Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN TAFSIR TEMATIK: PERNIKAHAN POLIGAMI DAN TALAK PERSPEKTIF

MUFASIR NUSANTARA
(Analisis Penafsiran Surah Al-Nisa’ [4]: 3-4, 129 dan Surah Al-Talaq [65]: 1-6 )
Lina Nur Fitri Fauziyyah
07040321115@student.uinsby.ac.id
Fathin Abdulhafizh
07020321044@student.uinsby.ac.id

Abstrak
Penelitian ini membahas tentang Poligami dan Talak dalam Prespektif Tafsir. Poligami merupakan laki-laki
memiliki istri lebih dari satu sampai empat orang. Dalam pandangan Islam, poligami boleh dilakukan jika
memenuhi syarat-syarat yang sudah jelas dalam al-Qur'an yaitu mampu berlaku adil. Adil yang dimaksud
disini beberapa meliputi bagian, yaitu: adil dalam Pembagian waktu, adil dalam nafkah, adil dalam tempat
tinggal dan adil dalam biaya anak. Poligami Rasulullah berbeda dengan poligami yang kita lihat sekarang
ini. Pada masa kini, poligami hanya didasarkan pada kebutuhan biologis, dan kehilangan unsur keadilan di
dalamnya. Begitupun dengan talak yang seakan lebih sering dijadikan jalan jika di dalam rumahtangga
terjadi permasalahan sehingga penting kiranya melakukan telaah lebih lanjut terkait poligami dan talak
dalam penafsiran ulama nusantara.

Keywords: Poligami, Talak, Mufasir Nusantara

Pendahuluan
Poligami adalah praktik perkawinan di mana seorang suami memiliki lebih dari satu istri dalam
waktu yang bersamaan. Dalam konteks masyarakat Nusantara, pandangan mufasir terhadap poligami
memiliki wawasan penting tentang bagaimana praktik ini dipahami dan dihormati dalam konteks
budaya dan agama lokal. Poligami, yang merupakan bagian dari hukum Islam, telah menjadi topik
kontroversial dalam masyarakat, karena mempengaruhi kehidupan keluarga dan masyarakat secara
langsung.
Dalam pandangan mufasir Nusantara, poligami harus mematuhi beberapa syarat dan kondisi,
seperti keadilan dan kesepakatan bersama antara suami dan isteri. Poligami dalam Islam tidak hanya
menimbulkan rasa kekecewaan terhadap istri, tetapi juga menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap
kaum perempuan pada umumnya. Istri yang dipoligami sering merasa tersisihkan karena suami
cenderung lebih memperhatikan istri yang baru. Pandangan mufasir Nusantara terhadap talak juga
penting perperhatian, karena talak memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Talak dalam hukum perkawinan di Indonesia merupakan upaya untuk melindungi wanita
dari kesewenang-wenangan suami. Dalam konteks masyarakat Nusantara, pandangan mufasir terhadap
talak harus mematuhi beberapa syarat, seperti keadilan dan kesepakatan bersama antara pernikahan.

1
Dalam kajian ini, kita akan membahas pandangan mufasir Nusantara terhadap poligami dan talak,
serta bagaimana pandangan mereka dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman terhadap isu-isu
tersebut dalam konteks lokal. Kajian ini akan mencakup berbagai aspek, seperti latar belakang poligami
dalam agama Islam, syarat dan kondisi yang harus dipenuhi, serta dampak negatif dari praktik poligami
dan talak pada masyarakat. Dengan memahami pandangan mufasir Nusantara terhadap poligami dan
talak, kita dapat menggali lebih dalam pemahaman tentang bagaimana praktik ini dipahami dan
dihormati dalam konteks budaya dan agama lokal. Kajian ini juga akan memberikan wawasan tentang
bagaimana pandangan mufasir Nusantara dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman terhadap isu-
isu poligami dan talak dalam konteks lokal.
Poligami
1. Pengertian, Hukum dan Fenomena Poligami (khususkan hukum yg ada di Indonesia)
Poligami berasal dari bahasa Yunani yang merupakan penggalan kata poli dan polus yang
artinya banyak, dan kata gemein atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka,
ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Dalam Islam,
arti dari poligami adalah perkawinan yang dilakukan lebih dari satu dengan memiliki batasan
yang telah ditentukan, yang pada umumnya dipahami sampai dengan empat wanita. Ada pula
yang memahami bahwa poligami dalam Islam bisa sampai Sembilan atau lebih. Akan tetapi,
poligami dengan batasan sampai dengan empat istri ini lebih umum dipahami dengan dukungan
dari sejarah, sebab Rasulullah saw. Melarang umatnya melakukan pernikahan lebih dari empat
wanita.1
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang beristri
lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan
Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar
pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan (UUP) dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut: 1) istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; 2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan; dan 3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. 2
Selanjutnya pada Pasal 5 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut: Pertama, untuk dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang

1
Andi Intan Cahyani, “Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam,” Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum
Keluarga Islam 5, no. 2 (December 21, 2018): 271, https://doi.org/10.24252/al-qadau.v5i2.7108.
2
Wahyu Tri Wibowo, “FENOMENA POLIGAMI TOKOH PUBLIK (Semiotika Roland Barthes dalam Konstruksi
Makna Gambar Poligami Tokoh Publik),” Academic Journal of Da’wa and Communication 2, no. 2 (November 29,
2021): 187–220, https://doi.org/10.22515/ajdc.v2i2.3360.

