Anda di halaman 1dari 17

ASURANSI TERDAPAT UNSUR GHARAR DALAM PRAKTEK

ASURANSI KONFENSIONAL MAUPUN SYARIA`AH MENURUT


AL-QURAN, HADIST, DAN FATWA ULAMA

“HUKUM ASURANSI”

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Asuransi

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Dra. Hj. Faridatul Fauziah S.H., M.H.

Oleh:
Raden Rezsar Achmad Futuhurrahman Adisendjaja (1111190320)
Syauqi Dasa Kurnia (1111190312)

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

FAKULTAS HUKUM

PRODI ILMU HUKUM

2021
KATA PENGANTAR
Segala Puji serta rasa syukur panjatkan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa Tuhan
semesta Alam tiada banding, karena telah melimpahkan hikmat, hidayah dan kasihNya.
Hanya karenaNya saja, penulis dapat mengerjakan makalah ini dengan tepat waktu
sesuai yang tealah dijadwalkan.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum PerBankan.
Makalah ini berjudul “ASURANSI TERDAPAT UNSUR GHARAR DALAM
PRAKTEK ASURANSI KONFENSIONAL MAUPUN SYARIA`AH MENURUT AL-
QURAN, HADIST, DAN FATWA ULAMA”. Makalah ini juga tidak akan terlaksana
tanpa bantuan, bimbingan dan dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Dra. Hj. Faridatul Fauziah S.H., M.H.
Sselaku dosen Hukum Asuransi dan pihak-pihak terkait yang telah membantu dalam
penulisan makalah ini.

Ketika saat pembuatan makalah ini saya mengalami beberapa kendala. Saya menyadari
bahwa masih banyak kekurangandan masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam
makalah ini. Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembacanya dan
dapat di gunakan untuk referensi bacaan lainnya. Untuk dari pada itu kritik saran yang
membangum dari pembaca sangatlah berharga demi kesempurnaan makalah ini, dam
kami ucapkan terimakasih sekali lagi unutk para pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini hingga dapat di tunntasnya dengan tepat waktu.

Cimahi, 24 April 2022


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada masa sekarang, di mana perkembangan masyarakat mempunyai laju kecepatan


yang kadang kala tidak terkejar oleh hukum. Dan bahkan hukum tertinggal di belakang
dan lari terengah-engah mengejar ketinggalan tersebut. sehingga hukum menjadi
selangkah lebih di belakang dari pada perkembangan dan pertumbuhan masyarakat 1.
Fenomena tersebut merupakan realita nyata yang terjadi sekarang di tengah masyarakat.
Bahwa dalam sebuah realita telah terjadi kesenjangan antara aspek hukum disatu pihak
dengan masyarakat di pihak lain. Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah hukum
telah di paksa melalui batasbatas masa yang tidak bisa dihindari. Dari masa awal tidak
bergerak maju menembus batas masa pertengahan dan akhirnya memasuki masa yang
sementara orang memberi nama dengan “masa modern

Salah satu ciri dari masa ini adalah berkembang pesatnya ilmu pengatahuan dan
teknologi, di samping juga didukung munculnya semangat globalisasi. Sehingga banyak
sekali permasalahan yang tak terduga, hal ini disebabkan karena perkembangan
masyarakat yang begitu pesat dan pengaruh dunia barat terhadap dunia timur (baca:
Islam). Salah satu dampak dari perkembangan tersebut adalah dengan munculnya
lembaga-lembaga ekonomi baru yang sebelumnya secara formal dalam dunia timur
belum terlembagakan dalam sebuah institusi, seperti lembaga perbankan dan lembaga
asuransi

Sesungguhnya asuransi merupakan suatu kebutuhan dasar bagi manusia, karena


kecelakaan dan konsekuensi finansialnya memerlukan santunan. Asuransi merupakan
organisasi penyantun masalah-masalah yang universal, seperti kematian mendadak,
cacat, kebakaran, kebanjiran badai dan kecelakaan yang bersangkutan dengan
transportasi, serta kerugian financial yang disebabkannya. Kecelakaan-kecelakaan
seperti itu tidaklah hanya bergantung pada tindakan sukarelawan, kenyataan ini
membuat asuransi diperlukan sebagai kebutuhan dasar manusia pada ruang lingkup
yang samangat luas dari kegiatan-kegiatan dan situasi manusia2

