Anda di halaman 1dari 20

Yohanes Surya: Tidak Ada Anak yang Bodoh

Oleh : Arin Swandari

KBR, Jakarta – Nama Yohanes Surya tak asing di bidang pendidikan. Profesor yang
satu ini sukses membawa anak-anak Indonesia menjuarai Olimpiade Fisika
Internasional dari tahun ke tahun. Prof Yo, begitu ia biasa dipanggil, juga populer
dengan kampanyenya bahwa fisika itu gampang, asyik dan menyenangkan – disingkat
‘Fisika Gasing’. Tak cuma itu, fisika pun dipakai Prof Yo untuk menelaah fenomena
sosial, politik dan ekonomi. Apa yang dicari oleh seorang Prof Yo sekarang?

Beberapa kali Anda menegaskan bahwa tidak ada anak yang bodoh tetapi gurunya
yang salah atau cara mengajarnya yang salah. Apa yang ingin disampaikan dari hal
tersebut?

“Sebenarnya saya melihat di Indonesia ini banyak sekali anak-anak yang belum dapat
kesempatan belajar dari guru yang baik dengan metode yang tepat. Akibatnya anak-
anak ini tidak bisa belajar dengan baik lalu munculah istilah mereka bodoh. Padahal
sesungguhnya mereka tidak bodoh, coba kasih kesempatan yang sama dengan orang-
orang yang sudah punya kesempatan itu mereka akan melejit luar biasa, itu sudah
saya buktikan berkali-kali. Ternyata memang benar anak dari daerah pedalaman yang
dianggap tidak punya pengetahuan yang baik tapi begitu dilatih mereka jadi luar biasa
sekali.”

Dulu saya waktu SMA kelas 1 misalnya belajar fisika semalam suntuk tapi hasil
nilainya hanya 6. Apa yang terjadi dengan manusia seperti saya?

“Sebenarnya belajar fisika tidak bisa belajarnya kebut semalam. Sebenarnya itu
masalah mungkin dia belum dapat pencerahan lewat guru yang bisa mencerahkan atau
mungkin dia belum dapat metode yang baik dan benar untuk belajar fisika. Sebab
kalau dia tahu metode yang baik dan benar anak SD pun bisa mengerjakan soal fisika
SMA kok. Soalnya saya sudah buktikan dengan anak-anak dari pedalaman, saya latih
di sini dengan metode yang baik soal-soal fisika SMA saya kasih mereka bisa.”

Kalau memang yang salah adalah metodenya apa yang bisa kita lakukan untuk
segera meluruskan kesalahan itu yang bisa lebih masif dilakukan untuk anak-anak di
negeri ini?

“Salah satunya adalah melatih ulang para guru. Jadi dengan metode yang lebih tepat
ini, sebenarnya saya sedang melakukan lewat sekolah keguruan yang saya dirikan
yaitu STKIP Surya. Saya mencoba melatih anak-anak dari pedalaman tentang metode
pembelajaran yang saya namakan GASING (Gampang Asyik Menyenangkan) bisa
juga dibilang metode yang tidak pusing. Anak-anak ini dilatih lalu kita harapkan
mereka kembali bisa menerapkan metode yang baik ini kepada anak-anak di
pedalaman. Jadi kalau orang dari sana pulang kan dia bisa tinggal bertahun-tahun di
sana, kalau guru dari kota disuruh ke pedalaman paling mereka cuma tahan beberapa
bulan. Tapi kalau orang asli di sana dia bisa membangun daerahnya. Itu sebabnya
saya kenapa ambil anak-anak dari pedalaman di STKIP Surya ini.”

Salah satunya adalah Papua, kenapa?


“Di Papua kita melatih orang-orang Papua untuk belajar fisika dan sains secara
gampang, asyik, dan menyenangkan. Jadi mereka dibawa ke Jakarta lalu nanti
dikembalikan ke sana.”

Pilihan Papua itu ada pilihan tersendiri alasan personal atau memang karena
dianggap paling tertinggal di Indonesia?

