Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan, baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Pinsip-prinsip umum muamalah yang mendasari asuransi
syariah’’ sengaja dipilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati agar mengetahui
bagaimana sebenarnya Asuransi Syariah itu bisa berkembang.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya.
Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
1. Kajian Teoretis
a. Pengerti Berbicara ……..............……………………...............................………...5
b. Bentuk-bentuk Keterampilan Berbicara ...................................................................5
3. Berbicara ..................................................................................................................7
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Bercerita ....................................7
5. Cerpen ...........................………………………………….....................…..............8
6. Model Pembelajaran Think Talk Write ………...........................…....…………....9
7. Kelebihan Strategi Pembelajaran Think Talk Write……….................…………..10
2. Penelitian yang Relevan …………………………….……..............…………..........10
3. Kerangka Pikir.............................................................................................................10
4. Hipotesis Tindakan………………………………...…...............................…............11
Kesimpulan
PENDAHULUAN
Hal ini dikarenakan sejumlah fatwa yang di keluarkan oleh lembaga-lembaga otoritas
fikih menyatakan ketidakbolehan sistem asuransi konvensional, karena akadnya mengandung
unsur riba, spekulasi, kecurangan, dan ketidakjelasan. Sementara akad perusahaan asuransi
kolektif islam berlandaskan pada asas saling tolong-menolong dan menyumbang, disamping
konsisten memegang hukum dan prinsip syariat islam dalam keseluruhan aktivitasnya dan
tunduk pada mekanisme pengawasan syari’at. Asuransi kolektif islam juga tidak menjalankan
jasa asuransi dengan orientasi memperoleh keuntungan (profit oriented) dan setiap peserta dalam
asuransi ini menjadi penangggung sekaligus tertanggung. Sehingga dengan demikian, akad-
akadnya pun bersih dari segala syarat poin yang bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip
syariat Islam.
Secara umum asuransi islam atau sering diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan
sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat islam dengan mengacu
kepada Al-Qur’an dan AS-Sunah. Asuransi dalam islam dikenal dengan istilah takaful yang
berarti saling memikul resiko di antara sesama orang, sehingga antara satu dengan yang lainnya
menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar
tolong-menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma
(tabarru’) yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. Untuk tata cara operasional asuransi
sudah ada ketentuan dalam undang-undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2014 dan sudah ada DPS (dewan pengawas syariah) untuk mengawasi kegiatan usaha
asuransi syariah, dan fatwa-fatwa DSN (dewan syariah nasional) sebagai pedoman kegiatan
asuransi syariah terutama dalam penghitungan dana tabarru’ yang harus sesuai dengan fatwa
DSN-MUI dengan No: 12/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum pada asuransi syariah.
3. Besar Kontribusi yang dialokasikan ke dalam dana tabarru’, ujrah, dan dana investasi.
4. Besar, waktu, dan cara pembayaran bagi hasil investasi dalam hal Produk Asuransi
menggunakan akad mudharabah atau mudharabah musyarakah.
5. Alokasi penggunaan surplus underwriting untuk dana tabarru’, dana peserta, dan/atau
dana Perusahaan, dan
6. Pemberian qardh oleh Perusahaan dalam hal dana tabarru’ tidak cukup untuk
membayar manfaat asuransi.
Dewan syariah nasional pada tahun 2001 telah mengeluarkan fatwa mengenai asuransi
syariah. Dalam Fatwa Dewan Syariah No. 21/DSN-MUI/X/2001, Dalam pertanggungan asuransi
hidup (asuransi jiwa). fatwa dewan syariah (DSN) terdapat dua akad dalam asuransi syariah,
yaitu:
1. Akad yang dilakukan antara peserta dan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan/atau
akad tabarru’.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) yakni mudarabah. Adapun akad tabarru’
adalah hibah.
Di asuransi syariah dua macam akad, yaitu akad tijarah (bisnis) dan akad tabarru’.
Demikian juga premi yang terkumpul dari peserta, langsung dipisahkan menjadi dua rekening.
Rekening tabarru’ untuk dana nasabah yang terkumpul yang diniatkan untuk menolong sesama,
dan rekening peserta untuk dana peserta yang terkumpul yang di tujukan untuk investasi.
