84
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy … hlm. 47
1
2
Islam, tidak ada hubungan keluarga, serta tidak ada permusuhan dan
prasangka. Kesaksian qadzaf juga mengharuskan saksi asli dan laki-laki.
Khusus dalam penetapan (pembuktian) tuduhan, saksi untuk
menetapkan peristiwa qadzaf cukup dua orang. Untuk menghilangkan
tuduhan, tertuduh qadzaf bisa menggunakan beberapa cara sebagai berikut.
a. Ia harus mengingkari apa yang dituduhkan pelaku qadzaf lalu mencari
saksi atas ketidakbenaran qadzaf tersebut, baik laki-laki maupun
perempuan, tanpa batas jumlah tertentu.
b. Tertuduh mengakui adanya qadzaf. Untuk menguatkan pembelaan ini,
ia cukup menghadirkan dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dan dua
perempuan.
c. Orang yang melakukan qadzaf mengakui hal-hal yang dituduhkan
kepadanya dan ia bersiap-siap membuktikan kebenaran qadzaf
tersebut. Dalam kondisi seperti ini, pelaku qadzaf harus mencari empat
orang saksi atas kebenaran peristiwa tersebut dengan syarat-syarat
seperti yang diminta dalam penetapan (pembuktian) tindak pidana zina
dan tidak menjadikan pelaku qadzaf sebagai salah satunya karena ia
tidak dapat dianggap sebagai saksi.
d. Jika pelaku qadzaf adalah suami dan ia mengakui adanya qadzaf, ia
harus menyumpah li’an istrinya. Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa pelaku harus membuktikan kebenaran qadzaf dengan
menghadirkan empat saksi lainnya. Jika mereka memberi kesaksian
atas kebenaran qadzaf dan kesaksian zina sudah kedaluwarsa, tertuduh
tidak dijatuhi hukuman hudud zina. Alasannya, kesaksian tidak
diterima jika peristiwanya sudah kedaluwarsa. Akan tetapi, dalam
kasus ini, kesaksian diterima untuk menggugurkan hukuman hudud
atas penuduh, bukan untuk menjatuhkan hukuman hudud atas si
tertuduh.
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa masalah kedaluwarsa tidak
memengaruhi qadzaf karena gugatan merupakan syarat dalam tindak
pidana qadzaf dan kesaksian tidak bisa diberikan terlebih dahulu secara
3
sukarela, sebab kesaksian tidak bisa diterima sebelum ada gugatan dari
si tertuduh. Selama gugatan terlambat diajukan karena sebab-sebab
tertentu dari tertuduh, tidak ada alasan untuk mencurigai saksi. Di sini,
tidak berlaku kebencian dan prasangka, seperti yang terjadi dalam
tindak pidana zina dan minuman keras karena kedua tindak pidana ini
tidak mensyaratkan adanya gugatan. Kesaksian harus diberikan dalam
satu majelis. Tindak pidana qadzaf tidak menerima surat hakim kepada
hakim lain maupun kesaksian atas kesaksian yang lain.
Pengakuan (ikrar) dari pihak terpidana bahwa ia memang menuduh
penggugat telah melakukan zina atau menafikan keturunannya. Pengakuan
itu cukup satu kali dan dalam pengakuan ini juga tidak berlaku
kedaluwarsa. Artinya, apabila orang yang melakukan qadzaf ini
mengemukakan pengakuannya beberapa lama setelah ia melontarkan
tuduhan, maka pengakuannya itu tetap sah sebagai alat bukti.85
Pengakuan qadzaf dianggap sah meskipun dilakukan dalam kondisi
mabuk, seperti halnya dalam sengketa harta karena setiap manusia
mempunyai hak qadzaf.
Sumpah
Menurut Imam asy-Syafi’i, qadzaf bisa dibuktikan melalui sumpah
jika tertuduh tidak mempunyai bukti lain. Ia berhak meminta penuduh
untuk bersumpah (bahwa ia tidak melakukan qadzaf). Jika penuduh tidak
mau, qadzaf dianggap terbukti.