“Pertama karena daerah ini dianggap daerah paling tertinggal, kedua respon mereka
positif sekali. Jadi mereka ingin sekali daerahnya maju, mereka ingin juga daerahnya
seperti kota-kota yang lain. Itu sebabnya ketika kami tawarkan mereka responnya
sangat positif.”

Ada Kabupaten Kerom, Tolikara begitu ya?

“Betul ada Kerom, Tolikara, Puncak Jaya, Wamena itu daerah pedalaman sekali.”

Hasil dari adik-adik kita dari Papua itu sejauh ini sampai di mana?

“Sejauh ini mereka baik. Artinya mereka yang datang anak SMA kelas 3 menghitung
8 x 18 saja tidak bisa, sekarang sudah mulai mempunyai kemampuan menghitung
baik dan mereka sedang disiapkan teaching method-nya juga sehingga mereka
diharapkan ketika kembali mereka bisa mengajar.”

Setelah Anda bergaul dengan anak-anak, mengajar mereka. Bagaimana Anda


menarik kesimpulan kapasitas anak Indonesia kalau dibandingkan anak-anak negara
lain yang sudah mendapatkan metode yang jauh lebih baik atau benar?

“Sebenarnya kalau dibilang potensi tidak kalah kita. Jadi kalau anak-anak ini bisa
dilatih dengan baik dia bisa jadi hebat, contohnya kita selama ini Olimpiade Fisika
selalu dapat emas. Karena anaknya memang bagus, anak-anak kita punya potensi
ketika dilatih dengan metode yang baik ya mereka bisa jadi.”

Metode yang Anda gunakan ini di luar negeri juga digunakan atau Anda temukan
sendiri?

“Metode ini saya temukan sendiri. Tapi mungkin di luar negeri pun orang
menggunakan dengan metode yang lain, tiap daerah berbeda. Lalu saya menemukan
ini bisa untuk orang-orang Indonesia tapi juga bisa secara umum sebenarnya. Ini hasil
analisa saya selama katakan 20 tahun terakhir ini.

Metode yang digunakan itu secara sederhana seperti apa?

“Seperti fisika kita mengajarnya tanpa menggunakan rumus. Misalnya ada dua benda
bergerak saling berhadapan misalnya sepeda si Ali dan Amir, si Ali dan Amir
bergerak saling berhadapan, kecepatan sepeda itu anggap 5 meter per detik. Mereka
bergerak saling berhadapan, jarak mereka katakanlah 50 meter, pertanyaannya kapan
mereka akan ketemu. Terus orang selalu pikir pakai rumus, kita pakai logika saja Ali
bergerak dengan 5 meter per detik, si Amir 5 meter per detik. Berarti 1 detik tambah
dekat 10 meter karena Ali dan Amir maju sama-sama 5 meter, jadi 10 meter 1 detik,
sekarang jaraknya 50 meter berarti 5 detik ketemu.”
Persisnya kapan Anda mulai jatuh cinta pada fisika dan ada peristiwa apa yang
mendasari itu?

“Sebenarnya lebih banyak waktu SMA karena pengaruh guru. Gurunya itu Pak
Handoyo cukup menarik kalau mengilustrasikan fisika. Pernah ada satu kisah tentang
percepatan, ada satu anak yang cukup nakal disuruh jalan terus dijorokin sama dia, ya
itulah percepatan. Terus makin belajar saya lihat fisika memang menarik.”
https://m.kbr.id/berita/05-2014/yohanes_surya__tidak_ada_anak_yang_bodoh/34597.html

Yohanes Surya: Kirim Anak Paling Bodoh Sebodoh-bodohnya ke


Saya
"Anak Papua lulus SMA, 3x3, 25+37 nggak bisa."

Pebriansyah Ariefana
Senin, 21 Maret 2016 | 07:00 WIB

Suara.com - Di tahun 1999, Indonesia mendapatkan medali emas di ajang olimpiade


fisika di Universitas Padua, Italia. Di tempat itu, fisikawan besar Galileo Galilei
pernah mengajar dan mengembangkan fisika lebih dari 400 tahun yang lalu.

Kala itu anak bangsa yang mendapatkan medali emas adalah Made Agus Wirawan,
siswa SMUN 1 Bangli. Dia anak dari desa di Bangli, Bali. Agus anak seorang
pemahat. Saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah ada siswa Indonesia naik ke
panggung menerima medali emas di Olimpiade Fisika Internasional.

