Anda di halaman 1dari 7

KURIKULUM MATEMATIKA DI JEPANG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Pendidikan di lembaga sekolah tidak bisa berjalan jika hanya ada siswa, guru,
bangunan dan fasilitas sekolah. Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik jika
materi belajar telah disepakati. Materi belajar tersebut tidak hanya berupa rangkaian kalimat
yang menerangkan cakupan konten pembelajaran, tetapi juga memuat berapa lama harus
diajarkan, tujuan
pengajaran, dan bagaimana mengajarkannya. Inilah yang sering disebut sebagai kurikulum. T
etapi kurikulum tidaklah sesederhana itu.          

            Pada sistem pendidikan tradisional, kurikulum disusun oleh lembaga pendidikan


bersangkutan, namun dengan dijadikannya pendidikan sebagai bagian yang harus dikelola
oleh negara, dan lembaga sekolah mulai diformalkan, maka otomatis penyusunan kurikulum
pun menjadi tanggung-jawab pemerintah.Pembuatan kurikulum oleh pemerintah
memungkinkan keseragaman lembaga pendidikan di seluruh negeri.Tetapi apa yang disusun
oleh pemerintah hanyalah sebuah standar atau pembakuan yang selanjutnya merupakan
acuan/pedoman dalam penyusunan kurikulum khas sekolah yang menjadi tanggung jawab
kepala sekolah dan aparatnya.
            Jepang sekalipun telah menstandarkan semua fasilitas pendidikannya dan sekaligus
telah menerapkan standar kualifikasi minimal untuk para gurunya, sehingga pelaksanaan
kurikulum di setiap lembaga sekolah boleh dikatakan seragam, tetap saja tidak bisa menjamin
hasil pendidikan dengan mutu seragam. Pembaharuan kurikulum adalah hal yang mutlak
terjadi, sebab pendidikan juga berjalan mengikuti zaman dan perubahan. Sama halnya dengan
Indonesia kurikulum pun telah mengalami perubahan beberapa kali di Jepang. Perubahan
tersebut mau tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi
pendidik di Jepang.
            Ada tiga tugas utama guru/pendidik di Jepang yaitu gakushū shidōu (membimbing
pembelajaran), seito shidō (membimbing siswa), dan kōmubunshō (tugas
administrasi/managerial sekolah). Agar pengejewantahan ketiga tugas/fungsi guru tersebut
dapat berjalan dengan baik, maka perlu disusun perencanaan. Perencanaan itulah yang
disebut kyouiku katei (rencana kurikulum) di Jepang.
            Kurikulum pendidikan pasti memiliki tujuan begitu juga dengan kurikulum
pendidikan matematika di Jepang. Tujuan kurikuler dari negara tersebut dalam pendidikan
matematika dasar hampir sama. Jepang berusaha untuk memberikan para siswa dengan
berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan mereka  untuk
berpikir secara logis dan kreatif menggunakan masalah matematika yang didasarkan pada
situasi kehidupan nyata.
                  Pembelajaran matematika di Jepang lebih banyak menggunakan pendekatan open
ended dan pemecahan masalah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat
model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Pembelajaran
matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi
(contextual problem).

1.2. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:


1.      Bagaimana kurikulum pendidikan di Jepang ?
2.      Bagaimana perkembangan kurikulum pendidikan matematika di Jepang?
3.      Bagaimana pembelajaran matematika di Jepang ?

1.3. Tujuan Masalah


            Yang menjadi tujuan dari tulisan ini adalah:
1.      Untuk mengetahui kurikulum pendidikan di Jepang.
2.       Untuk mengetahui perkembangan kurikulum pendidikan matematika di Jepang.
3.      Untuk mengetahui pembelajaran matematika di Jepang

1.4. Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu dapat menambah
kajian  ilmiah  bagi pembaca dalam kajian perkembangan kurikulum dan pembelajaran
matematika di Jepang serta secara khusus menambah bahan refrensi bagi mahasiswa yang
ingin mempelajari arah dan isu kecenderungan pendidikan matematika.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kurikulum Pendidikan di Jepang


