Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN YURIDIS BAGI PELAKU SEX BEBAS DALAM HUKUM PIDANA

ISLAM DAN HUKUM KONFENSIONAL INDONESIA

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Pidana Islam

Dosen Pengampu : Dr, M, Noor Fajar, S.H., M.H

Oleh:
Raden Rezsar Achmad Futuhurrahman Adisendjaja
(1111190320)

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

FAKULTAS HUKUM

PRODI ILMU HUKUM

2022

KATA PENGANTAR

i
Segala Puji serta rasa syukur panjatkan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa Tuhan
semesta Alam tiada banding, karena telah melimpahkan hikmat, hidayah dan kasihNya.
Hanya karenaNya saja, penulis dapat mengerjakan makalah ini dengan tepat waktu
sesuai yang tealah dijadwalkan.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Laut
Internasional. Makalah ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS BAGI PELAKU SEX
BEBAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM KONFENSIONAL
INDONESIA”. Makalah ini juga tidak akan terlaksana tanpa bantuan, bimbingan dan
dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Belardo Dr. M Noor Fajar S.H., M.H. Sselaku dosen Hukum Pidana
Islam dan pihak-pihak terkait yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.

Ketika saat pembuatan makalah ini saya mengalami beberapa kendala. Saya menyadari
bahwa masih banyak kekurangandan masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam
makalah ini. Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembacanya dan
dapat di gunakan untuk referensi bacaan lainnya. Untuk dari pada itu kritik saran yang
membangum dari pembaca sangatlah berharga demi kesempurnaan makalah ini, dam
kami ucapkan terimakasih sekali lagi unutk para pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini hingga dapat di tunntasnya dengan tepat waktu.

Cimahi, 3 Desember 2022

Raden Rezsar Achmad Futuhurrahman Adisendjaja


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Masalah hukum pidana hadir sebagai isu yang paling kontroversial dalam
perdebatan tentang penerapan hukum Islam. Sejumlah problem hukum materil,
pembuktian dan prosedur (hukum acara) muncul karena prospek implementasi
cabang syariat ini. Di tengah berkembangnya keinginan untuk menerapkan hukum
pidana Islam, ada isu-isu penting yang harus didiskusikan yaitu tentang adanya
prakondisi penegakan hukum pidana Islam dan berharap dapat memberikan
semangat dalam melaksanakan ajaran Islam yang telah jauh ditinggalkan.
Disadari pula bahwa dewasa ini sering kali umat Islam dibingungkan oleh
keanekaragaman mazhab hukum. Munculnya berbagai pendapat di bidang hukum
Islam di satu pihak menimbulkan kesan tidak adanya kepastian hukum yang mesti
dianut dan di lain pihak menyediakan berbagai alternatif yang bisa dipilih sesuai
dengan kondisi kata hati pemeluk Islam. Oleh karena itu, upaya yang luwes ialah
memunculkan kajian perbandingan mazhab dengan mengajukan masalah serta
pendapat dari setiap mazhab dengan argumentasi masing-masing. Setelah itu
dilakukanlah analisis dan penetapan pendapat yang dinilai lebih kuat
argumentasinya. Cara ini merupakan upaya terobosan menembus kebekuan ijtihad.
Sepertin hal nya sex bebas yang sering kerap terjadi di tengah masyarakat
Indonesia yang notabennya sekarang di anggap biasa saja oleh beberapa kalangan
yang berada di Indonesia. Hukum yang ada saat ini masih belum bisa menjadi
panutan bagi para pelaku sex bebas yang tersebar di penjuru negri ini. Hukum
pidana islam yang terlihat kejam karena mayoritas masyarakat hanya memandang
sebelah mata hukum tersebut, tidak di lihat secara mendalam, padahal dalam hukum
pidana islam tersebut ada banyak factor untuk melakukan hukuman, tidak serta
merta langsung menjatuhkan hukuman tanpa adanya sebab, proses, persidangan
yang sangat ketat.

4
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kedudukan bagi pelaku Sex Bebas dalam hukum pidana islam.
2. Bgaimana penerapan hukum pidana islam di tenggah hukum positif Indonesia.