2
ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) adanya persetujuan dari istri atau istri-istri; 2) adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; 3) adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Kedua, persetujuan
yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-
istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau
apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.3

2. Asbabunuzul Surah al-Nisa’ [4]: 3-4 dan 129


a. Surah al-Nisa’ [4]: 3-4

‫َو ِاْن ِخ ْفُتْم َااَّل ُتْقِس ُطْو ا ِفى اْلَيٰت ٰم ى َفاْنِكُحْو ا َم ا َطاَب َلُك ْم ِّم َن الِّنَس ۤا ِء َم ْثٰن ى َو ُثٰل َث َو ُر ٰب َع ۚ َفِاْن ِخ ْفُتْم‬
ۗ‫ َو ٰا ُتوا الِّنَس ۤا َء َص ُد ٰق ِتِهَّن ِنْح َلًة‬٣ ‫َااَّل َتْع ِد ُلْو ا َفَو اِح َد ًة َاْو َم ا َم َلَك ْت َاْيَم اُنُك ْم ۗ ٰذ ِلَك َاْد ٰٓنى َااَّل َتُعْو ُلْو ۗا‬
٤ ‫َفِاْن ِط ْبَن َلُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّم ْنُه َنْفًسا َفُك ُلْو ُه َهِنْۤي ًٔـا َّم ِر ْۤي ًٔـا‬

3. Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.
4. Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati.

Allah swt memerintahkan untuk menyerahkan harta anak-anak yatim kepada mereka apabila telah
mencapai masa baligh secara sempurna, serta melarang memakan dan menggabunkannya dengan harta
mereka. Untuk itu, Allah swt berfirman, “Dan janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk. "
Sufyan ats-Tsauri mengatakan dari Abu Shalih: "Janganlah engkau tergesa-gesa dengan rizki yang haram
sebelum datang kepadamu rizki halal yang ditakdirkan untukmu." Sa'id bin Jubair berkata: "Janganlah
kalian menukar harta haram milik orang lain dengan harta halal dari harta kalian." Ia (Sa'id) pun berkata:
"Janganlah kalian mengganti harta kalian yang halal dan memakan harta-harta mereka yang haram."
Sedangkan Sa'id bin al-Musayyab dan az-Zuhri berkata: "Janganlah engkau memberi sesuatu yang kurus
dan mengambil sesuatu yang gemuk." Adapun Ibrahim an-Nakha'i dan adh-Dhahhak berkata: "Janganlah
engkau memberi sesuatu yang palsu dan mengambil sesuatu yang baik." Dan as-Suddi berkata: "Salah
seorang di antara mereka mengambil kambing anak yatim yang gemuk lalu sebagai gantinya ia memberi

3
Wibowo, 198.

3
kambing yang kurus kering simbil berkata: '(Yang penting) kambing dengan kambing. ' Sena ia pun
mengambil dirham yang baik dan menggantinya dengan dirham yang buruk dan berkata: '(Yang penting)
dirham dengan dirham."4

b. Surah al-Nisa’ [4]: 129


‫َو َلْن َتْسَتِط ْيُع ْٓو ا َاْن َتْع ِد ُلْو ا َبْيَن الِّنَس ۤا ِء َو َلْو َحَر ْص ُتْم َفاَل َتِم ْيُلْو ا ُك َّل اْلَم ْيِل َفَتَذ ُرْو َها َك اْلُمَع َّلَقِةۗ َو ِاْن‬
١٢٩ ‫ُتْص ِلُحْو ا َو َتَّتُقْو ا َفِاَّن َهّٰللا َك اَن َغ ُفْو ًرا َّر ِح ْيًم ا‬
129. Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan),
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata: pada ayat ini
‫َو َلْن َتْسَتِط ْيُع ْٓو ا َاْن َتْع ِد ُلْو ا َبْيَن الِّنَس ۤا ِء َو َلْو َح َر ْص ُتْم‬
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian," turun pada 'Aisyah, yaitu bahwa Nabi saw sangat mencintainya, melebihi
isteri-isterinya yang lain. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus
Sunan dari 'Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw membagi giliran di antara isteri-isterinya dengan adil,
lalu beliau berkata:"Ya Allah inilah pemb agianku yang aku mampu, maka j anganlah Engkau cela aku
pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki". Yaitu hati. (Lafazh hadits ini adalah berdasarkan
riwayat dari Abu Dawud dan isnadnya shahih, akan tetapi at-Tirmidzi berkata, hadits ini diriwayatkan
pula oleh Hammad bin Zaid dan yang lainnya dari Ayyub dari Abu Qilabah secara mursal dan ini lebih
shahih).5

3. Ragam Penafsiran Mufasir Indonesia tentang Surah al-Nisa’ [4]: 3-4 dan 129 (V3)
a) Surah al-Nisa’ [4]: 3-4
1) Pandangan Hasbi al-Shiddiqie dalam Tafsir al-Nur
Konteks ayat ini dimulai dari ayat 2 dengan pembahasan satas kewajiban seorang wali dari anak
yatim untuk memelihara harta yatim dengan sebaik-baiknya. Kemudian pada ayat 3 al-Shiddiqie
melarang seorang wali dari anak yatim beristri dengan anak yatim tersebut jika khawatir tidak dapat
berbuat adil terlebih akan menghabiskan hartanya. Juga berisi larangan untuk menghalangi pernikahan
yatim tersebut. Dengan larangan ini, terdapat alternatif lain yakni dengan menikahi perempuan lain

