Anda di halaman 1dari 9

Hukum Cium Tangan

Muhammad Halid Syar'i

Hadits Berkaitan dengan Masalah Cium Tangan


Cium tangan bagi sebagian besar kaum muslimin sudah menjadi suatu budaya.
Tradisi cium tangan ini dijadikan sebagai wujud dari rasa kasih sayang dan
penghormatan. Lalu bagaimana Islam memandang hal ini? berikut hadits yang
berkaitan dengan cium tangan.

‫عن جابر أن عمر قام إلى النبي صلى هللا عليه وسلم فقبل يده‬

“Dari Jabir Radhiallahu anhu, bahwa Umar bergegas menuju Rasulullah lalu
mencium tangannya” (HR. Ahmad dan Ibnul Muqri dalam Taqbilu Al-Yad, Ibnu
Hajar mengatakan, sanadnya Jayyid [1/18]).

‫ فقبال يديه‬:‫قال‬. ‫ اذهب بنا إلى هذا النبي صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن صفوان بن عسال أن يهوديا قال لصاحبه‬
‫ نشهد أنك نبي هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ورجليه وقاال‬

“Dari Sofwan bin Assal, bahwa ada dua orang yahudi bertanya kepada Rasulullah
(tentang tujuh ayat yang pernah diturunkan kepada Musa Alaihi Salam), setelah
dijawab mereka menicum tangan dan kaki Rasulullah lalu mereka berkata, kami
bersaksi bahwa engkau adalah nabi” (HR. Tirmdizi, beliau berkata, Hasan Shahih, Al-
Hafidz Ibnu Hajar mengatakan di dalam At-Talkhis sanadnya kuat 240/5).

‫ قمنا إلى النبي صلى هللا عليه وسلم فقبلنا يده‬:‫عن أسامة بن شريك قال‬

“Dari Usamah bin Syarik, kami bertemu Rasulullah lalu kami mencium tangannya”
(HR. Ibnul Muqri dalam Taqbilul Yad, berkata Ibnu Hajar dalam Al-Fath sanad nya
kuat).

Cium Tangan Bukan Kekhususan Rasulullah


Dari Ammar bin abi Ammar, pernah Zaid bin Tsabit mengatakan kepada Ibnu Abbas,
“berikanlah tanganmu.” Maka diberikanlah tangan ibnu Abbas lalu zaid menciumnya”
(HR. Ibnu Saad dan Al-Hafidz ibnu hajar mengatakan sanadnya Jayyid).

Boleh Mencium Tangan Ahlul Fadli (Guru, Orang Tua, dan Semisal Sebagai Wujud
Kasih Sayang dan Penghormatan

Dari Aisyah bahwa ia berkata, “Tidaklah aku pernah melihat seseorang yang lebih
mirip cara bicaranya dengan Rasulullah melainkan fatimah, jika fatimah datang ke
rumah Rasulullah, beliau menyambutnya mencium tangannya, dan jika hendak pulang
fatimah mencium tangan Rasulullah” (HR. Abu Dawud 5217, di shahihkan pula oleh
Al-Albani dalam Misyaktul Masabih).

Dari ‘Abdurahman bin Razin beliau berkata, “kami pernah menjumpai Salamah bin
Akwa’ lalu kami bersalaman dengannya. Kemudian aku bertanya, “kamu pernah
membaiat Rasulullah dengan tanganmu ini?” Maka kami cium tangannya (HR.
Bukhari di dalam Adabul Mufrad (1/338) dan Tabrani dalam Al-Ausat (1/205)
dihasankan oleh syeikh Al-Albani dalam Shahih Adabul Mufrad, dan berkata
haistamy, Rijaluhu tsiqot)
Dari Musa bin Dawud bahwa dahulu aku pernah bersama dengan Sufyan bin
‘Uyainah kemudian datang Husain Al-Ju’fi lalu diciumlah tangan Husain oleh Sufyan
(Taqbilul yad 1/77).

Pendapat Ulama Mengenai Masalah Cium Tangan


Di dalam kitabul wara karya Imam Ahmad diriwayatkan bahwa Sufyan At Stauri
mengatakan, “Tidak mengapa mencium tangan seorang imam, namun jika untuk
kedunian maka tidak boleh.”