1
Ali, Hasan, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Histories
Teoritis, &Prtaktis. h.3
2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah , h.317
1.2 RUMUSAN MASALH
1. Bagaimana Pandangan Alquran, Hadist dan Fatwa ulama mengenai Jual Beli
Garar
2. Bagaimana pandangan Al-Quran, Hadist dan Fatwa Ulama dalam Asuransi
yang beredar di masyarakat
3. Apa saja fatwa yang telah di keluarkan oleh MUI tentang Asuransi
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui pandangan Al-Quran Hadist, dan Fatwa Ulama mengenai jual beli
Garar.
2. Memahani pandang Alquran, Hadist dan Fatwa Ulama mengenai Asuransi yang
beredar di Masyarakat
3. Mengetahui fatwa apa saja yang telah di keluarkan oleh MUI mengenai
perasuransian yang berada di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PANDANGAN AL QURAN, HADIST, DAN FATWA ULAMA MENGENAI


GARAR

Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan). Sehingga Ibnu
Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah).
Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan
al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Sehingga , dari
penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua
jual beli yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al-Baqarah/2 :188)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (An-Nisaa/4:29)

Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan
Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula
dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini.

Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman
Allah. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan” (Al-Maidah/5:90)

Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam


katagori perjudian. Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti
menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak
buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan
Allah di dalam Al-Qur’an

Gharar adalah transaksi bisnis yang mengandung ketidakjelasan bagi para pihak, baik
dari segi kuantitas, fisik, kualitas, waktu penyerahan, bahkan objek transaksinya pun
bisa jadi masih bersifat spekulatif. Ketidakpastian ini melanggar prinsip syariah yang
idealnya harus transparan dan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak

Dengan demikian, Islam memandang bahwa gharar adalah hal yang merugikan para
pihak, terutama pembeli. Hal ini karena jika konsumen sudah membayar terlebih dahulu
tanpa melihat objek transaksi, jika ternyata barang tersebut tidak sesuai kehendaknya,
tentu akan menimbulkan sengketa atau kerugian.

Diantara hikmah larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan
menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan
kerugian yang besar kepada pihak lain. Larangan ini juga mengandung maksud untuk
menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada
orang akibat jenis jual beli ini.

Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.

1. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah
(janin dari hewan ternak).
2. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan
seseorang : “Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah”, tetapi barangnya
tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku
ini kepadamu dengan harga sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak
jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang :
“Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya
tidak diketahui.
3. Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak
yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada
harga, barang dan pada akad jual belinya.

Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar.
Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun
ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10.000 Ribu bila kontan dan
20 .000 Ribu bila diangsur, tanpa menentukan jika pada suatu saat ada kenaikan harga

Syaikh As-Sa’di menyatakan : “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli


ma’dum (belum ada wujudnya), seperti kepada jual-beli yang tidak dapat
diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan,
baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya.

2.2 PANDANGAN AL-QURAN DAN HADIST DAN FATWA ULAMA


MENGENAI ASURANSI

Di dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak ada satupun ketentuan yang mengatur secara
eksplisit tentang asuransi Pembahasan juga tidak dijumpai didalam fiqh klasik, karena
bentuk transaksi ini baru muncul sekitar abad ke-13 dan ke-14 di italia dalam bentuk
asuransi perjalanan laut. Oleh karena itu masalah asuransi di dalam Islam termasuk
bidang hukum "ijtihad" artinya untuk menentukan hukum asuransi ini halal atau haram
masih diperlukan peranan akal pikiran ulama ahli fiqh

Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”.
(H.R. Muslim: 2699)

Mengenai hal tersebut, pada dasarnya secara garis besar terdapat empat macam
pandangan ulama dan cendikiawan muslim tentang asuransi.