4
Terjemah Tafsir Ibn Katsir Jil 2, hal 230.
5
Ibid

4
satu, dua, tiga atau empat orang. Al-Shiddiqie menekankan atas larangan untuk menjumlahkan
keterangan 1, 2, 3 dan 4 tersebut, dalam artian larangan menikahi sampai sembilan orang.
Namun selanjutnya, al-Shiddiqie memberi penjelasan bahwa jika masih terdapat kekhawatiran tidak
juga dapat berbuat adil, maka harus memiliki satu istri saja. Juga terdapat penekanan bahwa berlakunya
kebolehan menikahi lebih dari satu hanyalah bagi mereka yang benar-benar yakin dapat berbuat adil.
Kemudian al-Shiddiqie memberi alternatif lain yakni dengan menikahi budak dimana berlakunya
kebolehan ini adalah pada zaman sebelum perbudakan dihapuskan. Sebab memiliki satu istri perempuan
merdeka dan memilih budak sebagai istri lainya lebih menyelamatkan seseorang dari perbuatan curang.
Olehkarenanya, al-Shiddiqie menjelaskan bahwa pengertian yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah
kebolehan beristri lebih dari satu dengan penekanan syarat keadilan. Namun sayangnya, keadilan adalah
sesuatu yang sangat sulit dilaksanakan, beliau juga mengutip ayat 129 dari surah ini untuk penjelasan
atas makna adil selanjutnya.
Maksud keadilan disini adalah kecondongan hati. Sehingga keadilan akan dipastikan sangat sulit
diwujudkan sebab seseorang tidak mungkin memiliki kecintaan yang sama pada istri-istrinya. Al-
Shiddiqie kembali memberi penekanan bahwasanya kebolehan di dalam ayat ini tidak boleh
sembarangan diberlakukan. Hanya sebuah kedaruratan bagi orang yang benar-benar percaya akan
keadilannya dan jauhnya dirinya dari perbuatan curang. Al-Shiddiqie kemudian mengutip penjelasan
dalam Tafsir al-Hidayah wa al-’Irfan bahwa dalam kitab Sirr al-Islam, al-Amir Ali menjelaskan
pendapat para ulama muktazilah tentang larangan beristri dua bahkan lebih sebab keketatan mereka
dalam hukum pernikahan. Hal tersebut ditekankan pada kemadaratan dan kesulitan yang akan terjadi
akibat poligami, sedangkan diantara esensi syariat adalah memberi kemudahan dan menjadi alat
mencapai tujuan.
Sedangkan pada faktanya, poligami malah menjadikan keburukan yang dipandang tidak baik oleh
akal dan agama. Sebab itu, poligami diharamkan. Dengan demikian sudah seyogyanya bagi otoritas
hukum dan ahli agama serta ahli fatwa untuk mendahulukan menghindari bencana dari memperoleh
sesuatu yang dapat menarik kemaslahatan. Sebab dasar agama sejatinya adalah menghindari
kemadaratan bagi semua pihak, mempelajari cara memperbaiki keadaan yang sangat rusak dan
membuat perundang-undangan yang dapat menjamin terwujudnya kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Kemudian al-Shiddiqie melanjutkan pembahasannya pada ayat setelahnya tentang
keadilan di dalam mahar. Pada akhir pembahasan al-Shiddiqie menyimpulkan dengan empat poin
bahwasanya hukum yang ingin di sampaikan oleh Allah adalah terkait keharusan mengembalikan harta

5
yatim, jumlah perempuan yang dinikahi, kewajiban lelaki mencukupkan dirinya dengan seorang istri
dan kewajiban memberikan mahar.6
2) Pandangan Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar
Buya Hamka mengawali penafsirannya dengan sebuah pesan bahwa untuk mencapai hal yang jauh,
mulailah dari hal praktis sehari-hari. Hamka menjelaskan bahwa pada zaman jahiliyah tidak ada
kepastian seorang perempuan (baik anak, istri atau ibu) atas warisan. Kemudian ayat ini memberi
penjelasan tentang kewajiban memelihara harta yatim (penafsiran pada ayat 2). Selanjutnya di dalam
menafsirkajn kebolehan poligami sampai pada 4 orang istri, Hamka mengutip penjelasan Aisyah atas
pertanyaan yang diajukan oleh Urwah b. Zubair (putra Asma, saudara ’Aisyah) tentang asbabunuzul
ayat ini, yakni larangan seorang wali yatim menikahi yatim sebab memiliki niat tidak adil dalam
pemberian mahar yatim yang akan dinikahinya. Maka lebih baik orang tersebut menikahi perempuan
selain yatim walau sampai 4.
Pada riwayat yang lain dijelaskan tentang pemaparan Aisyah mengenai penguasaan harta yatim
yang tidak dinikahi namun tidak juga dinikahkan. Hamka memberi penjelasan bahwa pokok dari ayat
ini adalah tentang pemeliharaan harta yatim. Dimana saat seseorang memiliki pemikiran buruk atas
harta tersebut di bawah keberlangsungan pernikahan, maka lebih baik menikahi selain yatim walau
sampai 4. Artinya, daripada menganiaya harta yatim, lebih baik menikahi walau sampai empat orang
meski padahal seorang saja akan kesulitan. Dengan demikian, ayat ini sekaligus memberi penjelasan
tentang kesulitan yang akan di hadapi yakni keharusan berbuat adil terhadap hak istri dan istri berhak
menuntut haknya. Meliputi hak tempat tinggal, nafkah sandang dan pangan, nafkah batin dan
sebagainya.
Hamka memberi pesan bahwa jangan sampai seseorang menghindari satu kesulitan dengan memilih
alternatif namun malah terjebak pada kesulitan lain, dan orang beriman pasti memikirkan hal demikian
agar dirinya aman. Namun jika tetap masih ingin poligami, pilihlah gundik (budak hasil tawanan
perang) yang tidak akan menuntut persamaan perlakuan. Kemudian Hamka menjelaskan tentang sejarah
gundik atau budak yang kini sudah tidak lagi diberlakukan. Sehingga tidak ada lagi alasan
menghalalkan seorang laki-laki yang belum sanggup menikah kemudian menggauli pembantu
rumahtangganya. Oleh karenanya, Hamka menjelaskan bahwa yang lebih menyelamatkan seseorang
dalam ketentraman hanyalah dengan memiliki seorang istri. Bisa jadi akan menimbulkan permusuhan
jika banyak istri dan dianugerahi banyak anak sebab masing-masing memiliki keinginan dan hak untuk
menuntut haknya. Bisa jadi anak dari satu ayah yang berlainan ibu bermusuhan sebab ibunya pun
demikian.

