Anda di halaman 1dari 15

PERANAN SOSIOLOGI PADA MASA SAHABAT DALAM

MENETAPKAN HUKUM

Reza Syahramadani Indra


Fakultas syari’ah dan hukum UIN SUSKA RIAU
Email : rezasyahramadani21m@gmail.com

Absrtak

Kondisi masyarakat pada masa khulafaur rasyidin, Abu Bakar al-Shiddiq (632-
634 M), Umar bin Khatthab (634-644 M), Utsman bin ‘Affan (644-656 M) dan Ali bin
Abi Thalib (656-611 M). Metode penetapan hukum pada masa khulafaur rasyidin yaitu
:al-quran, sunnah, ijma’dan qiyas. Peran sosiologi dalam penetapan hukum pada masa
sahabat yaitu pada periode shahabat merupakan periode tafsir dan takmil (penjelasan dan
penyempurnaan) Ijtihad adalah pengerahan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum
syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan Sunnah Nabi
SAW.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa perkembangan sosial yang muncul

mengiringi perluasan wilayah Islam sangat membantu memperkaya khasanah fiqhiyah.

Setiap ada persoalan baru para sahabat menyelesaikannya secara baik dan teliti yaitu

dengan merujuk kepada sumber dasar yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Bila mereka tidak

menernukan hukurnnya pada kedua sumber tersebut mereka berkumpul musyawarah

guna membicarakan persoalan itu dan bila terjadi kesepakatan barulah diputuskan

persoalan yang mereka hadapi yang kemudian dikenal dengan ijtihad.

Kata kunci: peranan sosiologi, hukum


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradaban islam ialah suatu perkembangan historis atau sejarah yang mempunyai

sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan

yang maju dan kompleks. Dari pengertian tentang peradapan di atas, dapat dipaparkan

beberapa hal yang termasuk dalam cakupan peradapan, yakni ; sistem pemerintahan (

politik ), keadaan masyarakat ( ekonomi, sosial. Agama, pakaian/makanan ) seni

bangunan ( arsitektur ) serta ilmu pengetahuan yang menyangkut di dalamnya tentang

pendidikan yang diperoeh oleh masyarakat ( sastra, seni baca tulis).

Dalam bidang sosial ekonomi, Khalifah abu bakar telah mewujudkan keadilan

dan kesejahtraan social bagi rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat ini, ia mengelola zakat,

infaq, dan sedekah yang berasal dari kaum muslimin, ghonimah harta rampasan perang

dan jizyah dari warga Negara non muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal.

Penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapat Negara ini dibagikan untuk

kesejahteraan para tentara, gaji para pegawai Negara, dan kepada rakyat yang berhak

menerimanya sesuai dengan ketentuan al-qur’an. Diriwayatkan bahwa abu bakar sebagai

Khalifah tidak pernah mengambil uang dari baitul mal. Karena menurutnya, ia tidak

berhak sesuatu dari baitul mal umat islam. Oleh karenaitu, selama ia menjadi Khalifah, ia

tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari hari.

Dari pembahasan tersebut kami akan memfokuskan lagi pada pembahasan

keadaan masyarakat pada masa khulafaurrosyidin. Maka dari itu, kami ingin mencoba
mengulas dan mencari tahu bagaimana keadaan sosiologi masyarakat pada masa

khulafaurrosyidin atau sahabat dalam menetapkan hokum pada makalah ini.


PEMBAHASAN

A. Kondisi Masyarakat pada Masa Khulafaur Rasyidin

1. Masa Abu Bakar al-Shiddiq (632-634 M)

Sesudah Rasulullah wafat, kaum anshor menghendaki agar orang yang akan

menjadi khalifah dipilih diantara mereka. Akan tetapi sebagian banyak dari kaum

muslimin menghendaki Abu Bakar, maka dipilhlah beliau jadi Khalifah. Pada masa

pemerintahannya, Abu Bakar telah mewujudkan keadilan dan kesejahtraan sosial

bagi rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat ini, ia mengelola zakat, infaq, dan sedekah

yang berasal dari kaum muslimin, ghonimah harta rampasan perang dan jizyah dari

warga Negara non muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal. Penghasilan

yang diperoleh dari sumber-sumber pendapat Negara ini dibagikan untuk

kesejahteraan para tentara, gaji para pegawai Negara, dan kepada rakyat yang

berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan al-qur’an.