Pertama: kelompok yang berpendapat bahwa asuransi dengan segala macam bentuk dan
cara operasionalnya hukumnya haram. Pandangan pertama ini didukung oleh banyak
ulama, di antaranya adalah Ibnu Abidin dalam kitabnya Hāshiyah Ibn Abidin. Ibnu
Abidin adalah ulama pertama dari mazhab Hanafiyah yang membicarakan asuransi dan
mengharamkannya. Kemudian dari ulama kontemporer adalah Sayyid Sābiq dalam
kitabnya Fiqh al-Sunnah. Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bāz dalam kitab al-
Fatāwā al-Shar‟iyyah fi Masā‟il al-Așriyyah min Fatāwā „Ulama al-Balad al-Harām,
al-Sādiq Abdurrahman al-Gharyani dalam Fatāwā Mu’asirah (Fatwa-Fatwa
Kontemporer), Syaikh Muhammad Bakhit Al Muthi'i (Mufti Mesir tahun 1915-1920),
Syaikh Muhammad Abu Zahra, Syaikh Abdurrahman Qara'ah (Mufti Mesir tahun 1921-
1928, syaikh Dr.Yusuf Qardawi al-Qalqili serta Muhammad Bakhit al Mu`ti‘I, Akademi
Fiqih Internasional, Persatuan Ulama Arab Saudi, Syaikh Bin Baz, Syaikh Muhammad
Shalih Al Munajjid dan sebagainya. Mereka beralasan bahwa asuransi sama dengan
maysir (judi), mengandung unsur gharar (ketidak jelasan), mengandung riba (sistem
bunga), mengandung pemerasan; karena pemegang polis apabila tidak dapat
melanjutkan pembayaran preminya, maka uangnya akan hilang atau berkurang, selain
itu mereka juga beralasan bahwa premi yang dibayar ke pihak asuransi akan diputar
dengan praktek riba serta asuransi juga termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang
yang tidak tunai Di samping alasan-alasan itu, mereka juga mengatakan bahwa asuransi
diharamkan karena menjadikan kematian sebagai komoditas yang dieksplorasi sebagai
salah satu bidang bisnis, sehingga sama halnya dengan mendahului takdir Allah3

Kedua: Kelompok ini berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan
dalam Islam. Pendukung kelompok tersebut antara lain: Murtada Mutahhari dalam
bukunya al-Ribā wa al-Tamīn, syaikh Abdul Wahhab khallaf, Muhammad Yusuf Musa,
Abdurrahman Isa, syaikh Mustafa Ahmad Zarqa Daril Ifta Mesir, Mereka beralasan;
bahwa tidak ada naș (teks) al-Quran maupun hadist yang mengharamkan asuransi, ada
kesepakatan dan ada kerelaan antara kedua belah pihak, saling menguntungkan kedua
belah pihak, dapat menanggulangi kepentingan umum; sebab premi yang terkumpul
dapat dipergunakan atau di investasikan untuk kepentingan proyekproyek yang
produktif dan pembangunan, selain itu asuransi juga termasuk akad mudārabah (bagi
hasil), termasuk Syarikah Ta`awuniyah (koperasi), serta dapat dikiaskan dengan sistem
pensiun atau taspen

Ketiga: Kelompok ulama ini berpendapat bahwa asuransi yang diperbolehkan adalah
asuransi yang bersifat tolong menolong atau sosial, sedangkan yang bersifat komersial
dilarang dalam Islam. Pendukung pendapat ketiga ini adalah Musțafā al-Zarqā dalam
bukunya „Aqdu al-Ta‟mīn wa Mauqif al-Shari‘ah alIslāmiyyah, Muhammad Abu
Zahrah dalam bukunya al-Takāful al-Ijtimā„iyyah fi al-Islām. Alasannya sama dengan
kelompok pertama dalam asuransi komersial dan sama dengan kelompok kedua apabila
asuransi sosial.