6
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Juz 5,
779-781.

6
Lafaz an la ta’ulu tersebut artinya sewenang-wenang yakni atas kehendak diri dan tidak peduli.
Hamka memaparkan penafsiran al-Shafi’i terkait lafaz tersebut yakni banyak tanggungan. Beliau juga
memaparkan pesan dari gurunya tanpa menyebut spesifik nama. Sehingga adanya kebolehan poligami
sampai 4 (tidak boleh lebih, sebagaimana zaman jahiliyah yang sampai 10) agar tidak berlaku
sewenang-wenang, membuat diri sendiri dalam kesengsaraan sebab terlalu banyak tanggungan. Hamka
juga mencantumkan kisah Ghailan b. Salamah al-Tsaqafi saat masuk islam. Beliau juga menambahkan
bahwa menurut ijma’ sahabat Rasulullah, memperistri budak maksimal hanya dua orang. Beliau
sebagaimana al-Dhahhak juga tidak sepakat dengan penafsiran Qatadah yang seakan menganjurkan
beristri dari 4 terlebih dahulu. Sehingga Mujahid juga menambahkan bahwa agar tidak berat sebelah
(tami>lu>) agar tidak jatuh melarat (sebagaimana penafsiran Uyaynah). Singkat kata, makna ta’ulu itu
banyak sekali, diantaranya; Ibnul ’Arabi mencatat ada 7 poin, dengan ditambah oleh al-Jauhari 1 poin
dan oleh al-Harawi 3 poin, al-Syaukani mencatat ada 11 poin.
Hamka memberi kesimpulan bahwa Allah memperbolehkan poligami bukan dengan tanpa syarat.
Allah tidak melarang dengan larangan keras sebab Islam selain mengatur ibadah juga mengatur
masyarakat. Sekeras apapun peraturan bila tidak sesuai dengan masyarakat maka akan dilanggar dan
tidak ditaati. Hamka memberi penjelasan juga terkait syahwat yang Allah ciptakan, fenomena
masyarakat laur negeri dan lokal serta cara mengatasinya. Juga penekanan dan penegasan atas ideal cita-
cita pernikahan adalah tetap beristri satu, tidak ada alasan memperbolehkan poligami sebab sunnah.
Karena jika hendak mengikuti sunnah, maka harusnya mengikuti kesunnahan Rasul dan sahabatnya atas
keadilan di dalam beristri, bukan melulu tentang jumlah istri. Dilanjutkan dengan pemaparan kisah
Rasulullah dengan istri-istrinya.7
3) Pandangan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
Penafsiran Shihab tentang konteks ayat tidak berbeda dengan penafsiran ulama lainnya. Hanya saja
yang lebih ditekankan oleh Shihab adalah kemampuan berbuat adil secara lahiriah saja (sebab tidak
mungkin dapat melakukan keadilan secara batiniah). Kemudian tentang makna adil dalam kata ta’dilu
dan tuqsitu, Shihab menjelaskan bahwa ada yang mengatakan maknanya sama dan ada yang
menyebutnya berbeda. Tuqsitu adalah perlakuan adil terhadap dua orang atau lebih yang keadilannya
menjadikan kesenangan. Sedang adil sendiri adalah perlakuan baik terhadap diri sendiri atau oranglain
(mungkin tidak bersifat dapat menyenangkan). Kemudian beliau menjelaskan tentang lafaz ma t}a>ba
lakum adalah terkait sifat wanita, bukan nama atau keturunan orang tersebut.
Terkait anjuran menikahi budak, menurut Shihab hal tersebut juga merupakan salah satu cara
menghapus perbudakan dengan jalan pernikahan. Shihab menekankan bahwa ayat ini bukan sebagai
anjuran poligami (sebagaimana adat), maksudnya hanya menjelaskan kebolehan poligami dengan syarat

7
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Singapura: Pustaka Nasional Pte ltd, n.d.), Jilid 2, 1060-1077.