Pada masa pemerintahannya, juga ada beberapa masyarakat yang tidak mau

membayar zakat, diantaranya ada yang semata-mata karena kedengkilannya.

Orang-orang ini memandang zakat sebagai suatu pajak yang dipaksakan, karena itu

mereka tidak mau mematuhinya. Tetapi gologan terbesar dari mereka tidak mau

membayar zakat adalah karena kesalahan mereka di dalam memahami ayat suci

yaitu:

َ ُ ‫صدَقَةً ت‬
‫ط ِ ِّه ُرهُ ْم َوتُزَ ِ ِّك ْي ِه ْم ِب َها‬ َ ‫ ُخذْ مِ ْن ا َ ْم َوا ِل ِه ْم‬...

“Ambillah sedekah dari pada harta mereka, buat pembersihkannya dan

penghapusan kesalahannya.” (Q.S. At-Taubah : 103).

Mereka mengira bahwa hanya nabi Muhammad sajalah yang berhak

memungut zakat, karena beliaulah yang disuruh mengambil zakat pada ayat
tersebut. Menurut paham mereka, hanya pemungutan yang dilakukan oleh nabi

Muhammad sajalah yang dapat membersihkan dan menghapuskan kesalahan-

kesalahan dari ayat suci tersebut. Maka abu bakar bemusyawarah dengan para

sahabat dan kaum muslimin dan menentukan bahwa akan memerangi semua

golongan yang menyeleweng dari kebenaran, biar yang murtad, maupun yang

mengaku menjadi nabi, ataupun yang tidak mau membayar zakat, sehingga

semuanya kembali kepada kebenaran, atau beliau gugur sebagai syahid dalam

memperjuangkan kemuliaan agama Allah.1

1. Masa Umar bin Khatthab (634-644 M)

Umar merupakan salah seorang sahabat yang selalu dimintai

pertimbangannya oleh Rasulullah. Dia selalu berada didekat Rasulullah untuk

melindungi dan membela beliau dari bahaya yang menentangnya. Untuk beberapa

lama setelah beliau diangkat menjadi Khalifah, Umar tetap mencari penghidupan

dengan cara berdagang dan sepanjang hayatnya menjalani kehidupannya dengan

penuh kesederhanaan. Dalam tradisi islam, dia merupakan tokoh terbesar pada

masa awal islam setelah nabi Muhammad . dia menjadi idola bagi para penulis

islam karena kesalehan, keadilan dan kesederhanaannya.

Pada masa pemerintahannya, dalam bidang sosial ekonomi umar

mengambil langkah-langkah khusus untuk meningkatkan hasil pertanian dengan

cara manggali system irigasi. Ia juga memberlakuakan system tunjangan (pensiun)

masa tua yang berbeda dengan segala system pensiun yang ada di dunia dewasa

ini. Mereka yang cacat dan lemah fisik di beri tunjangan kesejahteraan dari dana

baitul mal. Sekolah dan masjid banyak didirikan diseluruh penjuru kota provinsi.2

1
A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam (Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1997), 232.
2
K. Ali, Sejarah Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003), 172.
Selain itu, untuk menunjang kelancaran administrasi dan oprasional tugas-

tugas eksekutif, umar melengkapinya dengan beberapa dewan, diantaranya:

a. Dewan Al Kharraj (perpajakan)

b. Dewan Al Addats (kepolisisan)

c. Dewan Al Nafi’at (militer)

d. Baitul Mal (lembaga pembendaharaan negara)3

Sebagaimana Rasulullah dan Abu Bakar, Khalifah umar juga sangat

condong menanamkan semangat demokrasi secara intensif dikalangan rakyat, para

pemuka masyarakat dan para penjabat atau para administrator pemerintahan. Ia

selalu mengadakan musyawaroh dengan rakyat untuk memecahkan masalah-

masalah umum dan kenegaraan yang dihadapi. Ia tidak bertindak sewenang-

wenang dan memutuskan suatu uurusan Negara muslim tanpa mengikutsertakan

warga Negara,baik warga Negara muslim maupun non muslim.

