Anda di halaman 1dari 28

SISTEM OPERASIONAL LIFE INSURANCE

DALAM MENGELIMINIR GHARAR, MAISIR, DAN RIBA


MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Asuransi Syariah
Dosen Pengampu : Joni Ahmad Mughni. S.E.I., M.E.Sy.

Disusun oleh:
Kelompok 4 kelas A

Alma Hafitri Dinanti 191002008


Zahra Dwi F 191002017
Rayhan Riztianto 191002020

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan
hidayah juga kemudahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Sistem Operasional Life Insurance dalam Mengeliminir Gharar, Maisir, dan Riba”
dengan bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuransi Syariah. Selawat dan
salam selalu tercurah kepada jungjunan kita pendekar agama islam sang rahmatan lil’alamin Nabi
Muhammad SAW, penutup para nabi dan nabi yang telah membawa umat manusia dari jaman
kegelapan ke jaman yang terang benderang seperti sekarang.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini mendapatkan banyak bantuan
dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Joni Ahmad Mughni. S.E.I., M.E.Sy. sebagai dosen pengampu mata kuliah Asuransi
Syariah
2. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Makalah ini bukanlah sebuah karya yang sempurna dikarenakan masih banyak
kekurangan. Baik dalam hal isi ataupun dalam hal sistematika penulisannya. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya ilmiah
ini. Dan juga penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan
para pembaca pada umumnya. Aamiin.

Tasikmalaya, 03 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................................................. 2
BAB II............................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3
A. Akad / kontrak...................................................................................................................... 3
B. Sah nya Akad / Kontrak Asuransi Syariah dan konvensional ............................................. 5
C. Perwujudan Ta’awun dalam Mekanisme Asuransi.............................................................. 8
D. Klaim.................................................................................................................................. 10
E. Reasuransi .......................................................................................................................... 14
F. Upaya Mengeliminir Unsur Maysir, Gharar dan Riba dalam Usaha Asuransi.................. 18
BAB III ......................................................................................................................................... 22
PENUTUP..................................................................................................................................... 22
A. Simpulan ............................................................................................................................ 22
B. Saran .................................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asuransi Syari’ah, sekarang ini semakin berkembang. Sejak diperkenalkan di
Indonesia pada tahun 1994, hingga saat ini jumlah industri asuransi Syari’ah mencapai 39
perusahaan dengan ratusan cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan demikian,
pangsa pasarnya yang masih di bawah lima persen, dipastikan akan terus berkembang di
masa depan.

Defenisi asuransi di Indonesia telah ditetapkan dalam undang-undang Republik


Indonesia Nomor 2 Tahun 1992, tentang : Usaha Perasuransian, asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak tertanggung
dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggatian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung
jawab hukum kepada pehik ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul
dari suatu peristiwa yang tidak pasti.

Menurut Dewan Syari’ah Nasional Ulama Indonesia, defenisi Asuransi Syari’ah


adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak-
pihak dalam bentuk asset atau tabaru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan)sesuai dengan syari’ah.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa asuransi adalah bersifat saling melindungi dan
tolong menolong yang disebut dengan ta’awun, yaitu prinsip hidup saling melindungi dan
saling menolong atas dasar Ukwah Islamiyah antara sesama anggota peserta asuransi
syari’ah dalam menghadapi malapetaka (resiko). Sedangkan premi pada asuransi syari’ah
adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas dana tabungan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Akad?
2. Bagaimana sah nya akad/kontrak asuransi syariah dan konvensional?
3. Bagaimana perwujudan ta’awun dalam mekanisme asuransi?
4. Apa yang dimaksud Klaim dalam asuransi?

1
2

5. Apa yang dimaksud Reasuransi?


6. Bagaimana upaya mengeliminir unsur Maysir, Gharar, dan Riba dalam Usaha
Asuransi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian akad
2. Untuk mengetahui sah nya akad/kontrak asuransi syariah dan konvensional
3. Untuk mengetahui perwujudan ta’awun dalam mekanisme asuransi
4. Untuk mengetahui Klaim dalam asuransi
5. Untuk mengetahui reasuransi
6. Untuk mengetahui upaya mengeliminir unsur Maysir, Gharar, dan Riba dalam Usaha
Asuransi
BAB II

PEMBAHASAN
A. Akad / kontrak
Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian.1 Ditinjau dari Hukum
Islam, Perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan suatu perbuatan yang
sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan
kata lain akad adalah perikatan antara ijab dan Kabul secara yang dibenarkan syara’, yang
menetapkan persetujuan kedua belah pihak.
Sementara itu pengertian akad menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu
perikatan anatara ijab dan Kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yamg menetapkan
akibat-akibat hukum. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang
diinginkan, dan Kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Dalam Islam dikenal dua istilah dalam akad, yaitu rukun akad dan syarat akad.
Rukun dapat dipahami sebagai unsur essensial yang membentuk akad, yang harus selalu
dipenuhi dalam suatu transaksi, terdiri dari:2
1. Subjek Akad
Pihak yang berakad, pihak yang berakad terdiri dari paling sedikit dua orang
yang harus sudah baligh, berakal sehat dan cakap untuk melakukan perbuatan
hukum sendiri.
2. Objek yang diakadkan
Objek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Sesuatu dapat
menjadi objek akad apabila dapat menerima hukum akad dan tidak
mengandung unsur-unsur yang mungkin menimbulkan sengketa kemudian hari
antara pihak-pihak yang bersangkutan. Syarat yang disebut terakhir
mengharuskan objek akad itu telah wujud, jelas dan dapat diserahkan.
3. Akad sighat
Yang dimaksud dengan sighat akad adalah dengan cara bagaimana ijab dan
kabul yang merupakan rukun-rukun akad itu dinyatakan. Sighat akad dapat