Sumber dana pembayaran klaim dalam asuransi syariah, di peroleh dari rekening tabarru’
sepenuhnya, yaitu dana tolong menolong dari seluruh peserta, yang sejak awal sudah di akadkan
dengan iklas oleh peserta untuk keperluan saudara-saudaranya apabila ada yang ditakdirkan
Allah meninggal dunia atau mendapat musibah kerugian materi, kecelakaan, dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
3. Apa saja yang termasuk prinsip-prinsip umum muamalah yang mendasari asuransi syariah?
4. Apa perbedaan system yang paling mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi
konvensional ?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penyusun makalah ini, yaitu:
PEMBAHASAN
1. Pengertian Asuransi Syariah
Definisi Asuransi syariah menurut Dewan Syariah Nasional adalah usaha untuk saling
melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk
aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko/bahaya
tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah adalah usaha saling melindung dan saling menolong diantara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan Syariah. Asuransi Syariah merupakan salah satu sistem ekonomi berbasis
Islam yang bersifat Universal dan berlaku untuk semua kenyakinan dan golongan
masyarakat. Asuransi Syariah tidak mengandung hal-hal seperti ketidakpastian, perjudian,
riba, penganiayaan, suap, barang haram dan maksiat.
Asuransi Syariah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang artinya tolong menolong
atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta’awun prinsip
dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin
kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2, yang artinya : “Dan saling tolong
menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa
dan permusuhan”.
Asuransi yang selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat (non syariah) bukan
merupakan asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqh, karena tidak
termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, dan tidak pula dari kalangan para sahabat
yang membahas hukumnya.
Asuransi syariah merupakan salah satu intrumen transaksi, yang secara sistem
operasional disesuaikan dengan syariah Islam. Sehingga akad, mekanisme pengelolaan dana,
mekanisme operasional perusahaan, budaya perusahaan (shariah corporate culture),
marketing, produk dsb harus sesuai dengan syariah. Namun yang perlu digaris bawahi juga
adalah, bahwa asuransi syariah tidak semata-mata harus menjalankan sistem operasionalnya
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
a. Asuransi konvensional hanya mengenal atau memberlakukan klaim dari pemegang polis,
misalnya kecelakaan, kematian atau hal-hal yang tidak diinginkan dan semua itu sudah tertulis
kesepakatannya dalam akad. Konsekwensinya, jika pemegang polis tidak tertimpa musibah,
semasa akad masih berlangsung, maka pemegang polis tidak dapat mengklaimnya. Sistem ini
mengundang pemegang polis yang nakal dengan menyiasati untuk mendapatkan klaim yang
besar dibanding dana yang telah diasuransikan. Penyiasatan ini mengiring rekayasa tertentu,
seperti upaya pembakaran bahkan membunuh meski tidak dilakukan secara langsung oleh
pemegang polis.Praktek rekayasa tersebut merupakan tindakan kriminal yang berarti melanggar
hukum, bahkan sangat menodai harkat dan martabat manusia. Sebab korban yang menderita,
bukan hanya perusahaan asuransi, tetapi juga anggota masyarakat yang mungkin tidak pernah
berhubungan dengan lembaga asuransi.Sementara, jika jenis produk asuransinya tidak terkait
dengan peristiwa seperti kematian, kebakaran, kecelakaan atau musibah, maka pemegang polis
asuransi konvensional, juga tidak dapat menikmati pengembalian dana kewajibannya selama
belum melewati waktu-waktu yang telah ditentukan. Juga, jika pemegang polis tidak dapat
meneruskan kewajibannya, maka dana yang telah disetorkan menjadi hangus.Prinsip dasar
asuransi konvensional tersebut, jelas berbeda dengan asuransi syari’ah.