Keempat : Kelompok minoritas ulama yang berpendapat bahwa hukum asuransi


termasuk masalah shubhat,18 karena tidak ada dalil-dalil shar„i yang secara jelas
mengharamkan atau yang menghalalkan asuransi. Oleh karena itu ummat Islam harus
3
Kuat Ismanto, Asuransi Syariah Tinjauan Asas-Asas Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 9
mempelajari dan meneliti secara mendalam dalam bermuamalah dengan asuransi.19
Adapun dalil atau alasan mereka adalah hadith Nabi:

“Dari Abi Abdillah al-Nu„man bin Bashir r.a. berkata: aku mendengar Rasul S.a.w.
bersabda: Bahwa sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di
antara keduanya ada perkara shubhat yang tidak diketahui banyak orang. Orangorang
yang menghindari perkara shubhat, berarti memelihara agama dan harga dirinya.
Sedangkan orang yang jatuh dalam perkara yang shubhat, berarti jatuh dalam perkara
yang haram seperti pengembala yang mengembala dekat dengan daerah terlarang, tentu
sangat riskan suatu saat hewan gembalanya pasti akan memasuki daerah terlarang itu.
Ketahuilah setiap raja memiliki daerah larangan. Ingatlah bahwa daerah larangan Allah
adalah apa yang diharamkan-Nya. ketahuilah di dalam tubuh manusia terdapat
segumpal darah, jika ia baik, seluruh tubuh pun akan baik, dan jika ia rusak, maka
seluruh tubuh pun akan rusak, ketahuilah segumpal darah itu adalah hati.”4

Perbedaan pendapat dalam masalah asuransi pada dasarnya muncul karena terdapat
kontradiksi antara tujuan dan praktek yang terjadi dalam asuransi. Secara singkat, tujuan
asuransi adalah sebagai salah satu faktor keamanan terhadap harta dan sebagai usaha
menenangkan jiwa serta upaya untuk mengembangkan uang atau harta

Selain itu, Asuransi (termasuk asuransi Syariah) mempunyai beberapa tujuan. Secara
umum, asuransi bertujuan untuk mengembalikan tertanggung kepada posisi semula atau
untuk menghindarkan tertanggung dari kebangkrutan, sehingga ia masih mampu berdiri
seperti sebelum menderita kerugian. Dengan kata lain, tujuan berasuransi adalah
mengalihkan atau berbagi resiko yang ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak diharapkan
oleh orang lain antara penderita musibah dan perusahaan asuransi. Jika dilihat dari
tujuannya, secara umum asuransi bertujuan untuk saling membantu antar sesama
manusia ketika terjadi kesusahan. Pada prinsipnya, tujuan ini sangat sesuai dengan
firman Allah:

“Dan saling tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan,
dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”

(Q.S Al-Maidah:2)

4
Lihat Imam Nawawi , Hadist Arbain al-Nawawiyah (Hadist ke 6).
Namun jika dilihat dari segi paktiknya, asuransi konvensional mengandung unsur-unsur
yang dilarang agama Islam dan yang paling dominan yaitu unsur maysir, gharar dan
riba. Unsur maysir (judi/untung-untungan/gambling) terjadi karena terdapat faktor
ketidak pastian dalam pelaksanaan transaksi asuransi, Selain itu, maysir (judi) dalam
asuransi konvensional dapat diindikasikan oleh tiga hal:

1. Ketika seorang pemegang polis mendadak terkena musibah sehingga


memperoleh dana klaim, padahal baru sebentar menjadi klien asuransi dan baru
sedikit membayar premi, dalam hal ini nasabah yang diuntungkan.
2. Sebaliknya, jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu, sementara
pemegang polis sudah membayar premi secara penuh atau tunai, maka klien
tidak akan mendapatkan apaapa, dalam hal ini perusahaan yang diuntungkan.
3. Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya
sebelum masa reserving period, biasanya tahun ketiga (untuk produk tertentu)
yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan
(cash value), kecuali hanya sebagian kecil, bahkan uangnya dianggap hangus

Dalam praktek asuransi konvensional juga terdapat gharar (ketidak pastian), yaitu tidak
jelas akad yang melandasinya apakah akad tabāduli (jual beli/komersial) ataukah akad
takāfuli (tolong menolong/sosial ). Umpamanya saja sekiranya terjadi klaim, seperti
asuransi yang diambil sepuluh tahun dengan pembayaran premi Rp 1.500.000,- (satu
juta lima ratus ribu rupiah) pertahun, kemudian pada tahun kelima dia meninggal dunia,
maka pertanggungan yang akan diberikan sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta
rupiah), padahal uang yang baru disetorkan ke pihak asuransi selama lima tahun baru
berjumlah Rp 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Dengan demikian sisa
uang yang berjumlah Rp 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) lagi adalah
gharar (ketidak jelasan) karena tidak jelas dari mana asalanya5

