Anda di halaman 1dari 11

Nama: Hipzi

Npm: 19.12.4759

Mata Kuliah: Masail Fiqh Al-Haditsah

Dosen: Drs. H. Izzuddin, M. Ag

Middle

*Soal Midle*

1. Coba saudara uraikan dan jelaskan apa tujuan dan manfaat mempelajari Masailul Fiqhiyah Al-
Haditsah?

2. Jelaskan dengan baik tentang KB (Keluarga Berencana) dan dalil-dalil serta pendapat para
ulama?

3. Uraikan dan jelaskan dengan baik tentang menikahi wanita hamil karena zina dan kedudukan
anaknya serta uraikan dengan dalil-dalilnya?

4. Uraikan dan jelaskan dengan baik tentang Euthanasia serta dalil-dalilnya?


*Jawab*

(1). Diantara tujuan-tujuan dari mempelajari Al-Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah adalah sebagai
berikut:

- Agar umat Islam dapat memahami pengertian, tujuan, ruang lingkup dan berbagai persoalan
kajian Masa’il Fiqhiyah al-Haditsah yang berkaitan dengan persoalan fiqh kontemporer.

- Untuk mengetahui dan mengidentifikasi masalah-masalah fiqh yang berkembang di tengah


masyarakat.

- Menghindari sifat taqlid fanatisme beragama.

- Mampu bersikap arif dan toleran (tasamuh) atas perbedaan pandangan dalam pemahaman
fiqh secara rasional tanpa taqlid dengan suatu paham tertentu tanpa mengetahui dalil-dalilnya.

- Akan dapat menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil syara’ yang terperinci dalam persoalan
fiqh kontemporer, akan dipahami kandungan nash-nash syara’ dan diketahui hukum-hukum
yang ditunjukinya, sehingga dengan demikian dapat diperoleh hukum perbuatan atau
perbuatan-perbuatan dari nash tersebut.

- Dapat menerapkan kaidah-kaidah hukum yang ditentukan jalan keluar (sikap) yang diambil
dikala menghadapi masalah-masalah fiqih aktual, sehingga dapat ditentukan pula hukum sesuai
dengan jalan keluar yang diambil.

Dengan demikian, Masail Al-Fiqhiyah ini sangat penting untuk dipelajari sebab dengan
mengetahui perkembangan masyarakat saat ini dan masalah-masalah yang dihadapi, maka kita
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat serta mampu juga mampu bersikap
toleran.
(2). Keluarga berencana adalah istilah resmi yang dipakai dalam lembaga-lembaga Negara
seperti BKKBN (Badan Koordinsi Keluarga Berencana Nasional). Keluarga berencana memiliki
istilah yang sama dengan istilah umum yang digunakan di dunia internasional yaitu Family
Planning. Keluarga berencana atau family planning atau yang dalam bahasa Arab memiliki
istilah tanzimu al-nas (pengaturan keturunan atau kelahiran) memiliki arti pasangan suami isitri
yang mempunyai rencana konkrit mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir agar setiap
anaknya yang lahir disambut dengan bahagia dan syukur.1 Keluarga berencana dititik beratkan
kepada perencanaan, pengaturan, dan pertanggung jawaban orang tua kepada anggota
keluarganya,supaya secara mudah dan sistematis dapat mewujudkan suatu keluarga yang
sakinah, mawadah, dan warahmah. Maka dari itu perlu dilakukan berbagai cara dan upaya
supaya dalam kegiatan hubungan suami istri tidak terjadi kehamilan. Adapun pengertian
keluarga berencana dari beberapa golongan, yaitu :

- Keluarga berencana adalah pengaturan penjarangan kehamilan untuk kesejahteraan bukan


sebagai pencegahan kehamilan untuk membatasi kelahiran, yaitu dengan cara mengeluarkan
sperma di luar lubang rahim yang tentunya ini sudah menjadi kesepakatan antara suami dan
istri.

- Keluarga berencana tidak boleh dilakukan dengan pengguguran kandungan, serta tidak boleh
juga merusak atau menghilangkan bagian tubuh.

- Keluarga berencana merupakan sebuah masalah suka rela bukan masalah paksaan dan harus
ada persetujuan antara suami dan istri yang bersangkutan.

- Perencanaan keluarga harus ditunjukkan dan diarahkan kepada pembentukan kebahagiaan


suami dan istri, kesejahteraan keluarga, keturunan yang sehat, kuat jasmani dan rohani serta
akal, ilmu, dan juga iman, pembinaan masyarakat, bangsa serta pembangunan Negara dengan
mengharapkan ridho dari Allah SWT.

- Menurut WHO (World Health Organisation) adalah suatu tindakan yang membantu individu
atau pasangan suami istri untuk :

• Mendapatkan objektif-objektif tertentu.


• Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan.

• Mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan.

• Mengatur interval di antara kelahiran.

• Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri.

• Menentukan jumlah anak dalam keluarga.