Sosok yang ada di belakang kemenangan itu adalah Yohanes Surya. Saat itu dia
menjadi pelatih Agus. Sejak itu, Indonesia percaya diri untuk terus mengirimkan
kontingennya ke berbagai olimpiade fisika dan matematika internasional.

Ditemui suara.com di ruang kerjanya di Universitas Surya, Serpong, Tangerang,


Yohanes masih gagah dan segar di usianya yang sudah menginjak 53 tahun. Tercatat
sudah 100 medali emas yang didapatkan anak didiknya dari olimpiade fisika dan
matematika internasional. Sebanyak 200 anak yang sudah dia ‘orbitkan’.

Doktor College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat ini sejak lulus dari
Universitas Indonesia sebagai sarjana fisika memang sudah terjun di dunia
pendidikan. Bahkan Dia rela pulang ke Indonesia untuk melatih anak-anak berbakat
untuk mengikuti ajang olimpiade fisika dan matematika.

Universitas yang didirikan Yohanes diklaim sebagai kampus berbasis riset pertama di
dunia. Dia memberikan beasiswa hampir dari setengah mahasiswanya sejak tahun
2013. Nantinya, kampusnya akan melahirkan peneliti-peneliti dan banyak melahirkan
penemuan baru.

Berikut cerita lengkap Yohanes kepada suara.com:

Anda dikenal banyak mencetak pemenang olimpiade fisika dan matematika


internasional. Sudah berapa banyak anak didik Anda yang menang?
Saya mulai dari tahun 1993, saat itu saya masih graduate student di Amerika. Tahun
1994, saya sudah mendapat doktor. Sampai sekarang sudah dapat 100 medali emas
dari olimpiade fisika dan matematika. Olimpiade internasional dan tingkat Asia ada
lebih 70 medali emas. Jumlah anak didik, jika saya melatih 10 orang setahun, ini
sudah 22 tahun, jadi sudah 200 anak. Itu yang benar-benar koor-nya. Sementara saya
juga sempat melatih yang 30 besar masuk semi final.

Di mana lombanya?

Lombanya pindah-pindah, tiap tahun Indonesia sudah ikut ke berbagai negara, Cina,
Rusia, Amerika dan hampir semua negara di dunia.

Bisa Anda cerita, bagaimana awalnya melatih anak-anak untuk ikut kompetisi sain?

Saya ingin percaya diri bangsa Indonesia naik. Saya berharap dengan menjadi juara
olimpiade, jadi yakin dengan kemampuan Indonesia. Dan kita percaya kalau kita bisa.
Misalnya saat kita merebut juara dunia jadi absolute winner tahun 2006, orang-orang
di Indonesia kagum dan banyak yang beritakan.

Di sana percaya dirinya langsung muncul. Jadi saat itu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mencanangkan “Kita Bisa”. Akhirnya ini menjadi selogan terus-terusan
bahwa “Kita Bisa” dan nggak kalah dengan bangsa lain. Ini yang ingin saya ciptakan.

Tapi ini baru satu langkah. Langkah berikutnya, bagaimana membawa Indonesia ke
tingkat yang lebih tinggi. Saya mempunya target dan mencanangkan tahun 2030
Indonesia Jaya, Indonesia Mandiri. Selain itu tahun 2045 Indonesia super power. Cina
bisa, kenapa Indonesia tidak bisa.

Sekarang ini Indonesia sudah percaya diri, saat ini bagaimana Indonesia mempunyai
riset-riset yag hebat. Sehingga kita mempunyai 1 step yang lebih lanjut. Makanya
saya membuat Surya University. Satu universitas yang berbasis riset, mahasiswa riset
dari tahun pertama. Budaya riset ini harus terus disosialisasikan, sehingga di
Indonesia muncul istilah setiap orang bicarakan riset…riset…dan riset. Ini harus
menjadi istilah yang nggak asing, karena membuat orang ke sana.