Imam asy-Syafi’i juga mengatakan bahwa pelaku berhak meminta
tertuduh untuk bersumpah (bahwa tuduhan si penuduh tidak benar) jika si
penuduh tidak memiliki bukti atas kebenaran qadzaf. Jika tertuduh
menolak bersumpah, qadzaf dianggap benar dan pelaku qadzaf terhindar
dari hukuman hudud. Imam asy-Syafi’i tidak pernah mengizinkan
pembuktian melalui sumpah dalam masalah hudud kecuali untuk tindak
pidana qadzaf. Menurutnya, qadzaf adalah hak manusia dan penarikan
pengakuan qadzaf dianggap tidak sah. Menolak bersumpah dianggap sama
85
A. Rahman Ritonga dkk., Ensiklopedi Hukum Islam… hlm. 1458
4
Hukuman dera
Hukuman dera (atas tindak pidana qadzaf) berjumlah delapan puluh
(80) kali dera. Hukuman tersebut tidak bisa diganti atau dikurangi.
Penguasa tidak mempunyai hak untuk mengampuni hukuman tersebut.
Beda halnya dengan tertuduh (korban qadzaf). Menurut sebagian ulama, ia
mempunyai hak untuk mengampuni, sedangkan yang lain menyatakan
bahwa ia tidak berhak mengampuni.
Persoalan ini bertitik tolak kepada penempatan hak qadzaf itu sendiri,
apakah hak qadzaf itu termasuk hak Allah SWT atau hak pribadi, atau hak
Allah SWT sekaligus hak pribadi, tetapi yang lebih dominan hak Allah
SWT, atau sebaliknya, hak ini adalah hak Allah SWT sekaligus hak
pribadi, tetapi yang dominan adalah hak pribadi. Ulama fiqih sepakat
86
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya… hlm. 684
5
menyatakan bahwa dalam tindak pidana qadzaf tergabung hak Allah SWT
dan hak pribadi.87
Ulama Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan sebagian ulama Mazhab
Maliki berpendapat bahwa yang lebih dominan adalah hak individu yang
dituduh. Akibat dari pendapat mereka ini, maka hukuman qadzaf dapat
dimaafkan dan digugurkan, baik sebelum maupun sesudah diajukan
gugatannya kepada hakim. Lebuh jauh, menurut mereka, hak ini bisa
diwariskan dan bisa dinegosiasikan dengan ganti rugi harta.
Kesaksian pelaku qadzaf tidak diterima
Para ulama sepakat bahwa disamping dijatuhi hukuman hudud (dera),
kesaksian pelaku tidak akan diterima. Allah SWT berfirman,
… …
Artinya: “... dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya... ” (QS. An-Nur: 4)
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai gugur atau tidaknya kesaksian
pelaku qadzaf jika ia bertobat. Imam abu hanifah berpendapat bahwa
kesaksian pelaku tetap gugur (tidak dapat diterima) meskipun ia sudah
bertobat. Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa kesaksian pelaku qadzaf dapat diterima jika ia sudah bertobat.
Ulama yang berpendapat bahwa pengecualian kembali kepada kalimat
terakhir dari firman Allah SWT,
…
Artinya: “... dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. Dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali
orang-orang yang bertaubat...” (QS. An-Nur: 4-5)
Mereka menyatakan bahwa tobat bisa menghilangkan kefasikan, tetapi
tidak memengaruhi tidak diterimanya kesaksian. Adapun ulama yang
berpendapat bahwa pengecualian kembali kepada semua kalimat pada ayat
–yang menyangkut dua hal: kesaksian dan fasik– mengatakan bahwa tobat
87
A. Rahman Ritonga dkk., Ensiklopedi Hukum Islam… hlm. 1457
6
88
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 170.
89
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 28 ayat 1,
pdf.
90
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh …, Pasal 30 ayat 1, pdf.