1
J.C.T Simorangkir. 1987. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru, hlm. 6
2
Wardah Yuspin. “Penerapan Prinsip Syariah dalam Pelaksanaan akad Murabahah”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10,
No. 1, Maret 2007: 55 - 67

3
4

dilakukan dengan cara lisan, tulisan, isyarat maupun perbuatan yang telah
menjadi kebiasaan dalam ijab dan kabul.
Sementara itu, syarat adalah unsur yang membentuk keabsahan rukun akad.
Jadi sahnya suatu akad sangat bergantung kepada terpenuhi atau tidaknya rukun
dan syarat akad, syarat sahnya perjanjian adalah:
a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya
Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu
bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang
melawan hukum syariah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan
hukum syariah adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban
bagi masing-masing pihak untuk menepati atau melaksanakan perjanjian
tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu merupakan
perbuatan yang melawan hukum (hukum syariah), maka perjanjian yang
diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
b. Terjadinya perjanjian atas dasar saling ridho dan ada pilihan, dalam hal ini
tidak boleh ada unsur paksaan dalam membuat perjanjian tersebut.
Maksudnya perjanjian yang diadakan dan para pihak haruslah
didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing
pihak ridha atau rela akan isi perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain
harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.
Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain, dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak
mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada kehendak
bebas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
c. Isi perjanjian harus jelas dan gambling
Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang
tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan
terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang telah
mereka perjanjikan dikemudian hari.
Dengan demikian pada saat pelaksanaan atau penerapan perjanjian
masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian atau yang mengikatkan
5

diri dalam perjanjian haruslah mempunyai interpretasi yang sama tentang


apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat yang
ditimbulkan oleh perjanjian itu. Hampir sama dengan perjanjian menurut
KUH Perdata, menurut hukum Islam perjanjian juga berdasarkan kata
sepakat, dengan ayarat objek perjanjian haruslah berwujud, hak milik dan
dapat dikenai hukum akad.

B. Sah nya Akad / Kontrak Asuransi Syariah dan konvensional


1. Sahnya akad Asuransi Syariah
Asuransi syariah merupakan praktek tanggung menanggung diantara sesama
peserta. Ketika salah satu peserta mengalami resiko yang dipertanggungkan, maka akan
mendapat klaim yang berasal dari para peserta itu sendiri.
Secara umum, ketika peserta asuransi ikut dalam program perusahaan asuransi
syariah akan di berikan akad, Akad yang diberikan harus sesuai dengan syariah yang tidak
mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah
(suap), barang haram dan maksiat. Dalam Asuransi Syariah terdapat dua jenis akad yaitu :
a. Akad Tijarah
Akad tijarah adalah akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. Bentuk
akadnya menggunakan mudharabah, jenis akad tijarah dapat diubah menjadi
jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan
haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan
kewajibannya.
Akad tijarah ini adalah untuk mengelola uang premi yang telah diberikan
kepada perusahaan asuransi syariah yang berkedudukan sebagai pengelola
(Mudorib), sedangkan nasabahnya berkedudukan sebagai pemilik uang
(shohibul mal). Ketika masa perjanjian habis, maka uang premi yang diakadkan
dengan akad tijaroh akan dikembalikan beserta bagi hasilnya (Fatwa DSN No.
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari'ah).
b. Akad Tabarru’
Akad Tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
6

Kemudian akad dalam akad tabarru adalah akad hibah dan akad tabarru’ tidak
bisa berubah menjadi akad tijaroh.
Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan
perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah (Fatwa DSN No. 21/DSN-
MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari'ah). Akad Tabarru'
adalah Akad hibah dalam bentuk pemberian dana dari satu Peserta kepada Dana
Tabarru' untuk tujuan tolong menolong di antara para Peserta, yang tidak
bersifat clan bukan untuk tujuan komersial.
Menurut fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 53/DSN-MUI/III/2006
Tentang Akad Tabarru’ Pada Asuransi Syari’ah menyatakan, bahwa kedudukan
para Pihak dalam akad tabarru’ adalah ;
1) Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana hibah yang
akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa
musibah.
2) Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana
tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu, dan secara kolektif selaku
penanggung (mu’ammin/mutabarri’)
3) Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar
akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.

