1
HR. Al-Bukhori dan Muslim dari Abu Hurirah r.a (lihat at-talkhish al-habiir, hlm. 355; Al-Ilmaam
karya Ibnu Daqiq Al-Id, hlm. 518; Nail Al-Authar, juz 7, hlm. 252
2
Al-badaai, juz 17, hlm 10
tambahan lain yang berbentuk hukuman moral, yaitu kesaksian orang tersebut tidak
dapat diterima lagi selain dia dianggap sebagai orang yang fasik. Sejak dia
melakukan qadzf, maka kesaksiannya selamanya tidak akan dapat diterima sampai
dia mau bertobat menurut pendapat hanafiyah.
3
Wahbah Zuhailu. fiqih Islam Waadillatuhu Jilid 7. Daarul Fikri. 2011. Hlm. 346
3. SYARAT-SYARAT WAJIBNYA HUKUMAN HADD QADZAF
Ulama hanafiyah menetapkan enam syarat supaya hukuman hadd qadzf
dijatuhkan terhadap seseorang. Di antara syarat-syarat itu sebagiannya ada yang
berhubungan dengan qaadzif (pelaku, orang yang menudduh zina), sebagiannya
lagi berhubungan dengan maqdzuuf (orang yang dituduh), sebagian yang lain
berhubungan dengan keduanya, sebagiannya lagi berhugan dengan kaliamt yang
digunakan, sebagiannya yang laain berhu\bungan dengan lokasi tuduuhan dan
sebagian yang lain berhungan dengan qadzf itu sendiri.
a. Syarat-syarat qaadzif (penuduh)
1. Berakal.
2. Baligh.
3. Ia tidak dapat mendatangkan empat orang sanksi.
4. Orang yang menuduh haruslah orang yang berkewajiban mematuhi hukum-
hukum syariat, bukan seorang kafir harbi.
5. Harus atas kehendak dan keinginan diri.
6. Orang yang dituduh tidak memberikan izin kepada orang yang menufuh
untuk menuduh dirinya, maka si penuduh itu tidak dikenai hukuman hadd
karena adanya syubhat.
b. Syarat-syarat maqdzuuf (orang yang dituduh berzina)
1. Orang yang dituduh harus berstatus muhshan, baik laki-laki maupun
perempuan. (syarat-syarat status muhshan dalam kasus qadzf ada lima yaitu,
berakal, baligh, merdeka, islam, dan iffah (menjaga diri) dari berziba).
2. Pihak yang dituduh jelas siapa orangnya.
c. Syarat-syarat bersama kedua belah pihak, penuduh, dan tertuduh.
Sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa disyaratkan penuduh
bukanlah ayah tertudh, tidak pula kakeknya dan seterusnya ke atas, penuduh bukan
pula neneknya begitu seterusnya ke atas.
Jika penuduh adalah aayah tertuduh, atau kakeknya dan seterusnya ke atas,
atau ibunya, atau neneknya terus yike atas, maka tidak ada hukuman hadd qadzf
disini. Karena adanya perintah syariat yang menuntut agar berbuat baik kepada
mereka. Sementara, jika di sini hukuman hadd tetap ditegakkan kepda mereka, itu
berarti sebuah bentuk tindakan meninggalkan penghormatan dan pemuliaan kepada
orang tua yang diwajibkan oleh agama.4
d. Syarat-syarat kalimat tuduhan
Kaliamat qadfz disyaratkan harus berbentuk kalimat tuduhan perzinahan
dengan menggunakan bahasa yang jelas. Atau dengan menggunakan bahasa yang
diposisikan sama, seperti bahasa yang jelas.
e. Syarat-syarat tempat terjadinyaa qadzfh
Disyaratkan bahwa tuduhan harus terjadi di daarul adl (kawasan negeri
islam) jika tuduhan terjadi di daarul harb (kawasan negeri musuh) atau di daruul
baghyi (kawasan yang dikuasai pemberontak), maka hukuman hadd qadzf tidak
dapat dilaksanakan kepda penuduh.
f. Syarat-syarat qadzf itu sendiri
Kalimat qadzf sendiri harus berbentuk mutlak tanpa disertai dengan suatu
syarat dan tidak pula disandarkan kepada waktu yang akan datang. Kesimpulan Al-
qurtubi mengatakan, qadzf menurut para ulama harus memenuhi sembilan syarat
yaitu:
1. 2 syarat untuk orang yang menuduh, yaitu berakal dan baligh
2. 2 syarat untuk bentuk tuduhannya, yaitu tuduhan terhadap seseorang bahwa
ia telah melakukan persenggamaan yang mengharuskan ia mendapatkan
hukuman hadd yaitu zina dan liwaath.
3. 5 syarat yang dituduh (maqdzuuf), yaitu berakal, baligh, islam, merdeka,
dan menjaga diri dari fahisyah (kekejian atau perzinaan).
4. SIFAT HUKUMAN HADD QADZAF
Para ulama berbeda pendapat seputar sifat hukum hadd qadzf, apakah
termasuk hak Allah ataukah hak Hamba?5.
Ulama hanafiyah mengatakan, didalam hukum hadd qadzf terdapat dua hak
yaitu hak hamba dan hak Allah. Adapun ulama syafiiyyah dan ulama hanabilah
mengatakan, hukum hadd qadzf adalah murni hak adami yaitu murni hak orang
yang dituduh. Karena qazaf adalah kejahatan terhadap kehormatan tertuduh. Karena
4
ibid
5
Yang dimaksud dengan hak hamba adalah jika hak tersebut digugurkan oleh yang memilikinya,
maka gugurlah hak tersebut seprti utang dan harga suatu barang. Adapun yang dimaksud dengan
hak Alla adalah hak yang tidak ada seorang hambapun yang mempunyai kewenangan untuk
menggugurkannya.
kehormatannya adalah haknya, maka oleh karena itu, gantinya yaitu hukuman juga
merupakan haknya sebagaimana qishash6
Implikasi perbedaan pendapat ini adalah, berdasarkan pada pendapat
pertama yaitu madzhab ulama hanafiyah, tertuduh tidak mempunyai hak untuk
menggugurkan hukuman hadd qadzf, tidak mempunyai hak untuk memberikan
pengampunan kepada penuduh, tidak berhak untuk melakukan shulh (perdamaian,
kompromi) atau menukarkannya dengan suatu harta (yakni jika memang
perkaranya telah dilaporkan kepada hakim adapun perkaranya dilaporkan kepda
hakim, maka hukum had qadzf bisa berakhir dengan adanya pengampunan).
Hukum hadd qadzf juga tidak bisa diwariskan, akan tetapi hukuman hadd qadzf
akan gugur dengan sendirinya, jika pihak tertuduh meninggal dunia. Karena
warisan hanya berlaku pada sesuatu milik orang yang diwaris yang ditinggalkannya
baik itu berupa kepemilikkan atau berupa hak.
6
ibid
dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan diantara kamu (Al Baqarah: 237)
7
ibid
atau ia meninggal dunia setelah dilaksanakannya sebagian hukuman hadd, maka
batallah hukuman hadd itu, meski hadd yang masih tersisa baru dilaksanakan itu
baru satu kali cambukan, tetap hadd tidak dilanjutkan.
Adapun Imam Syafii dan Imam Ahmad mengatakan para ahli waris
menggantukan posisi tertuduh dalam pembuktian dan penetapan serta pengambiln
hak hukuman hadd qadzf, karena hukuman hadd qadzf adalah murni had Adami,
sehingga apa yang berhubungan dengan hukuman hadd qadzf seperti hak
khushuumah, melanjutkan proses huuhuumah dan pengambilan hak hukuman hadd
adalah dapat diwarisi.
b. Syarat-syarat Bayyinah untuk pembuktian dan penetapan kasus qadzf.
Syarat-syarat bayyinah (saksi) yang iajukan oleh maqdzuuh dalam
melakukan pembuktian dan penetapan adanya qadzf, adalah sama dengan syarat-
syarat umum bayyinah yang berlaku dalam semua kasus pidana dengan hukuman
hadd sebagaimana yang telah dijelaskan didepan, yaitu, laki-laki dan ashaalah
(orisinil). Oleh karena itu, kesakisian wanita, kesaksian atas kesaksian dan surat
hakim adalah tidak dapat diterima.
c. Syarat-syarat pengakuan telah melakukan qadzf
Begitu juga syarat-syarat pengakuan telah melakukan qadzf adalah sama
dengan syarat umum pengakuan dalam kasus-kasus pidana dengan hukuman hadd
yang lainnya, yaitu baligh dan dapat berbicara. Menurut sekepakatan para ulama,
pengakuan telah melakukan qadzf tidak disyaratkan harus berbilang, akan tetapi
satu kali sudah cukup, begitu juga, tidak disyaratkan harus belum kadaluwarsa.
d. Penetapan dan pembuktian tindak pidana qadzf dengan berdasarkan
pengetahuan hakim
Ulama Hanafiyah bersepakat, tindak pidana qadzf dapat dibuktikan dan
ditetapkan dengan berdasarkan pengetahuan hakim di massa dan tempat
persidangan. Namun ulama Hanafiyah berbeda pendapat mengenai penetapan dan
pembuktian tindak pidana qadzf dengan berdasarkan pengetahuan hakim di selain
masa dan tempat persidangan. Ulama hanafiyah generasi pertama mengatakan
boleh. Sedangkan ulama hanafiyah generasi terakhir mengatakan tidak boleh secara
mutlak dalam kasus-kasus yang dipersengketakan, dengan alasan kondisi dunia
peradilan sangat korup.
e. Penuduh diminta untuk bersumpah dan sikap nukuul (sikap tidak
bersedia untu bersumpah pada saat diminta bersumpah)
Jika pihak maqdzuuf tidak mempunyai bayyinah atas kasus pidana qadzf
yang diperkarakannya dan ia meminta kepada hakim agar pihak penuduh (qaadzif,
pihak yang menuduh maqdzuuf) diminta bersumpah atas qadzf yang
dilontarkannya, maka menurut ulama Hanafiyah hal itu tidak dapat dialukan, yakni
pihak penuduh tidak bisa diminta untuk bersumpah.
Adapun Imam Malik dan Imam Syafii mengatakan bahwa qadzif diminta
untuk bersumpah. Jikaa dia menolak untuk bersumpah, sumpah tidak dikembalikan
lagi kepada maqdzuuf (maksudnya, jika ternyata qadzif tidak bersedia untuk
bersumpah, aka pihak maqdzuuf tidak ganti dimintai untuk bersumpah).
Imam Ahmad mengatakan, Pihak Qaadzif diminta untuk bersumpah. Dan
jika dia menolak untuk bersumpah, maka sumpah tidak dikembalikan kepada
maqdzuuf. Dalam hal ini maqdzuuf memutuskan bahwa qaadzif enggan untuk
bersumpah, sehingga keputusannya adalah sesuai dengan gugatan dan tuntutan
pihak maqdzuuf.8
Jika qaadzif dapat mendatangkan empat orang saksi maka atas kejadian
perzinaan yang dimaksudkan, atau atas pengakuan maqdzuuf duihadapan imam
sebanyak empat kali bahwa dia telah melakukan perzinaan, maka qaadzif terbebas
dari hukuman hadd qadzf dan dilaksanakanlah hukuman hadd zina terhadap
maqdzuuf. Karena telah terbukti kebenaran perkataan qaadzif.
8
ibid
Jika qaadzif tidak dapat mendatangkan bayyinah, maka dilaksanakanlah
hukuman hadd qadzf terhadapnya. Hal ini berdasarkan firman Allhah SWt,