MAKALAH INDIVIDU
Disusun oleh:
Nama : Ikhlasul Amal Mubarok
Nim : 020.021.0161
0
KATA PENGANTAR
Penyusun
Bandung, 29 Maret 2022
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
3
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat saya simpulkan bahwa
tujuannya untuk :
1. Mengetahui dan mendeskripsikan Akad
2. Mengetahui dan mendeskripsikan Gharar
3. Mengetahui dan mendeskripsikan Maisir
4. Mengetahui dan mendeskripsikan Riba
1.4 Manfaat
1. Manfaat Akademis : Dapat mereferensi mengenai Landasan Teori Asuransi
Syariah dan menambahkan pengetahuan dan wawasan mengenai perilaku
konsumen dan juga dapat memberikan informasi.
2. Manfaat Praktis : Manfaat makalah ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran maupun rujukan referensi bagi para pembacanya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Akad
a. Pengertian Akad
Akad berasal dari kata al-'Aqd yang merupakan bentuk masdar dari kata
'Aqada dan jamaknya adalah al-'Uqud yang artinya perjanjian (yang tercatat) atau
kontrak. Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, kata al-'aqd artinya perikatan,
perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq).
Dalam Jual Beli Online Ibnu Taimiyah oleh Ariyadi dijelaskan, akad
menurut bahasa adalah pertalian yang mengikat. Adapun, menurut istilah,
Wahbah Zuhailiy dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Ad'illatuh menerangkan,
akad adalah hubungan atau keterikatan antara ijab dan qabul atas diskursus yang
dibenarkan oleh syara' dan berimplikasi pada hukum tertentu.
Para fuqaha mendefinisikan akad sebagai perikatan antara ijab dan qabul
yang dibenarkan syara', yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak. Ijab
merupakan permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad.
Sedangkan, qabul adalah jawaban dari pihak lain (pihak kedua) setelah adanya
ijab.
b. Rukun Akad
1. Aqid
Aqid yaitu orang yang melakukan akad. Seorang akid haruslah memenuhi
keempat syarat yang telah ditetapkan, di antaranya balig, berakal, kedua belah
pihak cakap berbuat, dan atas kehendaknya (tidak dipaksa).
2. Benda yang menjadi objek akad.
Objek akad harus nyata. Benda tersebut juga bukanlah benda terlarang oleh
syara' dan bukan milik pihak lain.
3. Tujuan dan maksud pokok akad
Dalam akad, harus ada tujuan dan maksud yang jelas. Apakah akad tersebut
untuk jual beli, hibah, atau yang lainnya.
4. Ijab & Qabul
5
Dalam ijab dan qabul ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya
harus terang pengertiannya menurut 'urf (kebiasaan), harus sesuai antara ijab dan
qabul, dan memperhatikan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan
(tidak ragu-ragu).
Adapun, jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad mencakup tiga hal,
yaitu Al-'Aqidain (pihak-pihak yang berakad), Ma'qud 'Alaih (objek akad), dan
Sighat al-'Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri).
2.2 Gharar
a. Pengertian Gharar
Gharar adalah transaksi bisnis yang mengandung ketidakjelasan bagi para
pihak, baik dari segi kuantitas, fisik, kualitas, waktu penyerahan, bahkan objek
transaksinya pun bisa jadi masih bersifat spekulatif. Ketidakpastian ini melanggar
prinsip syariah yang idealnya harus transparan dan memberi keuntungan bagi
kedua belah pihak
Dengan demikian, Islam memandang bahwa gharar adalah hal yang
merugikan para pihak, terutama pembeli. Hal ini karena jika konsumen sudah
membayar terlebih dahulu tanpa melihat objek transaksi, jika ternyata barang
tersebut tidak sesuai kehendaknya, tentu akan menimbulkan sengketa atau
kerugian.
b. Macam-macam Gharar dalam Islam
1. Jual Beli Benda yang Tidak Diserahterimakan
Menurut jenis ini, unsur gharar adalah pada keberadaan objek transaksi.
Meskipun kedua pihak mengetahui wujud benda yang akan diserahkan, namun
pada saat akad dilakukan, penjual tidak sedang membawa barang tersebut.