Selain itu, dalam asuransi juga terdapat unsur yang diharamkan Islam yakni riba
(bunga). Unsur riba dalam asuransi konvensional terjadi ketika premi diinvestasikan
dalam instrument financial seperti tabungan atau deposito pada bank-bank
konvensional. Unsur riba juga terjadi dalam penentuan besaran tarif premi atas
penggunaan unsur perhitungan bunga teknik. Seperti kita ketahui, penentuan tarif premi

5
M. Ali hasan, Masā’il al-Fiqhiyyah; Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan. (Jakarta: PT Raja
Grapindo Persada, 2003), 103
didasarkan atas tabel mortalita, berbagai biaya dan penggunaan perhitungan bunga
teknik.6

2.2 FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang


PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH

Ketentuan Umum

1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling


melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang
sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang
tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm
(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana
kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Akad dalam Asuransi

1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah
dan / atau akad tabarru'.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad
tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara dan waktu pembayaran premi;
c. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang
disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

6
Abdullah Amrin, Asuransi Syariah, Keberadaan dan Kelebihannya di Tengah Asuransi Konvensional. 54
Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’

1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib


(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan
bertindak sebagai pengelola dana hibah

Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’

1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang
tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan
kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Jenis Asuransi dan Akadnya

1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi
jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah

Premi

1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel
morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba
dalam penghitungannya.
3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.

Klaim

1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.


2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban
perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad

Investasi

1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Reasuransi

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang
berlandaskan prinsip syari'ah.

Pengelolaan

1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang
terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana
akad tabarru’ (hibah).

Ketentuan Tambahan

1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.

FATWA ULAMA INTERNASIONAL

1) Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid (Ulama asal Arab Saudi keturunan Suriah
dan pengelola situs tanya jawab seputar Islam islamqa.info)

Pertanyaan: Apa hukum asuransi yang beredar hari ini?


Jawaban:

1. Semua jenis asuransi mengandung unsur riba tanpa keraguan. Yaitu menjual uang
dengan uang lebih sedikit atau lebih banyak disertai dengan mengakhirkan salah satu
mata uang. Di dalamnya ada riba fadl (kelebihan) dan riba nasiah (mengakhirkan
pembayaran). Karena pemilik asuransi mengambil dana dari orang-orang dan
menjanjikan akan memberi dana lebih sedikit atau lebih banyak ketika terjadi
kecelakaan tertentu yang dijaminkannya. Dan ini adalah riba. Sementara riba itu
diharamkan dengan tegas dalam nash Qur’an pada banyak ayat.

2. Semua bentuk asuransi tidak berdiri kecuali dengan perjudian atau maisir yang telah
diharamkan dalam Nash Al Qur'an Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan

3. Asuransi dengan semua bentuknya termasuk permainan dengan nasib. Mereka


mengatakan kepada anda, “Bayarlah sekian, kalau terjadi pada anda sesuatu (kecelakaan
dan semisalnya), maka kami akan berikan kepada anda segini. Dan ini benar-benar
perjudian. Yang membedakan antara asuransi dan judi adalah kesombongan yang tidak
bisa diterima oleh akal sehat. Bahkan pemilik asuransi sendiri mengakuinya bahwa
asuransi adalah perjudian.