7
yang tidak ringan. Juga maksud kebolehan poligami sejatinya dalam rangka menuntut perlakuan adil
anak yatim, dengan analogi beliau terkait larangan makan sesuatu tertentu. Sehingga, harusnya
pembahasan poligami dalam al-Qur’an tidak ditinjau dari segi keidealan, baik dan buruknya, tetapi dari
sudut pandang berbagai hukum dan kondisi yang terjadi. Misalnya terkait perbandingan jumlah lelaki-
perempuan, rata-rata usia, masa haid dan menopause wanita, peperangan, kemandulan. Namun hal-hal
tersebut bukan mengartikan anjuran bahkan kewajiban sebab bila merupakan kewajiban maka harusnya
Allah menciptakan jumlah wanita 4x lebih banyak dari laki-laki. Namun faktanya tidak demikian, sebab
tidak mungkin suatu anjuran dilakukan tanpa tersedianya apa yang dianjurkan.
Terkait alibi kesunnahan yang dilontarkan pelaku poligami, Shihab menjelaskan bahwa masih
banyak kesunnahan lain yang lebih utama perlu dilaksanakan juga terkait objek yang dinikahi adalah
serupa janda yang beliau jelaskan satu-persatunya istri Rasul tersebut. Sedang terkait lafaz ta’u>lu>
beliau mengutip pendapat Shafi’i terkait banyaknya tanggungan dan beliau menambahkan termasuk di
dalamnya adalah banyaknya anak. Sehingga sebenarnya hal tersebut juga dapat menjadi dasar untuk
menyetarakan jumlah anak dengan kemampuan ekonomi.8
b) Surah al-Nisa’ [4]: 129
1) Pandangan Hasbie al-Shiddiqie dalam Tafsir al-Nur
Penafsiran oleh al-Shiddiqie tentang ayat ini dimulai dari ayat 127. Beliau juga menyinggung bahwa
ayat ini memiliki keterkaitan dengan firman Allah di ayat-ayat lain dan mengajak untuk memerhatikan
ayat-ayat sebelumnya tentang cara bermuamalat dengan perempuan. Terdapat juga adat di kalangan
jahiliyah tentang tidak adanya pemberian hak bagi yatim yang hartanya ada dalam kekuasaan seseorang.
Mereka akan menikahi yatim tersebut (jika memiliki rupa yang indah) agar tetap dapat menguasai
hartanya. Namun jika rupa yatim tersebut buruk, mereka engga menikahi dan menikahkannya agar
hartanya tetap dalam kekuasaannya.
Kemudian al-Shiddiqie menekankan bahwa jangan sampai menimbulkan kekecewaan pada salah
seorang istri pelaku poligami dengan menjadikan mereka terlantar dalam artian tidak digauli namun
tidak juga di talak. Serta keharusan menghilangkan sikap berat sebelah dan hanya memihak salah
seorang istri. Memihak yang diperbolehkan adalah memihak yang tidak dapat dihindari dan tanpa
mengurangi hak-hak lain, dalam hal ini al-Shiddiqie mengutip beberapa hadis tanpa menyertakan
hadisnya. Al-Shiddiqie menekankan bahwa keadilan bukan hal yang dapat diwujudkan dengan mudah
meskipun sebenarnya seseorang sangat ingin untuk berbuat adil.9
Namun keadilan bukan hal yang tidak mungkin diwujudkan slah satunya dengan usaha keras untuk
tidak menimbulkan kekecewaan salah seorang istri. Jika pelaku poligami dapat memperbaiki cara

8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid 2, 338-345.
9
Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, Juz 5, 966.

8
bergaul dengan banyak istri dan menjauhkan diri dari sifat aniaya dan hanya mengistimewakan seorang
diantara yang lain. Sebagai misal adalah dengan membagi rata waktu bermalam di rumah semua istri
dan terkait pembagian nafkah dan lainnya. Maka Allah akan mengampuni atas hal yang seseorang itu
tidak sanggup membuat perlakuan sama pada semua istrinya. Al-Shiddiqi mengutip juga surah al-Rum
[30]: 21 agar seseorang dapat menyelami dasar kehidupan suami istri.10
2) Pandangan Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar
Hamka, sebagaimana Ibnu Abbas dan lainnya, menjelaskan bahwa hati-lah yang tidak sanggup
berlaku adil (syahwat dan nafsu di dalam bersetubuh). Hamka menjelaskan keadilan Rasulullah juga di
dalam ayat ini. Dengan ayat ini, peringatan halus dan bimbingan diberikan kembali terkait idealnya
rumahtangga adalah dengan satu istri, namun terdapat alternatif untuk menjaga syahwat meskipun al-
qur’an mengingatkan dengan halus bagi manusia untuk memikirkannya dan mengukur kadar
kemampuannya. Seorang lelaki beriman yang poligami namun dapat menambah kadar keimanan dan
takwanya serta semakin lembut hatinya, biasanya merasakan beban berat keadilan dalam pundaknya.
Bagi lelaki yang terganggu dengan syahwatnya namun memilih berzina dari poligami maka akan lebih
merasakan beban berat lebih dari pada poligami oleh orang beriman. Maka ayat 128 dan 129 masih
sangat berkaitan, dalam artian, orang beriman tidak akan memilih menjalani kesulitan rumahtangga
dengan jalan bercerai.11
3) Pandangan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
Setelah pemaparan tentang ihsan pada istri, kembali menjelaskan tentang keadilan yang harus
ditegakkan bukan keadilan mutlak. Sebab poligami seringkali menjadikan suami tidak dapat berlaku
adil padahal di lain sisi, kerelaan istri dimadu adalah bentuk perdamaian untuk memelihara pernikahan.
Maka anjuran adil dalam ayat ini adlah yang bersifat material sebab manusia tidak akan mampu berbuat
adil dalam hal hati dan perasaan, lebih tepatnya adalah perihal cinta. Adapun suka yang berdasarkan
akal, dapat diusahakan manusia yakni dengan memperlakukan istri dengan baik, membiasakan
kekurangannya dan memandang segala aspek tidak hanya keburukan. Oleh karenanya, yang dimaksud
dengan jangan condong sebelah adalah kecenderungan pada seseorang yang lebih dicintai dan
kecenderungan mengabaikan pada sebaliknya.12
Talaq
1. Pengertian dan Hukum dan Fenomena Talaq (khususkan hukum yg ada di Indonesia)
Talak secara bahasa berasal dari kata kerja bahasa Arab, ‫ طلق‬yang disandarkan pada lafaz} ‫المرأة‬
yang mempunya arti bercerai. Secara istilah, talak menurut al-Jurjawi sebagaimana dikutip oleh Tihami
dan Sohari Sahrani, yaitu menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
10
Ash-Shiddieqy, Juz 5, 967.
11
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 1456-1458.
12
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 2, 606-607.