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Mengetahui kedudukan bagi pelaku Sex Bebas dalam hukum pidana islam.
2. Mengetahui penerapan hukum pidana islam di tengah hukum positif Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tanpa
adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar tanpa adanya
unsur syubhat1. Zina termasuk dalam kategori dosa besar. Secara bahasa, kata
zina berasal dari kosa kata bahasa Arab, yaitu kata zina-yazni-zinan yang
mempunyai arti berbuat zina, pelacuran, perbuatan terlarang. 2Secara harfiah,
zina berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji, dalam bahasa Belanda disebut
overspe3. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, zina mengandung makna
sebagai berikut:
a. Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat
oleh hubungan pernikahan (perkawinan)
b. Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan
dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, atau seorang
perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan
suaminya4.
Ibnu rusyd mendefisinikan zina sebagai setiap persetubuhan yang terjadi
bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena semu (syubhat) dan bukan pula
kepemilikan terhadap budak. Para ulama‟ dalam memberikan definisi tentang
zina ini berbeda redaksinya, namun dalam substansinya hampir sama. Di bawah
ini penulis akan mengemukakan definisi tentang zina menurut beberapa
madzhab sebagimana yang telah dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich dalam
bukunya, diantaranya:
1. Pendapat Malikiyah Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang
mukalaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara
disepakati dengan kesengajaan.5

1
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 37.
2
Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer ArabIndonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum, 1996), hlm. 102.
3
2 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992), hlm. 479
4
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Ed-3,
2005), hlm. 1136.
5
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 7.
2. Pendapat Hanafiyah Zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam
qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan
ikhtiyar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh
orangorang kepadanya berlaku hukum islam dan wanita tersebut bukan
miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya.
3. Pendapat Syafi‟iyah Zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang
diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut tabiatnya
menimbulkan syahwat.
4. Pendapat Hanabilah Zina adalah melakukan perbuatan keji persetubuhan),
baik terhadap qubul (farji) maupun dubur.

Apabila kita perhatikan beberapa definisi di atas, maka ada sedikit


perbedaan dalam redaksi dan susunan kalimatnya, akan tetapi dalam intinya
hampir sama, yaitu bahwa zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki-
laki dan perempuan di luar nikah.