Bahkan saya berharap sejak SD, SMP, SMA akan mendorong mereka melakukan
penelitian. Hal yang sederhana penelitian di SD, Semut lebih suka gulamerah atau
gula putih? Mereka harus mencari tahu dengan cara sendiri. Ini menarik merangsang
otak mereka.

Apa kesulitan terbesar Anda saat itu?

Kesulitan pertama itu percaya diri. belum apa-apa sudah merasa kalah, “ah kita nggak
akan bisa menang, pak”. Saya bilang, ah bisa kita menang. “Susah pak soalnya, nggak
terbayang soal begini.” Saya bilang, nggak, kita bisa.

Tujuh tahun pertama kita cuma dapat perunggu dan perak. Tapi tahun 1999, setelah
tahun ke-7 itu kita dapat emas. Saat itu mulai muncul. Tapi ada saja yang bilang kalau
itu medali emas kebetulan.
Siswa yang dapat emas pertama orang Bali, Made Agus Wirawan. Jadi itu yang bikin
heboh juga, bisa yah anak bali. Ternyata anak bali bukan hanya bisa jadi tukang
pahat. Itu pertama kali Indonesia dapat Emas. Tahun 1993, ini anak yang dapat
perunggu sekolah di Flint University, Amerika Serikat. Dia masuk ke sana, lalu dia
kerja di IBM New York.

Selama melatih anak berbakat untuk olimpiade sain, Anda mencari mereka atau
mereka yang membayar Anda untuk dilatih?

Kunci keberhasilan, anaknya ngotot mau belajar dan punya kemampuan sedikit
matematika. Siapa pun bisa dilatih dan jadi juara. Syaratnya mereka ada keinginan
kuat dan punya dasar matematika yang cukup baik.

Orangtua tidak sekadar punya uang, bayar pelatih dan anaknya akan pintar. Kalau
anaknya tidak mampu, percuma. Jadi kita ambil anak-anak yang sudah matang, dan
tinggal ‘poles’ saja.

Tapi kalau saya dikasih waktu 2 sampai 3 tahun, siapa pun bisa dilatih. Karena 1-2
tahun itu persiapan. Jadi kalau saya ambil anak Papua dari mana saja, kita bisa buat
jadi juara asal kasih waktu yang cukup.

Anda juga melatih guru dari pelosok. Mengapa itu dilakukan?

Jika kita bicara Indonesia Jaya 2013, jadi kita bicara Indonesia Aceh sampai Papua
dan daerah pedalaman. Kalau bicara Indonesia tanpa bicarakan mereka, itu sama juga
bohong. Saya pikir daerah pedalaman harus dibantu. Saya latih dan mereka balik ke
daerah untuk mengajar anak pedalaman. Makanya saya bikin sekolah guru.
Daerahnya dari Papua, Ambon, Kupang, Flores, Belitung Timur, pinggiran
Palembang, Kalimantan dan Sulawesi. Saya datangkan dari 250 kabupaten lebih sejak
tahun 2006.

Apakah kesulitan melatih guru-guru itu? Sebab mereka tidak mempunyai fasilitas
yang cukup di pedalaman Indonesia.

Nggak sulit, karena yang kita ajarkan metodenya. Kalau guru diberika metode yang
asik dan menyenangkan, nggak sulit. Gurunya kebanyakan pegawai negeri dan
swasta.

Anda mendirikan Surya University yang mengajar mahasiswa mahasiswi dari


pelosok. Kebanyakan dari Papua. Bagaimana ceritanya?

Saya berpikir nggak ada anak bodoh, asal mereka dikasih waktu untuk belajar. Saya
membuat program matrikulasi 1 tahun atau program penyetaraan di mana mereka
ditraning setahun sebelum masuk universitas. Ternyata hasilnya masih kurang.

Tahun depan ada perubahan, kita mendidikan sejak lulus SMP. SMA-nya di sini, tapi
materi persiapan universitas. Ini khusus matematika dan fisika. Jadi setelah selesai
dan masuk universitas anak ini bisa bersaing.
Apa kesulitannya saat itu, sehingga gagal mendidik selama 1 tahun?

Knowledge masih zero (nol). Anak Papua lulus SMA, 3x3, 25+37 nggak bisa. Itu
karena di sana nggak ada guru dan pengetahuan gurunya rendah. Saya langsung
melatih guru di sana, sangat memprihatinkan pengetahuannya.

