Anda di halaman 1dari 3

TUGAS KELOMPOK

FIKIH

“PENGGUGAT DAN BUKTI”

DISUSUN OLEH

KELOMPOK : 2

 AHMAD BUDIANSYAH
 FATIMAH AZ-ZAHRA
 HIDAYATI
 LAILA WAHYUNITA
 MUHAMMAD ADLAN
 MUHAMMAD DZAKI MUBARAK
 MUHAMMAD RIDHA
 MUHAMMAD ZAIN ANWAR

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2


HULU SUNGAI SELATAN
2018/2019

PENGGUGAT DAN BUKTI


a. Pengertian dan syarat-syarat penggugat
Penggugat adalah orang yang mengajukan gugatan karena merasa dirugikan oleh pihak
tergugat, penggugat disebut juga dengan penuntut atau pendakwa atau mudda’i. Sedang
materi yang dipersoalkan oleh kedua belah pihak yang terlibat perkara dalam proses
peradilan disebut gugatan.

Penggugat harus dapat membuktikan kebenaan gugatannya disertai bukti-bukti yang kuat,
saksi-saksi yang adil atau dengan melakukan sumpah dari penggugat sebagai berikut:
“Apabila gugatan saya tidak benar, maka laknat Allah atas diri saya”.

Dakwaan itu tidak sah melainkan dari orang yang merdeka, berakal, baligh dan waras. Maka
hamba sahaya, orang yang gila, orang yang tidak waras, anak-anak dan orang dungu tidak
diterima dakwaan mereka. Sebagaimana syarat-syarat ini diwajibkan bagi penggugat, maka
syarat-syarat itu pun diwajibkan pula bagi orang yang mangkir terhadap dakwaan.Dakwaan
itu tidak sah jika tidak disertai barang bukti untuk membuktikan kebenarannya.

b. Syarat-syarat Gugatan
Gugatan tidak sah jika tidak memenuhi persyaratan berikut, yaitu
1) Gugatan harus disampaikan ke pengadilan baik secara tulis maupun lisan.
2) Gugatan harus diuraikan secara jelas.
3) Pihak tergugat jelas orangnya.
4) Penggugat dan tergugat sama-sama Islam, bālig dan berakal.

c. Pengertian Bukti
Barang bukti atau bayinah adalah segala sesuatu yang ditunjukkan oleh penggugat untuk
memperkuat kebenaran dakwaannya

Oleh karena itu, bukti merupakan hujjah bagi pendakwa, yang digunakan untuk
menguatkan dakwaannya. Bukti juga merupakan penjelas untuk menguatkan dakwaannya.
Sesuatu tidak bisa menjadi bukti, kecuali jika sesuatu itu (bersifat) pasti dan meyakinkan.
Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada ‘ilm,
yaitu didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan. Kesaksian tidak sah, jika dibangun di
atas dzan (keraguan). Sebab, Rasulullah saw telah bersabda kepada para saksi:
‫ت امعثدل اللشعم ا‬
ْ«‫س دفاَعشهدعد دواالل فدددعع‬ ‫»إادذا درأدعي د‬
Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak,
maka tinggalkanlah.

Oleh karena itu, bukti yang didapatkan dari jalan tertentu, atau jalan yang bisa mengantarkan
kepada keyakinan, seperti diperoleh dari proses penginderaan salah satu alat indera,
sedangkan yang diindera itu bisa dibuktikan validitasnya, maka bukti semacam ini termasuk
bukti yang meyakinkan. Masyarakat diperbolehkan memberikan kesaksian dengan bukti
semacam ini.
Sedangkan bukti yang tidak diperoleh dari jalan seperti itu, maka bersaksi dengan bukti
tersebut tidak diperbolehkan. Karena bukti tersebut bukanlah bukti yang meyakinkan. Jika
bukti tersebut berasal dari sesuatu yang meyakinkan, seperti halnya kesaksian yang diperoleh
dengan jalan as-sama’ (mendengar informasi dari orang lain), contohnya kesaksian dalam
kasus nikah, nasab, kematian, dan lain-lain, maka secara otomatis seorang saksi boleh
memberikan kesaksiannya (dengan bukti-bukti tersebut). Informasi yang ia dengar itu telah
membuat dirinya yakin, meskipun ia tidak menjelaskan keyakinannya itu dengan
kesaksiannya. Sebab, keyakinan yang ia miliki merupakan sesuatu yang telah lazim bagi
dirinya, sehingga dirinya sah untuk memberikan kesaksian.

Cara memeriksa Terdakwa dan Terdakwa yang Tidak Hadir di Persidangan


Adapun cara memeriksa terdakwa, mula-mula hakim berusaha terlebih dahulu untuk
mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Kalau tidak dapat didamaikan, barulah perkara
itu diperiksa menurut ketentuan yang berlaku.

Dalam pemeriksaan harus dihadirkan pihak-pihak yang berperkara. Untuk pendakwa


dianggap tidak ada masalah hadir di persidangan, karena ia yang menuntut agar perkaranya
dimeja hijaukan. Sedangkan terdakwa, juga harus hadir. Jika tidak, pengadilan tetap
memanggilnya sampai batas tiga kali. Bila tidak kunjung hadir, maka hakim boleh
memutuskan perkara atas orang ghaib ini. Putusan ini (dalam bahasa peradilan) disebut
dengan putusan verstek(tidak hadir) yakni putusan pengadilan tanpa kehadiran pihak
terdakwa/tertuduh. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal membolehkan hakim
memutuskan perkara dengan cara verstek ini.
Sementara Imam Abu Hanifah, Ibn Abi Laila, Syuraih, dan Umar bin Abdul Aziz tidak
membolehkan putusan verstek ini. Alasan yang dikemukakannya adalah mungin saja
ketidakhadiran terdakwa karena ada “hujjah” yang menyebabkan tidak bisa hadir
dipersidangan. Akan tetapi jika ada wakilnya, persidangan bisa dilanjutkan/dilangsungkan.

Anda mungkin juga menyukai