakiman pada Peradilan Agama


Mahkamah Agung

Pengadilan Tinggi Mahkamah


Agama Syariah Propinsi

Mahkamah
Pengadilan Agama
Syariah
Susunan Peradilan Agama
• Susunan pengadilan: Ps 6-48 UU PA
• Ps 6 UU 7/1989: peradilan agama terdiri dari:
– Pengadilan Agama yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan
– Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan pengadilan tingkat banding
• Pengadilan Agama:
– Pengadilan tingkat pertama
– Putusan pertama (judex factie)
– Berada di tingkat kabupaten/kota
– Dibentuk dengan Perpres
• Pengadilan Tinggi Agama:
– Pengadilan banding
– Putusan tingkat terakhir (judex factie)
– Berada di tingkat propinsi
– Dibentuk dengan undang-undang
Susunan Peradilan Agama - 2
• Tugas dan kewenangan Mahkamah Agung (UU 48/2009 ttg
Kekuasaan Kehakiman)
– Ps 20 & 23: mengadili pada tingkat kasasi
– Ps 24: memutus perkara peninjauan kembali

• Mahkamah Syar’iyah
– Bukan merupakan pengadilan khusus (penjelasan Ps 27 (1) UU
48/2009)
– Lembaga peradilan dalam wilayah Propinsi NAD yang berlaku untuk
pemeluk agama Islam (Ps 1 angka 7 UU 18/2001 ttg Otonomi Khusus
bagi Prov DI Aceh sebagai Prov NAD
– Ps 27 UU 48/2009: berada dalam salah satu lingkungan peradilan di
bawah MA. Ps 25 UU 18/2001: peradilan syariat Islam di Prov NAD
sebagai bagian dari sistem peradilan nasional
– Kewenangan di bidang muamalah dan jinayah yang diatur dalam
Qanun Provinsi NAD
Mahkamah Agung
Pada tingkat kasasi membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan karena:
Tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang
Salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku
Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan ybs
(Ps I angka 19 UU 5/2004 ttg perubahan atas UU
14/1985 ttg MA)
Mahkamah Agung
• MA memutus sengketa antara 2 pengadilan atau lebih
menyatakan berwenang/tidak berwenang mengadili atas
perkara yang sama (Ps 56 UU 14/1985)
• MA memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua
sengketa tentang kewenangan mengadili (Ps 33 UU 14/1985):
– Antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan
pengadilan di lingkungan peradilan yang lain
– Antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum
pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan
peradilan yang sama
– Antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan
yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan
• MA memeriksa dan memutus permohonan PK pada tingkat
pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap
Pejabat Peradilan

• Ketua Pengadilan
• Hakim
• Panitera
• Sekretaris
• Juru Sita
KETUA PENGADILAN
• Ketua dan Wakil Ketua diangkat dan diberhentikan
oleh Ketua MA

• Tugas:
– Mengatur pembagian tugas para hakim
– Membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat
lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke
pengadilan kepada majelis hakim untuk diselesaikan
– Menetapkan perkara yang harus diadili
– Mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan atau
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap
Syarat Ketua/Wakil PA/PTA (UU
50/2009)
 Syarat  Syarat Ketua PA  Syarat Ketua PTA  Syarat Wakil
Ketua PA (Ps I angka 6) (Ps I angka 6) Ketua PTA (Ps I
(Ps I angka angka 6)
4) Wakil
Hakim Ketua
PTA PTA Ketua
PTA
Ketua
PA
Hakim
Ketua Hakim Hakim Hakim Hakim
PA
PA PTA PTA PTA PTA
(15
(5 th) (5 th) (3 th) (4 th) (2 th)
th)

Hakim
Ketua Ketua
PA
PA PA
7 th
HAKIM
• Tugas hakim:
– Melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman
– Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

• Ps I angka 7 UU 50/2009:
– Ketua dan wakil ketua diangkat dan diberhentikan oleh Ketua MA
– Hakim diangkat oleh Presiden atas usul Ketua MA
– Hakim diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua MA dan/atau KY
melalui Ketua MA

• Ps I angka 11 UU 3/2006: Hakim tidak boleh merangkap menjadi


– Pelaksana putusan pengadilan
– Wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
diperiksa olehnya
– Pengusaha
– Advokat
Syarat menjadi Hakim PA (Ps I angka 4
UU 50/2009)
• WNI
• Islam
• Bertakwa kepada Tuhan YME
• Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
• Sarjana syariah, sarjana hukum Islam, atau sarjana
hukum yang menguasai hukum Islam
• Lulus pendidikan hakim
• Sehat jasmani dan rohani
• Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
• Bukan bekas anggota organisasi terlarang
• Usia minimal 25 tahun dan maksimal 40 tahun
• Tidak pernah dijatuhi pidana penjara
Syarat menjadi Hakim PTA
(Ps I angka 6 UU 50/2009)
• Syarat seperti sebelumnya, kecuali lulus pendidikan
hakim, syarat sarjana, syarat kepribadian, dan
syarat usia
• Usia minimal 40 tahun
• Berpengalaman sebagai Ketua PA, Wakil Ketua PA
minimal 5 tahun atau sebagai hakim PA minimal 15
tahun
• Lulus eksaminasi oleh MA
Diberhentikan dengan Hormat
(Ps I angka 8 & 10 UU 50/2009)
• Permintaan sendiri. Untuk ketua atau wakil ketua
pengadilan, tidak dengan sendirinya diberhentikan
sebagai hakim
• Sakit jasmani atau rohani terus-menerus
• Berusia 65 tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim PA
• Berusia 67 tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim PTA
• Tidak cakap dalam menjalankan tugasnya
• Meninggal dunia  dengan sendirinya diberhentikan
dengan hormat
Diberhentikan tidak dengan hormat
(Ps I angka 9 UU 50/2009)
• Dipidana karena melakukan kejahatan (yi. tindak pidana
yang ancaman pidananya paling singkat 1 tahun)
• Melakukan perbuatan tercela (yi apabila hakim karena
sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam
maupun di luar pengadilan merendahkan martabat
hakim)
• Terus menerus melalaikan kewajiban dalam
menjalankan tugas pekerjaannya selama 3 bulan
• Melanggar sumpah atau janji jabatan – diberi
kesempatan membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Hakim (MKH)
• Melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim –
diberi kesempatan membela diri di hadapan MKH
PANITERA
• Ps 46 UU 48/2009 jo Ps I angka 15 UU
50/2009: Panitera tidak boleh merangkap
menjadi
– Hakim
– Wali
– Pengampu
– Advokat
– Pejabat peradilan yang lain
Tugas Panitera
• Menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas
wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti
• Membantu hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya
sidang pengadilan
• Melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan
• Wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di
kepaniteraan yang diberi nomor urut dan dibubuhi catatan
singkat tentang isinya
• Membuat salinan penetapan atau putusan
• Bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara,
putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang
titipan pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan
surat lainnya
Syarat menjadi Panitera PA
(Ps I angka 13 UU 50/2009)
• WNI
• Islam
• Bertakwa kepada Tuhan YME
• Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
• Berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam, atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam
• Berpengalaman sebagai Wakil Panitera minimal 3
tahun, sebagai Panitera Muda PA minimal 5 tahun, atau
menjabat Wakil Panitera PTA
• Sehat jasmani dan rohani
Susunan Organisasi Panitera

Panitera

Wakil Panitera

Panitera Muda

Panitera Pengganti
JURU SITA
• Juru Sita tidak boleh merangkap
– Wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan
dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri
berkepentingan
– Advokat
• Juru Sita PA diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua MA atas usul Ketua Pengadilan ybs
• Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan
oleh Ketua Pengadilan ybs
Tugas Juru Sita
• Melaksanakan semua perintah yang diberikan
oleh ketua sidang
• Menyampaikan pengumuman-pengumuman,
teguran-teguran, dan pemberitahuan penetapan
atau putusan pengadilan
• Melakukan penyitaan atas perintah Ketua
Pengadilan
• Membuat berita acara penyitaan, yang salinan
resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan
Syarat menjadi Juru Sita/Juru Sita
Pengganti
• WNI
• Beragama Islam
Juru Sita
• Bertakwa kepada Tuhan YME
• Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
• Berijazah paling rendah SMU atau yang Juru Sita
sederajat Pengganti
Min 3 th
• Berpengalaman sebagai Juru Sita
Pengganti minimal 3 tahun untuk Juru
Sita. Berpengalaman minimal 3 tahun Pegawai
sebagai pegawai negeri pada PA untuk negeri di PA
Juru Sita Pengganti Min 3 th

• Sehat jasmani dan rohani


SEKRETARIS

• Sekretaris pengadilan bertugas


menyelenggarakan administrasi umum
pengadilan
• Sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan
diangkat dan diberhentikan oleh Ketua MA
Syarat menjadi Sekretaris/Wakil
Sekretaris PA/PTA
• WNI
• Beragama Islam
• Bertakwa kepada Tuhan YME
• Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
• Berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam,
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, atau
sarjana administrasi
• Berpengalaman 2 tahun di bidang administrasi peradilan
untuk PA, 4 tahun untuk PTA
• Sehat jasmani dan rohani
SUSUNAN PERADILAN AGAMA
DAN APARATNYA

Kuliah ke VI, Hk.Acara Perdata


Peradilan Agama; FH-UI
Kelas A: Ibu Hj. Sulaikin Lubis,
S.H., MH.
Kelas B: Ibu Wismar ‘Ain M,
S.H.,M.H.
Susunan pengadilan diatur dalam Bab II Pasal 6
sampai dengan Pasal 48 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No.3
Thn 2006

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama ,


secara vertikal berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi. Secara horizontal, susunan
Pengadilan Agama berkedudukan pada setiap kota madya
atau kabupaten.

Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan pada setiap


ibu kota propinsi.
A. Susunan Hierarki Peradilan Agama
Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1989,
lingkungan Peradilan Agama terdiri dari dua
tingkat; yaitu Pengadilan Agama sebagai
Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan
Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat
Banding.
Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama,
pengadilan ini bertindak menerima,
memeriksa dan memutuskan setiap
permohonan atau gugatan pada tahap awal
dan paling bawah.
Pengadilan Agama bertindak sbg peradilan
sehari-hari menampung, memutus dan
mengadili pada tahap awal setiap perkara
yang diajukan oleh setiap pencari keadilan.

Dalam kedudukan sbgi instansi Pengadilan


Tingkat Pertama, P A harus menerima,
memeriksa dan memutus perkara-perkara
permohonan serta perkara gugatantersebut.
Pasal 56, Pengadilan Agama dilarang
menolak untuk menerima, memeriksa dan
memutuskan perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan apa pun.
Dalam melaksanakan fungsi dan
kewenangannya sebagai Pengadilan Tingkat
Banding, Pengadilan Tinggi Agama
mengoreksi putusan Pengadilan Agama ,
menguatkan atau membatalkan putusan
Pengadilan Agama. (Psl.6 ayat 2 dan Psl 8
UU No. 7 Thn 1989)
Pasal 10 ayat (3) UU No. 14 Thn 1970, sekarang
UU No.4 Thn.2004 dan Pasal 29 UU No. 14 Tahun
1985 sekarang UU No.5 Thn.2004 ditegaskan
berkaitan dengan tingkatan hierarki, putusan
Pengadilan Agama disebut Pengadilan Tingkat
Pertama, dan putusan Pengadilan Tinggi Agama
disebut putusan tingkat terakhir.
Makna putusan Pengadilan Tinggi Agama sebagai
putusan tingkat terakhir adalah pemeriksaan
mengenai keadaan, fakta, dan pembuktian pokok
perkara sudah selesai dan berakhir.
Itu sebabnya Peradilan Tingkat Pertama dan
tingkat banding disebut peradilan “judex
facti”.
Hal-hal yang berkenaan dengan f a k t a
dan pembuktian yang telah dinilai oleh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama, tidak dapat lagi dinilai ulang,
karena putusan dan penilaian tentang hal
tersebut sudah berakhir dan terakhir.
Ditinjau dari sudut tingkatan hierarki, MA adalah
sbg. peradilan tingkat terakhir bagi semua
lingkungan peradilan. Menurut Psal 30 UU No. 14
Th. 1985, jo.UU No. 5 Thn 2004 Mahk. Agung
dalam tingkat kasasi membatalkan penetapan atau
putusan pengadilan dari semua lingkungan
peradilan karena :

1. Tidak berwenang atau melampauai batas


wewenang.
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku; dan
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.

Daerah Pengadilan Agama hanyalah


meliputi daerah kota madya dan daerah
kabupaten dimana Pengadilan Agama itu
berada.
B. Susunan Organisasi Peradilan
Agama
Susunan organisasi Pengadilan Agama
(PAg.)dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA)diatur
dalam Psl 9 UU No. 7 Th 1989 jo. UU No.3
Thn.2006 dst. Dlam Psl.9 ayat (1) ditentukan
bahwa susunan Pengadilan Agama terdiri dari
pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan
Juru Sita. Dalm ayat (2) ditetapkan ttg susunan
Pengadilan Tinggi Agama yg terdiri atas pimpinan,
hakim anggota, panitera dan sekretaris.
NOTE: Pasal ini tidak dirubah (amandemen)
Menurut M. Yahya Harahap, gambaran dari
susunan organisasi Pengadilan Agama
sesuai dengan kehendak Bab II Bagian
Pertama, Pasal 9 dan seterusnya adalah
sebagai berikut :
SUSUNAN ORGANISASI PENGADILAN
AGAMA Ketua

Wakil Ketua

Hakim

Hakim

Hakim Pan/Sek

Hakim

Wakil Wakil
Panitera Sekretaris

P. Pengganti Juru Sita

Juru Sita
P. Pengganti
Pengganti
Tata Usaha
P. Pengganti Personalia Keuangan
Umum

P. Pengganti

P. Muda P. Muda P. Muda


Perkara Hukum Banding/
Kasasi
Dlm bagan terlihat bahwa, jabatan fungsional
peradilan dihubungkan dengan garis putus-putus.
Maknanya adalah hubungan antara pejabat
fungsional pada dasarnya tidak bersifat struktural,
tetapi lebih ditekankan pada hubungan yang bersifat
fungsi peradilan.
Dlm Pasal 10 ayat (1) ditegaskan bahwa ketua dan
wakil ketua hanya mempunyai hubungan struktural
dengan panitera / sekretaris, wakil panitera, wakil
sekretaris atau eselon yang distrukturkan di bawah
wakil panitera atau wakil sekretaris.
NOTE: Psl. Ini tidak dirubah (amandemen)
Rumusan (Bunyi) Psl. 10 adalah sbb:

• (1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari


seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri
dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama
adalah Hakim Tinggi
Sedang Pasal 11 ayat (1) menentukan
bahwa hakim adalah pejabat yang
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
Oleh karena itu terhadap hakim, ketua, dan
wakil ketua mempunyai hubungan
fungsional.
Pasal 53 ayat (1) menegaskan bahwa secara
organisatoris, ketua sebagai unsur pimpinan
diberi kewenangan untuk mengadakan
pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
kelakuan semua organ, termasuk para
hakim.
NOTE: UU No. 3 Thn 2006
Butir 5. Ketentan Psl 11 diubah sehingga berbunyi
sbb:
• Pasal 11
• (1) Hakim pengadilan adalah pejabat yang
melakukan tugas kekuasaan kehakiman.
• (2) Syarat dan tata cara pengangkatan,
pemberhentian, serta pelaksanaan tugas hakim
ditetapkan dalam undang-undang ini.
P a s a l 53 ayat (4) memperingatkan bahwa
khusus pengawasan terhadap hakim, haruslah
berupa pengawasan yang bersifat
f u n g s i o n a l. Artinya, tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara.
Pasal 26 ayat (7) jo. Pasal 44 mengenai struktur
kepaniteraan, pada diri dan jabatannya melekat
jabatan panitera merangkap sekretaris pengadilan.
NOTE: Psl. 26 tidak diubah
Wakil panitera mempunyai fungsi :
1. Memimpin dan membagi hasil semua
tugas fungsional peradilan;
2. Memimpin dan membawahi petugas
fungsional murni yang terdiri atas para
panitera pengganti, serta petugas
fungsional yang bersifat struktural yaitu
para panitera muda;
3. Menyeleksi jumlah panitera pengganti
yang berpatokan pada jatah bezetting
(pengisian formasi).
Tugas - tugas unsur pelayanan yang
dilaksanakan oleh panitera muda adalah :
1. Unsur yang menangani registrasi dan
penyiapan berkas perkara;
2. Unsur yang membantu penyediaan
peraturan dan perundang-undangan;
3. Unsur yang menangani permintaan
banding dan kasasi.
1. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian
dan Sumpah Hakim

a. Syarat pengangkatan hakim


Dlm Psl. 11 “Hakim adalah pejabat yang
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman”.
Prof. H.M. Daud Ali, SH.: Hakim Peradilan Agama
harus beragama Islam tidak dimaksud untuk
mengadakan diskriminasi, tetapi kualifikasi.
Pasal 13 UU No. 7 Thn 1989 jo. UU No. 3 Thn
2006

• Hampir sama dgn. Persyaratan hakim di lingk.