-Menurut Majlis Ulama Indonesia (MUI) keluarga berencana adalah suatu ikhtiar atau usaha
manusia dalam mengatur kehamilan dalam keluarga dengan cara tidak melawan hukum agama,
undang-undang Negara dan moral pancasila, demi untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga
yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Di dalam al-Qur’an dan hadis, yang merupakan sumber pokok hukum Islam dan yang menjadi
pedoman hidup bagi umat Islam tidak ada nash yang shohih yang melarang ataupun yang
memerintahkan ber-KB secara eksplisit. Karena itu hukum ber-Kb harus dikembalikan kepada
kaidah hukum Islam yang menyatakan :

"Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan
keharamannya"

Sebenarnya dalam al-Quran dan hadis juga tidak ada nas yang shahih yang melarang atau
memerintahkan KB secara eksplisit, akan tetapi dalam al-Quran ada ayat-ayat yang
berindikasikan tentang diperbolehkannya mengikuti program KB begitu juga dengan hadis.
Karena itu hukum ber-KB harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam, adapun dikarenakan
oleh hal-hal berikut :

- Menghawatirkan keselamatan jiwa dan kesehatan ibu.

- Menghawatirkan keselamatan agama, akibat kesempitan kehidupan.

- Menghawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak apabila jarak kelahiran anak terlalu
dekat.
Dalam memahami makna KB, banyak ulama yang sepakat akan persetujuannya dalam arti
membolehkan dan terdapat juga ulama yang melarang mengikuti KB. Hal ini dijelaskan oleh
Muhammad Hamdani dalam bukunya Pendidikan Agama Islam “Islam dan Kebidanan” dengan
uraian sebagai berikut:

1. Ulama yang memperbolehkan yaitu Yusuf Qaradhawi, Imam Ghazali, Syaikh al-Hariri, Syaikh
Syalthut. Mereka berpendapat bahwa diperbolehkan mengikuti program KB dengan adanya
ketentuan antara lain: untuk menjaga kesehatan ibu, menghindari kesulitan ibu, dan untuk
menjarangkan anak. Mereka juga berpendapat bahwa perencanaan keluarga itu tidak sama
dengan pembunuhan, karena pembunuhan itu berlaku ketika janin mencapai tahap ketujuh
dari penciptaan. Hal ini didasari dengan Q. S. Al-Mu’minun ayat 12, 13, 14.

2. Ulama yang melarang yaitu Madkhour, Abu A’la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB
karena perbuatan itu termasuk membunuh keturunan sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.
S. Al-Isra’ ayat 31. “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar."

3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2000 menyatakan bahwa;

(-) Pada dasarnya, agama Islam memperbolehkan manusia melakukan pengaturan kelahiran
anak dengan tujuan yang positif seperti untuk menjaga kesehatan ibu dan anak serta dilakukan
dengan cara-cara yang baik dan tidak menimbulkan bahaya;

(-) Pemandulan dengan melakukan Vasektomi (pemotongan/penutupan saluran air mani laki-
laki) atau Tubektomi (pemotongan/penutupan saluran telur pada wanita) dengan tujuan untuk
membatasi kelahiran anak adalah perbuatan haram

(-) Tubektomi dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan medis dari dokter yang profesional
yang bersifat amanah, bahwa apabila yang bersangkutan hamil atau melahirkan akan
membahayakan jiwanya dan atau anaknya.
Dari beragam pemaparan diatas, jika kita mengetahui dan memahami betul maksud dan
hikmah Islam di balik pemberian keringanan atas pelaksanaan hubungan pada berbagai kondisi
darurat adalah karena terinspirasi dari pemahaman yang sempurna bahwa seorang anak
menjadi tanggung jawab yang sangat besar, dan wajib dipelihara dengan pemeliharaan yang
sempurna dan kepedulian tinggi.
(3). Pandangan Ulama fiqih empat mazhab berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya
menikahi wanita yang telah hamil di luar nikah. Perbedaan pendapat mereka dapat diuraikan
sebagai berikut:

(Ulama Hanafiyah)

Berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina apabila yang
menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya (menzinainya). Alasannya adalah bahwa wanita
hamil akibat zina itu tidak termasuk ke dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk
dinikahi sebagaimana yang terdapat dalam QS. an-Nisa‟ ayat 22-24 tentang siapa saja wanita-
wanita yang haram dinikahi.

Maka setelah terjadinya pernikahan tersebut, apapun boleh dilakukan oleh keduanya layaknya
sepasang suami isteri. Akan tetapi, bila yang menikahinya adalah bukan lelaki yang
menghamilinya dengan cara zina, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
Hanafiyah, yaitu :

Pertama, Abu Hanifah dan Muhammad asy-Syaibani berpendapat bahwa hukum menikahinya
adalah sah, hanya saja wanita itu tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan kandungannya.

