Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pengacara, atau dalam istilah lain dikenal dengan advokat merupakan
salah satu dari wangsa alat penegak hukum (law enforcment), disamping
kejaksaan, kehakiman dan kepolisian. Dalam praktek peradilan, profesi
advokat atau pengacara sering berhadapan dengan masyarakat yang mana ia
adalah pembela hukum dari klien (terbela), sehingga jasa-jasa hukum yang
diberikan sungguh terasa, terutama bagi kalangan masyarakat awam.
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-undang.1 Advokat senantiasa bersedia membantu
dan menolong orang yang berada dalam kesulitan karena mempunyai suatu
permasalahan, memberikan bantuan jasa-jasa hukum kepada siapapun juga
yang memerlukan guna terhindar dari kasus permasalahan yang dihadapinya,
tentu dengan batas-batas keyakinannya dengan pengertian bahwa yang akan
dibela (klien) tidak akan menjadi korban ketidak adilan.2
Setiap orang yang memiliki hak dan ingin mempertahankannya di
muka pengadilan dapat bertindak sebagai pihak dalam perkara asalkan
memenuhi persyaratan, yakni mampu dan berwenang untuk menjadi
pendukung hak dan dapat bertindak atau melakukan perbuatan hukum. Orang1
2

Undang-undang RI No. 18 Tahun 2003, Tentang Advokat, Bab I, Pasal 1, ayat 1.


Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta; Librty, 1989), 7.

orang yang tidak mampu bertindak hukum, meskipun memiliki kepentingan


langsung dapatlah diwakili oleh orang lain. Disinilah, peran bagi pengacara
sangat terbuka dan nampak diakui keberadaannya.
Pada hakekatnya setiap perkara yang diajukan ke pengadilan tidaklah
mutlak harus ada pengacara, sebab di Indonesia tidak menganut asas
verphiee promvirstlling.3 Pada umumnya di Indonsia menganut asas ius
curia novit dimana hakim dianggap tahu hukum. Namun, kehadiran
pengacara dalam persidangan pengadilan diharapkan dapat membantu di
dalam mencari kebenaran hukum, seorang pengacara dapat membantu di
dalam mencari kebenaran hukum. Seorang pengacara atau advokat tidak boleh
membawa kepentingan pribadi tetapi harus obyektif dalam menjalankan
tugasnya membela suatu perkara.
Peradilan agama, dimana di dalamnya terjadi layanan hukum dan
keadilan, terutama menyangkut hukum keluarga, merupakan wilayah yang
tidak terlepas dari peran dan kinerja seorang pengacara. Demikian pula halnya
dengan keberadaan Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo. Pengadilan
Agama yang terletak di jalan Ir. Juanda No. 25 tersebut setiap hari menerima
berkas-berkas perkara yang diajukan oleh pihak-pihak yang mencari keadilan.
Dari berkas yang masuk, selama tahun 2007 tercatat 1075 penerimaan berkas
dengan berbagai macam perkara. Untuk kasus cerai gugat tercatat 599 berkas

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,


(Jakarta; Yayasan al-Hikmah, 2001), 47.

perkara selama tahun 2007. Data ini memperlihatkan begitu besarnya tingkat
perceraian di lingkungan Pengadilan Agama Ponorogo.4
Pengacara merupakan seorang penasehat hukum yang izin prakteknya
dikeluarkan oleh menteri kehakiman Republik Indonesia, sesudah diangkat ia
diwajibkan mengucapkan sumpah jabatan. Seorang pengacara dapat beracara
dimanapun di seluruh Nusantara, di semua lingkungan peradilan, seperti di
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara.5
Dalam kaitannya dengan pemberian bantuan hukum, tidak ada
ketentuan perundang-undangan

khusus yang menentukan bahwa seorang

pengacara yang berpraktek di lingkungan Pengadilan Agama harus beragama


Islam, dan tidak ada ketentuan resmi yang melarang pengacara non muslim
untuk Peradilan Agama pada dasarnya diperuntukkan untuk golongan tertentu
yang beragama Islam, maka sebaiknya pemberi bantuan hukum di lingkungan
Pengadilan Agama dilaksanakan oleh orang yang memahami dan menguasai
hukum Islam.6
Dalam kasus gugat cerai yang terjadi di Pengadilan Agama Ponorogo,
seorang pengacara yang telah menerima kuasa untuk beracara di pengadilan
dari kliennya, maka dia berkewajiban untuk membuat gugatan secara tertulis,
karena pada dasarnya gugatan secara lisan hanya bisa diajukan oleh yang

Arsip Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2006-2007.


SEMA No. 8 Tahun 1987.
6
Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, pasal 1,2,49 dan penjelasan umum angka 2, lihat pula Peraturan Menteri Agama
No. 2 tahun 1987 tentang wali hakim.
5

berkepentingan secara langsung.7 Selain itu sudah menjadi ketentuan


perundang-undangan bahwasannya pengajuan perkara dalam hal ini gugat
cerai, dalam permohonan atau dalam gugatannya, harus termuat alasan yang
menjadi dasar pengajuan gugatan.8
Pengadilan Agama diharapkan dapat menciptakan suatu upaya untuk
menegakkan

keadilan,

kebenaran,

ketertiban

dan

kepastian

hukum

sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo.


Undang-undang No. 4 tahun 2004.9 Untuk mencapai tujuan keadilan inilah,
pengacara yang menangani sebuah kasus akan meneliti, mengkaji masalah
sesuai dengan ketetapan hukum dengan mencari jalan damai terlebih dahulu.
Bila sudah terpaksa maka pengacara atas dasar surat kuasa dari kliennya
membuat surat gugatan, dengan bukti-bukti dan saksi yang mendukung di
muka pengadilan, sampai ditetapkannya putusan oleh hakim.
Yang menjadi persoalannya adalah, mengapa dalam kasus gugatan
cerai dalam masyarakat pada umumnya melibatkan pengacara. Padahal kita
ketahui bahwa permasalahan ini merupakan persoalan pribadi dalam keluarga.
Melibatkan pengacara sama halnya dengan membuka aib keluarga kepada
orang lain.

Ketentuan ini sejalan dengan keputusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 369 K/Sip/1973 tanggal 4 Desember 1975 yang menyatakan bahwa menurut pasal 144 ayat 10
Rbg dan pasal 120 HIR. orang yang diberikan kuasa tidak mempunyai hak untuk mengajukan
gugatan secara lisan kepada pengadilan. Lihat pula Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada
Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1978), 40.
8
Ahrum Hoerudin, Pengadilan Agama: Bahasan Pengertian, pengajuan perkara dan
kewenangan pengadilan agama setelah berlakunya Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo. Undangundang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), 22.
9
Amir Muslim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UUI
Press, 1999), 79.

Di sisi lain, umumnya jasa pengacara dibutuhkan dalam kondisi yang


sangat penting dan darurat apalagi dalam kasus perdata umumnya berkaitan
dengan masalah harta benda atau kekayaan.
Gugat cerai merupakan kasus perkawinan yang akhir-akhir ini sering
diajukan perkaranya di Pengadilan Agama. Gugatan perceraian diajukan oleh
pihak penggugat atau kuasanya kepada Pengadilan Agama di mana ia
bertempat tinggal.10 Dengan beberapa alasan karena adanya cacat fisik
(penyakit badan), delik perzinaan, kekerasan rumah tangga, adanya
pelanggaran

taklik

talak,

kemurtadan,

perlanggaran

perjanjian

yang

menyebabkan persengketaan secara terus menerus.11 Sedangkan sayyid sabiq


menyatakan bahwa gugatan perceraian dapat dilakukan bila ternyata tergugat
dari pihak suami maupun isteri. Bila dari pihak suami atau penyebab tidak
diketahui secara pasti maka diputuskan dengan talak bain. Sedangkan bila
penyebab dari pihak isteri, maka diputuskan dengan khulu', sehingga isteri
diwajibkan membayar tebusan sesuai dengan keputusan hakim.12
Sesuai dengan sifatnya, gugat cerai dengan jalan khulu' merupakan
perkara kontentius, yaitu sengketa perkawinan yang diajukan oleh isteri
sebagai pihak penggugat yang berlawanan dengan suami sebagai pihak
tergugat.13 Penyebutan isteri sebagai pihak penggugat dan suami sebagai pihak

10
11

Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 40 ayat (1).


Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 39 ayat (2), Kompilasi Hukum Islam pasal

116 dan 51.


12
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz VIII, hal. 123.
13
H. Hamzah Syahlani, Penemuan dan Masalah Hukum dalam Peradilan Agama, (Mari,
1994), 139.

tergugat secara tepat dengan identitasnya, menjadi satu hal yang penting untuk
membedakan antara gugat cerai dengan jalan khulu' dengan cerai talak.
Di antara alasan yang sering muncul dalam menggunakan jasa
pengacara di Pengadilan Agama Ponorogo adalah : pertama, masyarakat
merasa awam tentang hukum dan cara beracara di pengadilan, kedua, adanya
keterbatasan waktu yang dimiliki oleh orang yang berperkara, ketiga, adanya
ketidak mampuan orang yang berperkara, dan keempat adanya keyakinan
bahwa dengan jasa pengacara orang akan dapat memenangkan gugatannya.
Dalam penelitian lebih lanjut terungkap bahwasannya tidak semua
pengacara di lingkup Pengadilan Agama Ponorogo memiliki latar belakang
sarjana hukum syariah. Karena dari sekian banyak berkas perkara yang ada,
pengacara yang sering mendampingi orang yang berperkara di Pengadilan
Agama Ponorogo adalah sarjana hukum (umum).
Dari berbagai persoalan yang diajukan di Pengadilan Agama Ponorogo
dalam kasus gugat cerai pada tahun 2007 tercatat 112 perkara yang
menggunakan jasa pengacara.

Adapun

yang menjadi motif adanya

pembelaan pengacara dalam kasus gugat cerai diantaranya adalah, pertama,


kepentingan membela klien dalam kasusnya, kedua, adanya kewenangan yang
dimiliki dengan segala kemampuan yang ada, ketiga, keahlian atau disiplin
profesi dalam melakukan pembelaan.
Sebagai pembela dimuka hukum, tentunya penguasaan materi yang
digunakan sebagai rujukan sangat penting, sehinga pembelaan yang ia lakukan
terjamin

kualitasnya.

Dengan

profesi

yang

ada

pengacara

akan

memperjuangkan semaksimal mungkin kehendak klien dan segala cara harus


ditempuh agar hak-hak klien terpenuhi, tetapi tetap senantiasa berada di jalur
etika, sehinga tidak menyalahi aturan

yang berlaku. Karenanya dalam

melakukan pembelaan harus aktif baik dalam persidangan maupun di luar


persidangan.
Dari berbagai latar belakang tersebut, tentunya sangat dimungkinkan
pengkajian tentang praktek pengacara di lingkungan Pengadilan Agama
Ponorogo. Bagaimana sesungguhnya peran pengacara yang nota bene
berpendidikan di luar kompetensi Pengadilan Agama serta tindakan empiris
yang dilakukan tentunya sangat penting dilakukan. Disamping itu bagaimana
kualifikasi pengacara dan prosedur pengajuan gugatan melalui jasa pengacara
di lingkungan Pengadilan Agama Ponorogo akan dapat menjadi tolak ukur
bagaimana kualitas pelayanan hukum yang disampaikan oleh seorang
pengacara.
Maka dari itu, untuk mempermudah pembahasan, penulis akan
mengemas penelitian ini dengan judul PRAKTEK PENGACARA DALAM
PENDAMPINGAN KLIEN TERHADAP PERKARA GUGAT CERAI
DI PENGADILAN AGAMA PONOROGO (ANALISIS HUKUM
POSITIF)".
Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah tentang eksistensi pengacara
terhadap kasus gugat cerai di lingkungan Pengadilan, meskipun beberapa
aspek persoalan yang terkait juga dibahas. Hal ini dimaksudkan agar

pembahasan lebih menggigit dan memberikan bobot terhadap permasalahan


dimaksud.
B. Penegasan Istilah
Pengacara

: Ahli

hukum

yang

berwenang

bertindak

sebagai

penasehat atau pembela perkara di Pengadilan.14


Gugat Cerai

: Menuntut untuk berpisah dari seorang isteri terhadap


suami dari ikatan perkawinannya karena adanya
ketidakcocokan lagi dalam membina keutuhan rumah
tangga.

Pengadilan Agama : Nama satuan unit penyelenggara kekuasaan negara


dalam

menerima,

memeriksa,

memutuskan

dan

menyelesaikan perdata tertentu antara orang-orang yang


beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan
di wilayah Kabupaten Ponorogo.

C. Rumusan Masalah
Untuk penyelesaian penulisan skripsi ini agar lebih terarah dan mudah
dipahami, maka penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kualifikasi pengacara dalam perkara gugat cerai di Pengadilan
Agama Ponorogo menurut hukum positif?

14

Ibid, 731.

2. Bagaimana prosedur pengajuan gugatan melalui jasa pengacara dalam


perkara gugat cerai di Pengadilan Agama Ponorogo menurut hukum
positif?
3. Bagaimana peran dan fungsi pengacara dalam perkara gugat cerai di
Pengadilan Agama Ponorogo menurut hukum positif?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana kualifikasi pengacara dalam perkara gugat
cerai di Pengadilan Agama Ponorogo.
2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan gugatan melalui jasa
pengacara dalam perkara gugat cerai di Pengadilan Agama Ponorogo.
3. Untuk mengetahui bagaimana peran dan fungsi pengacara dalam perkara
gugat cerai di Pengadilan Agama Ponorogo.