Perad.Umum, spt. diatur dlm. Psl. 2 Thn 1986
Tntng Peradilan Umum, diubah dgn UU No. 8
Thn 2004. Syarat yng penting dan berbeda
adalah Hakim P Ag. Harus beragama Islam
Pasal 13 merupakan syarat yang bersifat
kumulatif, artinya semua syarat harus
dipenuhi. Keseluruhan syarat itu adalah :
a. Warga negara Indonesia
b. Beragama Islam
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
d. Setia kepada Pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia
e. Sarjana Syariah dan/atau sarjana hukum
yang menguasai hukum Islam
f. Sehat jasmani dan rohani
g. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan
tidak tercela
h. Bukan bekas anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia
termasuk organisasi masanya, atau
bukan orang yang terlibat langsung
dalam Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia.
Tentang syarat-syarat yang diperlukan bagi
seorang hakim, para ahli fiqih telah
membahasnya dengan seksama. Jadi
ditinjau dari hukum fiqih Islam, secara
ringkas dapat disimpulkan bahwa syarat-
syarat yang diperlukan bagi seorang hakim
sebagai berikut :
1. Laki-laki yang merdeka
2. Berakal (memiliki kecerdasan)
3. Beragama Islam
4. Adil
5. Mengetahui semua pokok-pokok hukum
dan cabang-cabangnya
6. Sempurna pendengaran, penglihatan
dan tidak bisu.
Kebolehan seorang wanita menjadi hakim
di Peradilan Agama ini merupakan suatu
pembaruan Hukum Islam di Indonesia.
Pasal 15 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo.
UU No. 3 Tahun 2006, yang berwenang
mengangkat hakim dilingkungan Peradilan
Agama adalah Presiden selaku kepala
negara.
Pemberhentian hakim, sama prosedurnya
dgn. Pengangkatan hakim, yi: dilakukan
oleh presiden selaku kepala negara, atas
usul ketua Mahkamah Agung. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UU No.
7 Tahun 1989.
Pemberhantian dgn. Hormat Psl. 18 UU No.
7 Thn 1989 jo. UU No.3 Thn 2006
Pemberhentian dgn tdk. hormat Psl. 19 UU
No. 7 Thn 1989 jo.UU No. 3 Thn 2006
(sama dgn yng diatur dlm UU Perad.Umum,
jo. UU Mahk.Agung)
c.Sumpah Hakim

• Lafal sumpah jabatan ditentukan dlm Psl. 16


ayat (1) UU No. 7 Thn 1989 jo. UU No. 3 Thn
2006, bhw. Yang mengambil sumpah hakim
adalah Ketua Pengadilan Agama
2. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan
Penyumpahan Ketua dan Wakil Ketua.
a. Syarat Pengangkatan Ketua dan Wakil
Ketua
Menurut Pasal 13 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989
jo. Pasal 13 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2006,
Hakim P Ag. dianggap memenuhi syarat untuk
diangkat sbg ketua atau wakil ketua, sekurang-
kurangnya telah berpengalaman paling tidak
10 tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama. Dlm
Psl. 15 ayat (2) UU No. 3 Thn. 2006, Pejabat yng
berwenang mengangkat hakim menjadi ketua
dan wakil ketua adalah Ketua Mahkamah Agung.
2.b. Psl.Pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua
Dalam Psl 15 ayat (2)
Syarat menjadi Hakim PTA

• Syarat seperti sebelumnya


• Usia minimal 40 tahun
• Berpengalaman sebagai Ketua PA, Wakil
Ketua PA minimal 5 tahun atau sebagai
hakim PA minimal 15 tahun
• Lulus eksaminasi
Alur menjadi Hakim PTA

H ak im P TA
Typ e title h ere

K etu a P A W ak il K etu a P A H akim P A


(5 th ) (5 th ) (1 5 th )
Diberhentikan dengan Hormat
(Ketua, Wakil Ketua, & Hakim)
• Permintaan sendiri
• Sakit jasmani atau rohani terus-menerus
• Berusia 62 tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim PA
• Berusia 65 tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim PTA
• Tidak cakap dalam menjalankan tugasnya
• Meninggal dunia  dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat
Diberhentikan tidak dengan hormat
(Ketua, Wakil Ketua, & Hakim) Psl.19

• Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana


kejahatan (yi. tindak pidana yang ancaman pidananya
paling singkat 1 tahun)  tidak diberi kesempatan untuk
membela diri
• Melakukan perbuatan tercela (yi apabila hakim karena
sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun
di luar pengadilan merendahkan martabat hakim)
• Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan
tugas pekerjaannya
• Melanggar sumpah jabatan
• Merangkap jabatan
Cont’d

• Hakim yang diberhentikan dari jabatannya


dengan sendirinya diberhentikan dari
pegawai negeri
PANITERA

• Panitera tidak merangkap sebagai


sekretaris pengadilan
Tugas Panitera
• Panitera bertugas menyelenggarakan administrasi
perkara dan mengatur tugas wakil panitera,
panitera muda, dan panitera pengganti
• Membantu hakim dengan menghadiri dan
mencatat jalannya sidang pengadilan
• Melaksanakan penetapan atau putusan
pengadilan
• Wajib membuat daftar semua perkara yang
diterima di kepaniteraan yang diberi nomor urut
dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya
Cont’d

• Membuat salinan penetapan atau putusan


• Bertanggung jawab atas pengurusan
berkas perkara, putusan, dokumen, akta,
buku daftar, biaya perkara, uang titipan
pihak ketiga, surat-surat berharga, barang
bukti, dan surat lainnya
Syarat menjadi Panitera PA
• WNI
• Islam
• Bertakwa kepada Tuhan YME
• Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
• Berijazah serendah-rendahnya sarjana syariah atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam
• Berpengalaman sebagai Wakil Panitera minimal 3 tahun,
sebagai Panitera Muda PA minimal 5 tahun, atau
menjabat Wakil Panitera PTA
• Sehat jasmani dan rohani
Syarat menjadi Panitera PTA

• Sda
• Berpengalaman sebagai Wakil Panitera
minimal 3 tahun, sebagai Panitera Muda
PTA minimal 5 tahun, atau sebagai
Panitera PA minimal 3 tahun
Susunan Organisasi Panitera

P an itera

W ak il P an itera

P an itera M u d a

P an itera P en g g an ti
SEKRETARIS

• Sekretaris pengadilan bertugas


menyelenggarakan administrasi umum
pengadilan
• Sekretaris dan wakil ketua sekretaris
pengadilan diangkat dan diberhentikan
oleh Ketua MA
Tugas Sekretaris

• Menyelenggarakan administrasi umum


peradilan
Syarat menjadi Sekretaris, Wakil
Sekretaris PA & PTA
• WNI
• Beragama Islam
• Bertakwa kepada Tuhan YME
• Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
• Berijazah paling rendah sarjana syariah atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam
• Berpengalaman di bidang administrasi peradilan
• Sehat jasmani dan rohani
JURU SITA

• Juru Sita tidak boleh merangkap


– Wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan
perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan
– Advokat
• Juru Sita PA diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua MA atas usul Ketua Pengadilan ybs
• Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan
oleh Ketua Pengadilan ybs
Tugas Juru Sita
• Melaksanakan semua perintah yang diberikan
oleh ketua sidang
• Menyampaikan pengumuman-pengumuman,
teguran-teguran, dan pemberitahuan penetapan
atau putusan pengadilan
• Melakukan penyitaan atas perintah Ketua
Pengadilan
• Membuat berita acara penyitaan, yang salinan
resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan
Syarat menjadi Juru Sita
• WNI
• Beragama Islam
• Bertakwa kepada Tuhan YME
• Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
• Berijazah paling rendah SMU atau yang sederajat
• Berpengalaman sebagai Juru Sita Pengganti
minimal 3 tahun
• Sehat jasmani dan rohani
Syarat menjadi Juru Sita
Pengganti
• WNI
• Beragama Islam
• Bertakwa kepada Tuhan YME
• Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
• Berijazah paling rendah sarjana syariah atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam
• Berpengalaman sebagai pegawai negeri di PA
minimal 3 tahun
• Sehat jasmani dan rohani
Alur menjadi Juru Sita
J U R U S ITA

J U R U S ITA P E N G G A N TI
(m in . 3 th )

PEGAW AI NEGERI DI PA
(m in . 3 th )
TERIMA KASIH
WASSALAM
BANTUAN HUKUM,
YURISPRUDENSI PERADILAN
AGAMA DAN CONTOH
YURISPRUDENSI

Team Pengajar Mata Kuliah


Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama
119
A. Pengertian Bantuan Hukum
Pengertian advokat berdasarkan pasal 1 butir 1 UU
No. 18 tahun 2003 adalah orang yang berprofesi memberi
jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-
undang ini.
Jasa hukum oleh advokat dapat dikelompokan dalam
litigasi dan non litigasi.
Litigasi yaitu pemberian jasa hukum bagi siapa saja
yang membutuhkan sebelum dan selama proses
persidangan perkara di pengadilan.
Non ligitasi adalah pemberian nasehat dan jasa
hukum bagi siapa saja yang membutuhkan dan tidak
dalam proses berperkara di Pengadilan.
120
Dalam Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 82 ayat (2) UU No. 7
tahun 1989 jo. Pasal 123 ayat (1) HIR, jo. Pasal 147 Rbg.
Seorang pemberi bantuan hukum dan jasa hukum dapat
mendampingi para pihak a t a u dapat juga mewakili para
pihak setelah menerima surat kuasa khusus
Dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 18 tahun 2003 Tentang
Advokat dijelaskan bahwa :
Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang
berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah
mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang
dilaksanakan oleh Organisasi.
Dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-undang ini
diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum,
fakultas syari’ah, perguruan tinggi hukum militer, dan
perguruan tinggi ilmu kepolisian.
121
1. Pemberian Bantuan Oleh Hakim
Yahya Harahap dalam buku Kedudukan Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989
menguraikan batas pemberian bantuan, bantuan yang
dimaksud dalam uraian beliau adalah bantuan hukum oleh
hakim kepada para pencari keadilan yang dibutuhkan
sebelum dan selama berlangsungnya proses perkara di
pengadilan.
Pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo pasal 5
ayat 2 UU No. 14 tahun 1970 jo. Pasal 5 ayat 2 UU No. 4
tahun 2004 merupakan pedoman bagi hakim dalam
melaksanakan fungsi pemberi bantuan. Ditinjau dari segi
hukum perdata, yang berperkara dan sama-sama mencari
keadilan itu adalah pihak penggugat dan pihak tergugat.