7
yang bisa mengenai tubuh. Adanya ikatan pada ujung cambuk bisa
menimbulkan dampak seperti yang ditimbulkan oleh cambuk yang kering.91
Ujung cambuk disyaratkan tidak memiliki ekor lebih dari satu. Jika
tidak ada cambuk yang tidak berekor, jumlah dera harus dikurangi sesuai
jumlah ekor. Jika cambuk mempunyai dua ekor, jumlah deraan dikurangi dua
kali lipat. Begitu seterusnya.
Pencambukkan dilakukan dengan rotan yang berdiameter antara 0,75
cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai
ujung ganda/dibelah. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali
kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan cambuk tidak sampai
melukai92
Imam asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa orang
yang didera tidak harus dilepas pakaiannya dan boleh memakai dua atau tiga
pakaian. Jika ia memakai pakaian dari bulu, pakaian musim dingin, atau jubah
yang tebal, pakaian tersebut harus dilepas.
Terpidana lelaki harus didera dalam posisi berdiri tanpa menjulur.
Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
Terpidana perempuan didera dalam posisi duduk karena duduk lebih menutupi
auratnya. Deraan tidak boleh dipusatkan pada satu anggota badan karena bisa
merusak anggota badan tersebut atau merobek kulitnya. Pukulan harus disebar
pada semua anggota badan, kecuali muka dan kelamin. Rasulullah SAW
bersabda, yang artinya: “hindarilah wajah dan kelaminnya.” 93
Muka harus dihindari karena bisa rusak dan mematikan. Demikian
pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Abu Yusuf
berpendapat boleh memukul kepala meski hanya satu kali. Ulama Hanabilah
menyatakan bahwa perut dan bagian-bagian tubuh mematikan lainnya harus
dihindari. Hal ini adalah pendapat sebagian fuqaha mazhab Hanafi.
5. Gugurnya Hukuman Qadzaf
91
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy… hlm. 237.
92
Qanun Provinsi Nanggroe … , Pasal 30 ayat 2, pdf.
93
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy… hlm. 237
8
Menista dalam arti tersebut di atas memiliki ciri khusus dari kata
menghina. Dan yang dimaksud dengan menghina yaitu setiap perkataan yang
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Sedangkan pengertian
menista yaitu menyerang kehormatan atau nama baik seseorang itu harus
dengan jalan menuduh melakukan sesuatu perbuatan tertentu terhadap orang
lain.
Dalam rumusan tersebut dikatakan suatu perbuatan “dengan sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”, sedang kata-kata
selanjutnya yaitu “dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan
dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu adalah merupakan
pengkhususan atau sifat dari tindak pidana penistaan.
Kalau pengkhususan atau sifat dari penistaan ini dihilangkan, maka
tinggi perbuatan “merusak kehormatan atau nama baik seseorang”. Maka
97
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 225
10
Menurut pasal ini, jika tuduhannya itu dipersoalkan oleh hakim tentang
kebenaran atau tidaknya tudukan itu, maka tindak pidana ini beralih menjadi
tindak pidana memfitnah, bukan lagi tindak pidana menghina atau menista.
Jika tudukan terdakwa itu terbutki tidak benar, maka berdasarkan rumusan
98
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 226
99
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
11
pasal 311 KUHP tersebut diancam dengan hukuman penjara maksimal empat
tahun.
Pemeriksaan itupun diadakan, jika hakim menganggap perlu untuk
memeriksa kebenarannya, misalnya berdasarkan pertimbangannya bahwa
tuduhan itu dilakukan terdakwa karena terdorong untuk membela kepentingan
umum atau untuk membela diri atau memang yang dituduhnya itu adalah
seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya. Seperti yang
diterdapat dalam pasal 312 yang berbunyi:
“Membuktikan kebenaran tuduhan itu hanya diizinkan dalam hal yang
berikut dibawah ini:
1e. kalau hakim menganggap perlu akan memeriksa kebenaran itu,
supaya dapat menimbang perkataan si terdakwa, bahwa ia telah
melakukan perbuatan itu untuk kepentingan umum atau karena
untuk mempertahankan dirinya sendiri.