2. Masa Utsman bin ‘Affan (644-656 M)

Sebelum meninggal, umar telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu

Utsman, Ali dan Sa’ad bin Abi Waqos. Seperti janji semula yang dikatakan oleh

Khalifah umar dalam pidato inagurasinya sebagai Khalifah, dia telah membentuk

dewan formatur yang bertugas memilih penggantinya kelak. Mereka berjumlah

enam orang yaitu ali ustman sa’ad bin abi waqos, Abdurrahman bin auf, zubair bin

awam dan tholhah bin ubaidillah. Mekanisme pemilihan Khalifah ditentukan

sebagai berikut:

a. Yang berhak mmenjadi Khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur

dengan suara terbanyak.

3
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2008), 82.
b. Apabila suara terbagi secara berimbang Abdullah bin umar yang berhak

menentukannya.

c. Apabila campur tangan Abdullah bin umar tidak diterima, calon yang dipilih

oleh Abdurrahman bin auf harus diangkat enjadi Khalifah. Kalau masih ada

yang menentangnya, penentang tersebut hendaklah di bunuh.4

Langkah yang di tempuh setelah umar wafat adalah meminta pendapat

kepada anggota formatur secara terpisah untuk membicarakan calon yang tepat

untuk diangkat menjadi Khalifah. Hasilnya adalah munculnya dua kandidat

Khalifah yaitu utsman dan ali. Ketika diadakan penjajakan suara diluar siding

formatur yang dilakukan oleh Abdurrahman terjadi silang pemilihan yakni, ali

dipilih oleh usman, dan usman dipilih oleh ali. Selanjutnya Abdurrahman

bermusyawaroh dengan masyarakat dan sejumlah pembesar diluar anggota dewan

formatur. Ternyata, suara di masyarakat terpecah menjadi dua, yaitu kubu bani

hasyim yang mendukung ali dan kubu bani umayyah yang mendukung usman.

Khalifah usman berbeda dengan Khalifah sebelumnya, usman tidak

memenuhi harapan semua golongan. Kepribadian usman tidak sekuat Khalifah-

Khalifah terdahulu. Usman tidak mampu menghindar dari kecenderungan

nepotisme yang dilakukan oleh kelompok bani umayyah. Khalifah usman terlalu

lemah dalam menghadapi tekanan para penasihatnya yang berasal dari bani

umayyah. Khalifah usman yang diangkat atas dasar penunjukan yang bias tampil

demokratis, ternyata tampil secara nepotism. Ketidakpuasan masyarakat terhadap

penampilan usman merata di seantero daerah kekuasaan islam.

Tetapi, di sisi lain usman juga menghasilkan karya besar, yaitu

keberhasilannya melakukan kodifikasi qur’an yang diserahkan kepada zaid bin

4
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 87.
tsabit. Karya ini merupakan karya besar karena melibatkan ratusan penghafal al

Qur’an maupun saksi pertama sejumlah ayat al-qur’an. Selain itu juga usman juga

berhasil mempersatukan jumlah qiro’at yang ada menjadi 7 qiro’at yang dikenal

dengan sebutan Qiro’ah As-Sab’ah.

3. Masa Ali bin Abi Thalib (656-611 M)

Pengukuhan Ali menjadi Khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang

Khalifah sebelumnya. Ali di ba’iat ditengah-tengah suasana berkabung atas

meninggalnya ustman, atas pertentangan dan kekacauan serta kebingungan umat

islam madinah. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum anshor dan

muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi Khalifah. Ali menolak sebab ia

menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawaroh dan mendapat

persetujuan dari sahabat-sahabat terkemuka. Setelah massa berkabung rakyat

mengemukakan bahwa umat islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak

terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia diba’iat menjadi

Khalifah.