122
Tentang batasan umum dapat dijelaskan bahwa
pemberian bantuan atau nasehat adalah sesuai dengan
hukum sepanjang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
masalah formil. Terutama berkenaan dengan tata cara
berproses di depan sidang pengadilan, hal-hal yang
berkenaan dengan masalah materiil atau pokok perkara
tidak termasuk dalam jangkauan fungsi tersebut.
Masalah formil pemberian bantuan hukum adalah :
1. Membuat gugatan bagi yang buta huruf.
Pasal 120 HIR atau pasal 144 ayat 1 RBG.
Penggugat yang buta huruf dapat mengajukan gugatan
lisan kepada Ketua Pengadilan dan Ketua Pengadilan wajib
mencatatnya.

123
2. Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”
Pasal 237 sampai dengan pasal 245 HIR.
3. Menyarankan penyempurnaan surat kuasa.
Syarat-syarat surat kuasa khusus yang sah adalah :
a. Harus berbentuk tertulis. Ada tiga alternatif yaitu berupa
akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh pemberi
kuasa dan penerima kuasa. Atau akta yang dibuat oleh
panitera pengadilan yang dilegalisir oleh Ketua Pengadilan
/ Hakim. Atau dapat juga dengan akta otentik yang dibuat
notaris.
b. Harus disebutkan nama para pihak yang berperkara ,
c. Harus ditegaskan tentang hal yang disengketakan secara
jelas.
d. Harus disebut dan dirinci batas-batas tindakan yang dapat
dilakukan penerima kuasa.
124
4. Menganjurkan perbaikan surat gugat,
sepanjang kekurangan yang ada masih menyangkut
masalah formil, h a k i m berwenang memberi bantuan
atau nasehat.
5. Memberi penjelasan alat bukti yang sah
Penjelasan alat bukti yang sah yang diberikan oleh
hakim kepada para pihak yang berperkara, terutama
adalah mengenai keterangan saksi. Saksi yang
ditampilkan dipersidangan harus efektif dan
keterangannya dapat bernilai sebagai alat bukti.
H a k i m menjelaskan tentang syarat formil dan syarat
materiil yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Syarat
formilnya tidak boleh bertentangan dengan pasal 145
HIR atau pasal 172 RBG yaitu kelompok orang-orang
125
yang tidak boleh diajukan sebagai saksi. Sedang syarat
materiil yang harus dipenuhi saksi adalah keterangan yang
diberikan berdasar penglihatan, pendengaran atau
pengalaman langsung dari peristiwa yang disengketakan.
6. Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan
jawaban
Mengenai cara pengajuan eksepsi (pasal 136 HIR atau
pasal 162 RBG) perlu penjelasan dari hakim, termasuk
jenis-jenis eksepsi yang dapat diajukan.
7. Bantuan memanggil saksi secara resmi
Pada prinsipnya, dalam perkara perdata para pihak sendiri
yang membawa saksi yang diajukan dipersidangan. Namun
adakalanya saksi yang diperlukan tidak bersedia hadir,
padahal kesaksiannya sangat penting dan menentukan.
Pengadilan dapat membantu memanggil saksi secara resmi
126
agar hadir dipersidangan (pasal 139 ayat 1 HIR atau pasal
165 RBG). Bahkan kalau s a k s i dipanggil secara resmi dua
kali berturut-turut belum datang, pengadilan dapat memaksa
hadir melalui kejaksaan atau kepolisian ( Pasal 141 ayat 2 HIR
atau pasal 167 ayat 2 RBG).
8. Memberi bantuan upaya hukum
Diantara para pencari keadilan, ternyata masih banyak yang
tidak mampu dalam segala hal. Namun bantuan tersebut
tidak boleh memihak dan merusakkan asas persamaan hak
dan kedudukan dihadapan hukum.
9. Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi
Dlm praktek, sering terjadi adanya kesalahan prosedur,
misalnya permintaan banding terhadap putusan verstek,
menurut ketentuan pasal 128 dan 129 HIR atau pasal 153
RBG dinyatakan bahwa upaya hukum yang tepat untuk itu
adalah melalui verzet.
127
10. Mengarahkan dan membantu merumuskan perdamaian .
(Ps.130 HIR jo. Ps.154 RBG jo. Ps.39 UU No.Th. 1974 jo. Ps.65 UU No.7 Thn. 1989 jo. Ps.31 PP No. 9 Thn.
1975)
Dalam UU ditegaskan bahwa usaha mendamaikan yang diperankan hakim harus secara aktif. Memberi saran
dan rumusan berdasarkan kehendak bebas dari para pihak , sejak sidang I, sampai putusan dijatuhkan
Dengan berkembangnya profesi pemberi jasa hukum atau ADVOKAT, dan bantuan hukum, kesepuluh
kegiatan tersebut dapat dibantu oleh Advokat dan Pemberi Bantuan Hukum, diluar Pengad, maupun dlam
proses berperkara.

128
Perkataan pencari keadilan itu
mengandung makna konotasi
pihak penggugat. Ditinjau dari
segi hukum perdata, yang
berperkara didepan sidang
pengadilan dan sama-sama
mencari keadilan itu adalah

129
B. Pengertian Yurisprudensi
Dalam kepustakaan hukum Indonesia yang disebut
yurisprudensi adalah kumpulan atau sari keputusan
Mahkamah Agung (dan Pengadilan Tinggi) mengenai
perkara tertentu berdasarkan pertimbangan (kebijak-
sanaan) hakim sendiri yang diikuti sebagai pedoman oleh
hakim lain dalam memutus perkara yang sama atau hampir
sama.
Apa sebabnya hakim di suatu pengadilan
mempergunakan putusan hakim lain dalam menyelesaikan
suatu putusan?

130
1. Karena Mahkamah Agung merupakan badan peradilan
tertinggi yang melakukan pengawasan terhadap
pengadilan-pengadilan (yang lebih rendah) peradilan di
tanah air kita.
2. Selain faktor psikologis, juga faktor praktis yang
menyebabkan hakim yang lebih rendah mengikuti
keputusan hakim yang lebih tinggi. Biasanya untuk
perkara yang sama hakim pada pengadilan yang
kedudukannya lebih tinggi akan “memperbaiki”
putusan hakim pengadilan yang lebih rendah.
3. Hakim salah satu pengadilan mengikuti putusan hakim
lain, karena ia menyetujui pertimbangan yang dimuat
dalam putusan hakim lain itu.

131
Pada tahun 1865, Mahkamah Agung Hindia Belanda
menentukan dalam pertimbangannya bahwa harta warisan
dikuasai oleh hukum pewaris.

1. Pentingnya atau Manfaat Yurisprudensi


Pengembangan hukum Islam, d a p a t dilakukan
melalui:
ijtihad bersama melalui peraturan perundang-
undangan,
yurisprudensi.
Pengembangan hukum Islam melalui yurisprudensi,
menurut Prof. H. Moh. Daud Ali, adalah perlu dan baik karena
yurisprudensi, menggambarkan keadilan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, juga s e l a r a s dengan
kesadaran hukum masyarakat muslim Indonesia.
132
Para hakim PA, haqrus paham benar tentang hukum Islam,
h a r u s memperhatikan sungguh-sungguh nilai-nilai
hukum yang terdapat dalam masyarakat.

2. Yurisprudensi Peradilan Agama


Pada tahun 1865, Mahkamah Agung Hindia Belanda
menentukan dalam pertimbangannya bahwa hukum
harta warisan dikuasai (ditetapkan) oleh pewaris.
Garis hukum ini menjadi yurisprudensi tetap dalam
pengadilan Indonesia dan dipakai sampai sekarang.
Ruang lingkup yurisprudensi peradilan agama
terbatas pada hukum yang menjadi wewenang dan hukum
acara peradilan agama.

133
Pd. tahun anggaran 1992/1993, Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) membentuk satu tim untuk
menginventarisasi, sekaligus menganalisa dan
mengevaluasi yurisprudensi Peradilan Agama selama 27
tahun, dari tahun 1958 sampai dengan tahun 1985.
Dari ke 96 putusan yang memuat enam belas soal
yang dianalisis dan dievaluasi, masih banyak yang perlu
dibina dan ditingkatkan, yi: (1) proses berperkara di sidang
pengadilan. (2) Bentuk putusan yang tidak sesuai dengan
bentuk putusan suatu pengadilan. (3) Bunyi amar putusan
beberapa Pengadilan Agama tingkat pertama tidak
menggambarkan isi gugatan. (4) Dasar hukum yang
dijadikan landasan putusan Pengadilan Agama adalah
berbagai peraturan perundang-undangan pembentukan
peradilan agama secara umum,
134
mulai dari S. 1882:152 sampai dengan Instruksi Direktur
Jenderal Bimbingan Islam Departemen Agama.
(5) Salah satu Pengadilan Agama di Sumatera Barat
mengabulkan permohonan Penggugat yang telah
menjatuhkan talak satu kepada istrinya (Tergugat) di luar
sidang Pengadilan.
(6) Penerapan kaidah hukum yang tidak tepat.