E. Kegunaan Penelitian
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis penelitian ini di maksudkan agar dapat dijadikan rujukan
pengembangan pengetahuan hukum Islam dalam masa-masa yang akan
datang.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai jawaban atas
semua permasalahan yang ada kaitannya tentang kepengacaraan di
pengadilan agama.

10

F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mengambil jenis penelitian lapangan,
yaitu penelitian yang mengungkap permasalahan yang terjadi di lapangan/
masyarakat

untuk ditemukan penyelesaiannya

dengan teori Hukum

Positif, pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan secara


kualitataif. Penelitian kualitatif dalam pembahasan ini bersifat deskriptif
dimana data yang ingin didapatkan berupa kata-kata yang menggambarkan
situasi yang ingin diketahui.15
2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi di wilayah kerja
pada Pengadilan Agama Ponorogo yang terletak di Jalan Ir. Juanda No. 25
Kabupaten Ponorogo.
3. Sumber data
a. Primer, yaitu sumber data pustaka yang di peroleh langsung dari
sumber pertama,16 seperti:
(1) Hakim
(2) Panitera
(3) Pengacara
(4) Orang yang menggunakan jasa pengacara
(5) Dokumen, surat-surat, dan berkas yang ada kaitannya dengan
masalah yang dibahas.
15

Lihat Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: remaja


Rosdakarya, 2000), 4-6.
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI,Press,1981),12.

11

b. Sekunder, yaitu sumber data yang memberikan penjelasan mengenahi


sumber data primer,17 yang terdiri dari:
1) Undang-undang Perkawinan
2) Undang-undang No. 18 tahun 2003 Tentang Advokat.
3) Abdurrahman Saat Simaha, Cakrawala Advokat Indonesia.
4) Rambe Kopaan, Tehnik Praktek Advokad
5) Rosyadi Rahmad dan Sri Hartini, Advokad dalam Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif.
6) Sintona Silaban Ngoringo dan Moh Yudiarmi Susi, Advokad Muda
Indoensia.
7) Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Pengadilan Agama.
4. Tehnik Pengumpulan Data
a. Wawancara, yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengana cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan responden atau yang diwawancarai.18 Adapun
responden dalam penelitian ini adalah :
1) Hakim
2) Panitera
3) Pengacara
4) Orang yang menggunakan jasa pengacara

17

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), 13
18
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian ., 141.

12

b. Observasi, adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk


menghimpun data penelitian, data penelitian tersebut dapat diamati.
5. Tehnik Analisa Data
a. Reduction (reduksi data), yaitu merangkum, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya.
b. Display, yaitu menyajikan data dalam bentuk uraian singkat
c. Conslusion drawing/ verification, yaitu menarik kesimpulan dengan
menggunakan kaidah-kaidah, teori-teori, dalil-dalil dan sebagainya
sehingga dimungkinkan dapat menjawab rumusan masalah.19

G. Kajian Pustaka
Penelitian yang dikaji penulis dalam penulisan skripsi ini diantaranya
memiliki kesamaan bahasan, meski berbeda topik dan permasalahan yang
dikaji, yaitu dalam skripsi tahun 2000 STAIN Ponorogo yang ditulis oleh Sri
Mujayana, dalam skripsi tersebut telah membahas mengenai problematika
bantuan hukum di Pengadilan Agama dalam menegakkan hukum dan keadilan
yang di dalamnya membahas tentang problematika tugas dan fungsi bantuan
hukum di Pengadilan Agama, serta pengertian, dasar hukum, dan macammacam bantuan hukum.
Dalam skripsi tahun 2005 STAIN Ponorogo yang ditulis oleh Shofan
Fahrudi, dengan judul "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Peran Pemberi Jasa
Bantuan Hukum (Advokat) di Pengadilan Agama", yang di dalamnya

19

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alpa Beta, 2006), 92.

13

membahas tentang hak dan kewajiban pemberi jasa bantuan hukum (Advokat)
di Pengadilan Agama, tugas dan fungsi pemberi jasa bantuan hukum
(Advokat) di Pengadilan Agama Ponorogo.
Kedua penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan studi
kepustakaan. Sedangkan dalam penelitian skripsi yang akan penulis bahas
menggunakan penelitian lapangan, yang membahas tentang kualifikasi
pengacara dalam perkara gugat cerai di Pengadilan Agama Ponorogo,
prosedur pengajuan gugatan melalui jasa pengacara dalam perkara gugat cerai
di Pengadilan Agama Ponorogo, peran dan fungsi pengacara dalam perkara
gugat cerai di Pengadilan Agama Ponorogo.

H. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti membagi pembahasan ke dalam
beberapa bab, dimana masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan
topik-topik tertentu dan jelas. Diantaranya :
BAB I:

PENDAHULUAN, yaitu uraian global tentang materi yang akan


dibahas, yang terdiri atas: latar belakang masalah, penegasan istilah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode
penelitian yang meliputi: jenis dan pendekatan penelitian, lokasi
penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisa
data, serta terakhir sistematika pembahasan.

BAB

II:

KEPENGACARAAN

(ADVOKASI)

MENURUT

HUKUM

POSITIF INDONESIA, yang meliputi: Pengertian dan Dasar

14

Hukum

Pengacara,

Praktek

Pengacara

Dalam

Lingkungan

Pengadilan Agama, Peran dan Fungsi Pengacara Menurut hukum


Positif.
BAB III: PRAKTEK PENGACARA DALAM PERKARA GUGAT CERAI
DI PENGADILAN AGAMA PONOROGO, yang membahas
tentang : Gambaran Singkat Pengadilan Agama Ponorogo,
Kualifikasi Pengacara dalam Perkara Gugat Cerai di Pengadilan
Agama Ponorogo, Prosedur Pengajuan Gugatan Melalui Jasa
Pengacara di Pengadilan Agama Ponorogo, Peran dan Fungsi
Pengacara dalam Perkara Gugat Cerai di Pengadilan Agama
Ponorogo.
BAB IV: ANALISA

HUKUM

POSITIF

TERHADAP

PRAKTEK

PENGACARA DALAM PENDAMPINGAN KLIEN TERHADAP


PERKARA GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA
PONOROGO, yang membahas tentang: Kualifikasi Pengacara
dalam Perkara Gugat Cerai di Pengadilan Agama Ponorogo,
Prosedur Pengajuan Gugatan Melalui Jasa Pengacara dalam Perkara
Gugat Cerai di Pengadilan Agama Ponorogo, Peran dan Fungsi
Pengacara dalam Perkara Gugat Cerai di Pengadilan Agama
Ponorogo.
BAB V : PENUTUP, yang meliputi kesimpulan dari seluruh pembahasan
dan saran-saran yang bersifat membangun.

15

BAB II
KEPENGACARAAN (ADVOKASI) MENURUT
HUKUM POSITIF INDONESIA

A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM PENGACARA


1. Pengertian Pengacara
Istilah pengacara dalam bahasa asing banyak dikenal, diantaranya
rechtshulp, rechtsbijstand, rechtspeistaind, legal aid, legal assistance.
Selain itu terdapat pula istilah konsultasi, consultatie, consultation, juga
dikenal istilah penyuluhan hukum dan legal information. Bantuan hukum
semakin meluas yaitu mencakup pembelaan dalam bidang politik, sosial,
ekonomi dan budaya.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, pengacara adalah ahli
hukum yang berwenang, bertindak sebagai penasehat atau pembela
perkara dalam pengadilan.20 Demikian pula pengertian advokat dalam
penjelasan buku ini.21
Pengertian pengacara menurut hukum positif yang berlaku di
Indonesia adalah Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat.
Sedang penjelasan tentang advokat, sebagaimana tercantum dalam pasal 1,
yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun
di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
Undang-undang ini.
20

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,


2002), 731.
21
Ibid., 18.

15

16

Kata advokat berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti untuk
mempertahankan dan memberi bantuan. Sedangkan dalam bahasa Inggris
advocate, berarti mewakili, bertahan dalam argument, mendorong atau
merekomendasikan pada publik Secara sederhana advokat adalah orang
yang berprofesi membela.22
Semula, istilah profesi pengacara hanya digunakan untuk mereka
yang menjalankan khusus hukum acara di pengadilan, sedangkan
pekerjaan di luar acara pengadilan dilakukan oleh advokat, atau Barister,
akan tetapi sekarang di semua Negara perbedaan antara profesi advokat /
Advocate / Barrister dan pengacara / procuneur / sokcitoir sudah hilang,
dan sekarang digunakan istilah advokat / advocaat / advocate atau Lawyer.
Istilah pengacara praktek tidak dikenal di luar negeri dan hanya
dikenal di Indonesia. Pengenalan istilah Pengacara Praktek dalam
khasanah masyarakat itu hanya menambah pengelompokkan yang
heterogen yang memecah belah profesi hukum, yang harus dihilangkan
dengan membuat standarisasi kriteria dan syarat-syarat yang berlaku
umum yang harus dipenuhi untuk diangkat sebagai advokat, sehingga
tidak ada lagi kelompok advokat dan kelompok pengacara praktek.
Istilah penasehat hukum sebagai profesi hukum adalah istilah resmi
di Indonesia, yang menggambarkan pengertian advokat sebagai profesi
hukum. Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang advokat untuk memberi
nasehat hukum sebagai penasehat hukum tidak merupakan profesi sendiri

22

Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 19.

17

karena memberi nasehat hukum merupakan pekerjaan yang termasuk


dalam ruang lingkup pekerjaan seorang advokat. Begitu pula halnya, jasa
memberi konsultasi hukum yang disebut konsultan hukum tidak
merupakan profesi tersendiri, karena pekerjaan memberi konsultan hukum
termasuk dalam ruang lingkup pekerjaan advokat dalam menjalankan
profesi hukum.23
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat ditarik benang
merah

bahwasannya

pengacara

adalah

mereka

yang

profesinya

menyediakan diri sebagai pembela perkara pidana atau wakil / kuasa dari
pihak-pihak dalam perkara perdata dan yang telah diangkat oleh organisasi
advokat dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Pengacara berstatus sebagai penegak
hukum bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW:

K^ Z[\: XSN UVSW P RST P MN


KL
KbMScb K_`Ka
Berkata Rasulullah SAW: Tolonglah saudaramu baik yang menganiaya
maupun yang dianiaya. (R. Bukhari-Muslim).24
2. Dasar Hukum Kepengacaraan.
Dasar hukum yang digunakan oleh pengacara dalam prakteknya
adalah Undang-undang No. 18 tahun 2003. sebelumnya ada beberapa
23
24

Ropaum Rambe, Teknik Praktek Advokat, (Jakarta: PT. Grasindo, 2003), 6-7.
Ahmad Sunarta, Terj. Sahih Bukhari III (Semarang: Asy-Syifa, 1992), 486.

18

aturan yang dijadikan dasar hukum mengenai pengacara selain dari kode
etik advokat. Undang-undang ini merupakan penjabaran dan koreksi
terhadap keberadaan Undang-undang sebelumnya, karenanya aturan lama
secara otomatis tidak berlaku lagi. Selanjutnya Undang-undang ini
menjadi dasar hukum normatif yang harus dijadikan rujukan oleh semua
pihak.
Ada perubahan signifikan yang memberikan posisi kuat pada
pengacara / advokat. Diantaranya adalah tentang independensi advokat
dari kekuasaan Negara dan spesifikasi bidang atau wilayah advokat sesuai
dengan keahlian akademis. Independensi dari kekuasaan Negara berarti
bahwa pengangkatan dan legalitas seorang advokat berasal dari organisasi
advokat itu sendiri. Negara melalui kementerian hukum dan Hak Asasi
Manusia hanya menjadi fasilitator.
Berkaitan dengan pemberian bantuan hukum ini diatur misalnya:
1) Pasal 27 ayat 1,25 menegaskan:
Setiap warga Negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.
2) Pasal 34, menyatakan bahwa:
Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.

25

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

19

Selain peraturan dan perundang-undangan

di atas, juga diatur

dalam Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo. Undang-undang No. 4 tahun


2004, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Pada pasal 37:
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum
Pasal 38:
Dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan
penangkapan dan atau penahanan berhak menghubungi dan meminta
bantuan penasehat hukum
Pasal 39:
Dalam memberi bantuan hukum tersebut dalam pasal 37 di atas penasehat
hukum membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung
tinggi pancasila, hukum, dan keadilan.
Demikian pula halnya, dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981
tentang hukum acara pidana, Bab I dan Bab VII bantuan hukum, diatur
hal-hal seperti berikut:
Pasal 1:
Penasehat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan
oleh atau berdasar Undang-undang untuk memberi bantuan hukum
Pasal 69:

20

Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap


atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang
ditentukan dalam Undang-undang ini.
Di dalam Undang-undang No. 14 tahun 1985 jo. Undang-undang
No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dalam Bab III Kekuasaan
Mahkamah Agung pasal 36, disebutkan bahwa Mahkamah Agung dan
pemerintah melakukan pengawasan atas penasehat hukum dan notaris. Ini
menunjukkan bahwa pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas
penasehat hukum dan notaris adalah tanggung jawab yang menyangkut
peradilan, para penasehat hukum dan notaris berada di bawah pengawasan
Mahkamah Agung. Sedang segala hal yang menyangkut pelanggaran kode
etik, organisasi profesi masing-masing lebih berhak menentukannya.26
Demikian pula halnya seperti dalam Undang-undang No. 2 tahun
1986,27 pasal 54, Undang-undang No. 5 tahun 1986,28 Undang-undang No.
7 tahun 1989 jo. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, pasal 73 ayat (1),29 semuanya mengatur tentang keberadaan
pengacara.
Begitu banyaknya peraturan perundangan mengenai keberadaan
dan kedudukan pengacara, sehingga advokat dalam pandangan masyarakat
kurang mendapatkan kedudukan tempat yang layak sebagai profesi.
26

Rahmad Rosyadi, dkk, Advokad dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003), 73-77.
27
Undang-undang tentang Peradilan Umum.
28
Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
29
Pasal ini menyebutkan: Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, kecuali apabila penggugat
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

21

Karenanya perlu perombakan terhadap penyatuan Undang-undang yang


mengatur tentang advokat. Dengan demikian Undang-undang tersebut
diyakini para advokat akan berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya
dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Maka lahirlah
Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat, yang dirasa
keberadaannya merupakan payung hukum praktek pengacara.