b. Prinsip dasar asuransi takaful syari’ah berangkat dari sebuah filosofi bahwa manusia berasal
dari satu keturunan, Adam dan Hawa. Dengan demikian, manusia pada hakikatnya merupakan
keluarga besar. Untuk dapat meraih kehidupan bersama, sesama manusia harus tolong menolong
(ta’awun) dan saling berbuat kebajikan (tabarru) dan saling menanggung (takaful). Prinsip ini
merupakan dasar pijakan bagi kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Dari pijakan filosofis
ini, setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam asuransi syari’ah, yaitu saling bertanggung jawab,
saling bekerja sama dan saling melindungi penderitaan satu sama lain.
c. Asuransi Islam menggariskan keuntungan yang sangat berbeda dengan asuransi konvensional,
yaitu, pemegang polis diposisikan sebagai penabung, maka secara hukum, dana yang
diasuransikan, sama dengan tabungannya juga. Dengan posisinya sebagai tabungan, maka ada
dua keuntungan yang dapat dipetik langsung.
Pertama, dana asuransi Islam bagi masing-masing pemegang polis akan mendapat nilai
tambahan. Nilai tambahan ini bukan bunga, tetapi bagi hasil dari sistem mudharabah
yang merupakan manfaat finansial atas kebijakan kerjasama asuransi syari’ah dengan
bank syari’ah.Dalam hal ini, pihak asuransi syari’ah, menitipkan dana para pemegang
polis sebagai instrumen investasi yang dikelola lembaga keuangan syari’ah, misalnya
Bank syari’ah atau reksa dana syari’ah.Untuk konteks ini premi yang dimaksud adalah
premi tabungan. Sementara dalam sistem Bank Syari’ah terdapat ketentuan bahwa
siapapun yang ikut serta dalam proyek usaha, ia akan mendapatkan bagi hasil atas
keuntungan yang diperoleh dari kerjasama itu. Karena itu para pemegang polis, berhak
menikmati bagian keuntungan yang dicapai Bank Syari’ah. Jika kita telaah penambahan
dana asuransi yang dinikmati para pemegang polis, merupakan buah nyata kebijakan
kemitraan atau kerjasama antara Asuransi Syari’ah dan Bank Syari’’ah. Hal ini
merupakan salah satu keunggulan Asuransi Syari’ah. Dalam hal ini kita dapat bertanya
secara komparatif antara asuransi konvensional dengan asuransi syari’ah. Pernahkah
terjadi dana asuransi bertambah nilainya. Hanya diasuransi syari’ah yang bakal terjadi.
Asuransi lainnya jelas tidak sama sekali.
Kedua, bahwa pemegang polis sewaktu-waktu, karena alasan tertentu tak dapat
melanjutkan hubungan dengan lembaga asuransi syari’ah, sehingga secara sepihak ia
memutuskan hubungan dengan pihak asuransi syari’ah. Pemutusan hubungan ini tidak
menyebabkan dananya hangus. Ia sebagai pemegang polis, berhak dan wajib hukumnya
untuk mendapatkan kembali dana yang diasuransikan. Memang tidak seutuhnya (100%)
dana yang telah diasuransikan itu, akan dikembalikan. Sebab dana pemegang polis akan
dikurangi dana tabarru (dana kebijakan). Dan harus dicatat pula, bahwa pemegang polis
tetap mendapatkan dana tambahan dari bagi hasil premi yang telah disetornya. Meski
terjadi sedikit pengurangan, tapi, pengembalian itu jauh lebih baik dari sistem asuransi
konvensional yang menghanguskan secara total dana pemegang polis. Selanjutnya
penting dicatat, bahwa praktik asurasi Islam terbebas dari praktik-praktik yang
diharamkan.
d. Dalam praktek asuransi kerugian syariah, pengembalian sebagian premi ke nasabah dalam
bentuk surplus sharing sekilas mirip dengan mekanisme dalam asuransi konvensional yang
dikenal dengan istilah No Claim Discount (NCD). Sebagai contoh, seorang pemegang polis
asuransi kendaraan di sebuah perusahaan asuransi konvensional akan mendapatkan discount
pada saat polis tersebut kembali diperpanjang di tahun berikutnya (dengan syarat selama masa
pertanggungan tidak mengajukan klaim). Dari kacamata asuransi syariah, mekanisme discount
seperti ini tentu saja berbeda dengan mudharabah karena NCD hanya diberlakukan apabila si
pemegang polis hendak memperpanjang polisnya. Dalam asuransi syariah, hak mudharabah tetap
dibayarkan kepada peserta meskipun ia tidak memperpanjang polis. Dengan demikian, NCD dan
bagi hasil bisa diterapkan sekaligus di asuransi syariah, namun tidak bagi asuransi konvensional.