2e. kalau seorang pegawai negeri yang dituduh melakuka perbuatan
dalam menjalankan pekerjaannya (jabatannya).”100
Berdasarkan pasal ini jika perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa yang
berdasarkan pengakuannya bahwa ia melakukan perbuatan itu untuk membela
kepentingan umum atau membela untuk membela diri maka hakim perlu
pengadakan pemeriksaan terhadap perkara tersebut untuk membuktikan benar
atau tidaknya tuduhan tersebut. Hal ini serupa juga harus dilakukan oleh
hakim jika sikorban adalah seorang pegawai negeri dan ia dituduh melakukan
suatu perbuatan tercela dalam menjalankan jabatannya. Konsekuensinya
bahwa pemeriksaan perkara itu beralih kepada tindak pidana memfitnah
seperti dalam pasal 311.
Dalam ini pelaku harus membuktikan kebenaran tuduhannya dan jika
ia gagal, dianggap tuduhan itu dilakukan dengan diketahui kebohongan dari
tuduhan itu, maka ia dapat dihukum karena memfitnah dengan hukuman yang
lebih berat dari hukuman menista yaitu dengan hukuman selama-lamanya
empat tahun penjara.
3. Jarimah Qadzaf sebagai Tindak Pidana Aduan
100
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
12
Tindak pidana tuduhan zina ini sebagai tindak pidana aduan terdapat di
dalam ketentuan seperti yang diatur di dalam pasal 319 KUHP, yang berbunyi:
“Penghinaan yang dapat dihukum menurut bab ini, hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang yang menderita kejahatan itu, kecuali
dalam hal yang tersebut di pasal 316.”101
Semua penghinaan itu, termasuk tuduhan zina, hanya dapat dituntut
apabila ada pengaduan dari orang yang menderita, kecuali bila penghinaan itu
dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan
tugasnya atau pekerjaannya yang sah (pasal 316 dan 319). Obyek daripada
penghinaan tersebut di atas harus manusia perseorangan, maksudnya bukan
instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, golongan penduduk dan
lain-lain.
Tindak pidana aduan adalah suatu tindak pidana yang hanya dituntut
jika ada pengaduan dari pihak yang menderita. Sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 313 KUHP yang berbunyi:
“Tentang bukti sebagai yang dimaksud dalam pasal 312 tidak diizinkan,
jika perbuatan yang dituduh itu hanya dapat dituntut atas pengaduan dan
pengaduan tidak dilakukan.”102
Menurut pasal ini, membuktikan kebenaran tuduhan itu tidak
diperbolehkan apabila kepada sikorban dituduhkan suatu tindak pidana yang
hanya dituntut atas pengaduan dan pengaduan ini tidak ada.
R. Soesilo dalam bukunya KUHP dengan penjelasnannya memberikan
contoh sebagai berikut:
“Misalnya apabila orang telah menyiarkan menuduh seseorang telah
berbuat zina (pasal 284), kemudian mengatakan, bahwa ia telah
menyiarkan tuduhan itu karena membela kepentingan umum atau
membela diri, maka dalam hal ini tidak boleh diadakan pemeriksaan
tentang betul atau tidaknya perihal perzinahan itu, apabila dalam hal
peristiwa perzinahan itu tidak ada pengaduan yang diajukan oleh pihak
yang menderita (suami isteri).”103
101
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 230
102
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
103
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
13
Menurut pasal 314 ayat 1 ini, jika orang yang dituduh itu terbukti
melakukan suatu perbuatan yang dituduhkan itu, maka penghukuman karena
memfitnah tidak boleh dijatuhkan. Akan tetapi menurut Wirjono
Prodjodikoro, penghukuman karena penistaan masih saja dapat bisa
dijatuhkan apabila terbukti.
Dengan adanya ketentuan seperti di atas, berarti jika seseorang
menuduh zina, maka mereka itu secara mutlak tidak dapat dituntut. Maka
tuntutan terhadap penuduh itu hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan
dari pihak si korban.
104
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 228