B. Praktek Pengacara dalam Lingkungan Pengadilan Agama.


Sebelum menjabarkan tentang keterlibatan pengacara di lingkungan
Pengadilan Agama, perlulah diketahui tentang kewenangan pengadilan agama.
Dalam Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman,30 disebutkan bahwa:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik
Indonesia.
Selanjutnya, dalam penjelasan tersebut dikemukakan bahwa kekuasaan
kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bebas campur tangan pihak
kekuasaan lainnya. Ia bebas dari paksaan directive atau recomendasi yang
datang dari pihak extra yudisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh
Undang-undang.

30

Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Merupakan Undang-undang


yang dikeluarkan dengan No. 14 tahun 1970 jo. Undang-undang No. 4 tahun 2004, Lihat pada
pasal 1.

22

Ada 4 macam peradilan31 yang memiliki kewenangan dalam mengadili


perkara, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara
dan Peradilan Militer merupakan peradilan khusus, yang mengadili perkara
dari golongan tertentu. Sedang Pengadilan Umum merupakan pengadilan yang
berwenang mengadili perkara perdata dan perkara pidana bagi rakyat pada
umumnya. Adapun secara khusus Peradilan Agama tercantum dalam Undangundang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-undang No. 3 tahun 2006. Sebagaimana
dinyatakan:
Peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.32
Berdasarkan kepada ketentuan Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo.
Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama,33 khususnya
pasal 1, 2, 49, dan penjelasan umum angka 2, maka pengadilan agama
bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan
dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam, berdasarkan hukum Islam.
Pelayanan hukum dan keadilan itu diberikan melalui penyelesaian
sengketa keluarga dan harta perkawinan, dan atau penetapan mengenai status
hukum seseorang dalam keluarga maupun status harta perkawinan. Selain itu
Pengadilan Agama juga berwenang untuk menyelesaikan perkara tentang

31

Lihat Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo. Undangundang No. 4 tahun 2004
32
Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-undang No. 3 tahun 2006, pasal 1 ayat 1.
33
Lihat pula Undang-undang No. 1 tahun 1974, PP No. 28/1977, Kepres No. 1/1991,
Permenag No. 2/1987.

23

tanah menurut syariat, yang meliputi kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan
shodaqah bagi orang yang beragama Islam.34
Kewenangan yang marak di lingkungan peradilan agama di atas perlu
diketahui oleh pengacara supaya dapat memposisikan diri dalam menjalankan
peran jasa pemberian bantuan hukum sesuai peraturan dan perundangundangan yang berlaku. Dalam masalah apa saja yang dapat diperkarakan di
Pengadilan

Agama.

Hal

ini

sangat

penting

untuk

menghindari

kesalahpahaman.
Dalam pasal 37 Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo. Undang-undang
No. 4 tahun 2004 dinyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara
berhak memperoleh bantuan hukum. Untuk bertindak sebagai pengacara,
seorang advokat.35
a. Ditetapkan tempat kedudukannya atau domisilinya pada suatu kota
tertentu di dalam wilayah Pengadilan Negeri.
b. Dapat beracara di muka pengadilan di semua lingkungan badan peradilan,
termasuk di Peradilan Agama di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c. Bila beracara di luar wilayah hukum di mana ia berdomisili, maka
pengacara harus melaporkan secara tertulis kepada ketua Pengadilan
Tinggi dengan menyampaikan tembusan kepada.
1) Mahkamah Agung Republik Indonesia
2) Ketua Pengadilan Tinggi Agama yang dituju

34
Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978, pasal 17, dan PP No. 28 tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik, pasal 12.
35
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Lingkungan Pengadilan Agama, (Semarang:
Pustaka Pelajar, 1992), 50-53.

24

3) Pengadilan Negeri tempat domisili


4) Pengadilan Agama yang dituju
Kedudukan ini semakin kokoh dengan adanya Undang-undang No. 18
tahun 2003 tentang advokat. Dalam Undang-undang tersebut diatur lebih
lanjut tentang jasa hukum dan bantuan hukum advokat yang mempunyai
kompetensi di Pengadilan Agama, kalau sebelumnya yang paling berhak
disebut advokat itu berasal dari sarjana hukum, maka saat ini peluang bagi
sarjana syariah, untuk dapat berpraktek di Pengadilan Agama.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang
advokat, maka pengacara yang berpraktek di Pengadilan Agama memiliki
kewenangan yang sama dengan pengacara yang berpraktek di wilayah
Pengadilan lain. Akan tetapi yang membedakan adalah tentang jenis perkara
yang menjadi kewenangan peradilan itu sendiri, kewenangan menangani
perkara perdata

untuk orang yang beragama Islam adalah salah satu

kewenangan Pengadilan Agama. Karenanya pengacara yang beracara di


Pengadilan Agama tidak berperan sebagai kuasa hukum tetapi sebagai kuasa
khusus, karena hanya menangani urusan perdata bukan pidana.36
Sedang untuk dapat beracara di Pengadilan Agama, seorang pengacara
harus memenuhi persyaratan secara normatif, yaitu:
1. Harus mempunyai surat kuasa khusus.37
2. Ditunjuk sebagai wakil atau kuasa dalam surat gugatan
3. Ditunjuk sebagai wakil atau kuasa dalam catatan gugatan apabila diajukan
secara lisan atau tulisan.
36

Roihan A. Rasyid, hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1995), 64.

37

R. Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 14.

25

4. Ditunjuk sebagai penggugat atau tergugat sebagai kuasa atau wakil di


dalam persidangan.
5. Memenuhi syarat dalam peraturan menteri kehakiman
6. Telah terdaftar sebagai advokat
7. Mendapatkan izin dari ketua Pengadilan Agama dan ketua Pengadilan
Tinggi Agama.

C. Peran dan Fungsi Advokat Menurut Hukum Positif


Peran advokat dalam memberikan jasa hukum bagi kepentingan klien
dengan tujuan untuk melakukan perdamaian / perbaikan bagi para pihak yang
bersengketa. Peranan di sini adalah bagaimana seorang advokat dalam
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan profesionalitas tanpa
melanggar kode etik yang berlaku. Sedangkan pemberian jasa, yang dimaksud
adalah mendampingi, menjadi kuasa, memberikan pengarahan hukum, baik
yang bersifat sosial, pro bono publico38 maupun atas dasar keuntungan
semata.
Idealnya profesi advokat senantiasa membela kepentingan rakyat tanpa
membedakan latar belakang agama, budaya, warna kulit, tempat tinggal,
ekonomi, dan lain sebagainya. Pembelaan bagi semua orang termasuk fakir
miskin merupakan wujud penghayatan terhadap prinsip persamaan kedudukan
di hadapan hukum sekaligus perwujudan hak yang dimiliki semua orang yaitu
hak untuk didampingi advokat.

38

Pro Bono Publico, Pendampingan klien secara Cuma-cuma (bebas biaya), yang
biasanya mengutamakan pada rakyat golongan ekonomi lemah.

26

Hal ini telah dinyatakan dalam firman Allah SWT dalam Al-Quran
surat al-Maidah : 2 berikut ini:

!$# ) ( !$# (#)?$#u 4 u9$#u OM}$# n?t (#u$ys? u ( 3u)G9$#u h99$# n?t (#u$ys?u
>$s)9$# x

Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa. Dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa, dan pelanggaran. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksaannya.39
Dalam sebuah penelitian,40 didapatkan bahwasannya secara kuantitatif
keterlibatan pengacara dalam pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia belum
berjalan dengan baik, kenyataannya hanya sedikit advokat yang mendasarkan
kegiatannya untuk tujuan yang lebih besar, sejalan dengan yang diamanahkan
Undang-undang. Bantuan hukum yang di dasarkan kepada pertimbangan
hukum kemanusiaan cenderung bersifat instant (sekali selesai), tidak
terprogram karena hanya bersifat hubungan psikososial antara klien dan
pengacara. Sedangkan yang dilatari kepentingan hukum dan dilakukan secara
berkelembagaan melalui instansi yang relevan dilakukan secara berkelanjutan
dan teragenda.41
Memang terjadi pro-kontra terhadap peran pengacara praktek di
pengadilan, kesan negatif muncul pada sebagian masyarakat di mana untuk
39

Depag RI,al Quran dan terjemahnya (Bandung: Gema Press, 1993), 157.
Binziad Kadafi, dkk, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi Tentang Tanggung
Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002),
177-179.
41
Idem.
40

27

mendapatkan jasa hukum sekarang ini memerlukan biaya tinggi dan membuat
rumit

masalah

yang

dianggap

sederhana,

sehingga

lambat

dalam

penyelesaiannya. Kesan positif muncul bila jasa pengacara dapat memberikan

kemudahan pengurusan administratif dan juga memberikan kepuasan serta


dapat memenuhi rasa keadilan sekalipun dalam posisi kalah.42
Keberadaan advokat untuk berperan dalam memberikan jasa hukum
kepada pihak yang bersengketa, misalnya dalam perkawinan, khususnya
perceraian dikatakan sebagai berikut:43 Gugatan perceraian diajukan oleh
isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
Pasal ini mengatur gugatan cerai, baik dilakukan isteri secara langsung
ke pengadilan agama maupun melalui jasa hukum seorang advokat dengan
menggunakan surat kuasa kepada advokat untuk melakukan tindakan hukum,
surat kuasa adalah suatu dokumen penting yang melahirkan perjanjian antara
pihak klien dan advokat, tanpa surat kuasa dari pihak yang bersengketa, maka
advokat tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum
apapun yang mengatas namakan para pihak dalam menyelesaikan perkara.
Surat kuasa dilakukan dalam bentuk kontrak antara pihak pemberi
kuasa (klien) dan pihak yang menerima kuasa (pengacara/advokat). Biasanya
yang dibicarakan adalah seputar honorarium / fee. Yudha Pandhu mengatakan,
42

Rahmad Rosyadi, Advokad dalam . , 64.


Pasal 73 : 1 Undang-undang No.7 Tahun 1989 jo. Undang-undang No.3 tahun 2006
adalah tentang Peradilan Agama.
43

28

ada tiga metode yang yang dipakai untuk menetapkan honorarium / fee
ditetapkan secara (1) lump sum, yang digunakan para penasehat hukum dalam
proses legal audit dan legal opinion, untuk keperluan tertentu, (2) atas dasar
item per item, membuat tagihan berdasarkan rincian satu persatu pekerjaan

yang telah dilakukannya, dan (3) menetapkan tagihan atas dasar tidak
menang tidak bayar. Metode ini sering digunakan untuk honor / fee para
penasehat hukum yang menjalankan praktek profesinya sebagai penagih
hutang (debt collector).44
Untuk dapat melakukan peran kepengacaraan sesuai dengan tugas dan
fungsinya, berdasarkan sumpah jabatan dan kode etiknya, pengacara harus
mengetahui hukum acara yang diterapkan di lingkungan peradilan agama.
Peran utama seorang advokat dalam menerima atau mengajukan gugatan
untuk dan atas nama kliennya, dalam perkara perceraian terlebih dahulu harus
melakukan ishlah, mendamaikan kedua pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai
dengan prinsip hukum acara perdata dan peraturan peradilan agama yang
diterangkan dalam Al-Quran surat An-Nisa : 35 berikut ini:

!#y ) !$y=r& i $Vs3ymu &#r& i $Vs3ym (#Wy/$$s $u]t/ s$s) Fz )u


#Z7yz $=t t%x. !$# ) 3 !$ys]t/ !$# ,ju $[sn=)
Artinya: Maka angkatlah seorang hakam dari keluarga si lelaki dan seorang
hakam dari keluarga si wanita. Jika keduanya menghendaki
perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufiq kepada keduanya.
44

Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, (Jakarta: PT.
Abadi, 2001), 78.

29

Proses

pertama

yang

dilaksanakan

peradilan

agama

adalah

menghadirkan para pihak yang berperkara. Hal ini sesuai dengan pasal 82,
Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-undang No. 3 tahun 200645
yang menyatakan:
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami isteri harus datang secara
pribadi, kecuali apabila salah satu pihak berkediaman di luar negeri, dan
tidak datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang
secara khusus dikuasakan untuk itu.
Dalam pasal ini dikatakan bahwa pihak yang bersengketa dapat
mewakilkan kuasanya kepada pengacara sebelum, selama atau selepas masa
peradilan. Peranan advokat sebelum acara persidangan berlangsung, tentu saja
dapat dan harus mengupayakan perdamaian46 Misalnya, dengan menghubungi
masing-masing pihak, keluarganya, tokoh ulama, atau masyarakat setempat.
Terdapat dua pendapat, dalam Hartono Marjono47 yang menunjukkan
peran advokat dalam beracara di pengadilan, yaitu pandangan subjektif dan
objektif. Dari sudut pandang subjektif, karena pekerjaan pemberi bantuan
hukum bertolak dari kepentingan seseorang yang akan atau sedang beracara di
pengadilan, sebab seseorang itu dianggap memerlukannya. Dengan pandangan

45

Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-undang No. 3 tahun 2006, tentang
Peradilan Agama.
46
Rahmad Rosyadi, Ibid, 68.
47
H. Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks KeIndonesiaan
(Bandung: Mizan, 1997), 70-71.