135
BANTUAN HUKUM,
YURISPRUDENSI PERADILAN
AGAMA DAN CONTOH
YURISPRUDENSI

Team Pengajar Mata Kuliah


Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama
136
A. Pengertian Bantuan Hukum
Pengertian advokat berdasarkan pasal 1 butir 1 UU
No. 18 tahun 2003 adalah orang yang berprofesi memberi
jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-
undang ini.
Jasa hukum oleh advokat dapat dikelompokan dalam
litigasi dan non litigasi.
Litigasi yaitu pemberian jasa hukum bagi siapa saja
yang membutuhkan sebelum dan selama proses
persidangan perkara di pengadilan.
Non ligitasi adalah pemberian nasehat dan jasa
hukum bagi siapa saja yang membutuhkan dan tidak
dalam proses berperkara di Pengadilan.
137
Dalam Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 82 ayat (2) UU No. 7
tahun 1989 jo. Pasal 123 ayat (1) HIR, jo. Pasal 147 Rbg.
Seorang pemberi bantuan hukum dan jasa hukum dapat
mendampingi para pihak a t a u dapat juga mewakili para
pihak setelah menerima surat kuasa khusus
Dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 18 tahun 2003 Tentang
Advokat dijelaskan bahwa :
Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang
berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah
mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang
dilaksanakan oleh Organisasi.
Dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-undang ini
diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum,
fakultas syari’ah, perguruan tinggi hukum militer, dan
perguruan tinggi ilmu kepolisian.
138
1. Pemberian Bantuan Oleh Hakim
Yahya Harahap dalam buku Kedudukan Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989
menguraikan batas pemberian bantuan, bantuan yang
dimaksud dalam uraian beliau adalah bantuan hukum oleh
hakim kepada para pencari keadilan yang dibutuhkan
sebelum dan selama berlangsungnya proses perkara di
pengadilan.
Pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo pasal 5
ayat 2 UU No. 14 tahun 1970 jo. Pasal 5 ayat 2 UU No. 4
tahun 2004 merupakan pedoman bagi hakim dalam
melaksanakan fungsi pemberi bantuan. Ditinjau dari segi
hukum perdata, yang berperkara dan sama-sama mencari
keadilan itu adalah pihak penggugat dan pihak tergugat.

139
Tentang batasan umum dapat dijelaskan bahwa
pemberian bantuan atau nasehat adalah sesuai dengan
hukum sepanjang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
masalah formil. Terutama berkenaan dengan tata cara
berproses di depan sidang pengadilan, hal-hal yang
berkenaan dengan masalah materiil atau pokok perkara
tidak termasuk dalam jangkauan fungsi tersebut.
Masalah formil pemberian bantuan hukum adalah :
1. Membuat gugatan bagi yang buta huruf.
Pasal 120 HIR atau pasal 144 ayat 1 RBG.
Penggugat yang buta huruf dapat mengajukan gugatan
lisan kepada Ketua Pengadilan dan Ketua Pengadilan wajib
mencatatnya.

140
2. Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”
Pasal 237 sampai dengan pasal 245 HIR.
3. Menyarankan penyempurnaan surat kuasa.
Syarat-syarat surat kuasa khusus yang sah adalah :
a. Harus berbentuk tertulis. Ada tiga alternatif yaitu berupa
akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh pemberi
kuasa dan penerima kuasa. Atau akta yang dibuat oleh
panitera pengadilan yang dilegalisir oleh Ketua Pengadilan
/ Hakim. Atau dapat juga dengan akta otentik yang dibuat
notaris.
b. Harus disebutkan nama para pihak yang berperkara ,
c. Harus ditegaskan tentang hal yang disengketakan secara
jelas.
d. Harus disebut dan dirinci batas-batas tindakan yang dapat
dilakukan penerima kuasa.
141
4. Menganjurkan perbaikan surat gugat,
sepanjang kekurangan yang ada masih menyangkut
masalah formil, h a k i m berwenang memberi bantuan
atau nasehat.
5. Memberi penjelasan alat bukti yang sah
Penjelasan alat bukti yang sah yang diberikan oleh
hakim kepada para pihak yang berperkara, terutama
adalah mengenai keterangan saksi. Saksi yang
ditampilkan dipersidangan harus efektif dan
keterangannya dapat bernilai sebagai alat bukti.
H a k i m menjelaskan tentang syarat formil dan syarat
materiil yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Syarat
formilnya tidak boleh bertentangan dengan pasal 145
HIR atau pasal 172 RBG yaitu kelompok orang-orang
142
yang tidak boleh diajukan sebagai saksi. Sedang syarat
materiil yang harus dipenuhi saksi adalah keterangan yang
diberikan berdasar penglihatan, pendengaran atau
pengalaman langsung dari peristiwa yang disengketakan.
6. Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan
jawaban
Mengenai cara pengajuan eksepsi (pasal 136 HIR atau
pasal 162 RBG) perlu penjelasan dari hakim, termasuk
jenis-jenis eksepsi yang dapat diajukan.
7. Bantuan memanggil saksi secara resmi
Pada prinsipnya, dalam perkara perdata para pihak sendiri
yang membawa saksi yang diajukan dipersidangan. Namun
adakalanya saksi yang diperlukan tidak bersedia hadir,
padahal kesaksiannya sangat penting dan menentukan.
Pengadilan dapat membantu memanggil saksi secara resmi
143
agar hadir dipersidangan (pasal 139 ayat 1 HIR atau pasal
165 RBG). Bahkan kalau s a k s i dipanggil secara resmi dua
kali berturut-turut belum datang, pengadilan dapat memaksa
hadir melalui kejaksaan atau kepolisian ( Pasal 141 ayat 2 HIR
atau pasal 167 ayat 2 RBG).
8. Memberi bantuan upaya hukum
Diantara para pencari keadilan, ternyata masih banyak yang
tidak mampu dalam segala hal. Namun bantuan tersebut
tidak boleh memihak dan merusakkan asas persamaan hak
dan kedudukan dihadapan hukum.
9. Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi
Dlm praktek, sering terjadi adanya kesalahan prosedur,
misalnya permintaan banding terhadap putusan verstek,
menurut ketentuan pasal 128 dan 129 HIR atau pasal 153
RBG dinyatakan bahwa upaya hukum yang tepat untuk itu
adalah melalui verzet.
144
10. Mengarahkan dan membantu merumuskan perdamaian .
(Ps.130 HIR jo. Ps.154 RBG jo. Ps.39 UU No.Th. 1974 jo. Ps.65 UU No.7 Thn. 1989 jo. Ps.31 PP No. 9 Thn.
1975)
Dalam UU ditegaskan bahwa usaha mendamaikan yang diperankan hakim harus secara aktif. Memberi saran
dan rumusan berdasarkan kehendak bebas dari para pihak , sejak sidang I, sampai putusan dijatuhkan
Dengan berkembangnya profesi pemberi jasa hukum atau ADVOKAT, dan bantuan hukum, kesepuluh
kegiatan tersebut dapat dibantu oleh Advokat dan Pemberi Bantuan Hukum, diluar Pengad, maupun dlam
proses berperkara.

145
Perkataan pencari keadilan itu
mengandung makna konotasi
pihak penggugat. Ditinjau dari
segi hukum perdata, yang
berperkara didepan sidang
pengadilan dan sama-sama
mencari keadilan itu adalah

146
B. Pengertian Yurisprudensi
Dalam kepustakaan hukum Indonesia yang disebut
yurisprudensi adalah kumpulan atau sari keputusan
Mahkamah Agung (dan Pengadilan Tinggi) mengenai
perkara tertentu berdasarkan pertimbangan (kebijak-
sanaan) hakim sendiri yang diikuti sebagai pedoman oleh
hakim lain dalam memutus perkara yang sama atau hampir
sama.
Apa sebabnya hakim di suatu pengadilan
mempergunakan putusan hakim lain dalam menyelesaikan
suatu putusan?

147
1. Karena Mahkamah Agung merupakan badan peradilan
tertinggi yang melakukan pengawasan terhadap
pengadilan-pengadilan (yang lebih rendah) peradilan di
tanah air kita.
2. Selain faktor psikologis, juga faktor praktis yang
menyebabkan hakim yang lebih rendah mengikuti
keputusan hakim yang lebih tinggi. Biasanya untuk
perkara yang sama hakim pada pengadilan yang
kedudukannya lebih tinggi akan “memperbaiki”
putusan hakim pengadilan yang lebih rendah.
3. Hakim salah satu pengadilan mengikuti putusan hakim
lain, karena ia menyetujui pertimbangan yang dimuat
dalam putusan hakim lain itu.

148
Pada tahun 1865, Mahkamah Agung Hindia Belanda
menentukan dalam pertimbangannya bahwa harta warisan
dikuasai oleh hukum pewaris.

1. Pentingnya atau Manfaat Yurisprudensi


Pengembangan hukum Islam, d a p a t dilakukan
melalui:
ijtihad bersama melalui peraturan perundang-
undangan,
yurisprudensi.
Pengembangan hukum Islam melalui yurisprudensi,
menurut Prof. H. Moh. Daud Ali, adalah perlu dan baik karena
yurisprudensi, menggambarkan keadilan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, juga s e l a r a s dengan
kesadaran hukum masyarakat muslim Indonesia.
149
Para hakim PA, haqrus paham benar tentang hukum Islam,
h a r u s memperhatikan sungguh-sungguh nilai-nilai
hukum yang terdapat dalam masyarakat.

2. Yurisprudensi Peradilan Agama


Pada tahun 1865, Mahkamah Agung Hindia Belanda
menentukan dalam pertimbangannya bahwa hukum
harta warisan dikuasai (ditetapkan) oleh pewaris.
Garis hukum ini menjadi yurisprudensi tetap dalam
pengadilan Indonesia dan dipakai sampai sekarang.
Ruang lingkup yurisprudensi peradilan agama
terbatas pada hukum yang menjadi wewenang dan hukum
acara peradilan agama.