Berkata Al-Tahtawi dalam Hasyiah Maraqil Falah, “maka diketahui dari dalil-dalil
yang kami bawakan bahwa bolehnya mencium tangan, kaki, kasyh, kepala, jidat,
bibir, dan di antara kedua mata, AKAN TETAPI harus dalam rangka kasih sayang,
dan penghormatan ,bukan syahwat, karena syahwat hanya diperbolehkan untuk
pasangan suami istri.”

Berkata Al-Imam An-Nawawi dalam Raudhatu Thalibin, “Adapun menicum tangan


karena keshalihannya, keilmuan, kemulian, atau jasanya atau sebab-sebab lain yang
berkaitan dengan keagamaan maka mandub (disukai), namun jika untuk dunia, untuk
jabatan, dan lain sebagainya maka sangat dibenci. Berkata Al Mutawali, hukumnya
haram.“

Berkata Abu Bakr Al-Marwazi dalam kitab Al-Wara’, “Saya pernah bertanya kepada
Abu Abdillah (IMAM AHMAD) tentang mencium tangan, beliau mengatakan tidak
mengapa jika alasannya karena agama, namun jika karena kedunian maka tidak boleh,
kecuali dalam keadaan jika tidak menicum tangannya akan di tebas dengan pedang.
Berkata Syaikh Ibnu ‘Ustaimin dalam Fatawa Al-Bab Al-Maftuh, “Mencium tangan
sebagai bentuk penghormatan kepada orang-orang yang berhak dihormati seperti
ayah, para orang-orang tua, guru tidaklah mengapa.”

Dari riwayat-riwayat di atas jelas kepada kita akan bolehnya mencium tangan.

Syarat dan Batas Bolehnya Mencium Tangan


Namun para Imam ada yang memberikan syarat-syarat agar mencium tangan tetap
dalam koridor yang dibolehkan, syeikh Al-AlBani rahiamhullah menuliskan di dalam
Silisalah Ahadistu Shahihah beberapa syarat dalam mencium tangan kepada seorang
alim,

 Tidak dijadikan kebiasaan, yakni tidak menjadikan si alim tersebut terbiasa


menjulurkan tangannya kepada para murid dan tidaklah murid untuk mencari
berkahnya, ini karena Nabi jarang tangannya dicium oleh para sahabat, maka
ini tidak bisa dijadikan sebuah perbuatan yang dilakukan terus menerus
sebagaimana yang kita ketahui dalam Qawaidul Fiqhiyah
 Tidak menjadikan seorang alim sombong, dan melihat dirinya hebat.
 Tidak menjadikan sunnah yang lain ditinggalkan, seperti hanya bersalaman,
karena hanya bersalaman tanpa cium tangan merupakan perintah Rasul.
Semoga bermanfaat

Penulis: Muhammad Halid Syar’i


Alumni SMA 37 Tebet Jakarta, Alumni program I'dad LIPIA, Mahasiswa Fakultas
Hadis Universitas Islam Madinah Saudi Arabia

Artikel: Muslim.or.id
Sumber https://muslim.or.id/30087-hukum-cium-tangan.html

Hukum Mencium Tangan Kyai, Habib, Orang Saleh, dan Yang


Lainnya
By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Bagaimanakah hukum mencium tangan seorang kyai, habib, orang saleh, dan manusia
lainnya?

Rincian mencium tangan orang saleh dan yang lainnya secara umum adalah sebagai
berikut.

Pertama:
Mencium tangan itu berkisar antara hukum boleh atau mustahab (dianjurkan). Jika
yang dicium tangannya adalah seorang ahli ilmu, orang saleh, ataukah orang yang
mulia, dan karena pertimbangan agama lainnya, seperti itu dianjurkan (disunnahkan).

Kedua:
Mencium tangan orang karena kekayaan atau karena memiliki kekuasaan tidaklah
dibolehkan. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari menukil perkataan Imam Nawawi,

،‫ أو نحو ذلك من األمور الدينية ال يكره بل يستحب‬،‫تقبيل يد الرجل لزهده وصالحه أو علمه أو شرفه أو صيانته‬
‫ فمكروه شديد الكراهة‬،‫فإن كان لغناه أو شوكته أو جاهه عند أهل الدنيا‬

“Mencium tangan orang saleh karena kezuhudan, kesalehan, keilmuan, jasanya, atau
karena latar belakang agama lainnya tidaklah makruh, bahkan disunnahkan
(dianjurkan). Namun, jika karena kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan alasan
duniawi lainnya, hal tersebut dilarang keras.”