30

ini advokat akan berusaha memenangkan perkaranya dengan memberi janjijanji kepada

kliennya. Demikian juga ia akan memberikan argumentasi

kepada pihak pengadilan untuk keluar sebagai pemenang perkara. Advokat


demikian pengabdian sepenuhnya diberikan kepada kliennya bukan pada
kebenaran dan keadilan.
Dari sudut pandang objektif akan mengacu kepada kebenaran hukum
dan bukan pada keberadaan kliennya. Pandangan ini akan melihat proses
peradilan itu sebagai sesuatu yang wajar, bukan hal yang luar biasa. Dalam
posisi kliennya yang menguntungkan, ia akan membela kebenaran dan
keadilan dan bukan membela kliennya yang memang dalam posisi salah.
Selanjutnya, Rahmad Rosyadi48 bahwasannya peran Advokat dalam
pengadilan agama adalah sebagai berikut:
1. Mempercepat penyelesaian perkara administrasi, baik permohonan cerai
talak maupun gugatan cerai bagi kelancaran persidangan di pengadilan.
2. Membantu menghadirkan para pihak yang berperkara di pengadilan sesuai
dengan jadwal persidangan.
3. Memberikan pemahaman hukum yang berkaitan dengan duduk perkara
dan posisinya, terhadap para pihak dalam menyampaikan permohonan atau
gugatan atau menerima putusan pengadilan agama.
4. Mendampingi para pihak yang berperkara di pengadilan agama, sehingga
merasa terayomi keadilannya.

48

Rahmad Rosyadi, Advokasi dalam, 70

31

5. Mewakili para pihak yang tidak dapat hadir dalam proses persidangan
lanjutan, sehingga memperlancar proses persidangan.
6. Menjunjung tinggi sumpah advokat, kode etik profesi dalam menjalankan
peran sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Untuk dapat berperan sesuai dengan profesinya dalam bidang hukum,
untuk memberikan pembelaan, pendampingan dan menjadi kuasa atas
kliennya, maka pengacara harus memahami akan tugasnya. Tugas advokat
bukanlah merupakan pekerjaan, tetapi lebih merupakan profesi. Tugas
merupakan kewajiban, sesuatu yang wajib dilakukan atau ditentukan untuk
dilakukan.
Tugas dan fungsi dalam sebuah pekerjaan atau profesi apapun tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya, karena keduanya merupakan sistem
kerja yang saling mendukung. Dalam menjalankan tugasnya, seorang advokat
harus berfungsi :49
a. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia
b. Memperjuangkan hak asasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia
c. Melaksanakan kode etik advokat
d. Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum
keadilan dan kebenaran
e. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai kebenaran dan
keadilan) dan moralitas

49

Rapuan Rambe, Teknik ., 28-29.

32

f. Menjunjung tinggi citra profesi advokat sebagai profesi terhormat


(officium nobile)
g. Memelihara dan melindungi kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat
advokat.
h. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat

terhadap

masyarakat.
i. Menanggapi perkara sesuai kode etik advokat.
j. Membela klien dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab
k. Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan
masyarakat.
l. Memelihara kepribadian advokat
m. Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat
antara sesama advokat yang didasarkan pada kejujuran, kerahasiaan dan
keterbukaan, serta saling menghargai dan mempercayai.
n. Memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai dengan wadah
tunggal organisasi advokat.
o. Memberikan pelayanan hukum (legal service)
p. Memberikan nasehat hukum (legal advice)
q. Memberikan konsultasi hukum (legal consultation)
r. Memberikan pendapat hukum (legal opinion)
s. Menyusun kontak-kontak (legal drafting)
t. Memberikan informasi hukum (legal information)
u. Membela kepentingan klien (litigation)

33

v. Mewakili klien di muka pengadilan (legal representation)


w. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada rakyat yang
lemah dan tidak mampu (legal aid)
Dengan demikian pengacara dapat berlaku dan bertindak sesuai
dengan tugas dan fungsinya sebagai pemberi jasa hukum kepada masyarakat
yang membutuhkan. Terjadinya pergeseran tugas dan fungsi ini dari pemberi
bantuan hukum akan menyebabkan penyimpangan praktek. Perilaku demikian
tentunya akan merugikan para pihak, pengadilan, diri sendiri, Negara dan
tentunya akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah SWT.

34

BAB III
PRAKTEK PENGACARA DALAM PERKARA GUGAT CERAI DI
PENGADILAN AGAMA PONOROGO

A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Ponorogo


1. Dasar Hukum Berdirinya Pengadilan Agama Ponorogo
a. Stbd 1820 No. 20 jo. Stbd 1835 No. 58.
b. Perubahan nama dan Wilayah Hukum Stbd 1828 No. 55, Stbd 1854
No. 129 dan Stbd 1882 No. 152.
Masuknya Islam di Ponorogo dari kerajaan Demak dibawa oleh
Adipati Batoro Katong pada tahun 196 M. sekitar tahun 1572 di Ponorogo
terdapat sebuah Pondok Pesantren terkenal dan mempunyai ribuan santri
yang

datang

dari

berbagai

daerah,

yaitu

bernama

PONDOK

TEGALSARI, yang diasuh oleh Kyai Ageng Anom Besari salah seorang
santri Tegalsari yang telah banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia
adalah Pujangga Ronggo Warsito. Keturunan Kyai Ageng Besari ada yang
bertempat tinggal di Malaysia menjabat sebagai Perdana Menteri yang
pertama bernama Tengku Abdurrahman.
Adapun sejarah pembentukan Pengadilan Agama Ponorogo adalah
sebagai berikut:
1) Masa Penjajahan Belanda
Agama Islam berkembang di Ponorogo dan ajaran Islam
menjadi bagian kehidupan masyarakat yang ditaati oleh sebagian besar

34

35

masyarakat Ponorogo, termasuk bidang ahwalusy syahshiyyah dan


Muamalah yang menyangkut kebendaan. Apabila timbul perselisihan
diantara orang Islam, mereka bertahkim kepada para Kyai dan pada
umumnya mereka patuh kepada fatwa yang disampaikan Kyai tersebut.
Pada masa kerajaan Sultan Agung di Mataram telah didirikan
Lembaga yang menangani persengketaan dan perselisihan diantara
orang Islam, kemudian diperkuat kedudukan lembaga tersebut oleh
pemerintah Hidia Belanda, dengan penerapan Hukum Islam bagi
orang-orang yang memeluk Agama Islam, sebagaimana

terbuk di

dalam putusan Laandraad di Jakarta tanggal 15 Pebruari 1849, yaitu


membatalkan surat wasiat seorang Pewaris, karena isinya bertentangan
dengan Hukum Islam, hal ini dipertegas dalam compendium dalam
Stbl 1828 No. 55 dan Stbl 1854 No. 129 jo. 1855 No. 2.
Kemudian lembaga peradilan bagi orang-orang Islam pada
jaman penjajahan Hindia Belanda dikukuhkan dengan dikeluarkannya
Stbl 1882 No. 152 dengan nama Raad Agama atau Western Raad.
Terbukti Raad Agama di Ponorogo pada tahun 1885 telah
berfungsi dan kewenangannya dalam memutuskan perkara sangat luas,
diantaranya telah menyelesaikan/ memutuskan perkara waris, nafkah
fasah dan sebagainya (arsip putusan tahun 885). Pada tahun 1937
pemerintah Hindia Belanda menerapkan teori resepsi atau receptie
theorie secara berangsur-angsur wewenang raad agama dikurangi atau
dibatasi kecuali hanya masalah Nikah, Talak, Cerai, Rujuk, (NTCR).

36

Adapun perkara perbendaan termasuk amal waris menjadi wewenang


Land Raad/ Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam Stbl. 1937
No. 116 dan 610, karena itu putusan Pengadilan Agama Ponorogo
hanya berkisar pada perkara Nikah Talaq Cerai Rujuk. Para Hakim
Raad Agama Ponorogo pada zaman penjajahan masih sangat terbatas
dan berstatus sebagai Hakim Honorer antara lain:
1. Ketua

: Kyai. Djamaluddin

2. Hakim

: 1. Kyai Bukhori
2. Kyai Hasanuddin
3. Kyai Bani Isroil
4. Kyai Suyuthi

3. Panitera

: Kaelan

2) Masa Penjajahan Jepang


Pengadilan Agama Ponorogo pada zaman penjajahan Jepang
tetap

menjalankan

tugas

untuk

menyelesaikan

perkara

yang

disengketakan orang-orang Islam sesuai dengan ketentuan yang


berlaku. Landasan hukum yang diperguankan oleh Pengadilan Agama
Ponorogo adalah pada Stb. 1882 No. 152 Stbl 1937 No. 116-610 dan
Hukum Islam. Pengadilan Agama Ponorogo menyimpan arsip putusan,
produk zaman Belanda dan zaman Jepang tahun 1885, tahun 1937
tahun 1943 dan sebagainya. Keunikan putusan terebut ditulis tangan
dengan rapi dan telaten.

37

3) Masa Kemerdekaan
Kondisi Pengadilan Agama Ponorogo setelah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, tetap sebagaimana pada zaman
penjajahan, tempat memeriksa perkara bagi orang-orang Islam
dilakukan di serambi Masjid, kemudian pindah dari rumah ke rumah
lain milik tokoh masyarakat kota Ponorogo.
Pada umumnya Hakim Agama berstatus honorer serta sarana
dan prasarananya sangat tidak memadai dan tidak mencerminkan
lembaga pemerintah sebagai penegak hukum. Demikian pula
kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama Ponorogo sangat terbatas
dalam perkara Nikah Talaq Cerai Rujuk sebagaimana diatur dalam Stbl
1937 No. 116-610.
2. Lokasi Kantor Pengadilan Agama Ponorogo
Sebelum Tahun 1981 Pengadilan Agama Ponorogo, terletak di Jl.
Bhayangkara Nomor 54 Ponorogo. Mulai tahun 1981 hingga sekarang
Kantor Pengadilan Agama Ponorogo terletak di Jl. Ir. Juanda Nomor : 25
Telp

Fax

(0352)

481

133

Ponorogo

ponorogo@gmail.com.
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ponorogo
Lihat dalam lampiran 1

63401,

e-mail:pa-

38

B. Kualifikasi Pengacara Dalam Perkara Gugat Cerai Di Pengadilan Agama


Ponorogo
Kita menyadari bahwa keadilan yang hakiki sulit dicapai sebagai suatu
lembaga negara hukum yang berdasarkan konstitusi, tentunya kita sulit untuk
mewujudkan masyarakat berkeadilan tanpa dibarengi dengan adanya
kesadaran di bidang hukum. Dan faktor inilah yang menjadikan kenyataan
bahwa anggota masyarakat yang mengalami masalah atau problem baru
menyadari persoalan bila kondisinya telah rumit.
Kebutuhan akan jasa hukum dari seorang advokat yang berupa nasihat
hukum, konsultasi di luar pengadilan, serta berdampingan di dalam perkara,
amatlah diperlukan. Bantuan hukum ini merupakan bagian dari sarana
menegakkan hukum itu sendiri, yang keberadaannya tentu saja tidak bisa
dilepaskan dengan lembaga peradilan, karena lembaga peradilan tersebut
menyebabkan berperannya bantuan hukum.
Sering dengan adanya perubahan sosial dan meningkatnya taraf hidup
masyarakat, telah menggeser perilaku berkeluarga dalam masyarakat.
Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam keluarga telah bergeser ke arah
yang tidak dapat lagi ditolelir. Dari permasalahan yang bersifat sepele hingga
permasahan yang cukup rumit. Ekonomi, perawatan dan pendidikan anak,
masalah kecemburuan, penghasilan, kedisiplinan dan etika rumah tangga
sering kali menjadi pemicu konflik di antara anggota keluarga. Ujungujungnya, laju perceraian masyarakat, khususnya di wilayah Ponorogo
meningkat dari tahun ke tahun.