Alasan “sah” nya untuk dinikahi adalah karena wanita tersebut bukan termasuk wanita yang
haram dinikahi, seperti alasan pembolehan nikah bagi sesama pezina, dan alasan mengapa
“tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan” adalah karena benih (air sperma) yang dihasilkan
dari perzinaan itu tidak memiliki nilai kehormatan dibandingkan dengan benih yang dikeluarkan
dari persetubuhan yang dilakukan dalam ikatan perkawinan yang sah.

Sehingga benih hasil perzinaan tersebut tidak dapat menyebabkan adanya hubungan nasab,
maka tidaklah pantas benih yang tidak terhomat itu bercampur dengan benih yang terhormat.

Namun demikian, adanya benih zina dengan sifatnya yang tidak terhormat tadi, tetap tidak
dapat menghalangi kebolehan menikahkan wanita hamil akibat zina tersebut dengan lelaki yang
bukan menghamilinya.
Kedua, Abu Yusuf dan Zufar berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil
akibat zina oleh lelaki yang bukan menghamilinya karena keadaan wanita “hamil” itu
menyebabkan terlarangnya persetubuhan sampai melahirkan.

dengan demikian terlarang pula akad nikah antara seorang lelaki dengan wanita hamil itu.

Sebagaimana tidak sah hukumnya menikahi wanita hamil yang bukan karena zina–yaitu karena
pernikahan yang sah dengan suaminya yang terdahulu–maka tidak sah pula menikahi wanita
hamil akibat zina.

Dengan demikian, menurut pendapat ini, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina
hanya oleh lelaki yang menghamilinya dengan cara zina.

(Ulama Malikiyah)

Berpendapat bahwa hukumnya diharamkan menikahi wanita pezina dalam keadaan hamil
sampai wanita tersebut terbebas atau bersih (istibra) dari akibat zina yaitu sampai melahirkan
anaknya, baik atas dasar suka sama suka, ataupun diperkosa, meskipun yang menikahinya itu
adalah lelaki yang menghamilinya, apalagi bila ia bukan yang menghamilinya; dan apabila
wanita tersebut tidak hamil maka istibra-nya adalah dengan tiga kali masa haid atau setelah
berlalunya tiga bulan. Sebab larangan ini adalah karena adanya hadits dari Nabi Saw riwayat
Abu Dawud seperti yang digunakan oleh Abu Hanifah yaitu : “Tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain” dan
kekhawatiran akan tercampurnya nasab anak yang ada dalam kandungan. Apabila akad nikah
tetap dilangsungkan sementara si wanita berada dalam keadaan hamil, maka akad nikahnya itu
fasid (rusak) dan wajib untuk difasakh (dibatalkan).

(Ulama Syafi‟iyah)

Berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu
adalah lelaki yang menghamilinya ataupun bukan yang menghamilinya. Alasannya adalah
karena wanita yang hamil akibat zina itu tidak htermasuk golongan wanita yang haram untuk
dinikahi. Mereka juga berpendapat, karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya adalah
sah, maka wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan
hamil, meskipun satu pendapat dari kalangan Syafi‟iyah mengatakan bahwa menyetubuhinya
pada saat hamil itu hukumnya makruh.

(Ulama Hanabilah)

berpendapat bahwa hukumnya tidak sah bagi seorang lelaki menikahi wanita yang diketahuinya
telah berbuat zina, baik dengan lelaki yang bukan menzinainya terlebih lagi dengan lelaki yang
menzinainya, kecuali si wanita memenuhi dua syarat yaitu:

Pertama, telah selesai masa iddah-nya (masa tunggu) yaitu setelah melahirkan kandungannya.
Bila akad nikah dilaksanakan saat si wanita masih dalam keadaan hamil, maka akad nikah
tersebut hukumnya tidak sah. Pendapat ini sama dengan pendapatnya Imam Malik. Dalilnya
adalah hadits Abu Dawud dari Ruwayfi bin Tsabit al-Anshari yang menceritakan tentang
seseorang yang berkhutbah dimana dia mendengar Nabi Saw bersabda pada hari Hunain:
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya
pada tanaman orang lain” (HR. Abu Dawud).

Juga hadis dari Abi Sa‟id secara marfu‟ bahwa Nabi Saw

bersabda tentang tawanan wanita Authas : “Tidak boleh bercampur dengan wanita yang
hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya satu kali”
(HR. Abu Dawud).

Kedua, telah bertaubat dari perbuatan zinanya45, karena selama ia belum bertaubat maka
masih dihukumi sebagai pezina, tetapi manakala telah bertaubat, maka hilanglah status
pezinanya.

Kesimpulannya, dalam persoalan boleh atau tidaknya menikahi wanita yang sedang hamil
karena zina ini ulama fikih empat mazhab terbagi kepada dua kelompok

Pertama, sebagian ulama Hanafiyah (kecuali Abu Yusuf) dan Syafi‟iyah membolehkan menikahi
wanita yang telah hamil di luar akad nikah tersebut tanpa harus menunggu kelahiran jabang
bayi.
Kedua, ulama Malikiyah dan Hanabilah melarangnya kecuali setelah melahirkan si jabang bayi.
(4).

Anda mungkin juga menyukai