Tingkatan pendidikan di Jepang sama dengan di Indonesia yaitu dengan
menggunakan sistem 6-3-3 (6 tahun SD, 3 tahun SMP, tiga tahun SMA) dan Perguruan
Tinggi. Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama digolongkan
sebagai Compulsory Education dan Sekolah Menengah Atas digolongkan
sebagai Educational Board.
Compulsory Education di Jepang dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses
penuh kepada semua anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan SMP)
dengan menggratiskan tuition fee, dan mewajibkan orang tua untuk menyekolahkan anak
(ditetapkan dalam Fundamental Law of Education). Untuk memudahkan akses, maka di
setiap distrik didirikan SD dan SMP walaupun daerah kampung dan siswanya minim (per
kelas 10-11 siswa). Orang tua pun tidak boleh menyekolahkan anak ke distrik yang lain, jadi
selama masa compulsory education, anak bersekolah di distrik masing-masing. Mutu sekolah
negeri di semua distrik sama, sebab Ministry of Education menkondisikan equality di semua
sekolah.Sedangkan untuk SMA, siswa dibebaskan untuk memilih sekolah di distrik lain.
Di Jepang Pendidikan dasar tidak mengenal ujian kenaikan kelas, tetapi siswa yang
telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas dua,
demikian seterusnya. Ujian akhir juga tidak ada, karena SD dan SMP masih termasuk
kelompok compulsory education, sehingga siswa yang telah menyelesaikan studinya di
tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP. Selanjutnya siswa lulusan SMP dapat memilih
SMA yang diminatinya, tetapi kali ini mereka harus mengikuti ujian masuk SMA yang
bersifat standar, artinya soal ujian dibuat oleh Educational Board. Ujian masuk hampir
serentak di seluruh Jepang dengan bidang studi yang sama yaitu, Bahasa Jepang, English,
Math, Social Studies, dan Science. Sama halnya dengan Indonesia, SMA dibagi menjadi
SMA umum dan SMK. Ujian masuk PT dilakukan dua tahap. Pertama secara nasional soal
ujian disusun oleh Ministry of education, terdiri dari lima subject, sama seperti ujian masuk
SMA, selanjutnya siswa harus mengikuti ujian masuk yang dilakukan masing-masing
universitas, tepatnya ujian masuk di setiap fakultas.
Panduan tentang muatan pembelajaran di sekolah Jepang termuat
dalam gakusyuushidouyouryo (学習指導要領). Dokumen ini berisikan keterangan lengkap
tentang tujuan pembelajaran di sekolah, materi pelajaran, pendidikan moral dan kegiatan
khusus terkait dengan sekolah.Gakusyuushidouyouryou dapat dikatakan sebagai standar
minimum yang harus dicapai oleh sekolah-sekolah negeri (国立学校), sekolah publik (公
立 学 校 ) , dan sekolah swasta ( 私 立 学 校 ) .Gakusyuushidouyouryou pertama kali
dikeluarkan pada tahun 1947, bertepatan dengan lahirnya UU Pendidikan di Jepang.
Pembaharuan kurikulum di Jepang berlangsung setiap 10 tahun sekali, dan kurikulum
terbaru yang diterbitkan di tahun 1998 adalah pembaharuan ketujuh sejak kurikulum yang
diterapkan pada Perang Dunia II. Di Jepang kurikulum disusun oleh sebuah komite khusus
dibawah kontrol Kementerian Pendidikan (MEXT). Komisi Kurikulum terdiri dari wakil dari
Teacher Union, praktisi dan pakar pendidikan, wakil dari kalangan industri, dan wakil
MEXT.
Jepang merupakan negara yang pendidikannya maju. Sistem pendidikan Jepang
memberi kesempatan kepada siswa tamatan sekolah menengah atas untuk mendapat
pendidikan lebih lanjut yang bermacam-macam. Selain itu masih banyak ciri-ciri pendidikan
Jepang, diantaranya:
1. Perhatian pada pendidikan datang dari bermacam-macam pihak
2. Sekolah Jepang tidak Mahal
3. Di Jepang Tidak Ada Diskriminasi Terhadap Sekolah
4. Kurikulum sekolah Jepang sangat berat
5. Sekolah sebagai unit pendidikan
6. Guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan
7. Guru jepang penuh dedikasi
8. Guru jepang merasa wajib memberi pendidikan “orang seutuhnya”
9. Guru Jepang bersikap adil.