150
Pd. tahun anggaran 1992/1993, Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) membentuk satu tim untuk
menginventarisasi, sekaligus menganalisa dan
mengevaluasi yurisprudensi Peradilan Agama selama 27
tahun, dari tahun 1958 sampai dengan tahun 1985.
Dari ke 96 putusan yang memuat enam belas soal
yang dianalisis dan dievaluasi, masih banyak yang perlu
dibina dan ditingkatkan, yi: (1) proses berperkara di sidang
pengadilan. (2) Bentuk putusan yang tidak sesuai dengan
bentuk putusan suatu pengadilan. (3) Bunyi amar putusan
beberapa Pengadilan Agama tingkat pertama tidak
menggambarkan isi gugatan. (4) Dasar hukum yang
dijadikan landasan putusan Pengadilan Agama adalah
berbagai peraturan perundang-undangan pembentukan
peradilan agama secara umum,
151
mulai dari S. 1882:152 sampai dengan Instruksi Direktur
Jenderal Bimbingan Islam Departemen Agama.
(5) Salah satu Pengadilan Agama di Sumatera Barat
mengabulkan permohonan Penggugat yang telah
menjatuhkan talak satu kepada istrinya (Tergugat) di luar
sidang Pengadilan.
(6) Penerapan kaidah hukum yang tidak tepat.

152
PEMBUKTIAN DALAM HUKUM
ISLAM DAN PRAKTIKNYA DI
PENGADILAN AGAMA
INDONESIA

Oleh :
Tim Pengajar Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama
FHUI
A. PENGERTIAN
PEMBUKTIAN
Pembuktian menurut istilah bahasa Arab
berasal dari kata “Al-bayinah” yang
artinya “suatu yg menjelaskan.” ibn al-
Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya At-
Turuq al Hukmiyah mengertikan
“bayyinah” sebagai segala sesuatu atau
apa saja yang dapat mengungkapkan
dan menjelaskan kebenaran sesuatu.
Menurut Prof. Dr. Supomo pembuktian
mempunyai arti luas dan arti terbatas.
Dalam arti luas, pembuktian berarti
memperkuat keyakinan kesimpulan
hakim dengan syarat-syarat bukti yang
syah.
Dalam arti terbatas pembuktian itu
hanya diperlukan apabila yang
dikemukakan oleh penggugat itu di
bantah oleh tergugat.
Tingkatan keyakinan hakim tersebut adalah :
1. “Yaqiin” : meyakinkan, yaitu si hakim benar-
benar yakin (terbukti 100%)
2. “Zhaan” : sangkaan yang kuat, yaitu lebih
condong untuk membenarkan adanya
pembuktian (terbukti 75-99%)
3. “Syubhaat” : ragu-ragu (terbukti 50%)
4. “Waham” : sangsi, lebih banyak tidak adanya
pembuktian dari pada adanya (terbukti <
50%), maka pembuktiannya lemah.
Suatu pembuktian diharapkan dapat memberikan
keyakinan hakim pada tingkat yang meyakinkan.
Nabi Muhammad SAW., lebih cenderung
mengharamkan atau menganjurkan untuk
meninggalkan perkara syubhat. Dalam salah satu
hadits sahih, Nabi SAW., menyebutkan :
“… sesungguhnya yg halal itu jelas dan yg haram
itu jelas. Diantara keduanya ada yg syubhat
(perkara yg samar) yg kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya. Maka … dan barang siapa yg jatuh
melakukan perkara yg samar itu, maka ia telah
jatuh dalam perkara yg haram…” (riwayat Al-
Bukhori dan Muslim).
Suatu pembuktian memerlukan adanya dalil.
Dalil dalam Hukum Islam dimaksudkan untuk
mendudukkan kebenaran pada kebenaran
materil.

Dalil Hukum
Dalil hukum pada pembuktian ini hanya
diarahkan pada kaedah-kaedah fikih antara lain :
“… bukti-bukti itu dibebankan kepada
penggugat, dan sumpah dibebankan kepada
yang menolak gugatan.”
“…. Perdamaian adalah boleh dalam
suatu perkara, kecuali dalam hal
mendamaikan yang halal dengan yang
haram…”
B. ALAT-ALAT BUKTI YANG DIAKUI
DAN DIGUNAKAN DALAM
PEMBUKTIAN DI PENGADILAN AGAMA

Landasan berpijak tentang pembuktian.


Diantaranya, terdapat dalam Q. II: 282; Q.
III: 81; Q. IV: 6; Q. V:106, Q.XII: 26,
Q.LXV: 2 dan Q.XXIV: 4 dan 6.
Alat-alat bukti yang dapat digunakan di
Pengadilan Agama adalah:
1. Ikrar (pengakuan)
2. Syahadah (saksi)
3. Yamin (sumpah)
4. Riddah (murtad)
5. Maktubah (bukti tertulis)
6. Tabbayun (pemeriksaan koneksitas)
7. Alat bukti untuk bidang pidana.
C. ALAT-ALAT BUKTI YANG
DIGUNAKAN DI PENGADILAN
AGAMA
Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Th
2006 tentang Peradilan Agama menentukan
bahwa hukum acara yang berlaku pada
pengadilan di lingkungan Peradilan Agama
dalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
kecuali yang telah diatur khusus dalam
undang-undang ini.
Alat-alat bukti tersebut antara lain :
1. Pembuktian dengan Surat (alat bukti
tertulis)
2. Keterangan saksi
3. Persangkaan hakim
4. Pengakuan
5. Sumpah
6. Pemeriksaan setempat (descente)
7. Keterangan ahli
Alat Bukti Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (Ps.
155-158, 177), Rbg. (Ps. 182-185, 314)
dan BW (Ps. 1929-1945). Ada 3 (tiga)
macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :

a. Sumpah pelengkap (suppletoir);


b. Sumpah pemutus yang bersifat
menentukan (decisoir); dan
c. Sumpah penaksiran (aestimatoir,
schattingseed).
Pembuktian yang secara khusus diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
terutama menyangkut tentang sengketa
perkawinan adalah :

1) Pembuktian dalam permohonan cerai


talak (Pasal 70);
2) Pembuktian dalam gugatan perceraian
didasarkan atas alasan salah satu pihak
mendapat pidana penjara (Pasal 74);
3) Pembuktian dalam gugatan perceraian
didasarkan atas alasan tergugat
mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami (Pasal 75);
4) Pembuktian dalam gugatan didasarkan
atas alasan Syiqaq (Pasal 76);
5) Pembuktian dalam gugatan perceraian
didasarkan atas alasan zina (Pasal 87).
UPAYA BANDING,
KASASI DAN
PENINJAUAN KEMBALI

Kuliah Hukum Acara Perdata Peradilan


Agama, Tgl.28-11-2007
Kelas A : Ibu Wismar ‘Ain M, SH.MH.
Kelas B : Ibu Gemala Dewi, SH.LL.M.
A. UPAYA BANDING

1. Pengertian
2. Tata Cara dan Dasar Hukum
3. Pemeriksaan Tingkat Banding
4. Jangkauan Pemeriksaan Banding
5. Dasar Hkum Pemeriksaan Banding dlm
UU No. 7 Th. 1989 jo. UU No. 3 Th. 2006
A.Upaya Banding

• Apabila salah satu pihak yang berperkara


merasa bahwa putusan hakim tidak (belum)
memenuhi rasa keadilan, para pihak dapat
mengajukan keberatan atas putusan hakim pada
tingkat pertama (I), untuk diperiksa kembali
oleh pengadilan (peradilan) di tingkat yang
lebih tinggi. Y a i t u m e l a l u i :
• Upaya hukum biasa; banding dan Kasasi
• Upaya hukum luar biasa: Peninjauan Kembali
1. Pengertian

Banding ialah permohonan yang diajukan oleh


salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar
penetapan atau putusan yang dijatuhkan
pengadilan Agama diperiksa ulang dalam
pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan
Tinggi Agama, karena merasa belum puas dengan
putusan Pengadilan tingkat pertama.
2. Tata Cara dan Dasar Hukum
Berdasarkan Pasal 7-15 UU No. 20 Tahun 1947
tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura,
maka tata cara permohonan banding adalah :
a. Tenggang waktu permohonan banding:
1) 14 hari setelah putusan diucapkan, apabila
waktu putusan di ucapkan pihak pemohon
banding hadir sendiri di Persidangan atau.,
2) 14 hari sejak putusan diberitahukan apabila
pemohon banding tidak hadir pada saat
putusan diucapkan di Persidangan.,
3) Jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari
tanggal pemberitahuan putusan dari
Pengadilan Tinggi kepada pemohon
banding (Pasal 7 ayat 3)
b. Permohonan banding disampaikan kepada
panitera Pengadilan yang memutus perkara
Pengadilan Agama yang hendak di banding.
c. Yang berhak mengajukan : 1) Pihak
berperkara; 2) kuasanya setelah mendapat
kuasa khusus.
d. Bentuk permintaan banding : 1) dengan lisan;
2) secara tertulis
e. Biaya banding : dibebankan kepada pemohon
bukan kepada pihak Termohon
f. Panitera bertugas :
1) Meregistrasi (mendaftar) permohonan
2) Membuat akta banding
3) Melampirkan akta banding dalam berkas
perkara sebagai bukti dari PTA.
g. Juru sita menyampaikan pemberitahuan
permohonan banding kepada pihak lawan.
h. Penyampaian pemberitahuan (inzage) oleh
juru sita :
1) Selambat-lambatnya dalam tempo 14 hari
dari tanggal permohonan banding
2) Pemberitahuan (inzage) disampaikan
kepada kedua belah pihak yang berperkara
i. Penyampaian memori banding :
Memori banding bukan syarat formal, seperti di
tegaskan dalam Putusan MA tanggal 14 Agustus
Tahun 1957 No. 143K/Sip/1956.
1) Tenggang waktu mengajukan memori
banding tidak terbatas.
2) Harus memberitahu dengan relas adanya
memori banding kepada pihak lawan.
3) Harus memberitahu dengan relas adanya kontra
memori banding kepada pemohon banding.
4) Memori banding, kontra memori banding dan relas
pemberitahuan dilampirkan dalam berkas perkara.