Ketiga:
Hukum di atas berlaku umum untuk laki-laki dan perempuan, termasuk pada yang
masih hubungan mahram, juga pada suami ataukah istri.

Apakah boleh suami meminta istrinya mencium tangannya, apakah ini termasuk
bentuk sombong dan tidak berinteraksi dengan pasangan secara baik?

Hukum asalnya boleh jika itu untuk bentuk bersenang-senang dengan pasangan.
Sebagaimana dibolehkan istri mencium tangan suami karena kesalehan dan
kemuliannya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

‫ بخالف ما إذا كان المقبل‬،‫وأما ابتداء مد اليد للناس ليقبلوها وقصده لذلك فينهى عن ذلك بال نزاع كائنا من كان‬
‫المبتدئ بذلك‬
“Adapun memulai menyodorkan tangan manusia untuk dicium dan meniatkan untuk
dicium, seperti itu dilarang tanpa ada perselisihan. Hal ini berbeda jika yang mencium
memulai lebih dahulu.”

Adapun istri mencium tangan suami dilakukan setiap hari sebagai bentuk ketaatan
pada suami, tidak ada dalil yang memerintah atau melarang secara utuh. Namun, yang
lebih hati-hati adalah meninggalkannya jika maksudnya dianggap sebagai bentuk taat
pada suami.

Bagaimana mencium tangan orang tua?

Tidak masalah mencium tangan orang tua sebagai bentuk penghormatan padanya dan
untuk menunjukkan bentuk bakti padanya.

Keempat:
Adapun jika maksudnya adalah tabarruk (ngalap berkah) dengan orang saleh atau
selain mereka, di mana tidak ada dalil yang mendukung hal tersebut, seperti itu
tidaklah disyariatkan.

Semoga rincian ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/35766/‫الشديدة‬-‫والكراهة‬-‫االستحباب‬-‫بين‬-‫اليد‬-‫تقبيل‬
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/38477/‫العالم‬-‫يد‬-‫تقبيل‬
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/181523/
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/13930/‫الفضل‬-‫وأهل‬-‫الوالدين‬-‫رجل‬-‫تقبيل‬

Sore hari, saat makan tahu walik, Warak, Girisekar, 24 Rabiul Awwal 1442 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber:
https://rumaysho.com/25793-hukum-mencium-tangan-kyai-habib-orang-saleh-dan-
yang-lainnya.html

Hukum Mencium Tangan Atau Kepala


Pertanyaan.
Bagaimana hukum mencium kepala orang yang lebih besar atau tua, seperti kakek,
nenek dan yang lainnya sebagai bentuk penghormatan?

Jawaban.
Mencium kepala, tangan atau kening sebagai bentuk penghormatan atau pemuliaan itu
diperbolehkan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Aisyah
Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan:

‫َّب بِهَا ثُ َّم قَا َم إِلَ ْيهَا فَقَبَّلَهَا ثُ َّم أَ َخ َذ بِيَ ِدهَا فَ َجا َء بِهَا َحتَّى يُجْ لِ َسهَا‬
َ ‫ت َرح‬ْ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َرآهَا قَ ْد أَ ْقبَل‬
َ ‫َو َكانَ النَّبِ ُّي‬
‫صلى‬ َّ ْ َ ْ ْ ُ ْ َّ
َ ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم َر َّحبَت بِ ِه ث َّم قَا َمت إِلَ ْي ِه فَقَبَّلَتهُ وأنَّهَا َدخَ لَت َعلَى النَّبِ ِّي‬ َّ َ ْ
َ ‫ َو َكانَت إِ َذا أتَاهَا النَّبِ ُّي‬.‫فِي َم َكانِ ِه‬
‫َّب َوقَبَّلَهَا‬‫ح‬ ‫ر‬ َ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫ي‬‫ف‬ ‫ض‬ ‫ب‬ُ ‫ق‬ ‫ي‬ ‫ذ‬
َ َ ِ ِ َ ِ ِ ِ ِ َ َ ِ َ َ َ ِ َّ ‫ال‬ ‫ه‬ ‫ض‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ ‫هللا‬
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melihat putri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (yaitu Fathimah) mendatangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut kedatangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berdiri lalu berjalan menyambut, menciumnya, menggandeng tangannya
lalu mendudukkannya di tempat Beliau duduk. (Begitu juga sebaliknya-red) Jika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Fathimah Radhiyallahu anhuma, maka
Fathimah menyambut kedatanga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bangkit
dan berjalan kearah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mencium Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Fathimah Radhiyallahu anhuma pernah
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang menderita sakit menjelang wafat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut kedatangannya dan
menciumnya.[1]