Sejak tahun 2007, saya selalu menemukan hal seperti itu saat melatih ke kampung-
kampung. Karena yang jadi guru matematika itu guru agama atau guru olahraga.
Penyebaran guru tidak merata, karena tempatya di pelosok. Jadi nggak ada yang mau
jadi guru di sana, makanya orang saja yang kita latih.

Anda melatih mereka gratis?

Kalau mereka tidak punya dana, kita kasih gratis. Tapi untuk makan dan penginapan
mereka sendiri. Tapi untuk pemda yang punya uang, mereka membiayai si guru itu
dengan cara subsidi.

Mengapa Anda harus melakukan itu semua?

Sekarang kita ngomong MEA, tapi hitung 8x8 saja nggak bisa. Siapa yang mau
handle anak di 187 kabupaten daerah tertinggal? Jadi itu sama saja sepertiga dari 500
kabuaten. Mau dikemanakan mereka? Masa ditinggalkan? Masa mereka cuma jadi
penonton, kuli dan angkut barang di MEA. Saya selalu ke daerah, masih sampai saat
ini.

Apa yang salah dari keadaan ini? Pemerintah tidak perhatikan mereka atau justru
pemerintah tidak punya apa-apa?

Masalah strategi aja, bagaimana kita menyiapkan guru untuk daerah tertinggal,
melatihnya dengan metode yang baik. Dana, pasti pemerintah ada karena sudah 20
persen dari dana APBN. Sekrang strategi ke sana bagamana?

Bagaimana masukan Anda?

Buat program untuk guru, karena kuncinya guru. Satu, persiapkan guru yang hebat
dan menguasi olimpiade. Karena guru sekarang ini takut menghadapi soal olimpiade.
Didik dari awal, seperti 3 tahun sampai 4 tahun untuk guru olimpiade. Itu butuh usaha
besar. Latih guru jangan 3-4 hari, itu buang-buang uang dan nggak ada artinya. Latih
3 bulan nonstop, lulus dan dapat sertifikat lalu ngajar dengan konten yang lebih
tinggi. Sehingga mereka tahu cara mengajarnya.

Juara olimpiade dari tahun ke tahun didominasi oleh swasta, ke mana sekolah
negerinya?

Training olimpiade fisika selama 1 tahun di sini gratis, kita semua yang tanggung dari
yayasan. Maslaah utamanya, kita punya waktu 1 tahun untuk training, kita sulit cari
murid yang sudah matang. Lalu diadakan seleksi, murid yang sudah matang hanya
dari sekolah swasta.
Saya pernah usul dengan pemerintah , saya ingin training 3 tahun anak-anak daerah,
saya jamin bisa menang. Pemerintah bilang, training 3 tahun kelamaan. Pemerintah
ini maunya instan. Kalau mau instan yang sudah jadi, lagi-lagi sekolah swasta. Kalau
mau nabur benih harus susah payah dong, 3 tahun. Pemerintah bilang kalau training 3
tahun dananya disetujui DPR nggak. Mereka bilang ada nggak yang lebih murah.
Akhirnya nggak bisa dan jatuhnya ke sekolah swasta lagi yang ikut.

Harusnya pemerintah buat program yang benar-benar maksimal, 3 tahun training. Jadi
Indonesia bisa menang tiap tahun. Investasi pendidikan tidak bisa dihitung bulanan.
Misal dari 33 provinsi dilatih 2 anak. Jadi yang training olimpiade sain ada 66 orang,
yang ikut berlomba 5 orang. Mereka yang tak masuk lomba, berika beasiswa ke luar
negeri untuk kuliah S1 sampai S3. Sehigga 10 tahun mendatang Indonesia
mempunyai 60 doktor. Ini investasi mahal dan jangka panjang.

Anda melakukan ini semua, lalu apa untungnya buat Anda?

