Anda di halaman 1dari 18

HUKUM ANAK HASIL ZINA

Disusun Oleh :
Kelompok 7

Ahmad Abdullah (1910202010)


Nadia Trisnawati (1930202231)
Hanna Jihan Kasbina (1930202335)

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Faisal Abdullah, M.Pd. I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSIRTAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Subhanallah Ta’ala yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Adapun yang menjadi dalam pembahasan dalam
makalah ini yaitu “Hukum Anak Hasil Zina”.
Tujuan kami menulis makalah ini yang utama untuk memenuhi tugas dari
Dosen Pengampu kami “Bapak Dr. Faisal Abdullah M.Pd. I” pada mata kuliah
Masail Fiqhiyah. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya.
Jika dalam penulisan makalah terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan
kami minta maaf atas kesalahannya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.

Palembang, 21 April 2022

Kelompok 7
LATAR BELAKANG

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa harus dijaga dan dibina, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat
dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan
berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus
cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup dan
identitas dirinya sebagai upaya perlindungan hukum. Upaya perlindungan hukum
terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni dengan memberikan
identitas diri anak sejak lahir. Pemberian identitas anak dilakukan dengan cara
pencatatan setiap kelahiran anak yang dilakukan oleh pemerintah berasas non
diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan
hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Seorang anak yang dilahirkan tidak akan mampu hidup tanpa perlindungan
dan kasih sayang dari orang tuanya. Undang-Undangmemberikan kewajiban
sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut, karena seorang anak dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik atas pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tuanya
atau walinya. Dalam kondisi yang normal, kelahiran anak senantiasa di dampakan
oleh setiap pasangan suami isteri sehingga tidak akan timbul problematika hukum
dalam hubungan kekerabatan terhadapnya, namun jika kelahiran anak justru tidak
diharapkan oleh orang tuanya karena lahir dari hubungan di luar perkawinan yang
sah, maka cenderung akan timbul penelantaran terhadap si anak, padahal
kelahiran itu bukan terjadi karena keinginan dari si anak
PEMBAHASAN
Hukum Anak Hasil Zina

A. Pengertian Anak Hasil Zina


Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Sedangkan Menurut Hassanain Makluf, bahwa anak zina adalah anak yang di
lahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah.1
Secara harfiah, zina bisa diartikan sebagai perbuatan bersenggama antara
perempuan dan laki-laki yang bukan mahramnya (bukan pasangan halal). Selain
mendatangkan dosa besar, zina juga bisa menimbulkan kemudharatan lain seperti
penyakit menular seksual.
Oleh karena itu, Allah SWT melarang keras hamba-Nya untuk mendekati
zina. Larangan ini tertuang dalam Alquran Surat Al-Isra ayat 32.

‫اح َشةً ۗ َو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬


ِ َ‫الز ٰن ٓى اِنَّهٗ َكانَ ف‬
ِّ ‫َواَل تَ ْق َربُوا‬
Artinya:” Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu
perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan perbuatan dapat dikatakan zina
jika adanya persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan anak hasil zina adalah anak yang terlahir
dari rahim seorang wanita akibat dari bertemunya dua jenis kelamin antara laki-
laki dan wanita tanpa adanya hukum yang sah dan dilakukan dengan tanpa
kekeliruan atau kesalahan. Adapun status anak hasil zina bernasab kepada pihak
ibu bukan bapak yang menyebabkan wanita itu hamil.

B. Sumber Hukum
Kriteria minimal anak tersebut dapat dinilai anak zina 2 berdasarkan ayat
Alquran yaitu QS. Luqman ayat 14:

ِ ‫ـوالِد َۡي َكؕ اِلَ َّى ۡال َم‬


‫ص ۡي ُر‬ َ ِ‫اش ُك ۡر لِ ۡى َول‬ ٰ ِ‫ص ۡينَا ااۡل ِ ۡن ٰسنَ بِ َوالِد َۡي ِۚ‌ه َح َملَ ۡتهُ اُ ُّم ٗه َو ۡهنًا ع َٰلى َو ۡه ٍن َّوف‬
ۡ ‫صلُ ٗه فِ ۡى عَا َم ۡي ِن اَ ِن‬ َّ ‫َو َو‬