39

Terhitung selama masa penelitian ini (Januari Desember 2007), data


perceraian yang diajukan dan diputus oleh Pengadilan Agama Ponorogo, dari
jumlah perkara yang masuk 1075 kasus dan yang diputus 1021 kasus. Dari
kasus-kasus tersebut ternyata kasus cerai gugat lebih banyak terjadi dibanding
dengan kasus cerai talaq. Hal lain yang melatarbelakangi banyaknya kasus
perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo adalah, pertengkaran yang terjadi
antara suami istri yang tidak dapat di damaikan.50
Dari beragam persoalan dan kepentingan yang masuk tidak sedikit dari
mereka yang berperkara menggunakan pengacara dari para kuasanya. Hal ini
semata-mata untuk melindungi kepentingannya dalam menuntut keadilan, baik
dalam pengajuan gugat cerai maupun talaq. Dalam data yang dapat dihimpun
penulis. Kasus perceraian yang melibatkan pengacara tahun 2007 sebanyak
112 kasus, 87 merupakan kasus cerai gugat, dan 25 kasus karena cerai talak.
Adapun argumen yang menjadi alasan keterlibatan pengacara ini
adalah : pertama, masyarakat menjadi awam tentang hukum dan keterbatasan
ilmu pengetahuan tentang hukum dan tata cara beracara di pengadilan. Kedua,
adanya keterbatasan waktu yang dimiliki oleh orang yang berperkara karena
sibuk dengan pekerjaan atau berdomisili di luar daerah sehingga mampu untuk
membayar pengacara. Ketiga, ingin memenangkan gugatanya. karena kalau di
hadapi sendiri pesimis tidak bisa menyelesaikannya,51
Dari data yang diperoses menunjukkan bahwa dalam kasus perceraian
yang melibatkan jasa pengacara tidak hanya didominasi oleh kalangan
50

Lihat Lampiran No : 03
Wawancara dengan Harunurrasyid, (wakil panitera Pengadilan Agama Ponorogo), pada
Tanggal 14/10/2007.
51

40

perempuan. Sebagian dari pemberi kuasa adalah laki-laki.52 Kaum perempuan


memanfaatkan jasa pengacara guna mengajukan gugat cerai kepada suaminya
karena persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh keluarga. Sedang kaum
laki-laki dalam menggunakan jasa pengacara biasanya untuk mengembalikan
nama baik, karena selalu dituduh yang bukan-bukan seperti perselingkuhan
dan perjudian.
Bantuan hukum yang terjadi di Pengadilan Agama Ponorogo diawali
semenjak tahun 1993. pada saat itu pihak keluarga yang berperkara
mengajukan berkas acara melalui kuasa secara insidentil. Kemudian tradisi
penggunaan jasa pengacara semakin marak hingga tahun-tahun berikutnya.
Dalam kasus perceraian keterlibatan pengacara dimulai tahun 1995. hingga
tahun 2007 ini, saat penelitian ini diajukan, hampir seluruh berkas yang masuk
di Pengadilan Agama melibatkan jasa pengacara, meski masih ada yang
mengajukan pekaranya secara pribadi.53
Adapun pengacara yang dapat berpraktek di Pengadilan Agama
Ponorogo adalah semua sarjana yang yang namanya telah terdaftar sebagai
pengacara dan mempunyai izin praktek, baik sarjana hukum umum maupun
sarjana Syariah. Bahkan banyak dari mereka menyandang gelar sarjana hukum
umum (SH). Karena dari sering mendampingi orang yang berperkara di
Pengadilan Agama Ponorogo adalah sarjana Hukum (umum).54

52

khusus.

Arsip Milik Pengadilan Agama Ponorogo tahun 2005, dalam Register surat kuasa

53
Wawancara dengan Drs. Muizzuddin, BA. (Panitera muda gugatan), pada Tanggal
19/10/2007.
54
Arsip Milik Pengadilan Agama Ponorogo tahun 2005, dalam Register surat kuasa
khusus.

41

Dari data wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan salah satu
pengacara praktek banyak memberikan informasi tentang motif pembelajaran
yang dilakukannya.55 Pertama, adanya kepentingan pembelaan dalam kasus
yang sedang dikuasainya. Kedua, kewenangan yang dimiliki dalam melakukan
pembelaan. Ketiga, adanya disiplin dan tanggung jawab profesi dalam
menangani perkara yang diwakilkan kepadanya.
Dari beberapa data yang dikemukakan tersebut diatas nyatalah bahwa
keberadaan pengacara praktek di lingkungan Pengadilan Agama Ponorogo
menunjukkan data yang semakin memuncak dari tahun ke tahun. Hal ini
tentunya memberi peluang yang cukup kondusif bagi perkembangan profesi
pengacara itu sendiri, lebih-lebih pengacara yang berlatar belakang sarjana
Syariah untuk dapat beracara di lingkungan peradilan agama.
Dalam menjalankan tugasnya seorang advokat atau pengacara
berkewajiban: (1) Kliennya yang berarti ia harus memberi bantuan hukum dan
melindungi kliennya dari perlakuan dan tindakan semena-mena yang
bertentangan dengan hukum, (2). Pengadilan, pengacara berkewajiban
membantu hakim mencari kebenaran dan melancarkan jalannya persidangan
serta bersikap jujur. Untuk dapat menjunjung tinggi hukum, maka ia harus
menguasai hukum termasuk hukum acara. Kurangnya pemahaman dalam
bidang hukum tentu akan menghambat jalanya persidangan, (3). Teman

55

2007.

Wawancara dengan Ny. Ernawati, SH (Pengacara Praktek), pada tanggal 20 Oktober

42

sejawat, mempunyai loyalitas dan solidaritas untuk tidak berpraktek secara


serampangan, karena hal itu akan menyangkut nama baik dari kesatuan.56

C. Prosedur Pengajuan Gugatan Melalui Jasa Pengacara di Pengadilan


Agama Ponorogo
Dalam Bab III pasal 49 s/d 53 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 jo.
Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dijelaskan tentang
kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Pengadilan
Agama. Dalam pasal 49 ditentukan bahwa pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam, serta wakaf dan sodaqoh. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama
berwenang dan bertugas mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang
dan tugas Pengadilan Agama dalam tingkat banding. Juga menyelesaikan
sengketa yurisdiksi antara Pengadilan Agama.
Bidang perkawinan yang menjadi kewenangan dan kekuasaan
pengadilan agama adalah :57
a. Izin beristri lebih dari seorang.
b. Izin perkawinan usia dibawah 21 tahun.
c. Dispensasi kawin
d. Pencegahan perkawinan
70-75

56

Sudikno Mentokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Liberty: Yogyakarta, 1988),

57

Undang-undang No. 1 tahun 1974, Tentang Perkawinan.

43

e. Penolakan perkawinan
f. Pembatalan perkawinan
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri
h. Penceraian karena talak
i. Gugatan penceraian
j. Penyelesian Gono-Gini
Sejalan dengan amanah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tersebut,
Pengadilan Agama Ponorogo tidaklah seluruhnya menangani kasus-kasus
sebagaimana yang ada. Namun sebagian besar kasus yang berkaitan dengan
masalah perkawinan.
Sesungguhnya dengan berjalannya waktu banyak sekali kasus yang
terjadi dalam kehidupan keluarga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
seorang narasumber di Pengadilan Agama,58 tidak semua kasus dalam
masyarakat membutuhkan atau diajukan perkaranya di Pengadilan Agama.
Hal ini disebabkan, pertama, perkara keluarga masih bisa diselesikan sendiri
oleh keluarga dan kerabat, kedua, adanya opini masyarakat bahwa
mengungkapkan masalah keluarga berarti membuka aib pribadi, ketiga,
kurangnya pengetahuan dan pengertian masyarakat akan pentingnya lembaga
Pengadilan bagi kemaslahatan umat.
Kasus yang diajukan lewat pengacara ada yang dikuasakan secara
penuh mulai pengajuan hingga mendapatkan keputusannya. Kasus-kasus ini
didominasi oleh mereka yang sibuk bekerja, dan mereka yang bekerja di luar
58

Wawancara dengan Drs. Muhaji Lestari (Panitera Muda Permohonan), pada tanggal 21
Oktober 2007.

44

negeri sebagai tenaga kerja, seperti di Hongkong, Malaysia, Singapura dan


Arab Saudi seperti kasus dalam berkas Pengadilan Agama Ponorogo No.
47/SK/2007,59 dengan tanggal pendaftaran 11 Juni 2007, pihak penggugat
sedang berdomisili di luar negeri (Arab Saudi), sehingga secara penuh berkas
perkaranya diwakilkan kepada pengacaranya, demikian pula halnya dengan
berkas perkara No. 91/SK/P/2007, yang didaftarkan pada tanggal 20
September 2007, pihak pemohon sedang bekerja di Hongkong sebagai Tenaga
Kerja.
Idealnya profesi advokat senantiasa membela kepentingan rakyat tanpa
membeda-bedakan latar belakang agama, budaya, warna kulit, tempat tinggal,
tingkat ekonomi, dan lain sebagainya. Pembelaan bagi semua orang termasuk
fakir miskin merupakan wujud penghayatan advokat terhadap prinsip
persamaan kedudukan di hadapan hukum sekaligus perwujudan hak yang
dimiliki semua orang yaitu hak untuk didampingi advokat.
Selama kurun waktu 2007, penulis dapatkan untuk kasus perkawinan
yang diajukan ke Pengadilan Agama diantaranya:
a. Izin poligami

= 8 kasus

b. Cerai talak

= 391 kasus

c. Cerai gugat

= 599 kasus

d. Pengesahan anak

= 5 kasus

e. Isbat Nikah

= 31 kasus

f. Dispensasi kawin

= 29 kasus

59

Arsip Pengadilan Agama Ponorogo tahun 2007, Perihal Surat Kuasa Khusus.

45

Dari paparan data di atas dapat kita lihat bersama bahwasannya kasus
yang berhubungan dengan perceraian merupakan kasus yang sering (paling
banyak) diajukan di muka pengadilan. Untuk kasus yang merupakan cerai
talak didapatkan data sebanyak 391 kasus, sedang kasus yang merupakan cerai
gugat merupakan kasus terbanyak dengan data sejumlah 599 kasus. Dari
perbedaan ini, yang menjadi pengacu utama adalah dari kaum perempuan
(pihak istri). Mereka menggugat pihak suami untuk menceraikan dirinya
karena beberapa penyebab yang menjadikan keretakan rumah tangga mereka.
Dari salah seorang koresponden yang sempat dihubungi penulis didapatkan
data yang menunjukkan bahwa ia terpaksa menuntut cerai dengan suaminya
karena selama ditinggal kerja ke luar negeri menjadi tenaga kerja wanita, telah
dikhianati oleh suaminya. Penulis mendapatkan data ini dengan sangat hatihatinya, karena pihak koresponden merasa ini merupakan aib keluarganya
yang sebenarnya tidak perlu orang lain tahu.60
Adapun prosedur pengajuan perkara gugat cerai yang berlangsung di
Pengadilan Agama Ponorogo secara ringkas dapat digambarkan sebagai
berikut:
1. Pengajuan gugatan
Surat gugatan merupakan surat yang diajukan pihak penggugat
kepada ketua pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang
di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar
landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak.
60

2007.

Hasil wawancara dengan Ny. Suratin binti Jayus (Penggugat), pada tanggal 27 Oktober

46

Pada intinya surat gugatan ini diajukan sendiri oleh para pihak
yang berperkara, baik secara lisan maupun tulisan surat gugatan diajukan
sendiri ke pengadilan kepada ketua pengadilan. Bilamana pengajuan ini
melalui jasa pengacara, maka dalam surat gugatan dicantumkan tanda
tangan kuasa hukumnya. Surat gugatan ini dibuat rangkap enam.
2. Pemeriksaan Perkara
Surat gugatan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke
kepaniteraan Pengadilan Agama, pada sub kepaniteraan gugatan. Di
bagian ini akan ditentukan berapa biaya yang akan dipergunakan. Bagi
yang tidak mampu bisa mengajukan bebas biaya perkara dengan
melampirkan keterangan tidak mampu dari kepala desa.
Hingga sampai tahap ini61 perkara yang masuk di meja pengadilan
akan mengalami beberapa kali proses hinga perkara memperoleh
keputusannya. Pihak pengacara akan terus memantau dan mendampingi
kliennya sebagaimana yang telah tertuang di dalam perjanjian (surat kerja).
Hal ini telah sesuai dengan kode etik seorang pengacara yang mana
seorang pengacara harus mengurus dengan sebaik-baiknya dengan segala
daya

kemampuannya

guna

memenangkan

setiap

perkara

yang

dipercayakan kepadanya.
Dalam mengajukan perkara yang sedang dihadapinya, terlebih dahulu
pihak yang mengajukan perkaranya diberikan beberapa pertanyaan yang
menyangkut kedudukan perkaranya. Apa yang menjadi latar belakang

61

Prosedur Pengajuan Gugatan, Lihat Pada lampiran No. 4.

47

permasalahan, dengan siapa ia berperkara, dimana kejadiannya dan apa yang


diharapkan dari perkara yang diajukan untuk data ini semua, kemudian pihak
pengacara yang diberi kuasa mencatat secara cermat data-data yang
diperolehnya, kemudian disusun menjadi sebuah berita acara. Berdasarkan
informasi yang telah diperoleh dan dengan adanya kekuatan surat kuasa,
kemudian pengacara mengajukan berkas-berkas perkara kliennya ke muka
pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian.62

D. Peran Dan Fungsi Pengacara Dalam Perkara Gugat Cerai Di Pengadilan


Agama Ponorogo
Berdasarkan data yang diperoleh penulis, pihak pengacara melakukan
upaya islah terlebih dahulu terhadap masing-masing pihak yang tersangkut
perkara. Pengacara melakukan pendekatan pula melalui perantara keluarga
dekat, seperti orang tua, saudara, kerabat, bahkan tetangga atau tokoh
masyarkaat yang dipandang mengetahui lebih jauh tentang kondisi
perkembangan keluarga yang bersangkutan. Baru kemudian melimpahkan
perkara ke pengadilan dimana upaya damai mengalami jalan buntu.63
Upaya ishlah (jalan damai) ini, senantiasa dilakukan terlebih dahulu
oleh pengacara yang menangani sebuah perkara yang dipercayakan

2007.
2007.

62

Wawancara dengan Ny. Suratin binti Jayus (Penggugat), pada tanggal 27 Oktober

63

Wawancara dengan Ny. Ernawati SH, (Pengacara Praktek), pada tanggal 20 Oktober

48

kepadanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ny. Ernawati, SH,64


bahwasannya

langkah-langkah

yang

diambil bila

menerima

perkara

diantaranya adalah:
a. Menguapayakan jalan damai sebelum perkaranya masuk di Pengadilan.
b. Memberikan bantuan (nasehat) hukum terhadap klien yang masih awam
terhadap penyelesaian kasus yang sedang dialaminya.
c. Membantu para pihak yang berperkara untuk segera dapat menyelesaikan
perkaranya.
d. Sebagai rasa tanggung jawabnya kemudian membantu mendampingi
pengajuan perkara di Pengadilan.65
Menjaga hubungan baik dengan klien adalah tugas utama seorang
pengacara karena di samping klien merupakan sumber penghasilan, juga oleh
karena profesi advokat merupakan jasa. Karenanya sebagai timbal balik
seorang klien, seperti Ny. Suratin binti Jayus (27 tahun) dengan rasa senang
hati memberikan imbalan berupa uang jasa (uang muka) sebagaimana yang
telah menjadi kesepakatan bersama, dimana sisanya akan dibayar kemudian.
Pemberian uang jasa ini bukanlah merupakan uang pelicin agar
kasusnya segera mendapat kemenangan. Semua ini semata-mata hanya balas
budi atau jerih payah yang

telah dilakukan oleh pengacara selama

mendampingi perkaranya mulai pengajuan berkas hingga mendapatkan

64
Ny. Ernawati, Seorang pengacara yang beralamat di Jl. Pacar No.08, Ponorogo, yang
selama tahun ini (penulisan skripsi) telah menangani 16 kasus gugat cerai, dan 8 kasus cerai talaq.
65
Wawancara dengan Ny. Ernawati SH, (Pengacara Praktek), pada tanggal 20 Oktober
2007.

49

keputusannya. Apalagi banyak penggugat yang menyerahkan sepenuhnya


perkaranya kepada seorang pengacara.66
Menurut Muizzuddin, tidak semua berkas perkara yang masuk ke
pengadilan melalui jasa pengacara, orang yang berperkara bisa mengajukan
secara langsung perkaranya ke Pengadilan Agama.67 Masih menurutnya pula
bahwa memang ada beberapa kasus yang secara penuh dikuasakan kepada
pengacara hingga berkas perkaranya mendapatkan keputusan.
Pengacara yang praktek di Pengadilan Agama Ponorogo, berdasarkan
perundang-undangan di syaratkan harus mempunyai izin dari Mahkamah
Agung dan Pengadilan Tinggi Agama. Persyaratan ini mutlak berlaku, karena
sebagai sebuah institusi hukum yang berwenang menangani perkara perdata
Islam di wilayah hukum Ponorogo, Pengadilan Agama berwenang mengadili
perkara dan memberikan ruang bagi adanya bantuan hukum untuk membela
orang-orang yang berperkara.
Penjelasan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Moh
Fahrur,68 bahwa untuk dapat beracara di Pengadilan Agama, seorang
pengacara harus memenuhi persyaratan normatif, seperti:
a. Memiliki surat kuasa khusus.
b. Ditunjuk untuk mewakili (kuasa) dalam surat gugatan dan di dalam
persidangan.

66

2007.

67

Wawancara dengan Ny. Suratin binti Jayus (Penggugat), Pada tanggal 27 Oktober

Wawancara dengan . Muizzuddin, BA (Panitera Muda Gugatan), Pada tanggal 19


Oktober 2007.
68
Salah seorang panitera di Pengadilan Agama Ponorogo.

50

c. Memenuhi syarat seperti yang ditentukan dalam peraturan Menteri


Kesehatan.
d. Memiliki izin praktek advokat
e. Ada izin tertulis dari ketua Pengadilan Agama dan ketua Pengadilan
Tinggi Agama.
Dengan ketentuan seperti tersebut, maka advokat yang tidak memenuhi
persyaratan maka tidak diberikan izin pratek di wilayah hukum Pengadilan
Agama Ponorogo, apalagi sampai mendampingi klien dalam proses peradilan.
Dalam mendampingi klien di muka pengadilan, seorang pengacara
berupaya agar perilaku yang ia jalankan merupakan penerapan rasa tanggung
jawabnya sebagai penasehat hukum. Ia menyadari bahwa profesi pengacara
merupakan profesi yang tidak mudah yang senantiasa terikat dengan peraturan
perundang-undangan dan kode etik sebagai seorang pengacara. Profesi
pengacara bukanlah profesi yang mendasarkan diri pada adanya upah yang
besar, apalagi bila klien yang dibelanya merupakan orang dari kalangan
berada (bangsawan) dengan ekonomi yang berkecukupan.
Sebagai profesi yang terhormat, profesi pengacara memperjuangkan
nilai kebenaran dan keadilan karena di dalamnya terdapat adanya nilai
moralitas. Ini berarti seorang advokat tidak dapat terpaku begitu saja kepada
kepastian hukum dalam membela kepentingan kliennya. Oleh karenanya,
ketika terjadi pertentangan antara hukum positif dengan kebenaran dan
keadilan, maka harus diutamakan adalah kebenaran dan keadilan. Sebab
tujuan utama hukum adalah demi terciptanya kebenaran dan keadilan.

51

Peran advokat secara langsung maupun tidak langsung di pengadilan


sejalan imbal balik dengan perjuangan kepentingan klien. Klien merasakan
manfaat yang luar biasa dengan adanya bantuan dari pengacara. Ini dapat
ditunjukkan dengan meningkatnya pengajuan gugatan melalui jasa pengacara
dari tahun ke tahun.69
Masyarakat yang merasa diuntungkan dengan adanya jasa pengacara
ini mendasarkan kepada beberapa alasan, seperti:
1. Keterbatasan pengetahuan di bidang hukum, terlebih terhadap kasus yang
dihadapinya.
2. Keterbatasan pengetahuan tentang tata cara beracara di pengadilan.
3. Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh para pihak yang berperkara.
4. Adanya kemampuan materi, sehingga lebih mudah menyewa seorang
pengacara.
5. Adanya kemungkinan perkaranya dimenangkan, karena diketahui bahwa
pengacara adalah orang yang lihai dalam bidang hukum.
Semua sarjana hukum yang telah terdaftar namanya sebagai pengacara
dan memiliki izin dapat berpraktek di Pengadilan Agama Ponorogo. Dan
bukannya sebuah kebetulan, bila ternyata di lingkungan Pengadilan Agama.
Hal ini terlihat dari hasil pengumpulan data.70 Selama tahun 2007 ini, secara
keseluruhan pengacara yang mendampingi klien berlatar belakang Sarjana
Hukum Umum. Namun karena kapabilitas dan kualitas mereka yang telah

69

Wawancara dengan Drs. Muizzuddin, BA (Panitera Muda Gugatan), Pada tanggal 19


Oktober 2007.
70
Lihat Lampiran 1 dalam skripsi ini.

52

lama bergelut dalam bidang perdata sehingga mereka juga melaksanakan


praktek pendampingan perkara di lingkungan Pengadilan Agama Ponorogo.
Adapun kepedulian pengacara untuk mendampingi klien di Pengadilan
tidak telepas dari beberapa alasan.71
a. Merupakan tuntutan profesi sebagai pengacara dan penasehat hukum
b. Membantu pihak yang berperkara agar segera dapat menyelesaikan
perkaranya dengan mudah seperti yang diharapkan.
c. Memberikan bantuan kepada masyarakat yang awam.

71

2007.

Wawancara dengan Ny. Ernawati, SH. (Pengacara Praktek), pada tanggal 2 November

53

BAB IV
ANALISA HUKUM POSITIF TERHADAP PRAKTEK PENGACARA
DALAM PENDAMPINGAN KLIEN TERHADAP PERKARA GUGAT
CERAI DI PENGADILAN AGAMA PONOROGO

A. Analisa Terhadap Kualifikasi Pengacara Dalam Perkara Gugat Cerai Di


Pengadilan Agama Ponorogo
Dalam bab III telah dijelaskan bahwasannya pengacara praktek di
lingkungan Pengadilan Agama sudah ada semenjak berdirinya Pengadilan
Agama. Praktek bantuan hukum tersebut pada awalnya hanya bersifat
universal, artinya bantuan hukum diajukan melalui perantaraan orang dekat
dari pihak yang bersengketa. Pengajuan perkara ini dilakukan secara insidentil
dan kasuistik. Artinya para pihak mengajukan kasusnya secara per item dan
pada saat itu juga kepada pihak pengadilan, yang kemudian memperoleh
keputusan hukum. Praktik penggunaan jasa pengacara ini kemudian marak
dalam tahun-tahun berikutnya.72
Mengenai kewajiban pengacara praktek dalam kaitan konteks kerjanya
ia merupakan kewajiban profesi yang independent dan otonom. Dalam hal ini
profesi pengacara memiliki konsekwensi yang sesuai dengan standar nilai dan
norma yang dilahirkan dan senantiasa diterapkan dalam kalangan profesi
pengacara itu sendiri. Di antara kewajiban pokok itu adalah memenuhi

72

Lihat pada Bab III, hal 41 skripsi ini.

53

54

kualifikasi dasar pengacara sehingga mampu berinteraksi dengan lapangan


kerja yang menjadi kewenangannya.
Dalam tatanan pengacara praktek di lingkungan Pengadilan Agama
Ponorogo, pengacara tentunya hanya memiliki kualifikasi yang ditentukan
oleh perundang-undangan. Namun karena perundangan tentang pengacara
praktek ini masih bersifat umum, maka dalam prakteknya belum (atau tidak)
membedakan latar belakang akademis mereka. Sarjana hukum umum bisa
berpraktek di lingkungan pengadilan agama, demikian pula sebaliknya,
sarjana syariah juga bisa melaksanakan praktek di lingkungan umum. Dan
kenyataan menunjukkan bahwa pengacara dengan latar belakang pendidikan
umum masih senantiasa mendominasi di lingkungan Pengadilan Agama
Ponorogo.73 Karena memang dalam Undang-undang No. 18 tahun 2003 pasal
2 menyebutkan : yang dapat diangat sebagai advokat adalah sarjana hukum
yang memenuhi persyaratan dan ketentuan yang diatur di dalam Undangundang ini.
Pasal ini menjelaskan bahwa orang yang memberikan jasa hukum dan
bantuan hukum harus berlatar belakang sarjana hukum. Pasal ini tidak
membedakan kewenangan praktek bagi para pengacara, mereka bebas
melaksanakan bantuan hukum baik di lingkungan pengadilan umum maupun
pengadilan agama.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang
advokad, maka pengacara yang berpraktek di lingkungan pengadilan umum

73

Lihat, Lampiran 1, Pembahasan Skripsi ini.

55

memiliki kewenangan yang sama dengan pengacara yang akan berpraktek di


lingkungan pengadilan agama. Akan tetapi yang menjadi titik perbedaan
adalah tentang jenis perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama itu
sendiri. Kewenangan menangani perkara perdata untuk umat Islam adalah
salah satu kewenangan pengadilan agama. Untuk itu pengacara yang
berpraktek di lingkungan pengadilan agama berkewajiban membekali diri
dengan pengetahuan yang berhubungan dengan perkara yang menyangkut
hukum-hukum syariah.
Untuk pengacara yang akan berpraktek di Pengadilan Agama dalam
perundang-undangan disaratkan harus mempunyai izin dari Mahkamah Agung
atau Pengadilan Tinggi Agama. Persyaratan ini mutlak berlaku, karena sebagai
sebuah institusi hukum yang berwenang menangani perkara perdata Islam di
wilayah hukum Ponorogo, Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara
dan memberikan ruang bagi adanya bantuan hukum untuk membela orangorang yang berperkara.
Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Bapak Muh.
Fahrur, salah seorang panitera di pengadilan agama Ponorogo. Beliau juga
menambahkan bahwasannya seorang pengacara yang akan berpraktek di
lingkungan Pengadilan Agama. selain mengantongi surat izin dari Mahkamah
Agung dan Pengadilan Tinggi Agama, maka juga harus memiliki persyaratan
lain diantaranya:
a. Memiliki surat kuasa khusus
b. Ditunjuk untuk menjadi kuasa dalam surat gugatan

56

c. Memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan menteri kesehatan


d. Ada izin praktek
e. Ada izin tertulis dari ketua Pengadilan Agama setempat
Dengan telah terpenuhinya beberapa persyaratan tersebut, maka
semakin mudahlah bagi pengacara praktek untuk mendampingi klien dalam
proses penyelesaian perkaranya di Pengadilan. Dan tidak menutup
kemungkinan akan muncul generasi baru yang meramaikan percaturan hukum
di bidang kepengacaraan perdata. Di dukung dengan banyaknya alumni yang
berlatar belakang sarjana hukum agama yang tentunya lebih memiliki
wawasan di bidang perdata Islam.
Artinya di sini adalah bahwa seorang pemberi jasa bantuan hukum
memiliki hak penuh untuk mendampingi klien selama proses penyelidikan dan
penyidikan dalam proses perkara. termasuk di dalamnya adalah hak untuk
menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua
tingkatan pemeriksaan, baik secara langsung, melalui surat ataupun
sebagainya.
Pengacara yang melakukan praktek pendampingan klien.74 Dalam
kasus gugat cerai yang dilakukan istri terhadap suaminya dengan berpedoman
pada surat kuasa yang diberikan oleh pihak pencari keadilan. Tanpa adanya
surat kuasa seorang pengacara tidak akan semena-mena mengajukan gugatan
ke pengadilan agama, untuk menyelesaikan perkara. Hal ini sesuai dengan
pasal 73 ayat (1), Undang-undang Perkawinan yang berbunyi:
74

2007.

Wawancara dengan Ny. Suratin binti Jayus (Penggugat), pada tanggal 27 Oktober

57

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada


pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman tergugat,
kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin tergugat.
Adapun isi surat kuasa tersebut berupa persetujuan kontrak kerja antara
pihak dengan pengacara. Di dalamnya berisi masalah kepengacaraan dan
honorium fee (uang jasa pembelaan). Setelah ini disepakati, kemudian
pengacara membuat berita acara gugatan yang meliputi:
a. Identitas pihak secara lengkap, meliputi nama, umur, agama, pekerjaan,
tempat tunggal.
b. Dasar pengajuan gugatan sebagai alasan mengapa diajukan gugatan.
c. Tuntutan yang diinginkan.
Setelah surat gugatan jadi, kemudian ditandatangani oleh kuasa
hukumnya atas nama klien, baru kemudian diajukan ke muka pengadilan
agama.
Maka dengan demikian jelaslah bahwasannya pengacara yang
menjalankan prakteknya di pengadilan agama akan senantiasa mengikuti
aturan yang ditetapkan dalam hukum beracara. Tidak terkecuali bagi mereka
yang memiliki latar pendidikan hukum umum. Pengacara praktek senantiasa
mengindahkan

prosedur

(tata

cara) beracara

di

pengadilan

agama.