2.2. Kurikulum Pendidikan Matematika di Jepang


            Pendidikan matematika di Jepang memiliki kurikulum. Tujuan kurikuler dalam
pendidikan matematika yaitu untuk memberikan para siswa dengan berbagai dan beragam
pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan mereka  untuk berpikir secara logis dan
kreatif. Waktu belajar mengajar matematika di Jepang lebih sedikit jika dibandingkan dengan
di Indonesia. Buku pelajaran matematika di Jepang menggunakan gambar asli tempat, benda
dan hal-hal lain yang memiliki relativitas dengan isi atau pelajaran yang disajikan dalam
buku.
                   Kurikulum matematika di Jepang tidak sepadat yang ada di Indonesia. Kurikulum
matematika dasar Jepang memiliki tujuan belajar lebih sedikit daripada Indonesia. Sehingga
sebagian besar siswa Jepang memiliki cukup waktu untuk menyerap dan memahami setiap
pelajaran. Mereka bahkan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan karya
tangan dan kegiatan menyenangkan lainnya tapi merangsang dalam belajar matematika.
Siswa Jepang belajar untuk menikmati matematika dan memiliki kemampuan untuk
menghubungkan pelajaran mereka dalam situasi kehidupan nyata.
                  Pada  kurikulum 1971 adalah kurikulum yang sangat sarat materi sementara sekolah-
sekolah di Jepang belum memadai baik dari segi fasilitas maupun kemampuan guru-gurunya.
Sehingga kurikulum tersebut terlalu memberatkan dan kurang berhasil. Oleh karena itu
muncullah ide untuk memberikan pendidikan yang lebih mementingkan keleluasaan waktu
dan ruang. Itulah yang disebut yutorikyouiku. Jumlah jam pelajaran SD per tahun berkurang
sebanyak 36 jam, dan SMP sebanyak 385 jam.
            Indikator pemerintah untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Jepang adalah
pengukuran internasional yang diselenggarakan negara-negara OECD, yaitu PISA dan
TIMMS, sebab Jepang tidak menerapkan sistem ujian nasional. Pada tahun 1995, prestasi
siswa SD dan SMP Jepang menempati urutan pertama, namun tahun-tahun selanjutnya
mengalami penurunan. Dalam rangka pelaksanaan yutorikyouiku, pemerintah juga
menerapkan 5 hari sekolah, yaitu dari hari Senin sampai Jumat. Tujuan kebijakan ini adalah
agar siswa dapat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga dan belajar lebih
banyak di lingkungannya pada akhir pekan.
            Dengan hasil PISA yang mengecewakan, pemerintah kemudian mengeluarkan
kebijakan untuk melaksanakan kembali gakuryoku tesuto (tes kemampuan akademik) tahun
2007, yang pernah dilaksanakan pada tahun 1960. Karakteristik kurikulum Jepang yang
lainnya adalah ide ikiru chikara dan sōgōtekina gakushū jikan. Konsep ikiru chikara adalah
konsep yang hendak membudayakan jiwa dan melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup
di tengah masyarakat.
            Kerangka kurikulum Jepang untuk bidang matematika tidak ditargetkan untuk
menguasai luasnya cakupan, tetapi justru menargetkan kedalaman proses pembelajarannya
(Schmidt, McKnight, & Raizen, 1996, dlm Darling-Hammond, 1997). Untuk tahun pertama
tingkat SMP (lower secondary school), kurikulum menargetkan empat sasaran dasar:
a. memperdalam pemahaman siswa mengenai integral
b. memahami arti persamaan (equations)
c. memahami fungsi hubungan (relationships)
d. memperdalam pemahaman siswa tentang ciri-ciri ruang (properties of space figures)
            Tujuan pembelajaran ini diterjemahkan ke dalam tiga topik utama yang diajarkan.
Terkait dengan target ini, para guru disarankan untuk menekankan pemahaman akan arti atau
makna dasarnya, dan tidak semata-mata untuk melatih hitung-hitungan belaka. Dengan
demikian, penekanannya adalah dalam mengembangkan pemahaman daripada sekedar
menerapkan rumus-rumus algoritma atau mengukur kecepatan dalam memecahkan soal atau
topik.