4. Semua jenis asuransi terdapat unsur gharar (Menjual dan membeli barang yang tidak
pasti), dan jual beli gharar adalah haram sebagaimana Sabda Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassalam, "Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam melarang jual beli kerikil
dan jual beli gharar." [HR. Muslim dari Sahabat Abu Hurairah]

Dan juga dalam Fatwa yang dikeluarkan oleh Islam Web, sebuah situs fatwa yang
dikelola oleh Kementerian Agama Qatar

Pertanyaan: Saya seorang Muslim yang tinggal diluar negeri dan saya bekerja sebagai
supir taksi dan saya membeli taksi yang baru. Pekerjaan ini adalah satu-satunya
pendapatan untuk keluarga saya. Pertanyaan saya, "Apakah saya harus mendaftarkannya
pada asuransi? Karena saya banyak menggunakannya dan saya khawatir akan
kecelakaan, dan biaya perbaikan di negara ini sangatlah mahal sehingga saya tidak
dapat membayar untuk perbaikan mobil melainkan untuk membayar sewa rumah dan
kehidupan keluarga saya, saya mengetahui dari beberapa teman tentang adanya asuransi
tingkat tiga, yaitu perusahaan asuransi membayar untuk mobil korban tetapi bukan
untuk saya jika terjadi tabrakan atau kerusakan yang tidak disengaja, apakah
hukumnya? Semoga Allah memberikan pahala kepada anda, apakah saya harus
mendaftarkannya kedalam asuransi?

Jawaban: Sesungguhnya semua jenis asuransi komersional baik untuk perorangan


seperti asuransi kesehatan, jaminan hidup dll, atau untuk kepemilikan sesuatu seperti
kepemilikan mobil atau bisnis maka semuanya haram sebagaimana fatwa Akademi
Fiqih Internasional karena terdapat unsur maisir (Judi), gharar (Jual beli barang yang
tidak pasti) dan memakan harta dengan cara yang bathil.

Jika jenis asuransi yang dimaksud, maka tidak boleh bagi penanya untuk bergabung
dengannya.

2) Fatwa Akademi Fiqih Internasional

Akademi Fiqih Internasional dibawah naungan Organisasi Konferensi Islam dalam


sidang muktamar kedua di Kota Jeddah, Arab Saudi pada tanggal 10-16 Rabiul Akhir
1406 H / 22-28 Desember 1985 M

Setelah pemaparan hasil penelitian tentang asuransi, jenisnya, prinsip-prinsip yang


mendasarinya dan tujuan dari asuransi, maka Akademi Fiqih Internasional memutuskan
bahwasanya:

a. Akad asuransi dengan premi berkala tetap, yang biasa digunakan oleh perusahaan
asuransi komersial, adalah kontrak yang mengandung unsur gharar (Jual beli yang
tidak pasti), oleh karena itu dilarang secara syar'i.
b. Akad asuransi yang menghormati prinsip-prinsip Islam adalah asuransi koperasi
atau At Ta'min At Ta'awuni adalah asuransi berdasarkan gotong royong
c. Menyeru negara-negara Islam untuk membuat yayasan untuk menggerakan
perekonomian umat Islam.
BAB III
KESIMPULAN

Asuraansi dalma hal ini tergantung kita memahaminya seperti apa dan kita mengikuti
pendapat siapa atau tergantung kita mengikuti pendapat dari salah satu ulama. Jika ada
salah satu dari ulama yang menghalalkan praktek asuransi atau menjamin asuransi
tersebut halal hukum nya, kita sebagai orang awam boleh saja langsung mengikuti nya
atau kita bisa menggunakan asuransi tersebut tanpa harus memikirkan halal atau
haramnya praktek tersebut karena sudah ada yang menjamin bahwa asuransi nya itu
halal tetapi jika tidak ada yang menjamin praktek asuransi itu halal maka kita harus teliti
bahwa asuransi itu dikelola dengan cara yang halal atau Syariah atau dengan cara yang
tidak dibenarkan oleh islam contohnya ada praktek riba, judi atau ketidakpastian. Di
Indonesia sendiri sudah ada Fatwa Ulama yang menghalalkan atau memperbolehkan
nya praktek asuransi tersebut dengan Fatwa NO: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang
PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH, jika sudah ada Lembaga atau sudah ada
Ulama yang mengeluarkan Fatwa tersebut maka sudah di jaman kehalalnya praktek
asuransi Syariah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Histories
Teoritis, &Prtaktis.

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah , h.317

Kuat Ismanto, Asuransi Syariah Tinjauan Asas-Asas Hukum Islam (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2009),

Lihat Imam Nawawi , Hadist Arbain al-Nawawiyah (Hadist ke 6).

Anda mungkin juga menyukai