Diriwayatkan dari Abu Juhaifah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan:

‫ض ْال َحبَ َش ِة قَبَّ َل َرسُوْ َل هللاِ َما بَ ْينَ َع ْينَ ْي ِه‬


ِ ْ‫ ِم ْن أَر‬،ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬
ِ ‫لَ َّما قَ ِد َم َج ْعفَ ٌر َر‬

Ketika Ja’far Radhiyallahu anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


setibanya dari Habasyah, Ja’far Radhiyallahu anhu mencium wajah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu antara dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam [2]

Dalam sebuah hadits dari Anas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengambil Ibrahim (putra Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) lalu menciumnya[3]

Juga disebutkan dalam hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Abu Bakr
Radhiyallahu anhu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat , beliau
Radhiyallahu anhu menyingkap kain penutup wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu mencium wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu antara dua mata
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[4]

Kita juga bisa mendapatkan menemukan beberapa atsar dari para Ulama salaf tentang
perlakuan adil terhadap anak-anak dalam masalah ciuman, sebagaimana juga tentang
mencium tangan. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Razîn, dia mengatakan, “Kami
melewati Rabadzah (sebuah perkampungan dekat Madinah-red) maka dikatakan
kepada kami, ‘Salamah bin al-Akwa’ ada di sini.’ Maka kami mendatanginya dan
menyalaminya lalu dia mengeluarkan kedua tangannya, seraya mengatakan, ‘Kami
telah membaiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kedua tanganku ini.’ Dia
mengeluarkan telapak tangannya yang besar seperti telapak tangan unta. Kami berdiri
menghampirinya dan menciumnya.”[5]

Perlu diingat, meskipun mencium tangan atau kepala itu boleh, namun tidak
sepantasnya dilakukan terus menerus. Karena dikhawatirkan itu akan menghilangkan
sunnah berjabat tangan yang dijelaskan dengan perkataan dan perbuatan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga perbuatan para Sahabat Radhiyallahu anhum .
Ketika mereka bertemu, mereka berjabat tangan dan ketika mereka datang dari
bepergian jauh, mereka saling berpelukan.[6]
Apalagi, jika mengingat keutamaan dari berjabat tangan yaitu bisa menjadi sebab
terhapusnya dosa-dosa orang-orang yang berjabat tangan. Orang yang memiliki
antusiasme tinggi tentu tidak ingin kehilangan momentum untuk mewujudkan
kebaikan ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ق ال َّش َج ِر‬ َ َ‫ ف‬ª،‫ َوأَ َخ َذ بِيَ ِد ِه‬،‫إِ َّن ْال ُم ْؤ ِمنَ إِ َذا لَقِ َي ْال ُم ْؤ ِمنَ فَ َسلَّ َم َعلَ ْي ِه‬
ْ ‫ تَنَاثَ َر‬،ُ‫صافَ َحه‬
ُ ‫ َك َما يَتَنَاثَ ُر َو َر‬،‫ت َخطَايَاهُ َما‬

Seorang Mukmin, jika dia bertemu dengan Mukmin yang lain, lalu dia mengucapkan
salam kepadanya dan menjabat tangannya, maka dosa-dosa akibat kesalahan mereka
berdua akan berguguran sebagaimana dedaunan berguguran[7]

Terkait masalah ini, penulis merasa perlu untuk mengingatkan para pembaca tentang
dua hal:
Pertama: Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang terkait dengan mencium
tangan, dimana dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak
dicium tangannya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ إِنَّ َما أَنَا َر ُج ٌل ِم ْن ُك ْم‬,‫ك‬ ِ ‫َم ْه إِنَّ َما يَ ْف َع ُل هَ َذا األَع‬