1
Ajat Sudrajat, Fikih aktual, (Ponorogo: STAIN Po Press, 2008), hal 95.
2
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqih, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 33.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”. (Q.S
Luqman ayat 14)3
Dari ayat ini dapat dilihat dengan jelas bahwa lama ibu mengandung dan
menyusui anaknya adalah 30 bulan atau 2,5 tahun, ini berarti lama menyusui yang
disyari’atkan oleh Islam adalah 2 tahun, maka bayi yang lahir setelah setengah
tahun atau 6 bulan setelah menikah idak dapat dikatakan anak zina, namun jika
lahir sebelum umur menikah 6 bulan, maka anak tersebut dapat dikatakn dengan
anak zina atau anak di luar nikah.
Dengan demikian, anak yang lahir secara tidak sah tersebut terlepas semua
hubungan secara hakiki terhadap jalur ayahnya termasuk hal warisan. Namun,
meskipun anak tersebut berstatus anak zina, tetap menjadi sebuah kewajiban bagi
seluruh muslim untuk menjaga dan tidak menjelek-jelekkan atau menghina anak
tersebut karena pada dasarnya yang bersalah adalah orang tuanya bukan si anak.4
Sebagaimana Hadits Nabi SAW: “Semua anak dilahirkan atas
kesucian/kebersihan (dari dosa dan noda) dan semuanya beragama Islam
(Tauhid), sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan anaknya menjadi yahudi, Nasrani atau Majus. (HR.Abu ya’la, Al-
Thabarani dan Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i).
Hukum Islam menentukan bahwa jika keberadaan anak belum bisa
ditentukan apakah dia termasuk anak zina atau bukan, maka harus diketahui batas
masa kehamilanya. Sehingga, nantinya secara hukum anak dalam kandungan
dapat ditentukan apakah berasal dari suami ibu atau bukan. Dalam hal ini, fuqaha
sepakat bahwa batas minimal kehamilan di mana janin terbentuk di dalamnya
adalah enam bulan.42 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apabila seseorang
perempuan melahirkan dalam keadaan perkawinan sah dengan seorang laki-laki,
tetapi jarak waktu antara terjadinya perkawinan dengan saat melahirkan kurang
dari enam bulan, maka anak yang dilahirkanya bukan anak sah bagi suami ibunya.

3
Alquran, 31:14
4
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Darl Fikar, 1981), hal. 38
C. Pandangan Ulama tentang Status dan Hukum Anak Hasil Zina
Menurut Ulama, ada dua akibat nyata yang diterima oleh anak hasil zina
dikarenakan perbuatan salah orang tuanya, yaitu:
1. Hilangnya martabat Mahram dalam keluarga
a. Menurut Imam Malik dan Imam syafi’i, jika anak hasil zina itu
perempuan, maka antara bapak dengan anak tersebut dibolehkan
menikah, baik saudara perempuan, cucu perempuan, keponakan
perempuannya yang semuanya dari hasil zina.5
b. Menurut Mazhab Syi’ah Imamiyah. Hanafiyah dan Hambaliyah
menyatakan haram menikahi anak hasil zinanya dengan alasan
meskipun anak tersebut hasil zina namun tetap dianggap sebagai anak
menurut pengertian bahasa dan adat/tradisi. Karena itu haram
hukumnya menikahinya.6 Pendapat ini merupakan pendapat yang
berdasarkan alasan akal manusiawi karena melihat secara zahir bahwa
anak tersebut merupakan hasil dari perbuatannya dan secara biologis
dia merupakan darah dagingnya sendiri. Menurut mereka bertiga,
keharaman tersebut dilihat secara tradisi saja, namun secara syara’
yang shahih mereka juga membolehkan pernikahan tersebut. Secara
hak perwalian ketika menikah maka Jumhur Ulama sepakat bahwa
orang tua secara biologis tersebut tidak memiliki hak untuk
menikahkan anaknya kelak ketika anaknya menikah.
2. Hilangnya hak waris dalam keluarga.
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak
hasil zina kepada bapaknya. Itu karena tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan kekerabatan tersebut timbul
karena adanya ikatan nikah, sehingga anak diluar nikah tidak dapat dijadikan
hubungan kekerabatan untuk mendapatkan warisan.
a. Menurut Ahlu Sunnah dan Mazhab Hanafiyah menyebutkan anak hasil
zina memiliki hubungan kewarisan dengan ibunya dan kerabatnya.
Dengan demikian, ia hanya dapat mewarisi dari pihak ibu saja.