Yang pertama kali dilakukan oleh Khalifah ali adalah menarik kembali

tanah yang telah dibagikan oleh Khalifah usman kepada kaum kerabatnya kepada

kepemilikan Negara dan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat.

Khalifah ali dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena adanya

pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri. Pemberontakan pertama

datang dari Thalhah dan Zubair didikuti oleh Siti Aisyah yang kemudian terjadi

Perang Jamal yang terjadi pada 36 H.5

Setelah pemberontakan Thalhah dan Zubair selesai, muncul lagi persaingan

antara dua kelompok, yakni antara pihak ali dan muawiyah. Persaingan ini

5
Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam (STAIN Ponorogo, 2009),101.
kemudian memunculkan sebuah peperangan yang dinamakan perang shiffin yang

terjadi pada 37 H / 657 M. pada peperangan ini diakhiri dengan peristiwa tahkim

(arbitrase).6

B. Metode Penetapan Hukum pada Masa Khulafaur Rasyidin


Para Khulafaur Rasyidin dalam menghadap suatu masalah atau berbagai
masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Alquran atau Sunnah, kalau
mereka tidak menemukan dalam Alquran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan
dengan fuqoha shahabat untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah
sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat itu sebagai suatu
keputusan. Inilah yang disebut ijma’.
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para shahabat kembali kepada
Alqur’an dan Sunnah Nabi. Para shahabat banyak yang hafal Alqur’an, kendati pernah
timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan.
Karenanya kembali kepada Alqur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan
dihafal. Tetapi nasib hadits tidak sebagus Alqur’an karena perhatian mereka lebih
terpusat kepada Alqur’an. Disamping dihafal, Alqur’an juga ditulis. Namun demikian,
sumber hukum Islam dimasa ini adalah Alqur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber
hukum itulah para kahlifah dan shahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam memutuskan hukum, shahabat tidak sendirian, tetapi bertanya
terlebih dahulu kepada shahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa
penafsiran terhadap Alqur’an bukan hak perogratif shahabat. Selanjutanya keputusan
diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan
Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili
keseluruhan.
Pada awal masa shahabat ini, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan masa
kholifah Umar, para shahabat dengan cara bersamabersama menetapkan hukum
terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para
shahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ shahabat. Khalifah
Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam
Alqur’an dan as-Sunnah, maka diperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan
terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar

6
Ibid.
memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil
pemukapemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka belau
memeberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.
Metode yang digunakan pada masa shahabat dapat ditempuh melalui beberapa
cara diantaranya :
1. Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam
lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hokum membakar harta anak yatim. Ketentuan
yang jelas dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan
jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya,
sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa
membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan
harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini
kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
2. Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus
(kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang
memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian
disebut metode qiyas.

C. Peran Sosiologi Dalam Penetapan Hukum Pada Masa Sahabat

Sosiologi hukum mempelajari dan menjelaskan secara analitis tentang


persoalan hukum dihadapkan dengan fenomena-fenomena dimasyarakat. Hubungan
timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam sosiologi hukum.
Periode shahabat merupakan periode tafsir dan takmil (penjelasan dan
penyempurnaan) Ijtihad adalah pengerahan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum
syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan Sunnah Nabi
SAW.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa perkembangan sosial yang muncul

mengiringi perluasan wilayah Islam sangat membantu memperkaya khasanah

fiqhiyah. Setiap ada persoalan baru para sahabat menyelesaikannya secara baik dan

teliti yaitu dengan merujuk kepada sumber dasar yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Bila

mereka tidak menernukan hukurnnya pada kedua sumber tersebut mereka berkumpul
musyawarah guna membicarakan persoalan itu dan bila terjadi kesepakatan barulah

diputuskan persoalan yang mereka hadapi yang kemudian dikenal dengan ijtihad.