Kepuasan hidup. Sejak awal saya pikirkan target Indonesia menjadi juara dunia, itu
sudah tercapai. Fase kedua, saya ingin membuat universitas riset tingkat dunia.
Makanya saya ingin Surya University masuk top 10 dunia. Tapi kan nggak gampang.
Tapi 14 tahun saya berjuang untuk olimpiade, bisa. Ini target jangka panjang, bukan
instan. Universitas ini berdiri 2013 lalu. Saya nggak pernah mikir jangka pendek.

Anda juga ahli di bidang Fisika Nuklir, mengapa tidak terjun ke dunia swasta?
Karena lebih menjanjikan?

Saya lebih cenderung ke pendidikan. Panggilan saya sebagai seorang pendidikan.


Saya bahagia ketika melihat anak didik saya berhasil. Sampai saat ini sudah banyak
yang jadi doktor.

Sistem pendidikan Indonesia selalu dikritik, masukan Anda apa dari segi pendidikan
yang ideal untuk Indonesia?

Setelah saya mengamati berapa tahun ini, kenapa anak Indonesia tertinggal dari
negera lain? Karena kemampuan berhitungnya rendah. Sejak SD harus dikuatkan ke
konsep berhitung. Karena kalau sudah bisa berhitung, begitu belajar matematika dan
Fisika mudah. Murid pun jadi percaya diri. Dan gurunya tidak lagi membodoh-bodohi
muridnya.

Kalau mau pelatihan di sini, 1 guru harus bawa 1 murid yang paling bodoh. Saya latih
guruunya dan gurunya akan melatih anaknya. Kalau mengajar yang paling bodoh saja
sudah bisa, pasti akan mudah ajarkan murid lain. Nanti Juni ada 30 guru dari Papua
akan ikut pelatihan. Saya bilang, kasih saja murid yang paling bodoh dan sebodoh-
bodohnya anak. Nanti saya tunjukan bagaimana cara ngajar.

Apa kesalahan terbesar guru di Indonesia dalam hal mengajar?

Kalau di Fisika, mereka selalu menekankan rumus, itu saja salah. Seharusnya mereka
tekankan konsep. Pelatihan konten itu 3 bulan. Karena soal olimpiade sulitnya 3 kali
lipat dari soal UN. Doktor Fisika saja belum tentu bisa.
Universitas mana yang Anda jadikan contoh untuk mendirikan Surya University?

Universitas di luar negeri itu universitas riset, tapi kalau universitas berbasis riset itu
belum ada. Di Indonesia, universitas riset saja belum ada. Di luar negeri, universitas
riset banyak menghasilkan penelitian. Banyak dilakukan profesor. Mahasiswa S2 di
sana mengikuti profesornya untuk riset, kalau S1 jarang diikutkan.

Surya University ini mahasiswa S1-nya dari tahun pertama itu sudah riset. Ini pertama
di dunia. Sistem pendidikan saya ubah total, bukan sistem pendidikan universitas
biasa. Semua kita arahkan untuk riset dan meneliti.

Berapa uang kuliah yang harus dibayarkan?

Banyak beasiswa, hampir separuh mahasiswa. Sejak tahun pertama mereka beasiswa.
Sekkarang kita lagi funding untuk berikan beasiswa. Karena kemarin kita agak
kewalahan karena terlalu banyak yang mendapatkan beasiswa. Uangnya ini pinjam ke
bank, berdarah-darah sekali.

Dua tahun kemarin habis dan pusing sudah habis biaya. Awalnya saya pikir semua
bisa dihandle, tapi agak ‘kedodoran’. Hasil riset kita belum bisa dikomersialkan.
Mengkomersialkan riset butuh 3-5 tahun. Kalau sudah bisa dikomersialkan kita ada
masukan lain.

April ini kita akan pemasukan pinjaman dana yang cukup besar dari Amerika, Eropa
dan Cina. Sehingga kita bisa mendirikan kampus yang besar. Kita akan bangun di
daerah Tenjo seluas 100 hektar. Ini pinjaman lunak. Kita jadi riset university yang
besar. Kalau dana sudah turun, April kita kebut.