5
Ibid, 179
6
 Ibid, 123
b. Golongan Syi’ah menganggap bahwa anak hasil zina tidak mempunyai
hak waris baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Karena
warisan merupakan suatu ni’mat bagi ahli waris. Sedangkan zina
merupakan suatu kemaksiatan sehingga keni’matan atau anugerah
tidak dapat dicampurkan dengan kemaksiatan.7
3. Tidak dapat menjadi wali bagi anak luar nikah.
Mengenai wilayah yang dimaksud dalam akibat hukum ialah wilayah
kasah yaitu perwalian atas orang dalam perkawinan. Jika anak diluar nikah itu
kebetulan wanita, maka apabila ia telah dewasa dan akan melangsungkn
pernikahan, maka ia tidak berhak untuk di nikahkan oleh laki-laki yang
mencampuri ibunya secara tidak sahatau oleh wali lainnya berdasarkan nasab.
Yang dimaksud dengan wali dalam pernikahan adalah orang-orang yang
tergolong asabah dalam waris, bukan kelompok dzawil arham.
Sayid Sabiq menjelaskan : jumhur ulama seperti Mali, Tsauri al-Lais
dan asy-Syafii berpendapat bahwa wali-wali dalam nikah itu ialah mereka
yang tergolong asabah dalam waris, tidaklah ada hak menjadi wali bagi paman
dari ibu, saudara-saudara seibu, anak ibu saudara seibu dzawil arham lainyya.
Oleh karena asabah dalam waris juga berdasarkan nasab, maka seorang
wanita yang dilahirkan di luar nikah dianggap tidak ada nasab dengan pihak
laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah. Sebagai akibatnya ia tidak
dinikahkan oleh laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah,
melainkan dinikahkan oleh hakim. Hal ini sama kedudukannya dengan orang
yang tidak mempunyai wali sama sekali.

D. Kedudukan Anak Hasil Zina


Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa anak yang dilahirkan secara
sah sesuai dengan ketentuan ajaran Islam mempunyai kedudukan yang baik dan
terhormat. Oleh karena ia mempunyai kedua orang tua, maka ia berhak
mendapatkan pendidikan, bimbingan berikut nafkah dan biaya hidupnya sampai ia
bisa mandiri.
Sebagai bukti lebih lanjut keterikatan antara anak dan orang tua, timbulah
diantara keduanya hak dan kewajiban. Seorang anak berkewajiban menghormati
7
Ibid, 180.
dan mentaati orang tuanya, sepanjang tidak diperintah untuk berbuat maksiat.
Dilarang menyakiti baik secara fisik maupun psikis. Sebagaimana dijelaskan
dalam surat Luqman ayat 14-15:

ِ ‫ـوالِد َۡي َكؕ اِلَ َّى ۡال َم‬


‫ص ۡي ُر‬ َ ِ‫اش ُك ۡر لِ ۡى َول‬ ٰ ِ‫ص ۡينَا ااۡل ِ ۡن ٰسنَ بِ َوالِد َۡي ِۚ‌ه َح َملَ ۡتهُ اُ ُّم ٗه َو ۡهنًا ع َٰلى َو ۡه ٍن َّوف‬
ۡ ‫صلُ ٗه فِ ۡى عَا َم ۡي ِن اَ ِن‬ َّ ‫َو َو‬
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”. (Q.S
Luqman ayat 14).