2.2 Kedudukan pelaku Sex Bebas dalam hukum pidana islam


Pada permulaan Islam, hukuman untuk tindak pidana zina adalah
dipenjarakan di dalam rumah dan disakiti, baik dengan pukulan pada badannya
maupun dengan dipermalukan. Dasarnya adalah firman Allah dalam Q.S. an-
Nisaa‟ ayat 15 dan 16:
Setelah Islam mulai berkembang, terjadi beberapa perubahan dalam
hukuman zina ini, yaitu dengan turunnya surat an-Nur ayat 2
Adapun sunah qauliyah yang menjelaskan hukuman zina antara lain
adalah sebagai berikut: Dan Yahya bin Yahya at-Tamimi telah memberitahukan
kepada kami, Husyaim telah mengabarkan kepada kami, dari Manshur, dari al-
Hasan, dari Hithan bin Abdullah ar-Raqasyi, dari Ubadah bin ash-Shamit, ia
berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ambillah (hukum)
dariku, Ambillah (hukum) dariku, Allah telah memberikan jalan bagi mereka
(wanitawanita yang berzina); (hukuman perzinaan) antara lakilaki dan
perempuan yang masih lajang adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan
setahun, sedangkan antara laki-laki dan perempuan yang telah menikah adalah
dicambuk seratus kali dan dirajam.6
Dengan turunnya surat an-Nur ayat 2 dan sabda Rasulullah ini maka
hukuman untuk pezina yang tercantum dalam surat an-Nisaa‟ ayat 15 dan 16
tersebut di atas menjadi hapus (mansukh). Dengan demikian, maka hukuman
untuk pezina berdasarkan ayat dan hadits di atas dirinci menjadi dua bagian
sebagai berikut:
a. Dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang
belum berkeluarga (ghairu muhshan)
b. Rajam bagi yang sudah berkeluarga (muhshan) di samping dera
seratus kali.
surat an-Nisaa‟ ayat 15-16 tersebut tetap berlaku dan tidak dinasakh oleh
surat an-Nur ayat 2. Hanya saja penggunaan dan penerapannya yang berbeda.
Surat anNisaa‟ ayat 15 berlaku bagi wanita yang melakukan hubungan intim
dengan wanita (lesbian), sedangkan ayat 16 berlaku bagi laki-laki yang
melakukan homoseksual (liwath), dan surat an-Nur ayat 2 berlaku bagi laki-laki
atau wanita yang berzina.
Dari ayat dan hadits yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa
hukuman zina itu ada dua macam, tergantung kepada keadaan pelakunya apakah
ia belum berkeluarga (ghairu muhshan) atau sudah berkeluarga (muhshan).
1. Hukuman untuk Pezina Ghairu Muhshan Zina ghairu muhshan adalah zina
yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga.
Hukuman untuk zina ghairu muhshan ini ada dua macam, yaitu:
a. Hukuman Dera Apabila jejaka dan gadis melakukan perbuatan zina,
maka mereka dikenai hukuman dera sebanyak seratus kali. Hal ini
didasarkan pada firman Allah SWT. Dalam Q.S. an-Nur ayat 2 dan
sabda nabi Muhammad SAW. sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Ubadah bin ash-Shamit di atas. Hukuman dera adalah hukuman
hadd, yaitu hukuman yang telah ditetapkan oleh syara‟. Oleh karena
itu, hakim tidak boleh mengurangi, menambah, menunda
pelaksanakannya, atau menggantinya dengan hukuman yang lain.
6
Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, Terj. Thoriq Abdul Aziz At-Tamimi dan
Fathoni Muhammad, “ Syarah Shahih Muslim”, Jilid 8, (Jakarta:Darus Sunnah Press, 2010), hlm. 361.
Disamping telah ditentukan oleh syara‟, hukuman dera juga
merupakan hak Allah atau hak masyarakat sehingga pemerintah atau
individu tidak berhak memberikan pengampunan.7
b. Hukuman Pengasingan
Hukuman yang kedua untuk pezina ghairu muhshan adalah hukuman
pengasingan selama satu tahun. Hukuman ini didasarkan pada hadits
Ubadah bin ash-Shamit yang telah tersebukan di atas. Akan tetapi,
apakah hukuman ini wajib dilaksanakan bersama-sama dengan
hukuman dera atau tidaknya, para ulama‟ berbeda pendapatnya.
Menurut Imam Abu Hanifah dan kawan-kawannya hukuman
pengasingan tidak wajib dilaksanakan.250 Namun, mereka
memperbolehkan bagi imam untuk menggabungkan antara dera
seratus kali dan pengasingan selama satu tahun apabila hal itu
dipandang maslahat. Dengan demikian, menurut mereka hukuman
pengasingan itu bukan merupakan hukuman hadd, melainkan
hukuman ta‟zir. Pendapat ini juga merupakan pendapat Syi‟ah
Zaidyah.8 Alasannya adalah bahwa hadits tentang hukuman
pengasingan ini dihapuskan dengan surat an-Nur ayat 2.9
Jumhur ulama‟ yang terdiri atas Imam Malik, Syafi‟i, dan Ahmad
berpendapat bahwa hukuman pengasingan harus dilaksanakan
bersama-sama dengan hukuman dera seratus kali10
Dengan demikian menurut jumhurul, hukuman pengasingan ini
termasuk hukuman hadd, dan bukan hukuman ta‟zir. Dasarnya
adalah hadits Ubadah bin ashShamit tersebut yang di dalamnya
tercantum: …… Jejaka dan gadis hukumannya dera seratus kali dan
pengasingan selama satu tahun…. Disamping hadis tersebut, jumhur
juga beralasan dengan tindakan sahabat antara lain Sayyidina Umar
dan Ali yang melaksanakan hukuman dera dengan pengasingan ini,
7
9 Abil Mawahib Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali al-Anshori, alMizan al-Kubro, Jilid II, (Semarang: Toha
Putra, t.t.), hlm. 131-132.
8
Abdul al-Qadir al-Audah, At-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamy, juz II, (Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.), hlm.
380.
9
Muhammad Abu Syahbah, Al-Hudud fi al-Islam, (Kairo: Hafiah alAmmah Li Syuuni al- Mathabi‟ al-
Amiriyah, 1974), hlm. 170.
10
Abil Mawahib Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali al Anshori
dan sahabat- sahabat yang lain tidak ada yang mengingkarinya.
Dengan demikian maka hal ini bisa juga disebut ijma‟
Dalam hal pengasingan bagi wanita yang melakukan zina, para
ulama‟ juga berselisih pendapat. Menurut Imam Malik hukuman
pengasingan hanya berlaku untuk laki-laki sedangkan untuk wanita
tidak diberlakukan. Sebabnya adalah karena wanita itu aurat yang
perlu atas penjagaan dan pengawalan. Disamping itu, apabila wanita
itu diasingkan, ia mungkin tidak disertai mahram dan mungkin pula
disertai mahram. Dan apabila tidak disetai mahram maka hal itu jelas
tidak diperbolehkan, karena Rasulullah SAW. melarang seorang
wanita untuk berpergian tanpa disertai oleh mahramnya. Dalam
sebuah hadits sebagaimana yang telah dikutip oleh Ahmad Wardi
Muslich dalam bukunya, Rasulullah bersabda: “Tidak halal bagi
seorang wanita yang beriman kepada Alllah dan hari akhir untuk
berpergian dalam perjalanan sehari semalam kecuali bersama
muhrimnya”11
Sebaliknya, apabila ia (wanita) diasingkan bersama-sama dengan
seorang mahram, maka hal ini sama saja mengasingkan orang yang
tidak melakukan perbuatan zina dan menghukum orang yang
sebenarnya tidak berdosa sama sekali, yaitu mahramnya si wanita itu.
Oleh karena itu, Malikiyah mentakhsiskan hadits tentang hukuman
pengasingan tersebut dan membatasinya hanya untuk laki-laki saja
dan tidak memberlakukan untuk perempuan.
Menurut madzhab Syafi‟i, Hanbali, dan Zhahiriyah, hukuman
pengasingan berlaku kepada setiap orang yang melakukan zina
ghairu muhshan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Alasannya
adalah dengan berpedoman kepada keumuman hadits yang
menjelaskan tentang hukuman pengasingan sebagaimana yang telah
disebutkan di atas.
2. Hukuman untuk Zina Muhshan