Akad Tabarru’ wajib memuat sekurang-kurangnya:

1) kesepakatan para peserta untuk saling tolong menolong (tn'awuni)


2) hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu
3) hak dan kewajiban peserta secara kolektif dalam kelompok
4) cara dan waktu pembayaran kontribusi dan santunan/ kl aim
5) ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kcmbali oleh
peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh peserta
6) ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplus
Underwriting;
7

7) ketentuan lain yang disepakati (Peraturan Menteri Keuangan Nomor


18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar
2. Akad / Kontrak Asuransi Konvensional
Akad dalam asuransi konvensional adalah pihak perusahaan asuransi dengan pihak
peserta asuransi melakukan akad mufawadhah, yaitu masing-masing dari kedua belah
pihak yang berakad di satu pihak lainnya sebagai tertanggung. Pihak penanggung
memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang
telah dijanjikan pembayarannya. Sedangkan tertanggung, memperoleh uang
pertanggungan jika terjadi peristiwa atau bencana sebagai pengganti dari premi-premi
yang dibayarkannya. Sitem kontrak yang dimaksud, mengandung untung-untungan,
yaitu keuntungan yang diperoleh tergantung bila terjadi musibah dan penanggung
mendapat keuntungan bila tidak terjadi musibah dan dipandang sebagai hasil dari
mengambil resiko, bahkan sebagai hasil kerja yang nihil. 3
Dalam suatu kontrak mengharuskan adanya suatu persyaratan tertentu, untuk
mendapatkan suatu keabsahan kontrak tersebut secara yuridis. Maka suatu kontrak
akan dianggap sah apabila sudah memenuhi persyaratan tertentu yang dimaksudkan,
“termasuk asuransi”, sebagaimana yang sudah diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Syarat sahnya kontrak menurut pasal 1320 tersebut adalah sebagai berikut :4
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (adanya kesepakatan kehendak)
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (cakap berbuat)
c. Suatu poko persoalan tertentu (adanya hal tertentu)
d. Suatu sebab yang tidak terlarang (kausa yang halal)

Adapun hal-hal lain yang dapat menyebabkan suatu kontrak itu dianggap tidak sah
dan batal secara hukum, apabila dalam suatu kontrak tersebut keluar (tidak memenuhi)
dari regulasi keabsahan kontrak yang sudah diatur, sebagaimana sudah tertera dalam
KUH Perdata pasal 1320 yang telah disebut di atas.

3
Slamet Heri Winarno, “Analisis Perbandingan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional”. Jurnal Moneter,
Vol. II No. 1 April 2015. Hlm, 177
4
M. Fadhil junery, “Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Iqtishaduna (Ekonomi Kita) hlm, 130
8

C. Perwujudan Ta’awun dalam Mekanisme Asuransi5


1. Konsep Ta’awun di Asuransi
Konsep ini berlandaskan pada pemikiran kerja sama di antara sekelompok orang
untuk membentuk sebuah badan (yayasan) yang semua anggota ikut menanggung
resiko bencana yang terjadi sekaligus kompensasi ganti ruginya melalui pemerataan
kompensasi tersebut di antara mereka sehingga bisa meringankan beban bencana
tersebut bagi orang per orang (Husain Syahatah, 2006).
Akad asuransi kolektif termasuk akad sumbangan (donasi), sebab apa yang
dibayarkan oleh anggota sebagai premi merupakan sumbangan dari anggota tersebut
kepada sesama anggota kelompok asuransi yang sedang ditimpa musibah, bencana atau
kecelakaan.
Lembaga atau yayasan asuransi kolektif ini dipimpin oleh dewan direksi yang
merupakan penghubung di antara anggota kelompok asuransi, sekaligus sebagai wakil
mereka. Dewan direksi memperoleh gaji dari yayasan atas tugas yang dijalankannya
tersebut, namun terkadang mereka juga bekerja secara sukarela.
2. Prinsip-prinsip Pelaksanaan
Asuransi berjalan di atas sejumlah prinsip pokok sebagai berikut ini (Husain
Syahatah, 2006) :
a. Sumbangan
b. Melayani anggota
c. Keanggotaan terbuka
d. Surplus
e. Kepemimpinan dari, oleh dan untuk anggota
3. Jenis-jenis Asuransi
a. Privat Insurance Fund (Dana Asuransi Swadaya)
Kesepakatan sejumlah orang yang bekerja di tempat tertentu atau berafiliasi pada
organisasi ikatan profesi atau keterampilan tertentu agar masing-masing membayar
sejumlah uang sebagai premi asuransi secara periodik. Uang yang terkumpul
disimpan dalam bentuk tabungan oleh bendahara khusus untuk kemudian

5
M. Arif Hakim, “At-Ta’min At-Ta’awuni: Alternati Asuransi dalam Islam” Jurnal Muqtasid Vol. 2 Nomor 2,
Desember 2011, hlm. 231.
9

dibayarkan sebagiannya sebagai santunan atau uang kompensasi kepada anggota


yang terkena musibah atau kecelakaan yang membuatnya tidak bisa bekerja, atau
ketika meninggal dunia maupun ketika memasuki masa pensiun. Surplus dari uang
tabungan ini selanjutnya diinvestasikan untuk kemaslahatan semua pihak.
b. Social Solidarity Fund (Dana Solidaritas Sosial)
Model asuransi ini hampir sama dengan model yang pertama, hanya berbeda dari
segi nama, sistem pembayaran premi yang diniatkan menyumbang dan mekanisme
investasi surplus keuangan yang menggunakan prosedur Islam. Terkadang juga
mempunyai mekanisme pengawasan syariah yang memastikan bahwa semua
aktivitasnya sesuai dengan hukum dan prinsip syariah Islam.
c. Asuransi Hidup Tafakul islami
Asuransi takaful atas hidup secara khusus dan atas orang secara umum merupakan
salah satu jenis asuransi Islami. Dengan demikian statusnya sama seperti status
asuransi orang atau asuransi kerugian menurut istilah sebagian pihak. Karena itu,
asas dan syarat asuransi Islami harus terpenuhi dalam asuransi jenis ini.
4. Rambu-rambu Syariah bagi Sistem Asuransi
Agar sistem asuransi kolektif berjalan sesuai dengan prinsip dan hukum syariah
Islam, maka harus berpegang pada rambu-rambu sebagai berikut (Husain Syahatah,
2006) :
a. Pembayaran sistem premi asuransi ini harus dilandasi niat menyumbang (tabarru’)
secara sukarela, bukan dengan niat ingin memperoleh kompensasi atau santunan
ganti rugi.
b. Surplus keuangan harus diinvestasikan sesuai syariah, jauh dari segala bentuk riba
dan kekejian.
c. Pembelanjaan dana asuransi harus dilakukan dengan bijak dan rasional, jauh dari
segala bentuk pemborosan, hedonisme dan tabdzir.
d. Keuntungan yang diperoleh dari kelebihan aktiva asuransi harus dibagikan kepada
para anggota dengan prinsip keadilan dan kebenaran sesuai dengan AD-ART.
e. Kondisi sosial orang yang memperoleh santunan atau ganti rugi harus dijadikan
sebagai pertimbangan utama.
10

D. Klaim
1. Pengertian Klaim dan Klaim Asuransi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian klaim adalah tuntutan
pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau mempunyai) atas
sesuatu, dan klaim merupakan pernyataan tentang pernyataan suatu fakta atau
kebenaran sesuatu6

Klaim asuransi adalah sebuah permintaan resmi kepada perusahaan asuransi, untuk
meminta pembayaran berdasarkan ketentuan polis asuransi. Klaim asuransi yang
diajukan akan ditinjau oleh perusahaan untuk validitasnya dan kemudian dibayarkan
kepada pihak tertanggung setelah disetujui. Klaim dalam umum asuransi syariah adalah
kegiatan memberi santunan kepada peserta yang sedang mengalami musibah.7

2. Tujuan Klaim
a. Pengalihan Risiko
Tujuan klaim asuransi ini merupakan yang paling utama dan penting. Pengalihan
risiko berarti pihak tertanggung menyadari adanya ancaman bahaya dalam jangka
pendek atau panjang terhadap jiwa maupun harta kekayaannya. Bila ancaman itu
menjadi kenyataan, kamu akan menderita kerugian dan akan merasakan beban
risiko yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
b. Pembayaran Santunan
Asuransi juga berguna untuk membayar santunan bagi nasabah misalnya pada
asuransi jiwa. Asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian antara nasabah
dengan pihak asuransi. Selain itu undang-undang juga mengatur asuransi yang
memiliki sifat wajib misalnya BPJS kesehatan. Asuransi sosial ini bertujuan
melindungi masyarakat dari ancaman kesehatan yang bisa mengakibatkan kematian
dan lainnya.
c. Prosedur Pengajuan Klaim8
1) Pemberitahuan Klaim

6
Klaim (Def.1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online). Diakses Melalui https://kbbi.web.id/klaim, pada
tanggal 7 September 2021 pukul 20:23
7
Novi Puspitasari, Manajement Asuransi Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2015), hal 196.
8
Muhammad Syakir Sulla, Asuransi Syariah Life and General Konsep dan Operasional (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), 261-262
11

Tertanggung atau pihak yang mewakilinya segera melaporkan kepada


penanggung. Laporan lisan harus dipertegas dengan laporan tertulis. Pada tahap
awal ini tertanggung akan mendapat petunjuk lebih lanjut mengenai apa yang
harus dilakukan oleh tertanggung, dan dokumen apa saja yang harus dilengkapi
oleh tertanggung.
2) Bukti Klaim Kerugian
Peserta yang mendapat musibah diminta menyediakan fakta-fakta yang utuh
dan bukti-bukti kerugian. Tujuan ini sangat penting bagi peserta yang mendapat
musibah untuk menyerahkan klaim tertulis dengan melengkapi lembaran klaim
standar yang dirancang untuk masing-masing class of bussines (CUB), yang
digunakan untuk melengkapi dokumen-dokumen yang diajukan sebagaimana
yang syaratkan secara standar dalam industri asuransi di Indonesia.
3) Penyelidikan
Setelah laporan yang dilampiri dengan laporan diterima oleh perusahaan,
dilakukan analisa administrasi. Apabila tahap ini telah dilalui, perusahaan akan
memutuskan untuk segera melakukan survei kelapangan atau menunjukan
independent adjuster, jika hal itu diperlakukan, serta menilai besarnya kerugian
yang terjadi. Laporan dari survei atau adjuster akan dijadikan dasar apakah
klaim dijamin oleh polis atau tidak. Jika klaim ditolak, penanggung akan segera
menyampaikan surat penolakan atas klaim yang dilakukan tertanggung
Sebaliknya, jika klaim secara teknis dijamin polis, penanggung akan segera
menghubungi tertanggung mengenai kesepakatan bentuk dan nilai penggantian
yang akan diberikan kepada tertanggung. Semua korespondasi akan dilakukan
secara tertulis antara penanggung dan tertanggung.
4) Penyelesaian Klaim
Setelah terjadinya kesepakatan mengenai jumlah penggantian sesuai peraturan
perundangan yang berlaku, diisyaratkan bahwa pembayaran klaim tidak boleh
lebih dari 30 hari sejak terjadi kesepakatan tersebut. Dalam hal penanggung
setuju menyerahkan perbaikan kepada tertanggung, misalnya pemilihan
bengkel dilakukan atas kehendak tertanggung, maka pembayaran kepada
perusahaan asuransi syariah.
12

d. Penyebab Klaim Asuransi Ditolak9


Penyebab Klaim Asuransi Ditolak - Saat terjadi suatu musibah atau kejadian yang
tidak terduga, nasabah asuransi (tertanggung) pasti sangat berharap bisa
memperoleh haknya sesuai polis dengan mengajukan klaim. Namun ada kalanya
pihak asuransi menolak klaim dari jenis asuransi tersebut.
Ada beberapa faktor penyebab klaim anda ditolak, antara lain :
1) Kesalahan nasabah saat mengisi proposal permintaan asuransi pendidikan atau
asuransi lain.
2) Musibah atau resiko yang dialami nasabah tidak dijamin atau disebutkan dalam
polis.
3) Karena nasabah belum melakukan kewajibannya pada perusahaan asuransi ,
contohnya :membayar premi tepat waktu.
4) Klaim terjadi di luar periode polis sebelum masa pertanggungan mulai, atau
sesudah masa pertanggungan berakhir.
5) Nasabah terlambat melaporkan klaim ke perusahaan asuransi.
6) Nasabah tidak bisa membuktikan kerugian ataupun tidak menunjukkan barang
bukti.
7) Perusahaan asuransi terbaik tidak diberi kesempatan untuk melakukan survey
atau investigasi sebelum memutuskan pembayaran klaim.
e. Perbedaan Klaim dalam Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Klaim dalam Asuransi Klaim dalam Asuransi
Syariah Konvensional
Sistem Pencairan Pencairan dana Sedangkan sistem
tabungan bersama akan pencairan pada asuransi
dilakukan untuk konvensional akan
membayar klaim menanggung klaim dari
nasabah. Polis bisa dana perusahaan sesuai
diatasnamakan per dengan polis yang

9
Sri Handayani, “Pengaruh Penyelesaian Klaim Asuransi Terhadap Pencapaian Target Penjualan Produk Asuransi
AJB BUMIPUTERA 1912 Cabang Bengkulu,” jurnal ekonomi review, hal 80, diakses melalui
https://jurnal.unived.ac.id/index.php/er/article/view/332 pada tanggal 8 September 2021 pukul 08:15
13

keluarga inti seperti berlaku. Polis yang


ayah, ibu, dan anak. bersifat individu hanya
Seluruh keluarga bisa bisa diatasnamakan oleh
mendapatkan satu orang saja, kecuali
perlindungan rawat inap manfaat polis tertentu
rumah sakit dan akan yang memiliki fasilitas
dibayarkan dalam keluarga.
sistem cashless atas
semua tagihan yang ada
tanpa menutup
kemungkinan double
klaim terhadap asuransi
lain
Pemegang Polis pemegang polis bisa pada asuransi
didaftarkan untuk satu konvensional,
keluarga dan akan pemegang polis hanya
mendapatkan manfaat diperbolehkan satu
sekaligus orang saja.

Manfaat Double Asuransi Syariah Pada asuransi


Claim memberikan manfaat konvensional, tidak ada
double claim untuk para double claim namun
pesertanya dan diganti dengan
keluarga. Jadi peserta koordinasi manfaat.
bisa memanfaatkan
perlindungan rawat inap
di rumah sakit untuk
semua anggota
keluarga. Satu polis bisa
digunakan untuk satu
keluarga dengan
14

menggunakan kartu.
Hal ini akan membuat
premi lebih murah
dibandingkan dengan
asuransi konvensional
yang mengharuskan
satu polis untuk satu
orang saja. Pada
asuransi syariah juga
bekerja sama dengan
BPJS untuk melakukan
double claim. Namun
manfaat double claim
ini hanya berlaku pada
beberapa asuransi
syariah tertentu saja
sehingga para peserta
harus teliti dalam
mencari asuransi
syariah yang
memberikan manfaat
double claim.

E. Reasuransi
1. Pengertian Reasuransi
Reasuransi pada prinsipnya adalah pertanggungan ulang atau pertanggungan yang
diasuransikan atau sering disebut asuransi dari asuransi. Reasuransi merupakan suatu
sistim penyebaran risiko di mana penanggung menyebarkan seluruh atau sebagian dari
pertanggungan yang ditutupnya kepada penanggung yang lain. Pihak yang
menyerahkan pertanggungan disebut ceding company sedangkan pihak yang menerima
pertanggungan disebut reinsurer (reinsurader). Perusahaan reasuransi adalah
15

perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang
dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa.
2. Manfaat Reasuransi
Ada dua alasan mengapa muncul kebutuhan perusahaan reasuransi. Pertama,
perusahaan asuransi menanggung risiko klaim yang besar sehingga harus mengalihkan
sebagian risiko tersebut. Umumnya, hal ini terjadi ketika perusahaan asuransi merasa
nilai yang ia tanggung, salah satunya uang pertanggungan, jauh lebih besar daripada
premi yang mereka kelola. Sebagai badan usaha, perusahaan asuransi ingin melindungi
kestabilan keuangan dan pendapatannya. Di sinilah peran reasuradur untuk
meminimalisasi risiko kerugian tersebut. Kedua, setiap perusahaan asuransi pasti
memiliki kas cadangan klaim yang harus tersedia, takut-takut nasabahnya bakal
mengajukan klaim dalam waktu dekat. Fungsi perusahaan reasuransi adalah membantu
pengelolaan kas tersebut jadi lebih “longgar”, sehingga kuota untuk penerbitan produk
asuransi yang baru juga lebih besar.10
3. Bentuk-bentuk Reasuransi
a. Reasuransi Proposional
Reasuransi proporsional adalah bentuk reasuransi di mana pembagian saham atau
share premi dan beban klaim perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi selalu
dalam proporsi sama. Bentuk ini digunakan dalam reasuransi yang menggunakan
metode facultative, quota share, surplus dalam treaty reinsurance, dan facultative
obligatory.
b. Reasuransi Non-Proposional
Adalah bentuk reasuransi di mana pembagian saham atau share premi dan beban
klaim untuk perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi tidak dalam proporsi
sama. Perusahaan asuransi akan menanggung sendiri kerugian dari beban klaim
yang menjadi tanggung jawabnya kepada tertanggung dalam bentuk first loss
insurance hingga batas jumlah tertentu yang telah disepakati. Nantinya perusahaan
reasuransi hanya akan ikut menanggung beban klaim jika jumlah klaim melebihi
batas seperti dalam perjanjian. Bentuk reasuransi non-proporsional digunakan

10
Dr. Andy Soemitra M.A, “Asuransi Syariah”, (Medan : Wal Ashri Publishing, 2014), 60-61, diakses melalui
http://repository.uinsu.ac.id diakses pada tanggal 8 September 2021 pukul 9:29
16

dalam reasuransi yang menggunakan metode excess of loss dalam treaty


reinsurance.
4. Metode Asuransi
a. Treaty
Treaty adalah perjanjian tertulis antara perusahaan asuransi dengan perusahaan
reasuransi. Treaty umumnya dibuat untuk suatu portfolio bisnis tertentu selama
periode 12 bulan atau tahunan. Treaty Reasuransi dibagi menjadi Treaty
Proporsional dan Treaty Non-Proporsional. Treaty Proporsional ada dua, yaitu
Quota Share yang pembagian saham atau share risiko dalam presentase tetap.
Surplus Treaty, reasuransi di mana perusahaan reasuransi menanggung kelebihan
risiko atas risiko sendiri atau own retension dari perusahaan asuransi.
Sedangkan Treaty Non-Proporsional ada :
1) Excess of Loss, di mana perusahaan reasuransi hanya akan terlibat dalam suatu
kerugian jika jumlah kerugian melebihi jumlah yang ditahan (net retention)
perusahaan asuransi. Maksimum tanggung jawab perusahaan reasuransi
dibatasi sampai jumlah tertentu yang disebut Cover Limit. Berdasarkan jaminan
yang diberikan, excess of loss dibagi menjadi dua jenis yaitu, pertama, Working
Excess of Loss atau Risk Excess of Loss, yaitu reasuransi menjamin kerugian
yang bersifat individual atas setiap risiko. Kedua, Catastrophe Excess of Loss
atau Event Excess of Loss, yaitu reasuransi menjamin kerugian yang bersifat
katastropik, seperti bencana alam gempa bumi.
2) Stop Loss atau Excess of Loss Ratio, yaitu jenis reasuransi di mana dasar
penetapan tanggung jawab perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
dinyatakan dalam bentuk persentase perbandingan antara pendapatan premi
dengan klaim (loss ratio).
3) Aggregate Excess of Loss, yaitu jenis reasuransi di mana hanya perusahaan
asuransi yang menentukan besarnya jumlah seluruh kerugian (aggregate net
retention) selama satu tahun tertentu yang disebut underlying retention.
b. Fakulatif
Fakulatif adalah suatu perjanjian reasuransi antara perusahaan asuransi untuk bebas
menentukan apakah akan mereasuransikan risiko yang ditanggungnya atau tidak.
17

Dalam bentuk ini perusahaan reasuransi juga bebas menentukan apakah akan
menerima atau menolak risiko yang direasuransikan oleh perusahaan asuransi.
Dalam fakultatif, risiko yang akan direasuransikan ditawarkan secara individual
(kasus per kasus) kepada perusahaan reasuransi dengan menyampaikan seluruh
fakta-fakta penting (material fact) mengenai risiko tersebut, syarat dan kondisi
pertanggungan, jumlah retensi perusahaan asuransi terkait, suku premi yang
berlaku, dan hal lain yang menurut perusahaan asuransi terkait perlu untuk
disampaikan.
c. Fakulative Obligatory
Facultative Obligatory, yaitu perjanjian reasuransi di mana perusahaan asuransi
bebas menentukan apakah akan mereasuransikan risiko yang ditanggungnya atau
tidak, dan jika direasuransikan maka perusahaan reasuransi wajib menerima bagian
risiko yang direasuransikan kepadanya selama hal tersebut memenuhi syarat dan
ketentuan yang telah disekapati.
d. Pool
Pool merupakan perjanjian reasuransi di mana beberapa perusahaan asuransi atau
perusahaan reasuransi yang menjadi anggotanya, masing-masing memiliki saham
atau share dengan jumlah persentase tertentu, baik terkait perhitungan premi yang
akan diterima maupun klaim yang harus dibayarkan. Pada umumnya, pool dibentuk
untuk menanggung risiko-risiko yang sangat berbahaya di mana seluruh anggota
wajib mereasuransikan risiko tersebut 100% kepada pool. Keuntungan bisnis pool
akan dibagikan kepada para anggota pool secara proporsional. Contoh pool untuk
risiko pasar adalah konsorsium.
5. Perbedaan Asuransi dengan Reasuransi
Meskipun sama-sama menanggung sebuah resiko untuk hal yang diasuransikan,
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi jauh berbeda. Ada banyak hal yang
harus dilakukan perusahaan asuransi, ternyata tak perlu dilakukan oleh reasuransi.
Berikut ini adalah perbandingan utama dari keduanya.
a. Hubungan dengan tertanggung
Seorang tertanggung tidak memiliki jalur komunikasi sama sekali dengan
reasuradur. Semua hal terkait perjanjian premi diselesaikan langsung dengan pihak
18

asuransi (penanggung). Maka bila nantinya ada klaim yang harus diminta,
tertanggung hanya berhubungan dengan pihak asuransi saja. Tertanggung tidak
berhak menagih apapun pada reasuradur. Sementara itu, asuransi punya kewajiban
untuk berhubungan secara langsung dengan para tertanggung. Meskipun memiliki
kerjasama dengan reasuransi, penanggung tak punya kewajiban apapun untuk
menjelaskan pasal kerjasama yang mereka miliki kepada tertanggung. Tertanggung
hanya mengetahui terkait paket premi dan cara klaimnya saja.
b. Terkait Premi
Sebuah perusahaan asuransi biasanya menyediakan banyak sekali pilihan dalam
sebuah paket premi. Ini memudahkan tertanggung atau nasabah untuk membeli
premi yang sesuai, tanpa banyak pengecualian ini dan itu. Secara umum,
tertanggung memerlukan sebuah kemudahan dan kepraktisan dari pembelian premi
tersebut. Sementara itu, reasuransi bisa saja tak menanggung semua sesi dalam
sebuah premi. Berdasarkan perjanjian antara asuransi dan reasuransi, reasuradur
mungkin saja hanya akan menanggung nominal satu sesi, atau satu sesi dalam
kondisi tertentu saja.
c. Branding dan Periklanan
Karena tak berhubungan dengan tertanggung sama sekali, seringkali reasuradur
lebih banyak bekerja tanpa periklanan. Lembaga keuangan ini tidak perlu
memasang iklan apapun untuk menarik nasabah, karena itu adalah tugas
perusahaan asuransi. Asuradur biasanya lebih mengutamakan jaringan dan reputasi
untuk menyokong bisnisnya.11

F. Upaya Mengeliminir Unsur Maysir, Gharar dan Riba dalam Usaha Asuransi12
1. Mengeliminir Maysir
Maysir (gambling), artinya ada salah satu pihak yang untung tapi di lain pihak
justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila
selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka

11
Nurul Ichsan Hasan, “Pengantar Asuransi Syariah”, (Jakarta : Gaung Persada Press Group, 2014), hlm 32-33,
diakses melalui https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42736/1/NURUL%20ICHSAN-FEB.pdf
pada tanggal 8 September 2021 pukul 07:35
12
Aisyaturridho, 2014. “Adakah dimensi Maysir, Gharar, dan Riba dalam Asuransi Syariah?”, Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
19

peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan
keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota (jumlah premi
yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar.
Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah
selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali
dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru.
Dato’ Fadzli Yusof mengatakan bahwa terjadinya unsur maysir sebagai lanjutan
dari pada terdapatnya unsur gharar pada asuransi konvensional. Keuntungan dari
asuransi juga dilihat sebagai hasil yang mengandung unsur perjudian karena
keuntungan sangat tergantung dari pengalaman penanggung (underwriting
experience). Sehingga untung dan rugi suatu perusahaan tergantung kepada nasib. Hal
ini mengandung gharar, karena itu termasuk judi.
Masalah syariah di atas dapat selesai dengan benarnya akad. Asuransi syariah telah
mengubah akadnya dan membagi dana peserta ke dalam dua rekening (pada produk
life yang mengandung unsur tabungan). Karena rekening khusus yang menampung
dana tabarru’ yang ada tidak bercampur dengan rekening peserta, maka reversing
period di asuransi syariah terjadi sejak awal. Kapan saja peserta dapat mengambil
uangnya (karena pada hakikatnya itu adalah uang mereka sendiri), dan nilai tunai sudah
ada sejak awal tahun pertama ia masuk. Karena itu tidak ada maysir, tidak ada gambling
karena tidak ada pihak yang dirugikan.
2. Mengeliminir Gharar
Gharar (uncertainty) atau ketidak pastian ada dua bentuk: Pertama, bentuk akad
syariah yang melandasi penutupan polis. Secara konvensional, kontrak atau perjanjian
dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran;
yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiyah
dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima.
Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima
(sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan
(sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan
meninggal, dalam konsep syariah keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan
adalah akad takafuli atau tolong menolong dan saling menjamin di mana semua peserta
20

asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya. Kedua, sumber dana
pembayaran klaim dan keabsahan shar‘i penerima uang klaim itu sendiri. Dalam
konsep asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan
yang diberikan perusahaan asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran
klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi sejak
awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan satu lagi dimasukkan ke
rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu
saudaranya yang lain. Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful diambil dari
dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dana sedekah yang diberikan oleh para
peserta.
Dalam konsep asuransi syariah, semua peserta asuransi menjadi penolong dan
penjamin satu sama lainnya. Sehingga jika peserta (A) meninggal, peserta (B), (C), dan
(Z) harus membantunya, demikian sebaliknya.
Dalam hal ini yang menjadi masalah adalah bagaimana jika tuan (A) mengambil
paket asuransi sepuluh tahun dengan besar uang pertanggungan misalnya sepuluh juta.
Apabila pada tahun keempat tuan (A) berpulang ke rahmatullah dan baru bayar premi
empat juta, maka ahli warisnya mendapat jumlah penuh sepuluh juta. pertanyaan yang
muncul, dari mana sisa enam juta diperoleh. uang enam juta inilah oleh para ulama
disebut gharar.
Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk
ke rekening pemegang polis (peserta) dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus
peserta yang telah diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain
jika ada yang mendapat musibah. Dengan demikian, dari rekening khusus inilah sisa
enam juta di atas tadi diambil, dan semua peserta sejak awal masuk sudah ikhlas untuk
memberikan derma.
3. Mengeliminir Riba
Unsur riba (usury) tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional
melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas
dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan
prinsip bagi hasil, terutama mudarabah dan musharakah.
21

Hal senada juga dikatakan bahwa pada asuransi syariah, masalah riba dieliminir
dengan konsep mudarabah (bagi hasil) seluruh bagian dari proses operasional asuransi
yang di dalamnya menganut sistem riba, digantikannya dengan akad mudarabah atau
akad lainnya yang dibenarkan secara shar‘i, baik dalam penentuan bunga teknik,
investasi, maupun penempatan dana dari pihak ketiga, semua menggunakan instrument
akad shar‘i yang bebas dari riba.
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Asuransi syariah merupakan praktek tanggung menanggung diantara sesama peserta.
Ketika salah satu peserta mengalami resiko yang dipertanggungkan, maka akan mendapat
klaim yang berasal dari para peserta itu sendiri. Secara umum, ketika peserta asuransi ikut
dalam program perusahaan asuransi syariah akan di berikan akad, Akad yang diberikan
harus sesuai dengan syariah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian),
riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. Dalam Asuransi
Syariah terdapat dua jenis akad yaitu :
1. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
2. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan
dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

Akad dalam asuransi konvensional adalah pihak perusahaan asuransi dengan pihak
peserta asuransi melakukan akad mufawadhah, yaitu masing-masing dari kedua belah
pihak yang berakad di satu pihak lainnya sebagai tertanggung. Pihak penanggung
memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang telah
dijanjikan pembayarannya. Sedangkan tertanggung, memperoleh uang pertanggungan jika
terjadi peristiwa atau bencana sebagai pengganti dari premi-premi yang dibayarkannya.
Sitem kontrak yang dimaksud, mengandung untung-untungan,

Dalam sistem operasional asuransi syariah untuk mengeliminir gharar dan maisir dapat
dilakukan akad takafuli (tolong menolong dan saling menjamin) dengan cara mengubah
akadnya dan membagi dana peserta kedua rekening sedangkan riba dapat dielimir dengan
konsep mudharobah (bagi hasil).

Pengelolaan dana melalui asuransi syariah diyakini dapat terhindar dari unsur yang
diharamkan Islam yaittu riba, gharar (ketidakjelasan dana) dan Maisir (judi). Untuk itu
perusahaan asuransi syariah memegang amanah dalam menginvestasikan dana nasabah
sesuai prinsip syariah. Sesuai akadnya, mudharabah, yaitu akad kerja sama dimana peserta

22
23

menyediakan 100% modal, dan dikelola oleh perusahaan asuransi, dengan menentukan
kontrak bagi hasil.

B. Saran
Demikianlah makalah kami susun, jika terdapat kesalahan dalam makalah kami,
kami meminta maaf. Dan kami akan selalu menunggu kritik dan saran dari pembaca guna
perbaikan makalah kami selanjutnya, atas kritik dan saran pembaca kami mengucapkan
terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyaturridho. 2014. “Adakah dimensi Maysir, Gharar, dan Riba dalam Asuransi
Syariah?” Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Hakim, M. Arif. 2011. “At-Ta’min At-Ta’awuni: Alternati Asuransi dalam Islam” Jurnal
Muqtasid Vol. 2 Nomor 2.

Handayani, Sri. “Pengaruh Penyelesaian Klaim Asuransi Terhadap Pencapaian Target


Penjualan Produk Asuransi AJB BUMIPUTERA 1912 Cabang Bengkulu”. jurnal
ekonomi review.

Hasan, Nurul Ichsan. 2014. Pengantar Asuransi Syariah. Jakarta : Gaung Persada Press
Group.

Klaim (Def.1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online).

Soemitra, Andy. 2014. Asuransi Syariah. Medan : Wal Ashri Publishing.

Simorangkir, J.C.T. 1987. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru.

Sulla, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah Life and General Konsep dan
Operasional. Jakarta: Gema Insani Press.

Junery, M. Fadhil. “Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Iqtishaduna


(Ekonomi Kita).

Puspitasari, Novi. 2015. Manajement Asuransi Syariah. Yogyakarta: UII Press


Winarno, Slamet Heri. 2015. “Analisis Perbandingan Asuransi Syariah dan Asuransi
Konvensional”. Jurnal Moneter, Vol. II No. 1

Yuspin, Wardah. 2007. ““Penerapan Prinsip Syariah dalam Pelaksanaan akad


Murabahah”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 1

24
25

Anda mungkin juga menyukai