j) Satu bulan sejak tanggal permohonan banding,


berkas perkara harus dikirim ke Pengadilan
Tinggi (Pasal 11 ayat 2 UU tahun 1947).
3. Pemeriksaan Tingkat
Banding
a.
a. Dilakukan berdasar berkas perkara :
Dilakukan berdasar berkas perkara :
Pemeriksaan pada Tingkat banding dilakukan
melalui Berita Acara Pemeriksaan Pengadilan
Tingkat Pertama, yaitu “berdasar berkas
perkara”
b. Apabila dianggap perlu dapat melakukan
“Pemeriksaan tambahan”, melalui proses :
1) Pemeriksaan tambahan berdasar Putusan
Sela, sebelum menjatuhkan putusan akhir;
atau putusan ditangguhkan menunggu
hasil pemeriksaan tambahan.
2) Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan
sendiri oleh Pengadilan Tinggi Agama
(PTA).
3) Pelaksanaan pemeriksaan tambahan
diperintahkan kepada pengadilan yang
semula memeriksa dan memutus pada
tingkat pertama.
4) Pemeriksaan tingkat banding dilakukan
dengan majelis; Pasal 11 ayat 1 Lembaran
Negara No. 36 Tahun 1955, di pertegas
dalam Pasal 15 UU No. 14 Tahun 1970
4. Jangkauan Pemeriksaan
Banding
Putusan Pengadilan Agama yang dapat
dibanding ialah putusan akhir yang sudah
mengakhiri sengketa secara keseluruhan.
5. Dasar-dasar Hukum Pemeriksaan
Banding dalam UU No. 7 Tahun 1989
a) Penjelasan umum angka 2 (dua) alinea 1
dan alinea 8 dinyatakan bahwa : Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
dalam UU ini dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama dan PTA yang berpuncak pada
Mahkamah Agung. PTA merupakan
Pengadilan Tingkat Banding terhadap
perkara-perkara yang diputus oleh PA dan
merupakan Pengadilan tingkat 1 dan terakhir
mengenai sengketa mengadili antara
Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
b. Pasal 4 ayat 2 PTA berkedudukan di Ibu Kota
Propinsi, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Propinsi.
c. Pasal 6 butir 2 Pengadilan terdiri dari :
1) Pengadilan Agama, yang merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama.
2) PTA yang merupakan Pengadilan
Tingkat Banding.
d. Pasal 8 PTA dibentuk dengan UU.
e. Pasal 9 ayat 2 susunan PTA terdiri dari
Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera dan
Sekretaris.
f. Pasal 10 ayat 2 pimpinan PTA terdiri dari
seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.
g. Pasal 12 Pembinaan dan pengawasan
terhadap Hakim sebagai Pegawai Negeri
dilakukan oleh Menteri Agama.
h. Pasal 13 Syarat-syarat Menjadi Hakim
Pengadilan Agama.
i. Pasal 14 ayat 1 untuk dapat di angkat
menjadi Hakim pada PTA, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
(1) Syarat sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 13 ayat 1 huruf a s/d i.
(lihat perubahan menurut UU No. 3
Tahun 2006)
(2) Berumur serendah-rendahnya 40
(empat puluh) tahun.
(3) Berpengalaman sekurang-kurangnya 5
tahun sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Pengadilan Agama atau 15 tahun
sebagai Hakim Pengadilan Agama.
j. Pasal 51 ayat 1 PTA bertugas dan berwenang
mengadili perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Pasal 51 ayat 2 PTA bertugas dan berwenang
mengadili di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antara
Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
k. Pasal 53 ayat 2 PTA melakukan pengawasan
terhadap jalannya Peradilan di tingkat
Pengadilan Agama dan menjaga agar
Peradilan diselenggarakan dengan seksama
dan sewajarnya.
l. Pasal 61 atas Penetapan dan putusan
Pengadilan Agama dapat di mintakan
banding oleh pihak yang berperkara, kecuali
apabila UU menentukan lain.
B. UPAYA KASASI
1. Pengertian dan Dasar Hukum
2. Syarat-Syarat Kasasi
3. Prosedur (Tata Cara) Permohonan Kasasi
1. Pengertian dan Dasar
Hukum
Kasasi adalah suatu upaya hukum biasa
Kasasi adalah suatu upaya hukum biasa yang
kedua, yang diajukan oleh pihak yang merasa
tidak puas atas penetapan dan putusan di bawah
Mahkamah Agung mengenai :
a. Kewenangan Pengadilan.
b. Kesalahan penerapan hukum yang dilakukan
pengadilan bawahan (Tingkat I/II). Dalam
memeriksa dan memutus perkara.
c. Kesalahan atau kelalaian dalam cara-cara
mengadili menurut syarat-syarat yang ditentukan
peraturan perundang-undangan.
2. Syarat-Syarat Kasasi
Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi
adalah :
a. Diajukan oleh pihak yang berhak
mengajukan kasasi.
b. Diajukan masih dalam tenggang waktu
kasasi
c. Putusan atau penetapan judex, factie,
menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
d. Membuat memori kasasi
e. Membayar panjar (uang muka) biaya kasasi.
f. Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan
Agama yang bersangkutan.
Berbeda dengan permohonan banding di
mana pemohon banding tidak wajib
membuat memori banding, memori kasasi
merupakan syarat mutlak untuk dapat
diterimanya permohonan kasasi.
3. Prosedur (Tata Cara)
Permohonan Kasasi
a. Tenggang waktu mengajukan
permohonan kasasi:
1) 14 hari sejak tanggal pemberitahuan
Putusan Pengadilan Tinggi Agama
disampaikan secara resmi oleh Juru Sita
kepada yang bersangkutan.
Hal ini diatur dalam Pasal 46 ayat 1 dan
ayat 2.
b. Permohonan kasasi disampaikan kepada
Panitera Pengadilan Agama yang memutus
perkara.
c. Yang berhak mengajukan:
1) Pihak yang beperkara, atau
2) Wakil yang secara khusus diberi
kuasa. (Pasal 44 ayat 1 UU No.14
Tahun 1985).
C. Upaya Peninjauan
Kembali
1. Pengertian dan Dasar Hukum
2. Syarat-Syarat Permohonan Peninjauan
Kembali
3. Prosedur (Tata Cara Permohonan
Peninjauan Kembali)
1. Pengertian dan Dasar
Hukum
Peninjauan kembali atau request civiel yaitu memeriksa
dan mengadili atau memutus kembali putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
diketahui terdapat hal-hal baru yang dulu tidak dapat
diketahui, yang apabila terungkap maka keputusan hakim
akan menjadi lain.
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa yang
diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan hanya
dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung (Pasal 21 UU No.
14 Tahun 1970, selanjutnya diatur dalam Bab IV Bagian
ke-IV UU No. Tahun 1985, Pasal 66-76.
2. Syarat - syarat Permohonan
Peninjauan Kembali
Syarat-syarat Permohonan Peninjauan Kembali
ialah:
a. Diajukan oleh pihak yang beperkara, ahli
warisnya, atau wakilnya yang secara khusus
diberi kuasa untukitu.
b. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
c. Membuat permohonan peninjauan kembali yang
memuat alasan-alasannya.
d. Diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah
Agung melalui Ketua Pengadilan Agama yang
memutus perkara dalam tenggang waktu 180
hari (atau sesuai alasan yang disebutkan).
e. Membayar panjar (uang muka) biaya
peninjauan kembali.