Biografi singkat Yohanes Surya

Yohanes Surya lahir di Jakarta, 6 November 1963. Ia mulai memperdalam fisika pada
jurusan Fisika MIPA Universitas Indonesia hingga tahun 1986. Dia pernah mengajar
di SMAK I Penabur Jakarta hingga tahun 1988. Selanjutnya menempuh program
master dan doktornya di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat.
Program masternya diselesaikan pada tahun 1990 dan program doktornya di tahun
1994 dengan predikat cum laude. Setelah mendapatkan gelar Ph.D., Yohanes Surya
menjadi Consultant of Theoretical Physics di TJNAF/CEBAF (Continous Electron
Beam Accelerator Facility) Virginia – Amerika Serikat (1994).

Pulang dari Amerika, disamping melatih dan memimpin Tim Olimpiade Fisika
Indonesia (TOFI), Yohanes Surya menjadi pengajar dan peneliti pada program pasca
sarjana UI untuk bidang fisika nuklir (tahun 1995 –1998). Dari tahun 1993 hingga
2007 siswa-siswa binaannya berhasil mengharumkan nama bangsa dengan menyabet
54 medali emas, 33 medali perak dan 42 medali perunggu dalam berbagai kompetisi
Sains/Fisika Internasional. Pada tahun 2006, seorang siswa binaannya meraih predikat
Absolute Winner (Juara Dunia) dalam International Physics Olympiad (IphO)
XXXVII di Singapura.

Yohanes Surya merupakan penulis produktif untuk bidang Fisika/Matematika. Ada 68


buku sudah ditulis untuk siswa SD sampai SMA. Di luar aktifitasnya di atas, Yohanes
Surya berkiprah dalam berbagai organisasi internasional sebagai Board member of the
International Physics Olympiad, Vice President of The First step to Nobel Prize sejak
1997. Dia juga penggagas dan President Asian Physics Olympiad sejak 2000.

Yohanes mendapatkan Lencana Satya Wira Karya (2006) dari Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Saat itu juga dia terpilih sebagai wakil Indonesia dalam bidang
pendidikan untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush.

Di dunia kampus, Yohanes Surya adalah guru besar fisika dari Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga. Ia pernah menjadi Dekan Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Pelita Harapan. Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Multimedia.
Tahun 2010 Yohanes Surya mendirikan STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu
Pendidikan) Surya untuk mencetak guru-guru yang berkualitas dari berbagai daerah
tertinggal di Indonesia.

Tidak Ada Anak yang Bodoh

Oleh Shinta Daniel pada Selasa, 11 Februari 2014

"Tidak ada anak yang bodoh. Yang ada hanya anak yang kurang beruntung mendapat
kesempatan untuk belajar dari guru yang baik dan metode yang benar."

Kalimat pertama sebagai pembuka acara bincang-bincang dengan Prof. Yohanes


Surya, PhD cukup membuka mata dan menggugah rasa penasaran para peserta rapat
kerja di kantor saya.
Mungkin Urban Mama sudah mengenal siapa pakar fisika ini. Terus terang saya baru
mengenal beliau pada saat acara. Pernah mendengar namanya tapi tidak tahu siapa
beliau sebenarnya.

Prof Yo semula diundang sebagai motivator bagi para karyawan untuk meningkatkan
rasa percaya diri dan memaksimalkan potensi diri dari orang biasa menjadi luar biasa.
Namun mengingat sepak terjang prof Yo lebih banyak bersentuhan dengan
metematika, sains, dan anak-anak, maka pertanyaan pun banyak yang berhubungan
dengan metode supaya anak menyukai matematika, sains, meningkatkan motivasi
belajar anak, bagaimana cara mengenal potensi diri anak, dsb.

Profesor Yohanes Surya, PhD atau Prof Yo, seorang profesor lulusan Amerika
sekaligus pendidik yang berhasil membawa tim Indonesia menjadi juara Olimpiade
Fisika, Matematika dan kejuaraan robotik tingkat dunia, pencipta metode belajar
GASING (Gampang Asik dan Menyenangkan) serta pendiri Universitas Surya yang
merupakan universitas murni berbasis riset dan mampu menampung anak-anak
berprestasi yang menyukai sains.