َ ‫اح ۡب ُه َما فِى الد ُّۡنيَا َم ۡع ُر ۡوفً ۖا‌ َّواتَّبِ ۡع‬


‫سبِ ۡي َل‬ ِ ‫ص‬َ ‫س لَ َك بِ ٖه ِع ۡل ٌم ۙ فَاَل ت ُِط ۡع ُه َما‌ َو‬ َ ‫َواِ ۡن َجاه َٰد َك ع َٰلٓى اَ ۡن ت ُۡش ِر َك بِ ۡى َما لَ ۡي‬
َ‫اب اِلَ َّى‌ۚ ثُ َّم اِلَ َّى َم ۡر ِج ُع ُكمۡ فَاُنَبُِّئ ُكمۡ بِ َما ُك ۡنتُمۡ ت َۡع َملُ ۡون‬
َ َ‫َم ۡن اَن‬
Artinya:”Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah
engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat
kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” (Q.S Luqman ayat 15).
Sebaliknya orang tua yang mendapat hak penghormatan dari anaknya itu,
berkewajiban untuk mendidik dan memberinya rizki yang layak sesuai dengan
perkembangan anak itu sendiri.
Allah SWT. Berfirman di dalam Surah al-Baqarah ayat 233 :

َّ‫ضا َعةَ ‌ ؕ َو َعلَى ۡال َم ۡولُ ۡو ِد لَ ٗه ِر ۡزقُ ُهنَّ َو ِك ۡس َوتُ ُهن‬ َ ‫ن لِ َم ۡن اَ َرا َد اَ ۡن يُّتِ َّم ال َّر‬
‌ِ ‫ض ۡعنَ اَ ۡواَل َدهُنَّ َح ۡولَ ۡي ِن َكا ِملَ ۡي‬ ِ ‫َو ۡال َوالِ ٰدتُ يُ ۡر‬
‫ث ِم ۡث ُل ٰذ لِ َك ۚ فَا ِ ۡن‬ ِ ‫ضٓا َّر َوالِ َدةٌ ۢ بِ َولَ ِدهَا َواَل َم ۡولُ ۡو ٌد لَّ ٗه ِب َولَ ِد ٖه َو َعلَى ۡال َوا ِر‬ َ ُ‫س اِاَّل ُو ۡس َع َها ۚ اَل ت‬ ٌ ‫فؕ اَل تُ َكلَّفُ نَ ۡف‬ ‌ِ ‫ِب ۡال َم ۡع ُر ۡو‬
َ َ‫ض ُع ۡ ٓوا اَ ۡواَل َد ُكمۡ فَاَل ُجن‬
ۡ‫اح َعلَ ۡي ُكم‬ ِ ‫اح َعلَ ۡي ِه َما ‌ؕ َواِ ۡن اَ َر ْدتُّمۡ اَ ۡن ت َۡست َۡر‬ َ َ‫ض ِّم ۡن ُه َما َوتَشَا ُو ٍر فَاَل ُجن‬ ٍ ‫صااًل ع َۡن تَ َرا‬ َ ِ‫اَ َرادَا ف‬
‫هّٰللا‬ ۡ ‫فؕ َواتَّقُوا هّٰللا َ َو‬ ‌ِ ‫سلَّمۡ تُمۡ َّمٓا ٰات َۡيتُمۡ بِ ۡال َم ۡع ُر ۡو‬
ِ َ‫اعلَ ُم ۡ ٓوا اَنَّ َ بِ َما ت َۡع َملُ ۡونَ ب‬
‫ص ۡي ٌر‬ َ ‫اِ َذا‬
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Al-Baqarah ayat 233).
Ayat ini memberikan kewajiban kepada seorang ibu untuk menyusui atau
memberi makan kepada anaknya sehingga pertumbuhannya baik dan sehat.
Sedangkan bapak diberi kewajiban secara umum untuk memberi nafkah kepada
ibu yang menyusui anaknya sekaligus menafkahi anaknya.
Hak dan kewajiban seperti di atas terjadi manakala anak dilahirkan dalam
pernikahan yang sah. Khusus untuk menentukan nasab dari ayahnya, Imam Syafii
berpendapat bahwa anak dapat dianggap sah dan dapat dihubungkan kepada
ayahnya dengan semata-mata adanya akad nikah antara ayah dan ibunya. Berbeda
hal dengan Imam Ahmad bin Hambal yang menyatakan bahwa menentukan nasab
anak terhadap ayahnya harus dipastikan adanya hubungan kelamin antara ibu dan
ayahnya.8