Selain itu, penjual juga tidak mengetahui kapan ia bisa menyerahkan objek
transaksi kepada pembeli. Contoh gharar jenis ini adalah jual beli motor yang
tidak sedang dikuasai pemiliknya karena dicuri.
2. Jual Beli Benda yang Belum Ada
Contoh jual beli gharar adalah ketika benda yang dijual belum tersedia.
Misalnya, membeli anak sapi di perut tanpa menginginkan induknya juga. Contoh
6
lainnya, menjual burung di angkasa, sedangkan tidak jelas apakah penjual dapat
menangkapnya atau tidak.
Dengan demikian, ada ketidakpastian kemampuan penjual untuk
menyerahkan objek transaksi. Namun jika barang sudah pasti dapat diperoleh,
misalnya jual beli ikan di kolam pribadi dan langsung dilakukan penangkapan,
maka tidak termasuk gharar.
3. Jual Beli Benda yang Tidak Jelas Harganya
Pada jenis ini, unsur gharar adalah pada nominal harga objek transaksi.
Misalnya, hari ini, sepasang sepatu merek X dijual Rp1.5 juta apabila dibayar
lunas. Namun jika Anda membeli besok, harganya naik menjadi Rp1.7 juta per
pasang.
Lain halnya jika Anda membayar dengan sistem angsuran, nominal totalnya
menjadi Rp1.9 juta. Dengan demikian, tidak jelas harga pasti dari satu pasang
sepatu ini karena semuanya tergantung pada cara pembayaran dan kapan transaksi
dilakukan.
4. Jual Beli Benda yang Sifatnya Tidak Jelas
Jenis lain gharar adalah transaksi tanpa kejelasan sifat objek. Contoh yang
dapat Anda jumpai adalah menjual mangga yang masih berada di pohon dengan
klaim bahwa rasa buahnya manis. Padahal, penjual belum memetik dan
mencicipinya.
c. Gharar yang Diperbolehkan
Meskipun gharar adalah hal yang dilarang dalam ekonomi syariah, namun
pada situasi tertentu, Islam tetap memperbolehkannya. Agar lebih jelas, berikut
telah kami uraikan secara singkat mengenai hal ini.
1. Adanya Hajat
Adanya hajat pada gharar artinya terdapat kebutuhan untuk melakukan
transaksi yang mengandung ketidakjelasan karena suatu hal sangat penting.
Contohnya adalah iuran jaminan kesehatan. Meskipun belum pasti pembayar
iuran akan sakit, namun hajat ini merupakan kebutuhan penting di kemudian hari.
2. Gharar dalam Jumlah Sedikit Tetap Diperbolehkan
Penentu kadar “sedikit” ini terletak pada pemakluman para pihak.
Contohnya gharar adalah ketika Anda naik angkutan umum, biasanya ongkos baru
7
diketahui ketika sudah sampai tujuan. Namun hal ini dimaklumi karena tidak
menimbulkan kerugian bagi penumpang.
3. Gharar dalam Akad Tabarru’ Tidak Dilarang
Tabarru’ dapat diartikan sebagai program sosial bertujuan untuk tolong-
menolong. Lantas, apa itu gharar pada akad tabarru’? Contohnya adalah
pemberian sumbangan dalam kotak kardus. Ada ketidakjelasan objek yang
diserahkan, namun penerima tidak merasa dirugikan secara materiil, maka Islam
memperbolehkannya.
4. Gharar Bukan dalam Inti Objek Akad
Gharar jenis ini diperbolehkan karena ketidakjelasan ini hanya terletak pada
pelengkapnya. Contoh yang sering kita temui adalah jual beli pohon berbuah.
Apabila yang menjadi objek transaksi adalah pohon, maka ada atau tidaknya buah
bukan merupakan gharar. Dengan demikian, tergantung pada objek yang Anda
beli.
2.3 Maisir
a. Pengertian Maisir
Maysir adalah jenis transaksi permainan yang di dalamnya terdapat
persyaratan berupa pengambilan sejumlah materi dari pihak yang kalah oleh
pemenangnya. Mudahnya, istilah ini dapat dipahami sebagai judi atau taruhan.