9
dengan menggunakan kata tertentu. Berdasarkan pengertian talak di atas, dapat diketahui beberapa hal
yang berhubungan dengan talak. Pertama, unsur-unsur di dalam talak, yakni: (1) orang yang
mengikrarkan; (2) kata tertentu yang diucapkan sebagai shighat talak; (3) atas kehendak sendiri atau istri
(khuluk); (4) dilangsungkan dihadapan Pengadilan Agama. Kedua, akibat dari perceraian tersebut di
mana ia berimplikasi pada putusnya ikatan perkawinan.13
Perundang-undangan yang menjadi rujukan pada kasus talak adalah Undang-Undang No 1 tahun
1974 tentang perkawinan. Karena sampai hari ini peraturan perkawinan yang berlaku di Indonesia
adalah Undang-Undang No. 1 tahun1974 ini. Undang-Undang ini lahir untuk pertama kalinya adalah di
masa orde baru, dan merupakan respons terhadap tuntutan lahirnya Undang-Undang di masa
sebelumnya, masa orde lama. Dengan kata lain, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ini merupakan
kelanjutan dari UU No. 22 tahun 1946.25 Meskipun dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 tahun 1974
dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa atau dalam bahasa Alquran, disebut dengan mitsaaqan ghaliza, (ikatan yang
kuat), namun realitanya sering sekali perkawinan tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan
putusnya perkawinan. Dan talak adalah salah satu penyebab putusnya perkawinan. Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 38 Undang-Undang Perkawinan: Perkawinan dapat putus karena: (a) kematian;
(b) perceraian; dan (c) atau keputusan pengadilan.14
Selanjutnya pada pasal 39 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan: (1) Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang
pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri. Adapun peraturan lain yang mengatur mengenai
perkawinan, pewarisan dan perwakafan di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam atau yang
disingkat dengan KHI. Kompilasi ini berlaku dengan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991, tanggal 10
Juni 1991, yang kemudian diikuti dengan keluarnya Keputusan Menag RI. No. 154 tahun 1991 tentang
Pelaksanaan Instruksi Presiden RI. No 1 tahun 1991 tersebut.15

2. Asbabunuzul Surah al-Talaq [65]: 1-6


‫َفَطِّلُقْو ُهَّن ِلِع َّد ِتِهَّن َو َاْح ُصوا اْلِع َّد َۚة َو اَّتُقوا َهّٰللا َر َّبُك ْۚم اَل ُتْخ ِر ُجْو ُهَّن‬ ‫ٰٓيَاُّيَها الَّنِبُّي ِاَذ ا َطَّلْقُتُم الِّنَس ۤا َء‬
‫َاْن َّيْأِتْيَن ِبَفاِح َش ٍة ُّم َبِّيَنٍۗة َو ِتْلَك ُح ُد ْو ُد ِهّٰللاۗ َو َم ْن َّيَتَع َّد ُح ُد ْو َد ِهّٰللا َفَقْد‬ ‫ِم ْۢن ُبُيْو ِتِهَّن َو اَل َيْخ ُرْج َن ِآاَّل‬
13
Muchammad Hammad, “HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN: Nafkah Iddah Talak dalam Hukum Keluarga
Muslim Indonesia, Malaysia, dan Yordania” 7, no. 1 (2014).
14
Adi Harmanto, “PERGESERAN KONSEP TALAK DARI KITAB FIQIH KE PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA” 4, no. 1 (2021).
15
Harmanto.

10
‫ َفِاَذ ا َبَلْغ َن َاَج َلُهَّن َفَاْمِس ُك ْو ُهَّن ِبَم ْع ُرْو ٍف َاْو‬١ ‫َظَلَم َنْفَس ٗه ۗ اَل َتْد ِرْي َلَع َّل َهّٰللا ُيْح ِد ُث َبْع َد ٰذ ِلَك َاْم ًرا‬
‫َفاِرُقْو ُهَّن ِبَم ْع ُرْو ٍف َّو َاْش ِهُد ْو ا َذ َو ْي َع ْد ٍل ِّم ْنُك ْم َو َاِقْيُم وا الَّش َهاَد َة ِهّٰلِلۗ ٰذ ِلُك ْم ُيْو َع ُظ ِبٖه َم ْن َك اَن‬
‫ َّو َيْر ُز ْقُه ِم ْن َح ْيُث اَل َيْح َتِس ُۗب‬٢ ۙ‫ُيْؤ ِم ُن اِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ۗە َو ْن َّيَّت َهّٰللا َيْج َع ْل َّلٗه ْخ َر ًجا‬
‫َم‬ ‫ِر َم ِق‬ ‫ِب‬
‫ّٰۤل‬
‫ َو ا ِٔـْي َيِٕىْس َن‬٣ ‫َو َم ْن َّيَتَو َّك ْل َع َلى ِهّٰللا َفُهَو َح ْسُبٗه ۗ ِاَّن َهّٰللا َباِلُغ َاْم ِر ٖۗه َقْد َج َعَل ُهّٰللا ِلُك ِّل َش ْي ٍء َقْد ًرا‬
‫ّٰۤل‬
‫ِم َن اْلَم ِح ْيِض ِم ْن ِّنَس ۤا ِٕىُك ْم ِاِن اْر َتْبُتْم َفِع َّد ُتُهَّن َثٰل َثُة َاْش ُهٍۙر َّو ا ِٔـْي َلْم َيِح ْض َۗن َو ُاوٰل ُت اَاْلْح َم اِل‬
‫ ٰذ ِلَك َاْم ُر ِهّٰللا َاْنَز َلٓٗه ِاَلْيُك ْۗم‬٤ ‫َاَج ُلُهَّن َاْن َّيَض ْع َن َح ْم َلُهَّۗن َو َم ْن َّيَّتِق َهّٰللا َيْج َع ْل َّلٗه ِم ْن َاْم ِر ٖه ُيْسًرا‬
‫ َاْس ِكُنْو ُهَّن ِم ْن َح ْيُث َس َك ْنُتْم ِّم ْن ُّو ْج ِد ُك ْم َو اَل‬٥ ‫َو َم ْن َّيَّتِق َهّٰللا ُيَك ِّفْر َع ْنُه َس ِّيٰا ِتٖه َو ُيْع ِظ ْم َلٓٗه َاْج ًرا‬
‫ُتَض ۤا ُّر ْو ُهَّن ِلُتَض ِّيُقْو ا َع َلْيِهَّۗن َو ِاْن ُك َّن ُاوٰل ِت َح ْمٍل َفَاْنِفُقْو ا َع َلْيِهَّن َح ّٰت ى َيَض ْع َن َح ْم َلُهَّۚن َفِاْن‬
٦ ‫َاْر َض ْع َن َلُك ْم َفٰا ُتْو ُهَّن ُاُجْو َر ُهَّۚن َو ْأَتِم ُرْو ا َبْيَنُك ْم ِبَم ْع ُرْو ٍۚف َو ِاْن َتَع اَس ْر ُتْم َفَس ُتْر ِض ُع َلٓٗه ُاْخ ٰر ۗى‬