E. Perlindungan Hukum Anak Hasil Zina


Dalam konteks kehidupan berkeluarga, anak adalah cikal bakal sebuah
masyarakat yang lingkupnya semakin besar. Anak adalah tunas, potensi, dan
generasi muda yang memiliki peran yang strategis dalam kelangsungan eksistensi
sebuah keluarga dan masyarakat pada umumnya. Baik buruknya sebuah keluarga
akan sangat ditentukan oleh sejauh mana perhatian dan perlindungan terhadap
anak. Generasi yang cerdas, baik, dan kreatif akan lahir jika kebutuhan anak yang
bersifat materil, psikis, sosial, serta pendidikan terpenuhi dengan baik.9
Dalam hukum Islam, setiap anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak
membawa dosa turunan, sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina. Perlakuan baik
terhadap anak tentunya wajib untuk direalisasikan, hal ini terlepas dari status anak
itu apakah anak yang sah atau sebaliknya. Perlakuan yang subbordinat
8
A. Hasan, Al-Faraid, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1979), hal 133.
9
Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Quran Tematik; Al-Quran dan Pemberdayaan Kaum
Dhuafa, (cetakan ke-1, Jakarta: Aku Bisa, 2012), hlm. 140
(memandang rendah) terhadap anak zina justu akan membuat anak terasingkan,
dan mendapat deskriminasi dengan anak-anak lainnya.
Walaupun perlakuan jahat terhadap anak itu dilarang, namun dalam realitas
di masyarakat anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang
menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi
karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu. Untuk itu, terdapat
beberapa perlindungan yang dapat dilakukan terhadap anak luar nikah sebab zina.
Dalam hal ini, peneliti membaginya ke dalam dua bagian, yaitu perlindungan
orang tua, dan perlindungan pemerintah terhadap anak luar nikah sebab zina.
1. Perlindungan Orang Tua terhadap Anak Zina
Mengingat ada dua bentuk kedudukan anak zina, yaitu nasab dan
keperdataannya terputus dengan laki-laki pezina sebagaimana yang terdapat
dalam hukum Islam, dan sebaliknya tidak terputus sebagaimana ketentuan
yang terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi, maka yang menjadi
pegangan adalah seperti yang dijelaskan dalam hukum Islam. Di mana, anak
zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya, dan
terputus hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak.
Dengan demikian, perlindungan hukum orang tua yang dimaksudkan di sini
adalah hanya perlindungan hukum dari pihak ibu dan kerabat ibunya saja.
Dalam Islam, penetapan nasab anak merupakan bagian dari bentuk
perlindungan terhadap anak. Penisbatan nasab ini pada prinsipnya hanya
kepada ayah, namun jika anak tersebut sebagai hasil zina, maka perlindungan
nasab anak tidak bisa ditetapkan. Hal ini berdasarkan ketentuan hadis
Rasulullah saw sebagai berikut: َ “Dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah
radliallahu 'anha mengatakan; 'Utbah berpesan kepada saudaranya Sa'd, bahwa
'putra dari hamba sahaya Zam'ah adalah dariku, maka ambilah dia.' Di hari
penaklukan Makkah, Sa'd mengambilnya dengan mengatakan; 'Ini adalah
putra saudaraku, ia berpesan kepadaku tentangnya.' Maka berdirilah Abd bin
Zam'ah seraya mengatakan; '(dia) saudaraku, dan putra dari hamba sahaya
ayahku, dilahirkan diatas ranjangnya.' Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Dia bagimu wahai Abd bin Zam'ah, anak bagi pemilik ranjang dan
bagi pezinah adalah batu (rajam)." Kemudian Nabi bersabda kepada Saudah
binti Zam'ah: "hendaklah engkau berhijab darinya," beliau melihat
kemiripannya dengan 'Utbah, sehingga anak laki-laki itu tak pernah lagi
melihat Saudah hingga ia meninggal. (HR. Bukhari).10
Hadis di atas mengandung pengertian bahwa seorang anak itu
dinisbatkan kepada ayahnya jika dihasilkan dari nikah yang sah. Adapun anak
dari hasil zina tidak layak dijadikan sebab pengakuan nasab, dan haknya orang
yang berbuat zina adalah dirajam atau dilempari dengan batu.11
Oleh karena terputus nasab anak terhadap ayah, dan tetapnya nasab
kepada ibunya, maka perlindungan selanjutnya yaitu berupa menyusui anak
selama dua tahun, pemenuhan nafkah anak yang dilaksanakan oleh pihak ibu
dan keluarga ibunya.Yang dimaksud dengan nafkah di sini ialah memenuhi
kebutuhan makanan anak, tempat tinggal dan yang bersifat materi lainnya.12
Mengenai kewajiban orang tua terhadap pemenuhan hak nafkah anak
telah dijelaskan dalam beberapa ayat al-Quran dan al-Sunnah. Salah satunya
firman Allah surat at-Thalaq ayat 7:

‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫سيَ ۡج َع ُل‬ ً ‫س َعتِ ٖ‌ؕه َو َم ۡن قُ ِد َر َعلَ ۡي ِه ِر ۡزقُ ٗه فَ ۡليُ ۡنفِ ۡق ِم َّم ۤا ٰا ٰتٮهُ ‌ُؕ اَل يُ َكلِّفُ ُ نَ ۡف‬
َ ؕ‌‫سا اِاَّل َم ۤا ٰا ٰتٮ َها‬ َ ‫س َع ٍة ِّم ۡن‬َ ‫لِيُ ۡنفِ ۡق ُذ ۡو‬
‫هّٰللا ُ بَ ۡع َد ع ُۡس ٍر يُّ ۡس ًرا‬
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.13
Disamping nafkah, anak zina tersebut juga berhak mendapat warisan
dari ibu dan kerabat ibunya. Menurut empat Imam Mazhab (Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali), menyatakan bahwa anak zina mewarisi ibu dan

10
Imam Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah Al-Bukhari,
Shahih Bukhari, juz 7, (Bairut: Dar Al-Kutub Al-‘Ulumiyyah, 1992), hlm. 319
11
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamīwa Adillatuh, ed. In, Fiqih Islam; Hak-Hak Anak,
Wasiat, Wakaf, Warisan, (terj: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), jilid 10, (Jakarta: Gema Insani,
2011), hlm. 27
12
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (terj: Nor Hasanuddin, dkk), jilid 2, (Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2006), hlm. 55
13
Alquran, 65: 7
kerabatnya. Mereka adalah ibu, saudara laki-laki seibu, saudara laki-laki dari
ibu (paman), dan seterusnya.14 Selain perlindungan dalam bentuk pemenuhan
materi, orang tua (ibu dan keluarga ibu) juga wajib untuk memenuhi
pendidikan anak. Agama Islam memberikan beban kewajiban pendidikan anak
lebih kepada ibu, sejak dalam kandungan, melahirkan, dan menemani hari-
harinya hingga dewasa.15
Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana yang dikutip oleh Mansur
menjelaskan bahwa keluarga berkewajiban memberikan nafkah kepada anak-
anaknya, Selain itu biaya pendidikan tersebut juga dibebankan kepada anak itu
sendiri untuk memenuhi kebutuhannya jika dia mampu, sedangkan jika anak
tersebut tidak mampu maka kewajiban penuh berada pada orang tua terutama
ayah.16
Islam menekankan agar orang tua (dalam hal ini pihak ibu) harus
mendidik anak (termasuk anak zina). Orang tua berkewajiban mendorong dan
mengarahkan perkembangan positif anak, ukuran pokok dari pengarahan dan
bimbingan itu adalah sejauh mana perkembangan anak sejalan dengan norma
dan kewajiban agama.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan
anak zina, wajib dipenuhi oleh ibu dan keluarga ibu. Pembebanan kepada ibu
lantaran antara anak dengan ibu masih memiliki keterikatan nasab. Pemutusan
hubungan nasab dengan laki-laki pezina (ayah biologis) bukan merupakan
bentuk diskriminasi dalam Islam, melainkan aturan yang mesti dan patut
dijalankan. Karena zina merupakan suatu kejahatan, sehingga konsekuensinya
adalah perlindungan hukum anak yang dilahirkan hanya dari pihak ibu.
2. Perlindungan dari Pemerintah terhadap Anak Zina
Peran pemerintah sangat strategis dalam memberikan perlindungan
terhadap anak zina. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, telah diatur secara rinci terkait dengan