Selain diharamkan, tindakan ini juga termasuk dalam kategori dosa-dosa besar.
Ciri umum transaksi maysir adalah unsur spekulatif, berupa pengumpulan
harta dari semua pemain dengan kesepakatan bahwa pemenang akan mengambil
seluruh atau sebagian harta milik pihak lain yang berpartisipasi sehingga
keuntungan hanya dapat dirasakan satu pihak saja.
8
Para ulama menafsirkan hadits ini sebagai larangan maysir karena setelah
umat muslim mengajak bertaruh, mereka harus memberikan “kafarat” atau
sejumlah denda yang harus ditunaikan karena perbuatan dosa agar tertutup dan
dampak negatifnya tidak menimpa kita di dunia maupun akhirat.
Alasan lain mengapa maysir dilarang adalah karena transaksinya hanya
menguntungkan salah satu pihak, sedangkan yang lainnya akan menderita
kerugian sehingga sifatnya win-lose solution. Hal ini tentu tidak sesuai dengan
prinsip keadilan dan win-win solution dalam ekonomi Islam.
Selain itu, ekonomi dalam kacamata Islam mengedepankan kemakmuran
masyarakat melalui hasil kerja kerasnya sendiri. Sedangkan maysir adalah
transaksi yang didasarkan pada keberuntungan spekulatif dengan risiko kerugian
hingga pada nominal besar.
c. Kriteria Maysir
1. Adanya Taruhan
Taruhan merupakan tindakan yang bergantung pada suatu kondisi tidak
pasti, dengan disertai risiko kerugian bagi salah satu pihak dan keuntungan bagi
pihak pemenang. Misalnya, pertaruhan sejumlah uang supporter dalam permainan
sepak bola.
2. Muqabil
Salah satu unsur maysir adalah adanya muqabil, yakni mempertaruhkan
uang atau harta terhimpun dengan tujuan memakan harta orang lain. Hal ini
berbeda dengan bisnis, karena taruhannya berupa risiko yang disertai adanya kerja
keras untuk mencapai target.
3. Pemenang Mengambil Harta Pihak yang Kalah
Maysir memberikan hak kepada pemenang untuk mengambil harta pihak
yang dikalahkannya. Hal ini tentu menimbulkan kerugian padahal keduanya tidak
saling memberi manfaat satu sama lain.
d. Contoh Maysir
Maysir tak hanya terbatas pada judi atau taruhan, namun juga meliputi
beberapa transaksi yang mengandung unsur-unsur sebagaimana disebutkan di
atas, yakni sebagai berikut,
• Game online dengan konsep taruhan seperti Higgs Domino.
9
• SMS berhadiah dan kuis yang dilakukan melalui telepon, sebagaimana diatur
dalam Fatwa MUI nomor 9 tahun 2008.
• Taruhan dalam bentuk togel dengan skema transaksi pembelian kupon dan
menebak beberapa digit angka.
• Asuransi konvensional juga seringkali dianggap mengandung maysir karena
terdapat spekulasi atas suatu sebab yang belum tentu terjadi di masa depan.
2.4 Riba
a. Pengertian Gharar
Secara bahasa (etimologi), riba dalam bahasa Arab bermakna kelebihan atau
tambahan (az-ziyadah). Kelebihan atau tambahan ini konteksnya umum, yaitu
semua tambahan terhadap pokok utang dan harta. Untuk membedakan riba dengan
10
tambahan keuntungan dari jual beli, pokok utang dan harta (ra’sul mal) ini sendiri
lantas dibagi menjadi dua yaitu: ribhun (laba) dan riba. Ribhun (laba) didapatkan
dari muamalah jual beli yang hukumnya halal.
Sedangkan riba adalah hasil dari adanya syarat tambahan pada kegiatan
utang piutang barang (kredit) yang waktu akhir pelunasannya tidak tentu. Secara
makna istilah (terminologi) riba adalah kelebihan/tambahan dalam pembayaran
utang piutang/jual beli yang disyaratkan sebelumnya oleh salah satu pihak.
Hukum riba Pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2):275, Allah subhanahu wata’ala
berfirman: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 275).