Sebagaimana yang digariskan dalam perundang-undangan hukum positif.

58

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 ayat 2:75


Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat menjalankan prakteknya dengan
mengkhususkan diri pada bidang hukum tertentu sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal ini memberikan penegasan bahwa pengacara yang berpraktek di
Pengadilan Agama telah sejalan dengan Undang-undang bilamana ia telah
menyesuaikan diri dengan aturan dimana ia menjalankan prakteknya, dalam
hal ini tentunya praktek di lingkungan pengadilan Agama.
Sedang mengenai keterlibatan pengacara di sidang pengadilan telah
sejalan dengan pasal 14, yang berbunyi:
Advokat bebas dan tanpa takut mengeluarkan pendapat atau
pengertian dalam sidang pengadilan untuk membela perkara dalam
menjalankan profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan
pembelaan terhadap klien di pengadilan, lembaga perwakilan rakyat
Republik Indonesia.76

B. Analisa Terhadap Prosedur Pengajuan Gugatan Melalui Jasa Pengacara


Dalam Perkara Gugat Cerai Di Pengadilan Agama Ponorogo
Sebagaimana telah kita bahas pada bab sebelumnya, bahwa peraturan
perundang-undangan yang ada belum (atau tidak) mengatur bahwa para pihak
75
76

Undang-undang No. 18 tahun 2003, tentang advokat.


Ibid.

59

dalam suatu perkara harus mewakilkan kepada orang lain. Artinya bahwa
orang yang berperkara dan berkepentingan dengan sendiri langsung dapat aktif
bertindak sebagai pihak di muka sidang pengadilan, baik sebagai penggugat
maupun tergugat. Secara langsung ia berkedudukan sebagai pihak materiil
karena memiliki kepentingan langsung dalam perkara yang bersangkutan.
Tetapi mereka sekaligus menjadi pihak formil karena mereka sendirilah yang
beracara di muka sidang pengadilan. Mereka bertindak untuk dan atas nama
sendiri selaku yang berkepentingan.
Penjelasan ini memberikan penekanan bahwasannya secara prinsip
masing-masing pihak yang berperkaralah yang harus mengajukan perihal
sengketanya kepada pengadilan. Perlunya pihak-pihak menghadap sendiri di
muka sidang pengadilan adalah agar hakim dapat mengambil keputusan yang
tepat dan adil, atau juga demi terwujudnya perdamaian maka hakim
memandang perlu mendamaikan langsung para pihak yang berperkara.
Dalam kasus perdata, misalnya, kasus gugat cerai merupakan perkara
yang sering kali terjadi dalam kehidupan berumah tangga, gugat cerai
merupakan perkara dimana pihak wanita (isteri) mengajukan gugatannya
kepada pihak laki-laki (dalam hal ini suami) kepada pengadilan. Dengan
berbagai

alasan

yang

dikemukakan77

pihak

isteri

mengadukan

permasalahannya dengan suami kepada pengadilan agama. Dari beberapa


permasalahan yang dikemukakan, ternyata masalah kekerasan dalam rumah

77

Lihat lampiran No.3

60

tangga masih menjadi unsur dominan, sebagaimana terihat dalam penelitian


kali ini.
Memang,

sebagaimana

telah

dikemukakan,

bahwasannya

permasalahan perceraian merupakan permasalahan rumah tangga yang


sifatnya sangat sensitif. Persoalan keluarga merupakan persoalan yang paling
sensitif bagi keluarga itu sendiri. Artinya permasalahan keluarga merupakan
permasalahan yang mana orang lain tidak boleh tahu. Memperbincangkan
persoalan keluarga berarti membuka aib pribadi. Sedang memperbincangkan
dengan orang lain, belum tentu akan memperbaiki kondisi rumah tangga,
bahkan bisa-bisa semakin memperparah suasana.
Namun adakalanya keluarga sendiri tidak mampu mengatasinya.
Sedang mengajukan perkara di pengadilan merupakan suatu permasalahan
yang cenderung rumit dan berbelit-belit, apalagi pihak berperkara merupakan
orang yang awam terhadap prosesi di pengadilan. Tentu akan semakin
membingungkan pihak pencari keadilan.
Maka tidak heran bila dalam pembahasan kali ini penulis mengajukan
problematika seputar pengajuan perkara melalui pengacara. Hal ini menjadi
kecenderungan pihak berperkara di muka pengadilan di wilayah Ponorogo.
Sepengetahuan penulis, prosedur pengajuan perkara di muka
pengadilan agama memiliki titik kesamaan antara pihak yang bermasalah
dengan penguasaan melalui jasa pengacara.78 Secara umum pengajuan yang
bersifat
78

pribadi,

masing-masing

pihak

yang

berperkara

mengajukan

Hasil wawancara dengan Drs. Moh. Fahrur (Panitera / Sekretaris Pengadilan Agama
ponorogo), pada tanggal 29 Oktober 2007.

61

permasalahannya kepada ketua Pengadilan Agama. sedang mengajukan


perkara melalui perantara pengacara tentunya melalui jasa pengacara itu
sendiri. Pihak yang berperkara memberikan surat kuasa kepada pengacara
dengan memberikan pelimpahan penuh untuk mengajukan perkaranya di
Pengadilan Agama, sesuai dengan kesepakatan apakah perkaranya tersebut
dikuasakan penuh hingga diambil keputusan oleh majelis hakim, atau sebagian
saja perkara itu diproses. Artinya pertengahan sidang pihak berperkara
mencabut surat kuasanya dari pihak pengacara. Bila hal ini yang dikehendaki,
maka pihak pengacara menghentikan perannya dalam membela kepentingan
kliennya di muka pengadilan.
Sedangkan yang dapat bertindak sebagai kuasa hukum para pihak atau
wakil dari penggugat adalah seorang yang telah terpenuhi dari beberapa
syarat:
1. Mempunyai surat kuasa khusus pasal 123 ayat (1) HIR dan pasal 147 ayat
(1) R.Bg
2. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat
3. Ditunjuk penggugat sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat
4. Ditunjuk penggugat sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan
sebagaimana tersebut dalam pasal 123 ayat (1) HIR dan pasal 147 ayat (1)
R.Bg
5. Memiliki syarat dalam peraturan menteri kehakiman No. 11 tahun 1965
tanggal 28 Mei 1965. Keputusan menteri kehakiman No. Lp. 14/2111
tanggal 7 Oktober 1965.

62

6. Telah terdaftar sebagai advokat atau pengacara praktek.


Persyaratan sebagaimana termaktub di atas sengaja penulis tampilkan
kembali mengingat pentingnya persyaratan ini menjadi acuan pengacara
dalam mendampingi kliennya. Dengan terpenuhinya syarat ini, maka
pengacara akan dengan independennya membawa permasalahan klien untuk
diajukan di muka pengadilan. Beberapa persyaratan ini agaknya secara penuh
atau sebagian telah dimiliki oleh pengacara praktek di Pengadilan Agama
ponorogo.
Di atas telah penulis katakan bahwa pengajuan perkara secara individu
maupun melalui jasa pengacara pada hakekatnya memiliki kesamaan. Adapun
prosedur pengajuan perkara gugat cerai yang berlangsung di Pengadilan
Agama Ponorogo secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pengajuan gugatan
Surat gugatan merupakan surat yang diajukan pihak penggugat
kepada ketua pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang
di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar
landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak.79
Pada intinya surat gugatan ini diajukan sendiri oleh para pihak
yang berperkara, baik secara lisan maupun tulisan surat gugatan diajukan
sendiri ke pengadilan kepada ketua pengadilan. Bilamana pengajuan ini
melalui jasa pengacara, maka dalam surat gugatan dicantumkan tanda
tangan kuasa hukumnya. Surat gugatan ini dibuat rangkap enam.
79

1992), 39.

Mukti Arto, Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Semarang, Pustaka Pelajar,

63

2. Pemeriksaan Perkara
Surat gugatan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke
kepaniteraan Pengadilan Agama, pada sub kepaniteraan gugatan. Di
bagian ini akan ditentukan berapa biaya yang akan dipergunakan. Bagi
yang tidak mampu bisa mengajukan bebas biaya perkara dengan
melampirkan keterangan tidak mampu dari kepala desa.
Hingga sampai tahap ini80 perkara yang masuk di meja pengadilan
akan mengalami beberapa kali proses hingga perkara memperoleh
keputusannya. Pihak pengacara akan terus memantau dan mendampingi
kliennya sebagaimana yang telah tertuang di dalam perjanjian (surat kerja).
Hal ini telah sesuai dengan kode etik seorang pengacara yang mana
seorang pengacara harus mengurus dengan sebaik-baiknya dengan segala
daya

kemampuannya

guna

memenangkan

setiap

perkara

yang

dipercayakan kepadanya.
Adapun mengenai pendampingan klien oleh pengacara di setiap
proses persidangan merupakan peran yang sangat penting bagi setiap
klien. Apalagi bila klien memang benar-benar orang yang sangat awam
akan hukum. Dan kenyataan di Pengadilan Agama Ponorogo menunjukkan
fenomena demikian. Banyak dari mereka yang hanya memiliki latar
belakang pendidikan menengah, bahkan banyak yang setingkat madrasah
Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama. Karenanya pendampingan
pengacara sangat dibutuhkan.

80

Prosedur Pengajuan Gugatan, Lihat Pada lampiran No. 4.

64

Perilaku advokat yang demikian ini sejalan dengan pasal 14,


Undang-undang No. 18 tahun 2003, tentang advokat. Dinyatakan bahwa:
Advokat bebas dan tanpa takut mengeluarkan pendapat atau
pernyataan dalam sidang pengadilan untuk membela perkara dalam
menjalankan profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan
terhadap klien di pengadilan, lembaga peradilan lainnya atau dalam dengar
pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Upaya pengajuan gugatan secara tertulis yang dilakukan oleh
pengacara merupakan bukti tanggung jawabnya dalam mengemban
amanah profesi. Upaya pengajuan perkara ke pengadilan ini merupakan
upaya tindakan lanjut bilamana pelaksanaan jalan damai yang dilakukan
pengacara terhadap kedua belah pihak telah menemui jalan buntu.
Perdamaian pihak yang bersengketa oleh pengacara merupakan koridor
awal terwujudnya keadilan yang bersifat cepat dan tentunya hanya
membutuhkan biaya yang ringan.
Tahap awal inilah yang dilakukan oleh para pengacara pendamping
di wilayah Pengadilan Agama Ponorogo. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan oleh penulis, terdapat data dimana pengacara melakukan upaya
islah81 terlebih dahulu terhadap para pihak yang tersangkut perkara.
Pengacara, untuk melakukan perbaikan (rujuk) juga melalui pendekatan

81

Islah merupakan jalan damai untuk menyatakan kembali kedua pihak yang bersengketa.
Ishlah = (penyelesaian pertikaian dan sebagainya) dengan baik-baik (dengan jalan damai). Lihat =
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 388.

65

keluarga terdekat, seperti orang tua, saudara juga kerabat yang lain, yang
dipandang lebih tahu tentang kondisi keluarga yang bersangkutan.82
Tindakan awal pengacara ini juga sepadan dengan pendapat
Martiman Prodjohamidjojo yang disadur oleh Rahmad Rosyadi, SH,83
bahwa upaya Ishlah ini merupakan salah satu bentuk peranan baik ini
tercermin dalam upaya menempuh jalan damai dalam setiap perkara, lebih
baik dalam perkara yang menyangkut bidang perdata.
Upaya jalan damai ini juga selaras dengan asas-asas peradilan
agama dan prinsip-prinsip hukum acara perdata yang ditetapkan dalam
peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam pasal 16 ayat (4) Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo.
Undang-undang No. 4 tahun 2004, misalnya disebutkan: Ketentuan
dalam ayat (1) tidak tertutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian
perkara perdata secara perdamaian.
Dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-undang No. 3
tahun 2006, tentang Peradilan Agama pasal 82, juga menyebutkan adanya
upaya damai.
Ayat (1) pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim
berusaha mendamaikan kedua belah pihak
Ayat (4) selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

82
Lihat Hal 48 dalam pembahasan skripsi ini, bandingkan pula dengan transkrip
wawancara No. 07/X/2007.
83
Rahmad Rosyadi, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghaila
Indonesia, 2003), 89-90.

66

Dalam beberapa pasal ini secara eksplisit memang tidak


menyebutkan upaya damai yang dilakukan oleh para pengacara. Namun
dalam kaca mata peradilan, ayat ini juga memberikan penetapan hukum
bagi

pengacara

untuk

membantu

mengesahkan

jalan

damai.

Bagaimanapun juga, pengacara juga merupakan insan cendekia yang


dalam kesehariannya bergelut dengan permasalahan hukum, sehingga
secara tidak langsung dalam kasus-kasus perdata juga harus mengikuti
aturan main hukum acara perdata.
Beberapa penjelasan inilah yang menjadi pembenaran bahwa
praktek pengacara di lingkungan Peradilan Agama Ponorogo telah sejalan
dengan kaidah-kaidah hukum dan aturan-aturan dalam acara perdata.
Prosedur dan tata main telah dipergunakan dalam setiap proses perkara.
Proses tersebut meliputi, adanya upaya damai (ishlah) yang dilakukan
pengacara terhadap kedua belah pihak, baik secara pendekatan pribadi
maupun melalui keluarga dan kerabat dekat, dan pula pengajuan berkas
gugatan kepada pengadilan secara tertib sesuai dengan tahap-tahap
pemeriksaan perkara perdata.