14
2Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh…, hlm. 489.
15
Cahyadi Takariawan, Di Jalan Dakwah Kugapai Sakinah; Panduan Merencanakan
Pernikahan Hingga Mencapai Pernikahan Puncak Dalam Rumah Tangga, (Solo: Era Intermedia,
2006), hlm. 316-317.
16
Abdul Qadir Mansur, Fikih Wanita; Segala Hal yang Ingin Anda Ketahui Tentang
Perempuan Dalam Hukum Islam, (terj: Muhammad Zainal Arifin), (Tanggerang: Nusantara
Lestari Ceria Pratama, 2012), hlm. 45
perlindungan anak. Dalam Pasal 21 Undang-Undang Perlindungan Anak, jelas
dinyatakan bahwa pemerintah wajib menjamin hak asasi anak, tanpa
membedakan status hukum anak. Lengkapnya dapat dilihat dalam beberapa
Pasal di bawah ini Pasal 21 : “Negara dan pemerintah berkewajiban dan
bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau
mental”. Pasal 22 : “Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung
jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak”. Pasal 23 : Ayat(1) “Negara dan pemerintah menjamin
perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan
hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum
bertanggung jawab terhadap anak”.Ayat (2) “Negara dan pemerintah
mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak”. Pasal 24 : “Negara dan
pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”.17
Dari ketentuan empat Pasal di atas, dapat dipahami bahwa pemerintah
wajib menyelenggarakan perlindungan anak, tanpa melihat status hukum anak.
status hukum yang dimuat dalam Pasal 21 di atas dapat dimaknai status
hukum anak zina, anak sah, dan anak-anak lainnya. Untuk itu, status hukum
anak zina tidak membatasi pemerintah dalam menjalankan perannya
melindungi anak itu. Perlindungan yang dapat direalisasikan pemerintah
seperti perlindungan atas jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, dan sosial.
Selain itu, setiap anak yang lahir berhak mendapat identitas kelahiran sejak
anak itu lahir berupa akte kelahiran.
Hal ini sebagaimana dapat dipahami dari ketentuan sebagai berikut:
Pasal 27 : Ayat (1) “Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak
kelahirannya”. Ayat (2) “Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dituangkan dalam akta kelahiran”. Ayat (3) “Pembuatan akta kelahiran
didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau
membantu proses kelahiran”.Ayat (4) “Dalam hal anak yang proses
17
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya,
pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan
orang yang menemukannya”.
Pasal 28 : Ayat (1) “Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab
pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya
pada tingkat kelurahan/desa”.
Bertalian dengan penjelasan di atas, perlindungan hukum yang dapat
dilakukan pemerintah terhadap anak zina yaitu memberikan hukuman
terhadap laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak (ayah biologis anak)
berupa hukuman ta’zir dengan menetapkan laki-laki tersebut wajib memenuhi
kebutuhan anak dan memberikan harta melalui jalan wasiat wajibah,
sebagaimana telah dituangkan dalam keputusan poin kedua angka 5 dan 6
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan
Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya. Intinya Fatwa tersebut
menyatakan dalam putusannya sebagai berikut:
a. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris,
dan nafkah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
b. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafkah
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
c. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh
orang yang mengakibatkan kelahirannya.
d. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk
kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
e. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki
pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya
untuk : 1) mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; 2) memberikan
harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
f. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak,
bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan
lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Pada ketetapan enam poin di atas, jelas bahwa pemerintah berwenang
menjatuhkan hukuman (ta’zir) kepada lelaki pezina yang mengakibatkan
lahirnya anak dengan mencukupi kebutuhan hidup anak, serta memberikan
harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
Pemerintah juga wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah
terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-
laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.18
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa baik orang tua,
maupun pemerintah wajib memperlakukan anak dengan baik. Anak tetap
mempunyai hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan anak. Di samping itu, akte
kelahiran anak zina juga berhak dia peroleh, tetapi statusnya hanya ditetapkan
kepada ibunya saja. Hal ini bertujuan untuk menjalankan ketentuan yang terdapat
dalam hukum Islam, jika kiranya ibu dan anak zina tersebut termasuk orang-orang
Islam.
Dapat disimpulkan pula bahwa kewajiban lelaki pezina yang mengakibatkan
lahirnya anak untuk mencukupi kebutuhan hidup anak serta memberikan harta
setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah, bukanlan bentuk kewajiban syar’i,
karena kewajiban syar’i dalam hal mencukupi kebutuhan anak hanya dapat
dilakukan antara ayah kandung yang sah dengan anaknya yang sah menurut
hukum Islam. Namun, pembebanan kewajiban tersebut hanyalah dalam bentuk
sanksi terhadap laki-laki itu, di mana pemerintah mempunyai kewenangan untuk
menetapkannya. Tujuannya adalah agar anak dapat hidup secara baik, dan
terlindungi dari kesia-siaan.