Terjemahan Kemenag 2019


1. Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka
mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah. Siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka
sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui boleh jadi setelah itu Allah
mengadakan suatu ketentuan yang baru.
2. Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, rujuklah dengan mereka secara baik atau lepaskanlah mereka
secara baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil dari kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Yang demikian itu dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman
kepada Allah dan hari akhir. Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar
baginya
3. dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya.
Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu.
4. Perempuan-perempuan yang tidak mungkin haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan. Begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid
(belum dewasa). Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam
urusannya.
5. (Ketentuan idah) itu merupakan perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu. Siapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan memperbesar pahala baginya.
6. Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (para istri yang dicerai) itu

11
sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu sama-sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan), maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Nabi saw dijadikan lawan bicara, secara langsung sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan.
Dan setelah itu, Allah Ta'ala menyapa ummat Islam tidak secara langsung, di mana Dia berfirman:''Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar). " Telah disebutkan bahwa Rasulullah saw pemah
menceraikan Hafshah dan kemudian merujuknya kembali.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Syihab, Salim memberitahuku, 'Abdullah bin 'Umar
pemah memberitahunya, bahwa dia pemah menceraikan isterinya ketika ia dalam keadaan haidh.
Kemudian 'Umar menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah saw, maka beliau marah dan kemudian
bersabda: "Hendaklah dia merujuknya kembali, lalu menahannya sehingga dia bersih dari haidhnya itu,
lalu haidh dan bersih lagi. Jika masih ingin menceraikannya, maka ceraikanlah dia dalam keadaan bersih
sebelum dia bercampur dengannya. Itulah 'iddah yang telah diperintahkan oleh Allah swt. 16
3. Ragam Penafsiran Mufasir Indonesia tentang Surah al-Talaq [65]: 1-6
a. Pandangan Hasbie al-Shiddiqie dalam Tafsir al-Nur
Al-Shiddiqie menjelaskan keharaman menalak istri saat haid (talak bid’i). Adapun yang
dimaksud nisa’ disitu adalah perempuan yang sudah disetubuhi dan ada iddahnya, sedang sebaliknya.
Terdapat 3 jenis talak oleh para fukaha; talak sunni (dijatuhkan saat istri dalam keadaan suci, belum
disetubuhi atau jelas hamil), talak bid}’ah (dijatuhkan pada istri yang belum cukup umur atau sudah
menopause dan yang tidak disetubuhi), talak selain keduanya. Kemudian, adanya keharusan
memerhatikan permulaan dan berakhirnya iddah serta kewajiban yang harus ditunaikan dalam masa
iddah. Keterangan tentang ketidakbolehan keluar perempuan dalam masa iddah juga ada yang
memperbolehkan dengan syarat atas persetujuan bersama. Adapun maksud kata bima’ru>f adalah
memenuhi hak yang masih di tangannya, semisal maskawin yang belum lunas, ganti rugi dan lainnya.
Kemudian al-Shiddiqie menjelaskan terkait kesaksian jika menghendaki talak untuk menghindari
sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari. Bagi al-Shafi’i, wajib saat talak dan sunnah saat rujuk,
namun bagi Abu Hanifah rujuk tidak perlu saksi.
Bagi siapapun yang menjalankan hukum Allah tersebut dengan baik, maka Allah dapat
memudahkan dan membuka jalannya mencapai keinginan. Kemudian ayat ini juga menjelaskan tentang
masa iddah. Namun beliau menjelaskan terkait kewajiban ayah memberi susu anak dan kewajiban ibu