3. Prosedur (Tata Cara Permohonan


Peninjauan Kembali)
1) Permohonan diajukan oleh Pemohon (ahli
warisnya, atau wakilnya) kepada Mahkamah
Agung melalui Ketua Pengadilan Agama yang
memutus perkara dalam tingkat pertama
(Pasal 70 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985).
2) Permohonan diajukan oleh pemohon secara
tertulis dengan me-nyebutkan sejelas-jelasnya
alasan yang dijadikan dasar permohonan.
3) Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia
menguraikan per-mohonannya secara lisan
dihadapan Ketua Pengadilan Agama yang
memutus perkara dalam tingkat pertama atau
Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan yang
akan membuat catatan tentang per-mohonan
tersebut. (Pasal 71 UU No. 14 Tahun 1985).
4) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus
dengan sekurang-kurangnya dengan tiga orang
hakim (Pasal 40 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985).
5) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan
hanya satu kali (Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1985.
6) Permohonan peninjauan kembali tidak
menangguhkan atau me-nantikan pelaksanaan
putusan (Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985).
7) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan
Pengadilan Agama yang memeriksa perkara dalam
tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat
banding) mengadakan pemeriksaan tambahan, atau
meminta segala hal keterangan serta pertimbangan
dari pengadilan yang dimaksud (Pasal 73 ayat (1)
UU No. 14 Tahun 1985).
8) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan
Pengadilan Agama yang memeriksa perkara
dalam tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi
(tingkat banding) mengadakan pemeriksaan
tambahan, atau meminta segala hal
keterangan serta pertimbangan dari
Pengadilan yang dimaksud (Pasal 73 ayat (1)
UU No. 14 Tahun 1985).
9) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut
selama belum diputus.
Uraian lebih lengkap mengenai tata cara
permohonan peninjauan kem­bali lihat A Mukti Arto
dalam praktik perkara perdata pada Pengadilan
Agama, him. 297-302.00
WEWENANG (KOMPETENSI)
PERADILAN AGAMA

Kuliah: Hukum Acara Peradilan Agama


Oleh: Gemala Dewi, SH., LL.M
Kompetensi Absolut
• Menurut UU NO. 7 Tahun 1989:
1. Bab I Ps. 2 Jo. Bab III Ps. 49 => Asas Personalitas
2. Bidang perkara: (a). Perkawinan,
(b). Kewarisan, Wasiat dan Hibah,
(c). Wakaf dan Sedekah.
• M. Yahya Harahap, Asas Personalitas Keislaman:
- mencakup: 1. Pihak-pihak
2. Perkara perdata tertentu
3. Hubungan hukum yang melandasi.
• Merupakan Peradilan Keluarga (family Court)
Kompetensi Absolut
• Menurut UU No. 3 Tahun 2006:
1. Perubahan Pasal 2 UU No.7 Th 1989: “Perkara perdata tertentu”
menjadi “Perkara Tertentu”.
2. Bidang perkara:
meliputi: (a) perkawinan, (b) waris, (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf,
(f) zakat, (g) infaq, (h) sadaqah dan (i) ekonomi syari’ah.
• Perluasan pengertian “Asas Personalitas”:
Penj. Pasal I Angka 37 tentang Perubahan Ps. 49 UU 7/89:
““Yang dimaksud dengan: “antara orang-orang yang beragama Islam”
adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-
hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan
Pasal ini”.
Kompetensi Absolut
• Kewenangan Bidang Perkawinan:
1. Izin beristeri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yg belum berumur 21 th
3. Dispensasi kawin
4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
6. Pembatalan perkawinan
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri
8. Perceraian karena talak
9. Gugatan perceraian
10. Penyelesaian harta bersama
11. Penguasaan anak
Kompetensi Absolut
• Kewenangan Bidang Perkawinan:
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas isteri atau penentuan suatu kwjb bg bekas isteri
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
16. Pencabutan kekuasaan wali
17.Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan
18.Menunjuk seorang wali dlm hal tdk ada penunjukan wali bg anak
dbwh umur 18 th.
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian thd wali atas harta anak perwalian
20. Penetapan asal ususl anak
21. Putusan ttg penolakan pemberian keterangan perkawinan campuran.
22. Pernyataan ttg sahnya perkawinan sblm UU No. 1 Th 1974.
Kewenangan Bidang Kewarisan:

• Kewenangan Bidang Kewarisan, Wasiat dan Hibah:

- Pasal 49 ayat (3) UU No. 7 Th 1989:


meliputi: (a). Penetuan siapa-siapa yg mjd ahli waris;
(b). Penentuan harta peninggalan
(c ). Penentuan bagian msg2 ahli waris;
(d). Melaksanakan pembagian harta peninggalan.

- Penj. Umum UU No7/89 ttg “ Pilihan Hukum” dihapus!


Kewenangan Bidang Wakaf, Zakat,
Infak dan Sadaqah

• * Pada saat ini telah ada pengaturan tersendiri tentang wakaf


melalui Undang-Undang no. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf” jo PP
28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
• Wakaf adl P’buatan hk utk memisahkan dana/mnyerahkn sbg harta
utk dimanfaatkn selamanya a/ utk jgk wkt ttt sesuai dg
kpntingannya guna kperluan ibadah & atau kesejahteraan umum
mnrt syariah (Ps 1 (1) UU No. 41 Th 2004).

* Mengenai zakat telah diatur dlm UU No. 38 Tahun 1999 Tentang


Pengelolaan Zakat (mulai berlaku tahun 2001) jo. PMA No. 581 Th
1999 ttg juklak pengelolaan zakat.

=> Kemungkinan menyangkut bidang pidana!


Kewenangan Bidang Ekonomi Syariah
• Penjelasan Pasal I Angka 37, mengenai Perubahan bunyi Pasal 49 UU.
No.7 Tahun 1989, pada poin (i) disebutkan:
- yang dimaksud ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha
menurut prinsip syariah meliputi:
• a. bank syariah;
• b. asuransi syariah;
• c. reasuransi syariah;
• d. reksa dana syariah;
• e. obligasi syariah; dan surat berharga berjangka menengah syariah;
• f. sekuritas syariah;
• g. pembiayaan syariah;
• h. pegadaian syariah;
• i. dana pensiun lembaga keuangan syariah;
• j. bisnis syariah; dan
• k. lembaga keuangan mikro syariah.
Kewenangan PA lainnya

• Pasal 52 ayat (1) : memberi keterangan,


pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kpd
instansi pemerintah apabila diminta.
• Pasal 52 A : penetapan itsbath thd kesaksian orang
yg tlh melihat atau menyaksikan hilal bulan
Ramadhan dan Syawal th Hijriyah utk penetapan
Menteri Agama.
• Pasal 56 UU No 7/89: Pengadilan tidak boleh
menolak
perkara.
Penutup

•Terima kasih
Kompetensi Peradilan
Agama
Pertemuan 7
Kewenangan Peradilan Agama
• Menurut M Yahya Harahap, tugas dan
kewenangan peradilan agama:
– Fungsi kewenangan mengadili
– Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah
– Kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-
undang
– Kewenangan PTA mengadili perkara dalam tingkat
banding dan mengadili sengketa kompetensi
relatif
– Bertugas mengawasi jalannya peradilan.
Kompetensi Peradilan Agama
• Kompetensi relatif:
– Ps 118 HIR atau Ps 142 RBg jo Ps 66 dan Ps 73 UU 7/1989
• Kompetensi absolut:
– Ps 49 UU 7/1989:
• Perkawinan
• Waris
• Wasiat
• Hibah
• Wakaf
• Zakat
• Infaq
• Shadaqah
• Ekonomi syariah
Kompetensi Relatif Peradilan
Agama
• Ps 118 HIR:
– Secara umum, pengadilan yang berwenang mengadili
adalah pengadilan di tempat kediaman Tgg (asas actor
sequitur forum rei)
– Apabila Tgg lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada
pengadilan di tempat salah seorang Tgg
– Apabila tempat tinggal Tgg tidak diketahui maka gugatan
diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal Pgg
– Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak maka
gugatan diajukan kepada pengadilan di wilayah hukum
dimana barang tsb terletak
– Apabila ada temapt tinggal yang dipilih dengan akta maka
gugatan diajukan kepada pengadilan yang dipilih dalam
akta tsb
Kompetensi Relatif Peradilan
Agama - 2
• Ps 66 UU 7/1989:
– Cerai talak (suami):
• Ditentukan oleh tempat kediaman termohon
• Pengecualian: di tempat kediaman pemohon bila:
– Termohon meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin pemohon
– Termohon bertempat tinggal di luar negeri

• Ps 73 UU 7/1989:
– Cerai gugat (istri):
• Ditentukan oleh tempat kediaman Pgg
• Pengecualian:
– Pgg sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tgg: di tempat
kediaman Tgg
– Pgg bertempat kediaman di luar negeri: di tempat kediaman Tgg
– Suami istri bertempat kediaman di luar negeri: tempat perkawinan
dilangsungkan atau ke PA Jakpus
Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Bidang perkawinan:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis
lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10.penyelesaian harta bersama;
11.penguasaan anak-anak;
12.ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
Kompetensi Absolut Peradilan Agama -
2
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18. penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di
bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain.
Kompetensi Absolut Peradilan Agama -
3
• Bidang waris
– penentuan siapa yang menjadi ahli waris
– penentuan mengenai harta peninggalan
– penentuan bagian masing-masing ahli waris
– melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut
– penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.

• Bidang wasiat: perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat


kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang
memberi tersebut meninggal dunia.

• Bidang hibah: pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan
dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk
dimiliki.
Kompetensi Absolut Peradilan Agama -
4
• Bidang wakaf: perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syari'ah.

• Bidang zakat: harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau
badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

• Bidang infaq: perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang


lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu
kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu
Wata'ala.
Kompetensi Absolut Peradilan Agama -
5
• Bidang shadaqah: perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain
atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh
waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala
dan pahala semata.

• Bidang ekonomi syariah:


– bank syari'ah
– lembaga keuangan mikro syari'ah
– asuransi syari'ah
– reasuransi syari'ah
– reksa dana syari'ah
– obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah
– sekuritas syari'ah
– pembiayaan syari'ah
– pegadaian syari'ah
– dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
– bisnis syari'ah.
Kompetensi Absolut Peradilan Agama -
6
Wewenang yang lainnya:
Ps 52A UU 3/2006: Pengadilan agama
memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.

Anda mungkin juga menyukai