Keluarnya sebuah fatwa di sebuah Negara tidak terlepas dari pengaruh sosio-

politik dalam negeri tersebut. Dalam pandangan Moh Mahfud MD, karakter produk

hukum senantiasa dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melahirkannya . Untuk

itu fatwa lembaga bahtsul masail juga tidak lepas dari konfigurasi sosial dan politik

yang mengitarinya. Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti

kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini

dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De

Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak

definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu

pengetahuan tentang masyarakat.

Istilah adaptabilitas, segera berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial.

Perubahan sosial disini jelas bukan merupakan istilah teknis yang “tranformasi sosial”

istilah ini lebih dipergunakan dalam pengertian umum untuk menandai bahwa

perubahan dalam persoalan itu telah terjadi dalam rangka merespon kebutuhan-

kebutuhan social. Kebutuhan – kebutuhan sosial yang berhubungan dengan hukum

misalnya, sangat terkait dengan dua aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan

perubahan sosial:

1. Hukum sebagai sarana kontrol sosial: sebagai suatu proses yang dilakukan untuk

mempengaruhi orang-orang atau masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan

harapan hukum yang sebenarnya.

2. Hukum sebagai sarana kontrol engineering : penggunaan hukum secara sadar untuk

mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita

dan perubahan yang diinginkan


Islam sebagai agama yang sesuai dengan waktu dan zaman (likulli waktin wa

zamanin) harus berintekrasi dengan masyarakat yang sebelumnya mempuanyai tata

adat sendiri. Untuk menemukan benang merah antar keduanya perlu kita ketahui

maksud dan tujuan hukum Islam yang terkenal dengan istilah maqashid as-syari’ah.

Secara umum maksud dan tujuan dari hukum Islam (maqashid as-syari’ah) adalah

untuk kemashlahatan manusia di dunia. Hal ini harus di artikan secara luas,

maksudnya, pada dasarnya hukum islam hendak mewujudkan kebaikan kehidupan

hakiki bagi manusia, baik secara individual maupun sosial.

Para ulama mengklasifikasikan maqashid as-syari’ah menjadi lima bagian

aspek pokok (al-kulliyat al-khamsah), yakni :

1. Kemashlahatan agama,

2. Jiwa,

3. Akal

4. Keturunan/kehormatan atau harga diri,

5. Harta.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sosiologi hukum mempelajari dan menjelaskan secara analitis tentang

persoalan hukum dihadapkan dengan fenomena-fenomena dimasyarakat. Hubungan

timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dalam sosiologi hukum.

Periode shahabat merupakan periode tafsir dan takmil (penjelasan dan

penyempurnaan) Ijtihad adalah pengerahan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum

syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan Sunnah Nabi

SAW. Ini dibagi dua macam yakni: a. Mengambil hukum dari yang zhahirzhahir nash

apabila hukum itu diperoleh dari nash-nash itu. b. Mengambil hukum dari ma’qul

nash karena nash itu mengandung ‘illat yang menerangkannya, atau ‘illat itu dapat

diketahui dan tempat kejadian yang di dalamnya mengandung ‘illat, sedang nash itu

tidak memuat hukum itu. Inilah yang dinamakan dengan qiyas Para shahabat dan

tabi’in sangat cerdas dalam menetapkan suatu ketetapan hukum. Hal ini dilihat dari

pengembangan hukum dengan penetapan melalui ijtihad yang mengacu kepada nilai

dari kajian sosiologi hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. 2012. Sosiologi Hukum. Padang.

Ali, K. 2003. Sejarah Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Rofiq, Choirul. 2009. Sejarah Peradaban Islam. STAIN Ponorogo.

Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Syalabi, A. 1997. Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Jakarta : PT. Al Husna Zikra.

Erwan, Erwan. "Takhrij Al-furu' Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Shahabat dan Tabi'in

(Kajian Sosiologi - Antropologi Hukum Islam)."

Anda mungkin juga menyukai