Karena jangka waktu pertanggungan untuk produk-produk asuransi kerugian (misalnya asuransi
kebakaran, kendaraan bermotor, kecelakaan diri, dan lain-lain) biasanya berlaku untuk periode
satu tahun maka produk ini tidak mengandung unsur tabungan (non saving) sehingga seluruh
premi yang terkumpul akan dimasukkan ke dalam satu pool/fund untuk kemudian dikelola oleh
perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dari total dana ditambah hasil investasi dan
dikurangi beban-beban asuransi (komisi agen, premi reasuransi, klaim, dan lain-lain), apabila
kemudian terdapat surplus maka surplus tersebut akan dibagihasilkan antara peserta dan
perusahaan dengan nisbah yang sudah ditentukan di awal perjanjian. Jika kita telaah penambahan
dana asuransi yang dinikmati para pemegang polis, merupakan buah nyata kebijakan kemitraan
atau kerjasama antara Asuransi Syari’ah dan Bank Syari’’ah. Hal ini merupakan salah satu
keunggulan Asuransi Syari’ah. Dalam hal ini kita dapat bertanya secara komparatif antara
asuransi konvensional dengan asuransi syari’ah. Pernahkah terjadi dana asuransi bertambah
nilainya. Hanya diasuransi syari’ah yang bakal terjadi. Asuransi lainnya jelas tidak sama sekali.
Bahwa pemegang polis sewaktu-waktu, karena alasan tertentu tak dapat melanjutkan hubungan
dengan lembaga asuransi syari’ah, sehingga secara sepihak ia memutuskan hubungan dengan
pihak asuransi syari’ah. Pemutusan hubungan ini tidak menyebabkan dananya hangus. Ia sebagai
pemegang polis, berhak dan wajib hukumnya untuk mendapatkan kembali dana yang
diasuransikan. Memang tidak seutuhnya (100%) dana yang telah diasuransikan itu, akan
dikembalikan. Sebab dana pemegang polis akan dikurangi dana tabarru (dana kebijakan). Dan
harus dicatat pula, bahwa pemegang polis tetap mendapatkan dana tambahan dari bagi hasil
premi yang telah disetornya. Meski terjadi sedikit pengurangan, tapi, pengembalian itu jauh lebih
baik dari sistem asuransi konvensional yang menghanguskan secara total dana pemegang polis.
Selanjutnya penting dicatat, bahwa praktik asurasi Islam terbebas dari praktik-praktik yang
diharamka
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Asuransi syariah dapat menjadi alterntif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang
menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan
bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah adil bagi mereka. Jadi Syariah
adalah sebuah prinsip atau sistem yang ber-sifat universal dimana dapat dimanfaatkan oleh
siapapun juga yang berminat.
Pertama, prinsip tauhid, yaitu dimana kita meyakini akan kemahaesaan dan
kemahakuasaan Allah SWT didalam mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme
perolehan rizki. Sehingga seluruh aktivitas, termasuk ekonomi, harus dilaksanakan sebagai
bentuk penghambaan kita kepada Allah SWT secara total.
Yang kedua, prinsip keadilan dan keseimbangan, yang menjadi dasar kesejahteraan
manusia. Karena itu, setiap kegiatan ekonomi haruslah senantiasa berada dalam koridor keadilan
dan keseimbangan. Kemudian
Yang ketiga adalah kebebasan. hal ini berarti bahwa setiap manusia memiliki kebebasan
untuk melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang
melarangnya.
Selanjutnya yang keempat adalah pertanggungjwaban. Artinya bahwa manusia harus
memikul seluruh tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani,2001.
Firdaus, NH, Muhammad, dkk., Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, Jakrta:
Renaisan,2005.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001,
hlm. 87.
Ibid., hlm. 88.