18
Keterangan tersebut merupakan rekomendasi MUI untuk pemerintah, dimuat pada poin
ketiga angka 3, Fatwa Mejlis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak
Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya
KESIMPULAN

Anak hasil zina adalah anak yang terlahir dari rahim seorang wanita akibat
dari bertemunya dua jenis kelamin antara laki-laki dan wanita tanpa adanya
hukum yang sah dan dilakukan dengan tanpa kekeliruan atau kesalahan. Apabila
seseorang perempuan melahirkan dalam keadaan perkawinan sah dengan seorang
laki-laki, tetapi jarak waktu antara terjadinya perkawinan dengan saat melahirkan
kurang dari enam bulan, maka anak yang dilahirkanya bukan anak sah bagi suami
ibunya.
Akibat nyata yang diterimah oleh anak hasil zina yaitu hilangnya martabat
mahram dalam keluarga dan hilangnya hak waris dalam keluarga.
Imam Syafii berpendapat bahwa anak dapat dianggap sah dan dapat
dihubungkan kepada ayahnya dengan semata-mata adanya akad nikah antara ayah
dan ibunya. Berbeda hal dengan Imam Ahmad bin Hambal yang menyatakan
bahwa menentukan nasab anak terhadap ayahnya harus dipastikan adanya
hubungan kelamin antara ibu dan ayahnya.
Adapun perlindungan yang didapatkan bagi anak hasil zina yaitu
perlindungan orang tua, dan perlindungan pemerintah terhadap anak luar nikah
sebab zina.
DAFTAR PUSTAKA

 Alquran, 31:14
 Alquran, 65: 7
 Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Nomor 11 Tahun 2012. Tentang Kedudukan
Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya.
 Hasan, A. 1979. Al-Faraid. Surabaya: Pustaka Progresif.

 Kementerian Agama RI. 2012. Tafsir Al-Quran Tematik; Al-Quran dan


Pemberdayaan Kaum Dhuafa. cetakan ke-1.Jakarta: Aku Bisa.
 Mansur, Abdul Qadir. 2012. Fikih Wanita; Segala Hal yang Ingin Anda
Ketahui Tentang Perempuan Dalam Hukum Islam, (terj: Muhammad Zainal
Arifin. Tanggerang: Nusantara Lestari Ceria Pratama.
 Mughirah Al-Bukhari, Imam Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin
Ibrahim bin.1992. Shahih Bukhari, juz 7. Bairut: Dar Al-Kutub
Al-‘Ulumiyyah.
 Mukhrijal, Al. 2017. PANDANGAN IBNU QAYYIM TENTANG STATUS
ANAK ZINA (Studi terhadap Penetapan Hubungan Mahram dan HakHak
Keperdataan Anak Zina). Skripsi. Banda Aceh Darussalam : UIN Ar-Raniry.
 Sabiq, Sayid. 1981. Fiqh Sunnah. Jakarta: Darl Fikar.
 Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah, (terj: Nor Hasanuddin, dkk), jilid 2.
Jakarta: Pena Pundi Aksara.
 Sudrajat, Ajat. 2008. Fikih aktual. Ponorogo: STAIN Po Press.
 Takariawan, Cahyadi. 2006. Di Jalan Dakwah Kugapai Sakinah; Panduan
Merencanakan Pernikahan Hingga Mencapai Pernikahan Puncak Dalam
Rumah Tangga. Solo: Era Intermedia.
 Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 23 Tahun 2002. Tentang
Perlindungan Anak
 Zuhaili, Wahbah. 2011. Al-Fiqh al-Islamīwa Adillatuh, ed. In, Fiqih Islam;
Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan, (terj: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk),
jilid 10. Jakarta: Gema Insani.
 Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqih. Jakarta: Haji Masagung.

Anda mungkin juga menyukai