11
Ahmad Wardi Muslich,…. hlm. 31
Zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
yang sudah berkeluarga (bersuami/beristri). Hukuman untuk pelaku zina
muhshan ini ada dua macam yaitu:
a. Dera seratus kali, dan
b. Rajam
Hukuman dera seratus kali didasarkan kepada alQur‟an surat an-Nur ayat 2
dan sabda nabi yang diriwayatkan oleh Ubadah bin ash-Shamit di atas.
Sedangkan hukuman rajam juga didasarkan kepada sabda nabi yang
diriwayatkan oleh Ubadah bin ashShamit di atas.
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu sampai
meninggal. Hukuman rajam merupakan hukuman yang telah diakui dan
diterima oleh hampir semua fuqaha‟, kecuali kelompok Azariqah dari
golongan Khawarij. Karena mereka ini tidak mau menerima hadits kecuali
hadits yang sampai kepada tingkatan mutawattir. Menurut mereka
(khawarij), hukuman untuk jarimah zina baik itu muhshan maupun ghairu
muhshan adalah hukuman dera seratus kali berdasarkan firman Allah dalam
alQur‟an surat an-Nur ayat 2.31

2.3 Penerapan Hukum Pidana Islam di tengah Hukum Positif Indonesia


Berbicara tentang penerapan pidana Islam, teringat berbagai
gerakangerakan Islam yang tidak pernah lelah menyuarakan pemberlakuannya,
mulai dari mereka yang tergolong radikal sampai moderat. Mulai dari yang
menginginkan penerapan itu sekarang juga sampai pada yang memberikan
toleransi terhadap penerapan secara bertahap atau setelah siap infrastrukturnya.
Ini menunjukkan bahwa dikalangan internal Islam sendiri terdapat berbagai versi
yang muncul dengan berbagai aspirasi dalam menanggapi isu kemungkinan
diberlakukannya hukum pidana Islam di Indonesia.
Perdebatan mengenai peluang penerapan pidana Islam di Indonesia,
tampaknya merupakan polemik yang tak pernah berkesudahan sejak sidang
BPUPKI/PPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, tema ini muncul
kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen Pasal 29 UUD. Fraksi
Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Bintang (F-
PBB) dalam pemandangan umum mereka bersikeras untuk memasukkan
kembali Piagam Jakarta dalam Batang Tubuh UUD 1945, khususnya Pasal 29.12
Penerapan pidana Islam sebetulnya bukanlah hal baru. Sejak lama
dipraktekkan oleh beberapa negara muslim, seperti Arab Saudi, Afghanistan,
dan Sudan. UU Islam di negara-negara ini secara keras diberlakukan, terutama
menyangkut hukum pidana (hudud). Agaknya, persoalan pidanalah yang
menjadi ciri khas apakah sebuah negara muslim dianggap menerapkan hukum
Islam atau tidak. Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber
hukum nasional yang berasal dari hukum adat, hukum Islam dan hukum barat.
Ketiga sumber hukum tersebut selalu berlomba untuk menjadi hukum nasional
sehingga berlakulah berbagai teori hukum13
Hukum pidana Islam yang kerap tergambar di media massa adalah kejam
dan tidak manusiawi, padahal kesan semacam itu muncul karena tidak melihat
secara utuh dan menyeluruh. Hukum pidana Islam merupakan bagian dari
syariat Islam, misalnya hukum potong tangan sering dituding terlampau kejam
dan tidak adil. Padahal hukuman ini baru dijatuhkan ketika sejumlah persyaratan
yang ketat terpenuhi. Hukum pidana Islam dikenal beberapa asas-asas penting
seperti asas legalitas, asas tidak berlaku surut, asas praduga tak bersalah, tidak
sahnya hukum karena keraguan, prinsip kesamaan dihadapan hukum.
Sehubungan dengan hal ini, para ahli hukum pidana barat mengklaim bahwa
asas-asas di atas berasal dari hukum pidana mereka dan ini dianggap tidak adil.
Hal itu disebabkan, lebih dari 14 abad hukum pidana Islam telah menjadi pionir
dalam penerapannya dengan landasan yang valid, yakni Alquran dan Sunnah
Nabi Muhammad Saw. Dalam sejarah umat Islam, banyak peristiwa hukum
pidana Islam yang dipraktekkan. Pembuat hukum pidana Islam tidak menyusun
ketentuan-ketentuan hukum dari syariat tanpa tujuan apa-apa, melainkan
terdapat tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian, untuk memahami
pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu diketahui apa tujuan dari ketentuan itu.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasikan tujuan-tujuan yang luas dari syariat
sebagai berikut:

12
Lihat, Arskal Salim, Penerapan Syariat Bukan Negara Islam, dalam http://www.islamlib.com
13
A.Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum
Indonesia (Edisi: I; Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 9.
a. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan
pertama dan utama dari syariat. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak
terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana.
b. Menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder).
c. Membuat berbagai perbaikan yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi
kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur
urusan hidup lebih baik14

Klasifikasi kejahatan dalam hukum pidana Islam terbagi dalam tiga bagian yaitu:
hudud, qishash dan ta’zir.Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius
dan paling berat dalam hukum pidana Islam. Kejahatan dalam kategori ini
diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak
Allah, dalam arti kuantitas dan kualitasnya ditentukan dan ia tidak mengenal
tingkatan

Dalam kajian ilmu hukum pada umumnya, ada yang disebut hukum positif dan
hukum yang di cita-citakan. Hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku
disuatu negara, sedangkan hukum yang di cita-citakan yaitu hukum yang hidup
dimasyarakat, tetapi belum menjadi hukum positif secara legalformal. Eksistensi
hukum Islam di Indonesia yang menjadi hukum positif hanya yang berkaitan
dengan hukum privat, yaitu ubudiah dan muamalah. Sedangkan yang
berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini masih menjadi hukum
yang di cita-citakan.

Azyumardi Azra misalnya, dalam menanggapi soal kemungkinan positifasi


hukum Islam menjadi hukum nasional, mengungkapkan bahwa yang harus
diperhatikan adalah kondisi umat Islam Indonesia yang bukan merupakan
realitas monolitik, tapi adalah realitas yang beragam, banyak golongannya,
pemahaman keislamannya, keterikatannya, dan pengetahuannya yang
berbedabeda. Realitas sosilogis ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan
viabilitas. Artinya hukum Islam tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin
juga bisa menjadi kontraproduktif ketika lapisan masyarakat muslim yang
pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak sebagaimana yang

14
opo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Gema Inasani, 2003), h. 45.
diharapkan. Selain itu, menurut Azyumardi Azra, perbedaan mazhab fikih juga
perlu diperhitungkan, karena harus diakui bahwa di dalam soal fikih, khususnya
mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari dulu sampai sekarang belum
teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di dalam fikih itu sendiri. Misalnya
soal hudud, atau lebih spesifik lagi soal hukum rajam. Ada kalangan ulama
misalnya Mahmud Syaltut berpendapat, hukum rajam adalah hukuman
maksimal. Padahal kalau hukum rajam itu menjadi hukum yang maksimal, maka
salah satu filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat hukum adalah
menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena kalau
hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari hukum itu
menjadi hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.