2.2. Pembelajaran Matematika di Jepang


            Pengajaran matematika di Jepang relatif berbeda. Kelas dimulai dengan pengantar
singkat, kemudian guru menyajikan satu soal yang cukup sulit dan tidak mengajarkan siswa
cara memecahkan soal tersebut. Para siswa lalu mengerjakan sendiri soal tersebut, baik
mandiri maupun berkelompok, sambil diawasi oleh guru yang berkeliling untuk melihat
berkembangan dan memberikan saran-saran. Setelah sepuluh atau 15 menit, salah seorang
siswa diminta untuk mempresentasikan apa yang diperolehnya di depan kelas, dengan
masukan dari guru jika siswa tersebut mengalami hambatan. Matematika jepang memberikan
kebebasan    pola pikir dalam menyelesaikan masalah kepada anak. Kesalahan yang terjadi
pada anak dibiarkan dan dijadikan proses alamiah dalam menemukan pola pikir itu. Guru
memberikan sebuah permasalahan untuk dipecahkan anak sesuai dengan pola pikirnya.
            Dalam sebuah kelas di Jepang, anak-anak bisa jadi menghabiskan seluruh waktu
pembelajaran di kelas untuk mendemonstrasikan dan mendiskusikan beragam solusi yang
mereka identifikasi terhadap suatu persoalan. Dengan melihat pada suatu persoalan dari
berbagai perspektif, dan menilai proses berpikir dalam diri mereka sendiri, serta mengoreksi
miskonsepsi yang telah mereka buat, mereka belajar berpikir secara lentur atau fleksibel.
Bukannya belajar dengan semata-mata menerapkan serangkaian aturan yang tidak
sepenuhnya mereka pahami, atau memecahkan sejumlah besar persoalan yang sama dengan
rumus algoritma yang sama, para siswa belajar untuk sampai pada pemahaman akan beragam
strategi untuk memecahkan persoalan. Tidak mengherankan bahwa akhirnya mereka pun
mampu menerapkan apa yang telah mereka pelajari tersebut dalam situas-situasi baru yang
mereka hadapi.
            Pembelajaran matematika, terutama di SD dan SMP di Jepang juga sangat menarik,
guru-guru selalu menyiapkan bahan belajar yang sangat sederhana, misalnya kertas, gunting,
jepitan pakaian, atau bahan lain yg gampang sekali ditemukan. Alat peraga digunakan untuk
membantu membentuk pola pikir anak.
            Misalnya seorang guru di SD affiliation Tsukuba University mengajar anak kelas 5
SD bilangan berderet dengan bahan kertas dan gunting. Dengan prinsip `melipat dan
menggunting` anak-anak belajar bilangan berderet secara menyenangkan.
            Yang menarik guru sama sekali tidak menggurui dengan memberitahukan
jawabannya secara langsung, tetapi seakan-akan beliau tidak tahu, dan meminta siswa untuk
menjelaskan. Melalui cara ini, saya dapat menangkap bahwa anak-anak Jepang sangat kaya
ide. Pepatah `banyak jalan menuju Roma` berlaku di sini. Dan Pak Guru sama sekali tidak
pernah mengatakan `salah`, yang dia ucapkan malah kalimat `naruhodo`, yang artinya `Oh,
saya baru tahu ! Kalimat ini menurut saya membangkitkan suatu kebanggaan tersendiri bagi
seorang anak.Suatu pujian yang bisa diartikan `kamu bisa, Nak !`
Ada 3 prinsip mengajar guru-guru di Jepang, yaitu
1. Tanoshii jugyou (kelas harus menyenangkan)
2. Wakaru ko (anak harus mengerti)
3. dekiru ko (anak harus bisa)
            Melalui model pembelajaran seperti itu, kita dapat melihat bagaimana anak-anak di
Jepang diajari untuk menganalisa sebuah permasalahan, atau menemukan pemecahannya,
tanpa dijejali dengan rumus itu rumus ini. Mereka baru diajari rumus /teori belakangan,
setelah mereka paham asal-usul sebuah teori, dan bisa menggunakannya di kehidupan sehari-
hari. Mereka juga tidak diajari banyak hal, sedikit saja yang penting mengerti.
                  Pendekatan pembelajaran matematika di Jepang yang diamanatkan oleh standar isi
adalah pemecahan masalah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat
model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Pembelajaran
matematika di Jepang berdasarkan masalah kontekstual. Hal ini dapat terlihat dari buku
pelajaran matematika di Jepang menggunakan gambar asli tempat, benda dan hal-hal lain
yang memiliki relativitas dengan isi atau pelajaran yang disajikan dalam buku. Buku
pelajarannya berwarna-warni dan memiliki banyak foto dan gambar.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum di Jepang memiliki
karakteristik pengembangan yang berusaha menyesuaikan kondisi dan pemikiran
2. Tujuan kurikuler dari negara Jepang dalam pendidikan matematika yaitu berusaha untuk
memberikan para siswa dengan berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan
kemampuan mereka  untuk berpikir secara logis dan kreatif menggunakan masalah
matematika yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata.
3. Matematika Jepang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencoba
menyelesaikan masalah dengan pola pikir sendiri.
4. Inti pengajaran matematika di jepang adalah membentuk pola pikir para peserta didiknya.
Pendekatan yang sering dipakai adalah open ended,problem solving dan discovery.

DAFTAR PUSTAKA

Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT)


http://www.mext.go.jp/english/)
http://tjiptosubadi.blogspot.com/2010/04/kurikulum-dan-kompetendi-guru-di-jepang.html
http://wwwdarsonmate.blogspot.com/2010/12/kurikulum-jepang-dan-filipina.html

http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/30/momok-bernama-matematika/

Anda mungkin juga menyukai