Riba dalam Islam hukumnya haram. Ada banyak efek negatif dari riba yang
dipraktikkan selama ini dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, agama samawi
semuanya melarang praktik riba. Mendapatkan keuntungan dari riba dapat
menghilangkan sikap tolong menolong, memicu permusuhan, dan sangat
menyusahkan apabila pemberi riba menentukan bunga yang sangat tinggi.
Dalam salah satu hadis Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Dari Jabir Ra. ia berkata: “Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam telah melaknat
orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang
memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya,
(dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja.” (HR. Muttafaq
Alaih).
b. Pembagian Riba
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram, serta Islam tidak
memperkenankan hal itu dipraktikkan dalam muamalah. Riba adalah usaha
mencari rezeki yang tidak dibenarkan serta dibenci Allah Subhanahu wata’ala.
Jenis riba yakni: 1.Riba fadli 2.Riba qardi 3.Riba yad 4.Riba nasi’ah
Riba fadli Adalah tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya,
namun tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya. Hal
yang dilarang disini adalah kelebihan (perbedaan) dalam ukuran/takaran.
Riba qardi Adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan
atau tambahan dari orang yang dihutangi. Sabda Rasulullah salallahu ‘alaihi
11
wassalam: “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba”. (HR. Al-
Baihaqi).
Riba yad Adalah jual beli atau pertukaran yang disertai penundaan serah
terima kedua barang yang ditukarkan atau penundaan terhadap penerimaan salah
satu barang. Misalnya jual beli emas, perak dan bahan pangan yang penyerahan
barangnya ditunda sampai harga emas naik atau turun.
Riba Nasi’ah Adalah tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak
sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan
dilambatkan. Misalnya membeli hewan, namun pembayarannya diberi jarak
waktu yang tidak menentu.
Padahal hewan itu harus diberi makan oleh si penjual setiap hari. Rasulullah
salallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dari Samurah bin Jundub Ra. sesungguhnya
Nabi telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (HR.
Lima Ahli Hadis).
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Akad berasal dari kata al-'Aqd yang merupakan bentuk masdar dari kata
'Aqada dan jamaknya adalah al-'Uqud yang artinya perjanjian (yang tercatat) atau
kontrak. Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, kata al-'aqd artinya perikatan,
perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq).
Gharar adalah transaksi bisnis yang mengandung ketidakjelasan bagi para
pihak, baik dari segi kuantitas, fisik, kualitas, waktu penyerahan, bahkan objek
transaksinya pun bisa jadi masih bersifat spekulatif. Ketidakpastian ini melanggar
prinsip syariah yang idealnya harus transparan dan memberi keuntungan bagi
kedua belah pihak
Maysir adalah jenis transaksi permainan yang di dalamnya terdapat
persyaratan berupa pengambilan sejumlah materi dari pihak yang kalah oleh
pemenangnya. Mudahnya, istilah ini dapat dipahami sebagai judi atau taruhan.
Selain diharamkan, tindakan ini juga termasuk dalam kategori dosa-dosa besar.
Secara bahasa (etimologi), riba dalam bahasa Arab bermakna kelebihan atau
tambahan (az-ziyadah). Kelebihan atau tambahan ini konteksnya umum, yaitu
semua tambahan terhadap pokok utang dan harta. Untuk membedakan riba dengan
tambahan keuntungan dari jual beli, pokok utang dan harta (ra’sul mal) ini sendiri
lantas dibagi menjadi dua yaitu: ribhun (laba) dan riba. Ribhun (laba) didapatkan
dari muamalah jual beli yang hukumnya halal.
13
DAFTAR PUSTAKA
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, Jakarta:Rajawali Pers, 2016
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta:Kencana Pranada media grup,2011
Sri Abidah Suryaningsih, “Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah di
Indonesia”, dalam Jurnal Ekonomika-Bisnis Vol. 4 No.1 Bulan Januari
Tahun 2013.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Sapek-Aspek
Hukumnya, Jakarta: Prenadamedia, 2014
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta:Rajawali Pers,2011
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press,2001
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta:Gadjah
Mada University, 2007
Karim Adiwarman, Bank islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2010
Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah: Transformasi Fiqih Muamalah ke
dalam Peraturan Perundang-Undangan, Bandung:
‘
14