ُ ‫إِنـِّي لَس‬, ‫َاج ُم بـ ِ ُملُوْ ِكهَا‬
ٍ ِ‫ْت بِ َمل‬

Tidak mau. Yang melakukan ini hanya orang-orag ajam terhadap para raja mereka,
sementara saya bukan seorang raja. Saya hanya seorang lelaki sebagaimana kalian.
Hadits ini palsu, tidak bisa dijadiakn hujjah, apalagi untuk membantah hadits yang
shahih.
Kedua: Tidak ada rukhsah terkait mencium tangan atau kepala ini untuk mencium
atau mengecup mulut, sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah dan yang lainnya.
Perbuatan ini dimakruhkan karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa
perbuatan itu dilakukan oleh para Ulama salaf. Al-Baghawi t mengatakan,
“Barangsiapa yang mau mencium, maka janganlah dia mencium mulut, namun
ciumlah tangan, kepala atau kening.”[8]

Disebutkan dalam kitab al-Adabus Syar’iyyah, 2/572, karya Ibnu Muflih disebutkan
penjelasan tentang sebab makruhnya mencium mulut, “Dimakruhkan mencium mulut,
karena jarang sekali perbuatan dilatar belakangi keinginan untuk memuliakan.”
Wallahu a’lam [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak
Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 947; Abu Daud, no. 5217; At-Tirmidzi, no.
3872. Syaikh al-Albani dalam kitab al-Misykah memandang sanad hadits ini jayyid, 3/1329
[2] HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr, 2/108, 22/100; Abu Daud dalam
Sunannya, 2/777 dari asy-Sya’biy. Dalam kitab as-Silsilah ash-Shahîhah, 6/335, syaikh al-
Albani rahimahullah menilai sanad hadits ini jayyid
[3] HR. Al-Bukhâri, no.1303
[4] HR. Al-Bukhâri, no.1241
[5] HR. Al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 973. Dalam Shahîh Adabil Mufrad, no. 747,
syaikh al-Albani rahimahullah memandang sanad atsar ini hasan.
[6] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath, no. 97 dari hadits Anas bin
Malik. Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab ash-Shahîhah, 6/303 mengatakan bahwa
sanadnya jayyid. [7] HR. Ath-Thabrani dalam al- Ausath, 1/84 dan al-Baihaqi dalam
Syu’abul Iman, 6/473 dari hadits Hudzaifah Radhiyallahu anhu . Syaikh al-Albani
rahimahullah menilai hadits ini sebagai hadits shahih. As-Shahîhah, no. 2692
[8] Syarhus Sunnah, 12/293

Referensi: https://almanhaj.or.id/6273-hukum-mencium-tangan-atau-kepala.html

Beda Pendapat Ulama soal Mencium Tangan saat Bersalaman


Husnul Haq Senin 14 Oktober 2019

Mencium tangan saat bersalaman merupakan salah satu bentuk penghormatan dalam
tradisi masyarakat Indonesia. Mencium tangan biasanya dilakukan oleh anak kepada
orang tuanya, istri kepada suaminya, murid kepada gurunya, santri kepada kiainya,
dan anak muda kepada orang yang lebih tua.

Hanya saja, sebagaian orang tidak bersedia, atau bahkan menyalahkan tradisi ini,
dengan asumsi bahwa mencium tangan merupakan salah satu bentuk kepatuhan dan
ketundukan mutlak kepada orang yang dicium, sementara kepatuhan dan ketundukan
mutlak seharusnya hanya untuk Allah subhanahu wata’ala. Lalu, bagaimanakah
pendapat para ulama tentang hukum mencium tangan saat bersalaman?

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum permasalahan ini. Pertama, ulama
mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali menegaskan, hukum mencium tangan saat
bersalaman adalah mubah. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Syekh Al-
Hashkafi menerangkan:
(‫يل يَ ِد ال َّر ُج ِل ْال َعالِ ِم‬ َ ْ‫ (والس ُّْلطَا ِن ْال َعا ِد ِل) ) َواَل بَأ‬،‫ك‬
ِ ِ‫س بِتَ ْقب‬ ِ ‫و ْال ُمتَ َور‬.
ِ ُّ‫ِّع َعلَى َسبِي ِل التَّبَر‬ َ
“Dan tidak apa-apa mencium tangan orang alim dan orang wara’ untuk tujuan
mendapatkan keberkahan. Begitu pula (mencium tangan) pemimpin yang adil”
(Muhammad bin Ali Al-Hashkafi, Ad-Durrul Mukhtar Syarh Tanwirul Abshar, juz 2,
h. 577).