C. Analisa Terhadap Peran dan Fungsi Pengacara Dalam Perkara Gugat


Cerai di Pengadilan Agama Ponorogo
Pembahasan kali ini meliputi dua hal yang berbeda kajiannya secara
hukum. Pengacara memang memiliki peran dan fungsi yang menentukan
dalam proses mencari keadilan. Peran dan fungsi tidak dapat dipisahkan

67

secara sendiri-sendiri. Ibarat sekeping uang, keduanya merupakan sisi uang


melekat erat dan saling memperkuat sebagai jati diri seorang pengacara.
Peran merupakan profesinya sesuai dengan tugas, fungsi dan kode etik,
serta sumpah jabatan. Sedangkan yang dimaksud dengan pemberian jasa
hukum yang dilakukan adalah mendampingi, menjadi kuasa, memberikan
advice hukum kepada klien, baik menjadi kuasa, memberikan advice hukum
kepada klien, baik bersifat sosial, sukarela atau mendapatkan imbalan jasa.84
Peran merupakan aspek dinamis dari sebuah kedudukan apabila
seorang pengacara telah melakukan suatu hak dan menjalankan kewajiban
dalam kedudukannya, maka dia menjalankan sebuah peran. Lebih jauh sebuah
peran tentunya berbeda dengan pelaksanaan tugas, kewajiban dan tangung
jawab. Karena, baik tugas, kewajiban dan tanggung jawab lebih melaksanakan
aspek idealitas dari pada realitas dan menekankan pada apa yang dilakukan
hukum apa yang seharusnya dilakukan. Maka membicarakan peran pengacara
berarti berbicara tentang apa yang dilakukan pengacara dalam menangani
perkara, menurut kemenangan yang dimiliki.
Untuk dapat melakukan peranan dalam kegiatan praktek litigasi di
Pengadilan Agama, seorang pengacara harus mengikuti hukum acara yang
berlaku di lingkungan Peradilan Agama. Dengan mengikuti aturan ini dapat
meminimalkan praktek yang menyimpang, sehingga dapat dipertanggungjawabkan prosedurnya.

84

Rahmat, Rosyadi, Advokat .. , 64.

68

Keberadaan pengacara untuk berperan dalam mendampingi klien yang


bersengketa dalam perkara gugat cerai dalam pembahasan kali ini telah diatur
melalui pasal 73 ayat (1) sebagaimana dinyatakan: gugatan perceraian
diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
Dalam menangani kasus perdata di lingkungan Peradilan Agama
Ponorogo, menurut hemat penulis ada beberapa hal yang menjadi peranan
pengacara terwujud, peran pengacara tersebut tercermin dalam beberapa hal,
diantaranya: memberikan pelayanan hukum, memberikan nasehat hukum,
membela kepentingan klien, dan mewakili klien di muka pengadilan.85
1. Memberikan Pelayanan Hukum
Peranan pengacara dalam kasus gugat cerai tampak sekali dalam
setiap proses perkara. Pengacara

berupaya semaksimal mungkin

memberikan advice (pelayanan) kepada kliennya dengan baik. Hal ini


dapat diketahui dari hasil penelusuran data bahwasannya pihak terperkara
telah menyerahkan permasalahannya kepada pengacara. Sejak awal masa
persidangan, sebagai contoh dalam skripsi ini dimunculkan perkara yang
dialami oleh Ny. Suratin binti Jayus dengan kasus perdata No. A.
258/Pdt.G/2007/PA.Po. dari hasil wawancara86 dapat dianalisis bahwa
pengacara yang menangani kasusnya sejak awal pengaduan telah

85
Mengenai peran seorang advokat (pengacara), bandingkan peranan pengacara dalam
Ropuan Rambe, Teknik Praktek .., 28-29 dan Rahmad Rosyadi, Advokat dalam .,70.
86
Wawancara dengan Ny. Suratin binti Jayus (Penggugat), pada tanggal 27 Oktober
2007.

69

menerima keluh kesahnya. Ia mempercayakan secara penuh kepada Ny.


Ernawati, SH, MH, salah seorang advokat yang beralamat di Jl. Pacar No.
08 Ponorogo.
Dalam memberikan pelayanannya, pengacara praktek ini telebih
dahulu menanyakan yang menjadi penyebab keinginannya mengajukan
gugat cerai kepada suaminya. Sebagai langkah awal, pengacara juga
memberikan alternatif jalan damai yang dimungkinkan agar permasalahan
yang dihadapi kliennya bisa memperoleh penyelesaian tanpa harus
dimajukan ke sidang pengadilan. Meski akhirnya kasus yang menimpa
kliennya juga masuk di meja pengadilan.
Pengacara professional memang harus memberikan pelayanan
terbaiknya bilamana ia menginginkan citra dan harga dirinya tidak
dipandang sebelah mata di masyarakat. Pelayanan yang baik ini tampak
dalam segala sifat, sikap, kepribadian yang menyenangkan. Hal ini
sebagaimana dikatakan Ropaun Rambe seorang pengacara harus selalu
flekxibel, kreatif, dan mempunyai kualifikasi serta karakter pribadi yang
substantif antara lain ia harus memiliki desio Fighting spirit yang cukup,
karena tanpa itu, tak mungkin pengacara akan memberikan pelayanan
optimal.87
2. Memberikan Nasehat Hukum
Pengacara praktek merupakan penasehat hukum yang izin
prateknya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi. Dengan perizinan ini ia

87

Ropuan Rambe, .. 11-13.

70

memiliki kewenangan yang sama dengan penegak hukum lainnya seperti


hakim, maupun jaksa.
Pemberian nasehat hukum kepada klien yang menjadi tanggung
jawabnya diberikan semenjak pertama kali ia berhadapan muka dengan
klien. Nasehat hukum ini diberikan agar klien memiliki kesadaran hukum
terhadap permasalahan yang sedang ia hadapi. Bisa dimungkinkan dengan
adanya nasehat awal ini ia dapat rujuk kembali dan mencabut rencananya
untuk mengajukan gugatan lewat pengadilan.
Dalam nasehatnya pengacara memberikan pandangan bahwa
pengadilan merupakan alternatif terakhir apabila terpaksa harus ditempuh
lewat jalur hukum. Pengacara juga memberikan pengertian apakah
perkaranya berada pada posisi yang sangat kuat atau yang sangat lemah
secara yuridis. Dengan demikian, bila perkaranya dikalahkan atau
dimenangkan di pengadilan maka para pihak yang berperkara dapat
bersikap legowo dan terbuka dalam menerima putusan pengadilan.
3. Membela Kepentingan Klien
Advokat memiliki peranan membela kepentingan masyarakat dan
kliennya. Advokat dibutuhkan pada saat seseorang menghadapi masalah
atau problem di bidang hukum.
Peran membela kepentingan klien dalam menangani kasus gugat
cerai dalam hal ini mengandung arti bahwa pembelaan bersifat absolute.
Artinya pengacara hanya memiliki pembelaan bersifat absolute. Artinya

71

pengacara hanya memiliki kewenangan tertentu dalam melakukan


pembelaan, hanya sebatas permasalahan yang diajukan kepadanya.
Kemudian kompetensi pembelaan yang dilakukan oleh pihak-pihak
terkait tergantung dari keinginan klien, meskipun dalam realitasnya
terkadang isi surat kuasa dibuat sendiri oleh pengacara tanpa adanya
konsultasi dengan klien yang dibelanya. Namun hal ini dapat dibenarkan
mengingat bahwa secara prinsip dalam menjalankan tugasnya, pengacara
berhak melaksanakan tanggung jawabnya sepanjang tidak bertentangan
dengan keinginan klien dan Undang-undang yang berlaku.
4. Mewakili Klien di Muka Persidangan
Memang tidak semua orang yang mengajukan perkara di muka
pengadilan dapat menghadiri setiap sesion persidangan. Adakalanya
sebagian sesion diikuti oleh para pihak yang berperkara. Hal ini
dimungkinkan, mengingat para pihak tidak berdomisili di wilayah hukum
Pengadilan Agama Ponorogo. Banyak sekali orang yang tersangkut
masalah keberadaannya di luar negeri, sebagaimana terlihat dalam datadata yang dikemukakan dalam pembahasan terdahulu.
Di sinilah tentunya peranan pengacara memiliki nilai arti penting.
Sebagai pembawa surat kuasa dari kliennya, tentu ia memiliki andil yang
besar dalam setiap prosesi persidangan. Ia bertindak sebagai wakil di
dalam persidangan. Secara formil ia bersikap untuk membela kepentingan
dan memperjuangkan hak-hak kliennya.

72

Banyak sekali aturan-aturan yang menjadi pembenaran dari


tindakan pengacara sebagai wakil di dalam persidangan sebagaimana
halnya dalam pasal 215, Undang-undang No. 31 Tahun 199788 ayat 1
dinyatakan bahwa: untuk kepentingan pembelaan perkaranya, tersangka
atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum di semua tingkat
pemeriksaan.

88

Undang-undang No. 31. tahun 1997, Tentang Pengadilan Militer.

73

BAB V
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan tersebut di atas, dapatlah ditarik sebuah
kesimpulan:
1. Hampir dari seluruh pengacara praktek di Pengadilan Agama Ponorogo
memiliki latar belakang pendidikan hukum umum. Ini menunjukkan
bahwa secara normatif belum ada yang memiliki kualifikasi praktek di
lingkungan Pengadilan Agama. Namun berdasar peraturan dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia (hukum positif), pengacara telah dibenarkan
melakukan praktek hukum di wilayah Pengadilan Agama Ponorogo.
Persyaratan tersebut diantaranya; memiliki kualifikasi pendidikan hukum,
memiliki surat kuasa, dan punya izin praktek dari instansi yang
berwenang.
2. Tata cara pengajuan gugat cerai pada dasarnya memiliki prosedur yang
sama antara pengajuan langsung oleh pihak yang berperkara dengan
malalui jasa pengacara. Dalam hukum positif pun dibenarkan, pengajuan
gugatan cerai melalui perantaraan pengacara, baik pengajuan awal perkara
sampai pendampingan perkara bisa diputuskan. Hanya saja, pengacara
yang mengajukan perkara yang dibelanya harus mengantongi surat kuasa
dari klien yang dibelanya. Prosedur tersebut diantaranya mengajukan

73

74

gugatan secara tertulis kepada ketua pengadilan, pemanggilan para pihak,


pemeriksaan sengketa, dan pemutusan sidang.
3. Pengacara dalam praktek mendampingi kliennya di wilayah hukum
Pengadilan Agama Ponorogo, dalam kasus gugatan cerai memiliki nilai
yang sangat positif, khususnya bagi klien yang menjadi tanggungannya.
Adapun peranan pengacara dapat disimpulkan, membela kepentingan
klien. Dan mewakili klien di muka persidangan.

B. Saran-Saran
Sebagai tindak lanjut kajian ini, penulis merekomendasikan:
1. Hendaknya bagi pengacara yang berpraktek di lingkungan Pengadilan
Agama menambah dan meningkatkan pengetahuan hukumnya lebih-lebih
dalam bidang perdata Islam.
2. Hendaknya bagi setiap keluarga, atau calon pasangan keluarga membekali
diri dengan pengetahuan berkeluarga, dan senantiasa mendekatkan diri
kepada Allah SWT dalam menaungi bahtera hidup berumah tangga.
Tentunya dengan ketaqwaan, usaha dan doa, setiap permasalahan yang
dihadapi akan diberikan kemudahan jalan penyelesaiannya.

75

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan
Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2001.
Ahmad Sunarta, Terj. Sahih Bukhari III, Semarang: Asy-Syifa, 1992
Ahrum Haerudin, Pengadilan Agama: Bahasan Pengertian, Pengajuan Perkara
dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undangundang No.7 tahun 1989, Tentang Pengadilan Agama, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1999.
Amir Muslim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta:
UUI Pres, 1999.
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga Universiti
Press, 2001.
Binziad Kadafi, dkk, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi Tentang
Tanggung jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia, 2002.
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya.
Frans Harapan Winata, Advokat Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Hamzah Syahlani, Penemuan dan Masalah Hukum dalam Peradilan Agama,
MARI, 1994.
Hartono Mandjono, Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks Keindonesiaan,
Bandung: Mizan, 1997.
Komplikasi Hukum Islam
Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, Yogyakarta: Liberti, 1989.
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Lingkungan Pengadilan Aga
Semarang: Pustaka Pelajar, 1992.
Rahmad Rosyadi, dkk, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Rapoum Rambe, Tehnik Praktek Advokat, Jakarta: PT. Grasindo, 2003.

76

Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 1995.
R. Soeroso, Tata Cara Dalam Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIV, Bandung: PT. Al-Maarif Bandung 1996.
Soerjdono Soekanto, Sri Mamuudi. Penelitian Hukum Normatif , Jakarta Raja
Grafindo Persada. 2001.
Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti,
1988.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alpa Beta, 2006.
UUD 1945
Undang-undang RI No. 18 tahun 2003, Tentang Advokat.
Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-undang No. 1 tahun 1974, Tentang Perkawinan
Undang-undang No. 3 tahun 2006, Tentang Amandemen Undang-undang
Peradilan Agama.
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2002.
Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini, Jakarta:
PT. Abadi, 2001.

Anda mungkin juga menyukai