16
Hlm. 207

12
memelihara dan mengasuh anak bagi perempuan yang tertalak. Kemudian di dalam pengasuhan juga
terdapat keharusan bermusyawarah terkait kesehatan dan pendidikan anak. Selanjutnya kewajjiban dan
beban anak meskipun sudah berpisah harus ditanggung berdua dengan tanpa menyusahkan salah satu
pihak.17
b. Pandangan Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar
Ayat ini tidak hanya tertuju pada Nabi, tetapi juga untuk umatnya sebagai pedoman. Hamka
menjelaskan perlakuan talak sesuai sunnah dan yang bid’ah. Adapun esensi iddah adalah untuk
mengetahui keadaan kandungannya. Beliau juga menjelaskan talak yang dapat dirujuk dan tidak.
Hikmah adanya iddah juga memberi kesempatan kedua pihak untuk berdamai daripada bercerai.
Adapun yang dimaksud ma’ruf yakni cara yang dapat diterima masyarakat dan terpuji, melupakan
kesalahan dan tetap berbaur, memberikan uang obat hati (muth’ah) sebagaimana dalam al-Baqarah ayat
236-241. Hamka juga menjelaskan tentang perbedaan hukum saksi meskipun pada dasarnya diwajibkan
mendatangkan saksi saat talak juga berbagai permasalahan pasca pernikahan yang mungkin terjadi. Jadi
sejatinya, ayat ini adalah tuntunan dalam berumahtangga, bahwa sebenarnya menjaga kekeluargaan
adalah sebuah seni yang tidak sederhana. Beliau juga menjelaskan kadar kebahagiaan dalam rumah
tangga. Sampai selanjutnya, diujung ayat ketiga, Hamka menjelaskan bahwa mulai dari jodoh, rumah
tangga, pergaulan suami-istri, anak, kematian adalah takdir dan hakikatnya, takwa dan tawakkal-lah
yang menjadi syarat mutkan kebahagiaan dalam rumah tangga.
Selanjutnya pada ayat 4, Hamka menjelaskan kembali tentang macam iddah. Kemudian pada
akhir ayat 5 dijelaskan perihal takwa untuk menguatkan perempuan yang tertalak bahwa hanya
hubungan baik dengan Allah yang mampu memelihara batin sehingga kesalahan dan kelapaan dapat
ditutupi oleh Allah sehingga tidak akan mengganggu kebesaran jiwa seseorang untuk melanjutkan
perjalanan keimanan dan amal. Sampai di penghujung pembahasan terkait talak adalah tentang
kewajiban menafkahi anak yang tetap ada pada suami.18
c. Pandangan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
Penekanan Shihab dalam menafsirkan ayat ini adalah terkait takwa yakni tidak mendholimi istri
yang dicerai. Adapun kata idza mengartikan bahwa perceraian bukan sesuatu yang sejalan dengan tujuan
pernikahan. Shihab juga menjelaskan terkait pengertian talak dan iddah itu sendiri. Adapun yang
dimaksud dengan lafaz ahshu adalah perhitungan dengan teliti sebagaimana nama kerikil kecil hasha.
Sedangkan fakhishah yang dimaksud adalah semacam zina (atau setingkat seperti homoseksual),
pertengkaran dengan mertua termasuk caci-maki atau keluar rumah (Pendapat Abu Hanifah). Pada akhir
ayat pertama, dimaksudkan agar suami tidak tergesa menjatuhkan talak.

17
Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, Jilid 5, 4255-4266.
18
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 10, 7458-7479.

13
Selanjutnya adalah tentang kewajiban perempuan menunggi masa iddahnya. Terkait imsak dan
faariq disyaratkan dengan dasar bersifat ma’ruf. Dengan demikian allah akan memberikan balasan
sebagaimana di akhir ayat 3. Selanjutnya pada ayat 4 adalah terkait tuntunan bagi suami untuk berpikir
panjang sebelum memutuskan dan perlakuan bagaimana setelah ia menjatuhkan talak. Menurut Shihab,
setan juga seringkali menggoda dan memanasi pernikahan yang diujung tanduk. Adapun terkait lafaz
askinu hunna adalah berlaku bagi talak macam apapun. Kemudian terkait tudhorruhunna adalah
kesulitan yang sudah dialami istri yang tertalak, sehingga larangan bagi suami menambahkan beban
tersebut. Sedangkan dalam lafaz litudhoyyiqu ’alaihin menurut Ibnu ’ashur dan al-Biqai boleh selama
wajar dan dengan tujuan mendidik. Dengan ditutup oleh lafaz fasaturdhi’u lahu ukhro, maka merupakan
sebuah sindiran dengan pengalihan redaknis persona kedua pada ketiga bahwa harusnya sifat keibuan
lebih mengalahkan kesulitan mengasuh anak tanpa ayah dan kecaman bagi ayah yang enggan
memberikan nafkah sebab ibunya.19

Daftar Pustaka

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Majid. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000.
Cahyani, Andi Intan. “Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam.” Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan
Hukum Keluarga Islam 5, no. 2 (December 21, 2018): 271. https://doi.org/10.24252/al-
qadau.v5i2.7108.
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional Pte ltd, n.d.
Hammad, Muchammad. “HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN: Nafkah Iddah Talak dalam
Hukum Keluarga Muslim Indonesia, Malaysia, dan Yordania” 7, no. 1 (2014).
Harmanto, Adi. “PERGESERAN KONSEP TALAK DARI KITAB FIQIH KE PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA” 4, no. 1 (2021).
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
“Terjemah Tafsir Ibn Katsir Jil 2.Pdf,” n.d.
Wibowo, Wahyu Tri. “FENOMENA POLIGAMI TOKOH PUBLIK (Semiotika Roland Barthes dalam
Konstruksi Makna Gambar Poligami Tokoh Publik).” Academic Journal of Da’wa and
Communication 2, no. 2 (November 29, 2021): 187–220. https://doi.org/10.22515/ajdc.v2i2.3360.

19
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 14, 290-303.

14

Anda mungkin juga menyukai