Senada dengan Al-Hashkafi, Syekh Al-Mushili menuturkan:


‫ان ْال َعا ِد ِل‬ َ ْ‫َواَل بَأ‬
ِ َ‫س بِتَ ْقبِي ِل يَ ِد ْال َعالِ ِم والس ُّْلط‬
“Dan tidak apa-apa mencium tangan orang alim dan pemimpin yang adil” (Abdullah
bin Mahmud Al-Mushili, Al-Ikhtiyar li Ta’lilil Mukhtar, juz 1, h. 659).

Tidak jauh berbeda dari kedua ulama mazhab Hanafi di atas, seorang ulama mazhab
Hanbali bernama Syekh Al-Bahuti menulis:
‫س تَ َديُّنًا َوإِ ْك َرا ًما َواحْ تِ َرا ًما َم َع أَ ْم ِن ال َّشه َْو ِة‬ ْ
ِ ‫فَيُبَا ُح تَ ْقبِ ْي ُل ْاليَ ِد َوالرَّأ‬
“Maka dibolehkan mencium tangan dan kepala karena alasan keagamaan dan
penghormatan, disertai rasa aman dari syahwat” (Mansur al-Bahuti, Kasysyaful Qina’
an Matnil Iqna’, juz 2, h. 182).

Sedangkan Ibnu Muflih menyebutkan dalam kitabnya Al-Adab Al-Syariyyah:


‫فَأ َ َّما تَ ْقبِي ُل يَ ِد ْال َعالِ ِم َو ْال َك ِر ِيم لِ ِر ْف ِد ِه َوال َّسيِّ ِد لِس ُْلطَانِ ِه فَ َجائِ ٌز‬
“Adapun mencium tangan orang alim dan orang dermawan karena pemberiannya,
serta pemimpin karena kekuasaannya, maka diperbolehkan” (Ibnu Muflih, Al-Adab
Al-Syariyyah, juz 2, h. 179).
Kedua, menurut ulama mazhab Syafi’i, cium tangan saat bersalaman hukumnya
sunnah. Imam Al-Qazwini menulis:
،‫صيَانَتِ ِه َونَحْ ِو ِه ِمنَ اأْل ُ ُموْ ِر ال ِّد ْينِيَّ ِة‬
ِ ‫ أَوْ ِع ْل ِم ِه أَوْ َش َرفِ ِه َو‬،‫صاَل ِح ِه‬
َ ‫ب ْاليَ ِد َو‬ َ ‫ فَإ ِ ْن َكانَ لِ ُز ْه ِد‬،‫َوأَ َّما تَ ْقبِ ْي ُل ْاليَ ِد‬
ِ ‫صا ِح‬
ٌّ‫ف ُم ْست ََحب‬ َ
“Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan pemilik tangan dan kebaikannya,
atau karena ilmunya, atau kemuliannya, keterjagaannya, dan sebagainya; berupa
urusan-urusan agama, maka disunnahkan” (Abdul Karim bin Muhammad Al-
Qazwini, Al-Aziz Syarh Al-Wajiz, juz 12, h. 378).

Senada dengan Al-Qazwini, Imam Nawawi menyebutkan:


،‫صيَانَتِ ِه َونَحْ ِو ِه ِمنَ اأْل ُ ُموْ ِر ال ِّد ْينِيَّ ِة‬
ِ ‫ أَوْ ِع ْل ِم ِه أَوْ َش َرفِ ِه َو‬،‫صاَل ِح ِه‬
َ ‫ب ْاليَ ِد َو‬ َ ‫ فَإ ِ ْن َكانَ لِ ُز ْه ِد‬،‫َوأَ َّما تَ ْقبِ ْي ُل ْاليَ ِد‬
ِ ‫صا ِح‬
ٌّ‫فَ ُم ْست ََحب‬
“Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan pemilik tangan dan kebaikannya,
atau karena ilmunya, atau kemuliannya, keterjagaannya, dan sebagainya; berupa
urusan-urusan agama, maka disunnahkan” (Yahya bin Syaraf Annawawi, Raudhatut
Thalibin, juz 7, h. 438).

Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin menulis salah satu babnya
dengan judul:
ِ ِ‫صافَ َح ِة ِع ْن َد اللِّقَا ِء َوبَ َشا َش ِة ْال َوجْ ِه َوتَ ْقبِي ِْل يَ ِد ال َّر ُج ِل الصَّال‬
‫ح‬ َ ‫ب ْال ُم‬
ِ ‫بَابُ ا ْستِحْ بَا‬
Bab kesunnahan berjabat tangan saat berjumpa, menampakkan wajah ceria, dan
mencium tangan orang shaleh. (Lihat: Yahya bin Syaraf Annawawi, Riyadhus
Shalihin, juz 1, h. 271).

Ketiga, ulama mazhab Maliki menyatakan, hukum mencium tangan saat bersalaman
adalah makruh. Syekh Al-Manufi menyebutkan:
(‫ك‬ ٌ ِ‫ َولَوْ أَبًا أَوْ َسيِّدًا أَوْ ) َو َك ِرهَ َمال‬،ُ‫ أَوْ َغ ْي َره‬،‫ َس َوا ٌء َكانَ ْال َغ ْي ُر عَالِ ًما‬،‫ يَ ِد ْال َغي ِْر ظَا ِه ِر ِه‬: ْ‫َر ِح َمهُ هللاُ (تَ ْقبِي َْل ْاليَ ِد) أَي‬
‫زَ وْ جًا‬
“Imam Malik – rahimahullah – menyatakan kemakruhan mencium tangan, yaitu
tangan orang lain bagian luar, baik orang tersebut alim atau tidak, walaupun seorang
ayah, pemimpin, atau suami. (Ali bin Khalaf Al-Manufi, Kifayatut Thalib Arrabbani,
juz 2, h. 620).

Imam Annafrawi juga menyebutkan:


‫َوظَا ِه ُر كَاَل ِم ِه ْال َك َراهَةُ َولَوْ َكانَ ُذو ْاليَ ِد عَالِ ًما أَوْ َش ْي ًخا أَوْ َسيِّدًا‬
“Dhahir ucapan Imam Malik (terkait cium tangan) adalah makruh, meskipun pemilik
tangan adalah orang alim, syekh, atau pemimpin” (Ahmad bin Ghanim Annafrawi,
Al-Fawakih Addawani, juz 2, h. 326).

Akan tetapi, salah satu ulama mazhab Maliki bernama Syekh Al-Abhary,
sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, menjelaskan bahwa sesungguhnya
hukum makruh mencium tangan, menurut Imam Malik, hanya berlaku jika cium
tangan itu dilaksanakan untuk tujuan kesombongan. Namun, jika hal itu dilakukan
dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, dan didasari agama, ilmu, atau kemuliaan
pemilik tangan, maka hukumnya diperbolehkan (lihat: Ibnu Hajar Al-Atsqalani,
Fathul Bari, juz 11, h. 57).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, ulama berbeda pendapat soal hukum
mencium tangan saat bersalaman. Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali
menghukuminya mubah. Ulama mazhab Syafi’i menganggapnya sunnah. Sedangkan
ulama mazhab Maliki menghukuminya makruh, jika tujuannya untuk kesombongan.
Namun, jika tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan didasari agama,
ilmu, atau kemuliaan pemilik tangan, maka hukumnya mubah.

Adapun asumsi sebagian orang bahwa mencium tangan merupakan bentuk kepatuhan
dan ketundukan mutlak kepada orang yang dicium adalah kurang tepat. Mencium
tangan lebih tepat diartikan sebagai penghormatan kepada orang yang dicium, atas
dasar ilmu dan kemuliaan yang Allah subhanahu wata’ala titipkan kepadanya.
Karena itu, para sahabat dahulu terbiasa mencium tangan Rasulullah shallallahu
a’laihi wasallam, sebagaimana diceritakan dalam hadis riwayat Usamah bin Syarik:
ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَب َّْلنَا يَ َده‬
َ ‫قُ ْمنَا إِلَى النَّبِ ِّي‬
“Kami menuju (bertemu) Nabi shallallahu a’laihi wasallam, lalu kami mencium
tangannya” (Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Fathul Bari, juz 11, h. 59).

Semoga keragaman pendapat para ulama soal hukum mencium tangan saat
bersalaman membuat kita semakin dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan.
Wallahu A’lam.

Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung,


dan Dosen IAIN Tulungagung.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/112132/beda-pendapat-ulama-soal-mencium-
tangan-saat-bersalaman

Anda mungkin juga menyukai