Pendapat yang berbeda disampaikan Habib Riziq Shihab, menurutnya penerapan


hukum Islam harus formalistiklegalistik melalui institusi Negara. Ia mengatakan
bahwa syariat Islam secara formal harus diperjuangkan dan harus diamalkan
secara substansial. Tidak ada gunanya memperjuangkan formalitas sedangkan
substansialnya ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila mengatakan yang
penting substantinya, formalitasnya tidak perlu. Justru dengan formalisasi, maka
substansi bisa diamalkan. Ia juga mengungkapkan pendapat Imam al-Ghazali
yang berbicara tentang tata fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa
yang tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti akan
hilang.” Karenanya Habib Riziq tidak boleh memisahkan agama dengan
kekuasaan.

Harapan untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah lama


terniatkan, sejak hukum pidana positif berkembang pada zaman pemerintahan
Hindia Belanda. Para perumus bangsa (The Founding Fathers) sudah
merencanakan untuk diberlakukannya syariat Islam di Indonesia. Namun,
dengan mendasarkan pada pluralitas penduduk Indonesia, rencana itu tidak
terwujud dan kemudian menjadian Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Penegakan hukum (kaidah) agama secara preventif ini sangat membantu


pemantapan pola penegakan hukum (law enforcement) negara secara preventive
represive. Tujuannya adalah agar masyarakat memahami dan menaati kaidah
hukum negara dan kaidah agama sekaligus. Dengan demikian, syariah Islam
bukan hanya didakwahkan, tetapi juga dilaksanakan melalui penegakan hukum
preventif (bukan represif) guna mengisi kelemahan hukum pidana positif.

Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan
sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara
konstitusional sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum
ditindaklanjuti dengan instrumen hukum untuk masuk ke dalam wujud
instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP di atas, posisi HPI belum
terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis, mana hukum pidana
yang dapat ditegakkan.

Peluang besar dalam penerapan hukum Islam secara utuh di Indonesia termasuk
bidang pidana Islam menjadi impian besar. Hal itu didasari atas anggapan bahwa
dengan diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin
hari semakin merebak di tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat
diminimalisir. Kedatipun demikian hukum yang diterapkan di Indonesia
khususnya dalam konteks pidana mempunyai relevansi dengan hukum pidana
Islam. Misal, dalam hukum pidana Islam dikenal dengan hukum ta’zir, hukum
yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan penguasa dikarenakan tidak
ditetapkannya dalam nash. Dalam konteks ke-Indonesiaan hukum ditetapkan
oleh yudikatif dengan melakukan pertimbangan mendalam terkait dengan
persoalanpersoalan hukum yang tidak ditemukan dalam hukum positif.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Potret hukum pidana Islam yang dipahami sebagian orang adalah kejam dan tidak
manusiawi, padahal kesan semacam itu muncul karena tidak melihat secara utuh dan
menyeluruh. Hukum pidana Islam yang merupakan bagian dari syariat Islam,
diterapkan bilamana sejumlah persyaratan yang ketat terpenuhi. Modal atau kekuatan
dalam usaha menuju penerapan syariat Islam mempunyai peluang. Mayoritas
masyarakat Indonesia adalah umat Islam, dan penyuaraan penerapan hukum Islam
terus digalakkan. Selain itu, kontekstualisasi hukum pidana Islam dalam hukum ke-
Indonesiaan mempunyai relasi kesesuaian. Tantangan besar dalam penerapan hukum
pidana Islam adalam pluralisme masyarakat dan pemahaman masyarakat terhadap
hukum Islam tidak secara menyeluruh (kaffah).
DAFTAR PUSTAKA

opo Santoso,2003 Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta, Gema Inasani.

A.Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, 2006, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia Bogor: Ghalia Indonesia.
Abil Mawahib Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali al-Anshori, alMizan al-Kubro, Jilid II,
Semarang: Toha Putra,
Abdul al-Qadir al-Audah, At-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamy, juz II, Beirut, Dar al-Kitab
al-Arabi
Muhammad Abu Syahbah, Al-Hudud fi al-Islam, 1974 Hafiah alAmmah Li Syuuni al-
Mathabi‟ al-Amiriyah, Kairo
Imam An-Nawawi, 2010 Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, Jakarta Darus
Sunnah Press.
Thoriq Abdul Aziz At-Tamimi dan Fathoni Muhammad, 2010 “ Syarah Shahih
Muslim”, Jilid 8, Jakarta:Darus Sunnah Press.
Zainudin Ali, 2009 Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika,
Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, 1996 Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum.
2 S. Wojowasito, 1992 Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Ahmad Wardi Muslich, 2005 Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai