Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

PROSES PENYELESAIAN JARIMAH QADZAF MENURUT


HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA

A. Jarimah Qadzaf Dan Hukumannya Menurut Hukum Pidana Islam


1. Pembuktian Jarimah Qadzaf
Pembuktian tindak pidana qadzaf bisa dilakukan dengan beberapa cara
sebagai berikut.84
 Kesaksian para saksi
Allah SWT berfirman:
     
       
       
 
Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan lain kepadanya. ” (QS. An-Nisa: 15)
Dan Allah SWT juga berfirman:

      


      
      
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali, dan
janganlah kamu terima kesaksiannya mereka buat selama-
lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An-
Nur: 4)

Syarat dalam kesaksian qadzaf sama dengan syarat dalam kesaksian


zina, yaitu baligh, berakal, menjaga kesaksian, mampu berbicara, adil,

84
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy … hlm. 47

1
2

Islam, tidak ada hubungan keluarga, serta tidak ada permusuhan dan
prasangka. Kesaksian qadzaf juga mengharuskan saksi asli dan laki-laki.
Khusus dalam penetapan (pembuktian) tuduhan, saksi untuk
menetapkan peristiwa qadzaf cukup dua orang. Untuk menghilangkan
tuduhan, tertuduh qadzaf bisa menggunakan beberapa cara sebagai berikut.
a. Ia harus mengingkari apa yang dituduhkan pelaku qadzaf lalu mencari
saksi atas ketidakbenaran qadzaf tersebut, baik laki-laki maupun
perempuan, tanpa batas jumlah tertentu.
b. Tertuduh mengakui adanya qadzaf. Untuk menguatkan pembelaan ini,
ia cukup menghadirkan dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dan dua
perempuan.
c. Orang yang melakukan qadzaf mengakui hal-hal yang dituduhkan
kepadanya dan ia bersiap-siap membuktikan kebenaran qadzaf
tersebut. Dalam kondisi seperti ini, pelaku qadzaf harus mencari empat
orang saksi atas kebenaran peristiwa tersebut dengan syarat-syarat
seperti yang diminta dalam penetapan (pembuktian) tindak pidana zina
dan tidak menjadikan pelaku qadzaf sebagai salah satunya karena ia
tidak dapat dianggap sebagai saksi.
d. Jika pelaku qadzaf adalah suami dan ia mengakui adanya qadzaf, ia
harus menyumpah li’an istrinya. Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa pelaku harus membuktikan kebenaran qadzaf dengan
menghadirkan empat saksi lainnya. Jika mereka memberi kesaksian
atas kebenaran qadzaf dan kesaksian zina sudah kedaluwarsa, tertuduh
tidak dijatuhi hukuman hudud zina. Alasannya, kesaksian tidak
diterima jika peristiwanya sudah kedaluwarsa. Akan tetapi, dalam
kasus ini, kesaksian diterima untuk menggugurkan hukuman hudud
atas penuduh, bukan untuk menjatuhkan hukuman hudud atas si
tertuduh.
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa masalah kedaluwarsa tidak
memengaruhi qadzaf karena gugatan merupakan syarat dalam tindak
pidana qadzaf dan kesaksian tidak bisa diberikan terlebih dahulu secara
3

sukarela, sebab kesaksian tidak bisa diterima sebelum ada gugatan dari
si tertuduh. Selama gugatan terlambat diajukan karena sebab-sebab
tertentu dari tertuduh, tidak ada alasan untuk mencurigai saksi. Di sini,
tidak berlaku kebencian dan prasangka, seperti yang terjadi dalam
tindak pidana zina dan minuman keras karena kedua tindak pidana ini
tidak mensyaratkan adanya gugatan. Kesaksian harus diberikan dalam
satu majelis. Tindak pidana qadzaf tidak menerima surat hakim kepada
hakim lain maupun kesaksian atas kesaksian yang lain.
 Pengakuan (ikrar) dari pihak terpidana bahwa ia memang menuduh
penggugat telah melakukan zina atau menafikan keturunannya. Pengakuan
itu cukup satu kali dan dalam pengakuan ini juga tidak berlaku
kedaluwarsa. Artinya, apabila orang yang melakukan qadzaf ini
mengemukakan pengakuannya beberapa lama setelah ia melontarkan
tuduhan, maka pengakuannya itu tetap sah sebagai alat bukti.85
Pengakuan qadzaf dianggap sah meskipun dilakukan dalam kondisi
mabuk, seperti halnya dalam sengketa harta karena setiap manusia
mempunyai hak qadzaf.
 Sumpah
Menurut Imam asy-Syafi’i, qadzaf bisa dibuktikan melalui sumpah
jika tertuduh tidak mempunyai bukti lain. Ia berhak meminta penuduh
untuk bersumpah (bahwa ia tidak melakukan qadzaf). Jika penuduh tidak
mau, qadzaf dianggap terbukti.
Imam asy-Syafi’i juga mengatakan bahwa pelaku berhak meminta
tertuduh untuk bersumpah (bahwa tuduhan si penuduh tidak benar) jika si
penuduh tidak memiliki bukti atas kebenaran qadzaf. Jika tertuduh
menolak bersumpah, qadzaf dianggap benar dan pelaku qadzaf terhindar
dari hukuman hudud. Imam asy-Syafi’i tidak pernah mengizinkan
pembuktian melalui sumpah dalam masalah hudud kecuali untuk tindak
pidana qadzaf. Menurutnya, qadzaf adalah hak manusia dan penarikan
pengakuan qadzaf dianggap tidak sah. Menolak bersumpah dianggap sama

85
A. Rahman Ritonga dkk., Ensiklopedi Hukum Islam… hlm. 1458
4

dengan mengaku melakukan qadzaf. Dalam perkara hudud yang lain,


Imam asy-Syafi’i tidak memperbolehkan meminta seseorang bersumpah
karena hukuman hudud tersebut adalah hak Allah dan menariknya kembali
dianggap sah.
2. Hukuman Jarimah Qadzaf
Ada dua hukuman dalam tindak pidana qadzaf. Pertama, hukuman
pokok, yaitu dera. Kedua, hukuman tambahan, yaitu tidak diterima
kesaksiannya. Dalil untuk kedua hukuman tersebut adalah firman Allah SWT.
      
      
        
         
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang
yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
An-Nur: 4-5)86

 Hukuman dera
Hukuman dera (atas tindak pidana qadzaf) berjumlah delapan puluh
(80) kali dera. Hukuman tersebut tidak bisa diganti atau dikurangi.
Penguasa tidak mempunyai hak untuk mengampuni hukuman tersebut.
Beda halnya dengan tertuduh (korban qadzaf). Menurut sebagian ulama, ia
mempunyai hak untuk mengampuni, sedangkan yang lain menyatakan
bahwa ia tidak berhak mengampuni.
Persoalan ini bertitik tolak kepada penempatan hak qadzaf itu sendiri,
apakah hak qadzaf itu termasuk hak Allah SWT atau hak pribadi, atau hak
Allah SWT sekaligus hak pribadi, tetapi yang lebih dominan hak Allah
SWT, atau sebaliknya, hak ini adalah hak Allah SWT sekaligus hak
pribadi, tetapi yang dominan adalah hak pribadi. Ulama fiqih sepakat

86
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya… hlm. 684
5

menyatakan bahwa dalam tindak pidana qadzaf tergabung hak Allah SWT
dan hak pribadi.87
Ulama Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan sebagian ulama Mazhab
Maliki berpendapat bahwa yang lebih dominan adalah hak individu yang
dituduh. Akibat dari pendapat mereka ini, maka hukuman qadzaf dapat
dimaafkan dan digugurkan, baik sebelum maupun sesudah diajukan
gugatannya kepada hakim. Lebuh jauh, menurut mereka, hak ini bisa
diwariskan dan bisa dinegosiasikan dengan ganti rugi harta.
 Kesaksian pelaku qadzaf tidak diterima
Para ulama sepakat bahwa disamping dijatuhi hukuman hudud (dera),
kesaksian pelaku tidak akan diterima. Allah SWT berfirman,
 …      … 
Artinya: “... dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya... ” (QS. An-Nur: 4)
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai gugur atau tidaknya kesaksian
pelaku qadzaf jika ia bertobat. Imam abu hanifah berpendapat bahwa
kesaksian pelaku tetap gugur (tidak dapat diterima) meskipun ia sudah
bertobat. Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa kesaksian pelaku qadzaf dapat diterima jika ia sudah bertobat.
Ulama yang berpendapat bahwa pengecualian kembali kepada kalimat
terakhir dari firman Allah SWT,
 …       
       
     
Artinya: “... dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. Dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali
orang-orang yang bertaubat...” (QS. An-Nur: 4-5)
Mereka menyatakan bahwa tobat bisa menghilangkan kefasikan, tetapi
tidak memengaruhi tidak diterimanya kesaksian. Adapun ulama yang
berpendapat bahwa pengecualian kembali kepada semua kalimat pada ayat
–yang menyangkut dua hal: kesaksian dan fasik– mengatakan bahwa tobat
87
A. Rahman Ritonga dkk., Ensiklopedi Hukum Islam… hlm. 1457
6

pelaku bisa menghilangkan kefasikan dan menghalangi ditolaknya


kesaksian.
3. Orang yang Melaksanakan Hukuman Hudud
Para ulama telah sepakat bahwa orang yang boleh melaksanakan
hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah hudud adalah kepala negara
(imam) atau wakilnya (petugas yang diberi wewenang olehnya), karena
hukuman tersebut merupakan hak Allah dan dijatuhkan untuk kepentingan
masyarakat. Oleh karena hukuman tersebut merupakan hak Allah (hak
masyarakat) maka pelaksanaannya harus diserahkan kepada wakil masyarakat,
yaitu kepala negara. Di samping itu pelaksanaan hukuman had itu memerlukan
pertimbangan-pertimbangan yang matang, sehingga tidak terjadi kelebihan
atau ketidaktepatan, oleh karena itu pelaksanaan hukuman harus diserahkan
kepada penguasa negara atau orang yang ditunjuknya.88
Kehadiran penguasa negara pada pelaksanaan hukuman had tidak
menjadi persyaratan, karena Rasulullah saw. sendiri tidak memandangnya
sebagai suatu keharusan. Ketika ia memerintahkan untuk merajam Ma’iz, ia
sendiri tidak hadir di tempat eksekusi. Akan tetapi persetujuannya untuk
melaksanakan hukuman had adalah wajib.

4. Tata Cara Pelaksanaan Dera


Pelaksanan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap.89 ‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu
tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri jaksa penuntut
pmum dan dokter yang ditunjuk.90
Orang yang dihukum dera harus dipukul dengan cambuk sedang
sebanyak delapan puluh kali. Cambuk disyaratkan tidak kering agar tidak
melukai atau menyakiti. Pada ujung cambuk tidak boleh ada ikatan (simpul)

88
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 170.
89
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 28 ayat 1,
pdf.
90
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh …, Pasal 30 ayat 1, pdf.
7

yang bisa mengenai tubuh. Adanya ikatan pada ujung cambuk bisa
menimbulkan dampak seperti yang ditimbulkan oleh cambuk yang kering.91
Ujung cambuk disyaratkan tidak memiliki ekor lebih dari satu. Jika
tidak ada cambuk yang tidak berekor, jumlah dera harus dikurangi sesuai
jumlah ekor. Jika cambuk mempunyai dua ekor, jumlah deraan dikurangi dua
kali lipat. Begitu seterusnya.
Pencambukkan dilakukan dengan rotan yang berdiameter antara 0,75
cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai
ujung ganda/dibelah. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali
kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan cambuk tidak sampai
melukai92
Imam asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa orang
yang didera tidak harus dilepas pakaiannya dan boleh memakai dua atau tiga
pakaian. Jika ia memakai pakaian dari bulu, pakaian musim dingin, atau jubah
yang tebal, pakaian tersebut harus dilepas.
Terpidana lelaki harus didera dalam posisi berdiri tanpa menjulur.
Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
Terpidana perempuan didera dalam posisi duduk karena duduk lebih menutupi
auratnya. Deraan tidak boleh dipusatkan pada satu anggota badan karena bisa
merusak anggota badan tersebut atau merobek kulitnya. Pukulan harus disebar
pada semua anggota badan, kecuali muka dan kelamin. Rasulullah SAW
bersabda, yang artinya: “hindarilah wajah dan kelaminnya.” 93
Muka harus dihindari karena bisa rusak dan mematikan. Demikian
pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Abu Yusuf
berpendapat boleh memukul kepala meski hanya satu kali. Ulama Hanabilah
menyatakan bahwa perut dan bagian-bagian tubuh mematikan lainnya harus
dihindari. Hal ini adalah pendapat sebagian fuqaha mazhab Hanafi.
5. Gugurnya Hukuman Qadzaf

91
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy… hlm. 237.
92
Qanun Provinsi Nanggroe … , Pasal 30 ayat 2, pdf.
93
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy… hlm. 237
8

Ulama fiqih berpendapat bahwa hukuman tindak pidana qadzaf bisa


gugur disebabkan hal-hal berikut:94
1. Para saksi menarik kesaksiannya
2. Orang yang dituduh berzina mengakui tuduhan tersebut
3. Menurut Imam Abu Hanifah, saksi mengemukakan kesaksian palsu.
4. Para saksi kehilangan kecakapan bertindak sebelum hukuman
dilaksanakan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa hal tersebut
tidak menggugurkan hukuman qadzaf, karena hukumannya telah
ditetapkan, hanya saja belum dilaksanakan. Apabila para saksi kehilangan
kecakapan bertindak hukum sebelum dan sedang dalam proses peradilan,
maka hukuman bisa digugurkan, karena hukuman itu sendiri belum
ditetapkan.

B. Jarimah Qadzaf Dan Hukumannya Menurut Hukum Pidana di Indonesia


Tindak pidana qadzaf hukum pidana di Indonesia dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Jarimah Qadzaf sebagai Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik
Pengertian pencemaran nama baik, menurut al-Ghazali pencemaran
nama baik adalah, menghina (merendahkan) orang lain di depan manusia atau
di depan umum.95 Sementara dalam kitab Tafsir Jalaluddin membagi tiga
model pencemaran nama baik, yaitu:96
a. Sukhriyyah, yaitu meremehkan atau mengaggap remeh orang lain karena
sebab tertentu.
b. Lamzu, adalah menjelek-jelekkan dengan cacian atau hinaan atau dengan
kejelakan orang lain.
c. Tanabuz, adalah model cacian atau penghinaan dengan menyebut atau
memanggil lawan bicara dengan sebutan yang jelek, dan sebutan yang
paling buruk adalah memanggil wahai fasik atau wahai yahudi kepada
orang Islam.
94
A. Rahman Ritonga., dkk., Ensiklopedi Hukum Islam… hlm. 1458.
95
Abdul Hamid Al-Ghazali, Ihyaul Ulumuddin, (Ciputat: Lentera Hati, 2003) hlm. 379
96
Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) hlm. 428
9

2. Jarimah Qadzaf termasuk Tindak Pidana Penghinaan


Penghinaan adalah nama judul dari bab XVI buku II Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana yang telah diuraikan di atas
bahwa perbuatan menuduh zina itu termasuk dalam pasal 310 kitab undang-
undang hukum pidana, karena perbuatan menuduh zina termasuk menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang adalah suatu penghinaan, yang
berbunyi:
1. “Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang
dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan
maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena
menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
2. Kau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu
dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara
selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyak
Rp. 4.500,-.
3. Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata
bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau
lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.”97

Menista dalam arti tersebut di atas memiliki ciri khusus dari kata
menghina. Dan yang dimaksud dengan menghina yaitu setiap perkataan yang
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Sedangkan pengertian
menista yaitu menyerang kehormatan atau nama baik seseorang itu harus
dengan jalan menuduh melakukan sesuatu perbuatan tertentu terhadap orang
lain.
Dalam rumusan tersebut dikatakan suatu perbuatan “dengan sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”, sedang kata-kata
selanjutnya yaitu “dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan
dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu adalah merupakan
pengkhususan atau sifat dari tindak pidana penistaan.
Kalau pengkhususan atau sifat dari penistaan ini dihilangkan, maka
tinggi perbuatan “merusak kehormatan atau nama baik seseorang”. Maka

97
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 225
10

berarti “merusak kehormatan atau nama baik seseorang” adalah suatu


penghinaan.
Dalam hal tersebut R. Soesilo menulis sebagai berikut: “supaya dapat
dihukum menurut pasal 310 ayat 1 ini (menista), maka penghinaan itu harus
dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu
dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui).”98 Jadi yang dilarang
dalam pasal 310 adalah perbuatan menista. Akan tetapi berdasarkan pendapat
R. Soesilo tersebut, semata-mata menista bukanlah perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan hukuman. Oleh karena itu agar perbuatan itu dapat
dihukum maka menista tersebut haruslah oleh si pelaku dimaksudkan agar
tuduhan itu tersiar dalam masyarakat.
Apabila dalam pemeriksaan itu ternyata bahwa terdakwa telah berbuat
penghinaan tersebut bener-benar untuk membela kepentingan umum atau
membela diri yang dapat dibenarkan oleh hakim, maka terdakwa tidak
dihukum.
Apabila masalah untuk pembelaan itu tidak dibenarkan oleh hakim,
sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata bahwa apa yang dituduhkan oleh
terdakwa itu tidak benar maka terdakwa tidak disalahkan menista, akan tetapi
dikenakan pasal 311 yaitu tentang memfitnah, yang berbunyi:
1. “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan
tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika
ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang
diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah mempitnah dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
2. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal
35 No. 1-3.”99

Menurut pasal ini, jika tuduhannya itu dipersoalkan oleh hakim tentang
kebenaran atau tidaknya tudukan itu, maka tindak pidana ini beralih menjadi
tindak pidana memfitnah, bukan lagi tindak pidana menghina atau menista.
Jika tudukan terdakwa itu terbutki tidak benar, maka berdasarkan rumusan

98
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 226
99
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
11

pasal 311 KUHP tersebut diancam dengan hukuman penjara maksimal empat
tahun.
Pemeriksaan itupun diadakan, jika hakim menganggap perlu untuk
memeriksa kebenarannya, misalnya berdasarkan pertimbangannya bahwa
tuduhan itu dilakukan terdakwa karena terdorong untuk membela kepentingan
umum atau untuk membela diri atau memang yang dituduhnya itu adalah
seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya. Seperti yang
diterdapat dalam pasal 312 yang berbunyi:
“Membuktikan kebenaran tuduhan itu hanya diizinkan dalam hal yang
berikut dibawah ini:
1e. kalau hakim menganggap perlu akan memeriksa kebenaran itu,
supaya dapat menimbang perkataan si terdakwa, bahwa ia telah
melakukan perbuatan itu untuk kepentingan umum atau karena
untuk mempertahankan dirinya sendiri.
2e. kalau seorang pegawai negeri yang dituduh melakuka perbuatan
dalam menjalankan pekerjaannya (jabatannya).”100

Berdasarkan pasal ini jika perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa yang
berdasarkan pengakuannya bahwa ia melakukan perbuatan itu untuk membela
kepentingan umum atau membela untuk membela diri maka hakim perlu
pengadakan pemeriksaan terhadap perkara tersebut untuk membuktikan benar
atau tidaknya tuduhan tersebut. Hal ini serupa juga harus dilakukan oleh
hakim jika sikorban adalah seorang pegawai negeri dan ia dituduh melakukan
suatu perbuatan tercela dalam menjalankan jabatannya. Konsekuensinya
bahwa pemeriksaan perkara itu beralih kepada tindak pidana memfitnah
seperti dalam pasal 311.
Dalam ini pelaku harus membuktikan kebenaran tuduhannya dan jika
ia gagal, dianggap tuduhan itu dilakukan dengan diketahui kebohongan dari
tuduhan itu, maka ia dapat dihukum karena memfitnah dengan hukuman yang
lebih berat dari hukuman menista yaitu dengan hukuman selama-lamanya
empat tahun penjara.
3. Jarimah Qadzaf sebagai Tindak Pidana Aduan

100
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
12

Tindak pidana tuduhan zina ini sebagai tindak pidana aduan terdapat di
dalam ketentuan seperti yang diatur di dalam pasal 319 KUHP, yang berbunyi:
“Penghinaan yang dapat dihukum menurut bab ini, hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang yang menderita kejahatan itu, kecuali
dalam hal yang tersebut di pasal 316.”101
Semua penghinaan itu, termasuk tuduhan zina, hanya dapat dituntut
apabila ada pengaduan dari orang yang menderita, kecuali bila penghinaan itu
dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan
tugasnya atau pekerjaannya yang sah (pasal 316 dan 319). Obyek daripada
penghinaan tersebut di atas harus manusia perseorangan, maksudnya bukan
instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, golongan penduduk dan
lain-lain.
Tindak pidana aduan adalah suatu tindak pidana yang hanya dituntut
jika ada pengaduan dari pihak yang menderita. Sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 313 KUHP yang berbunyi:
“Tentang bukti sebagai yang dimaksud dalam pasal 312 tidak diizinkan,
jika perbuatan yang dituduh itu hanya dapat dituntut atas pengaduan dan
pengaduan tidak dilakukan.”102
Menurut pasal ini, membuktikan kebenaran tuduhan itu tidak
diperbolehkan apabila kepada sikorban dituduhkan suatu tindak pidana yang
hanya dituntut atas pengaduan dan pengaduan ini tidak ada.
R. Soesilo dalam bukunya KUHP dengan penjelasnannya memberikan
contoh sebagai berikut:
“Misalnya apabila orang telah menyiarkan menuduh seseorang telah
berbuat zina (pasal 284), kemudian mengatakan, bahwa ia telah
menyiarkan tuduhan itu karena membela kepentingan umum atau
membela diri, maka dalam hal ini tidak boleh diadakan pemeriksaan
tentang betul atau tidaknya perihal perzinahan itu, apabila dalam hal
peristiwa perzinahan itu tidak ada pengaduan yang diajukan oleh pihak
yang menderita (suami isteri).”103

101
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 230
102
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
103
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
13

Pasal 313 ini sebenarnya adalah mengenai hukum acara pidana,


demikian juga pasal 314 yang berbunyi:
1. “Kalau yang dihinakan, dengan keputusan hakim yang sudah tetap,
telah dipersalahkan melakukan perbuatan yang dituduhkan itu, maka
tidak boleh dijatuhkan hukuman karena memfitnah.
2. Kalau ia, dengan keputusan hakim yang sudah tetap, telah dibebaskan
dari perbuatan yang dituduhkan, maka keputusan hakim itu dipandang
menjadi bukti yang cukup terang akan menolak kebenaran tuduhan itu.
3. Kalau terhadap yang dihinakan telah dimulai penuntutan hukuman
karena perbuatan yang dituduhkan padanya, maka penuntutan karena
memfitnah dipertangguhkan dahuku sampai perbuatan yang dituduhkan
itu dapat keputusan hakimyang tetap.”104

Menurut pasal 314 ayat 1 ini, jika orang yang dituduh itu terbukti
melakukan suatu perbuatan yang dituduhkan itu, maka penghukuman karena
memfitnah tidak boleh dijatuhkan. Akan tetapi menurut Wirjono
Prodjodikoro, penghukuman karena penistaan masih saja dapat bisa
dijatuhkan apabila terbukti.
Dengan adanya ketentuan seperti di atas, berarti jika seseorang
menuduh zina, maka mereka itu secara mutlak tidak dapat dituntut. Maka
tuntutan terhadap penuduh itu hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan
dari pihak si korban.

104
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 228

Anda mungkin juga menyukai