Tim Indonesia ini terdiri dari anak-anak usia sekolah SD sampai SMA. Mungkin akan
biasa apabila anak-anak pintar ini memang sudah mempunyai kecerdasan tinggi dan
berasal dari kota besar di wilayah Jawa, tapi yang menjadi sangat istimewa adalah
anak-anak ini awalnya sama sekali tidak berprestasi, tidak bisa berhitung, tidak
mengenal arti pentingnya belajar, bahkan ada yang sampai empat kali tidak naik kelas
dan mereka berasal dari daerah tertinggal yang sangat jauh di Indonesia Timur seperti
Papua dan Maluku.

Diawali dengan video yang menceritakan awal Prof Yo setamat S3 dan bekerja di
salah satu perusahaan terkenal di Amerika, mempunyai hasrat kuat, cita-cita dan
mimpi besar untuk kembali ke Indonesia, mendedikasikan dirinya dan menerapkan
ilmunya untuk meningkatkan pendidikan anak Indonesia.

Sesampai di Indonesia, Prof Yo membentuk tim guna mengikuti kejuaraan Olimpiade


Fisika tingkat dunia, mengingat selama beberapa tahun tidak ada peserta dari Asia
apalagi Indonesia yang ikut olimpiade tersebut. Menariknya, Prof Yo menerima
tantangan dari berbagai pihak untuk bisa mendidik anak-anak dari Papua atau daerah
tertinggal yang fasilitas pendidikan masih sangat minim, tidak ada kepentingan dan
kebutuhan untuk belajar.

Prof Yo menerima tantangan tersebut, bahkan punya mimpi besar dan membuktikan
bahwa anak-anak Papua bisa menjuarai Olimpiade Fisika tingkat dunia. Mimpinya
pun terwujud, tidak hanya tim Indonesia dapat mengikuti Olimpiade Fisika tetapi
menjadi juara selama beberapa tahun berturut-turut dan pemenangnya adalah anak-
anak Papua yang diasuh tersebut.

Banyak hal menarik yang kami dapat selama sesi tanya jawab dengan Prof Yo terkait
pola asuh dan metode mendidik anak untuk menyukai science yang sering kali jadi
momok menakutkan tidak hanya bagi anak, tapi juga orang tua, terutama pada saat
persiapan ujian. Beberapa di antaranya:

Kecerdasan seorang anak itu tidak tergantung pada gen. Gen ada pengaruhnya tapi
sangat kecil sekali. Keberhasilan anak itu didapat dari belajar, berusaha, dan berdoa.
Jangan pernah berhenti untuk mencapai cita-cita atau target yang dituju. Prof Yo
membuktikan hal ini dengan menjadikan ketiga anaknya sebagai observasi beliau.
Anak pertama sejak kecil dididik untuk selalu belajar dan dilatih sendiri oleh prof Yo.
Anak kedua hanya diajar oleh prof Yo apabila memang anaknya merasa
membutuhkan bantuan. Anak ketiga sama sekali dilepas untuk belajar sendiri. Dari
hasil observasi tersebut, terbukti anak pertama sangat berprestasi dibandingkan anak
kedua dan apalagi dengan anak ketiga yang nilainya di bawah rata-rata kelas,
walaupun ketiganya merupakan keturunan bapak seorang profesor. Anak pertama
beliau sudah menyelesaikan pendidikan di Amerika S1 neuroscience, S2 fashion dan
saat ini sedang menyelesaikan S3 bisnis. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa ilmu
science dapat digunakan dalam banyak bidang. Anak kedua baru masuk kuliah S1 dan
anak ketiga baru masuk SMP.

Kemauan/keinginan anak untuk belajar harus berasal dari kesadaran diri sendiri.
Tugas orangtualah yang harus memberikan motivasi positif dan target supaya
kesadaran itu muncul. Dalam kasus mendidik anak Papua, Prof Yo tidak langsung
langsung mengajarkan matematika/sains ke anak-anak, tapi menciptakan
suasana/lingkungan yang menyenangkan terlebih dahulu dengan menghapal rumus
sambil bernyanyi. Memberikan wawasan dan pengetahuan akan pentingnya belajar
(matematika). Menciptakan kebutuhan dan kondisi kritis/mendesak sehingga anak
sadar bahwa belajar itu penting bagi dirinya dan lingkungannya. Setelah kesadaran itu
muncul, barulah tugas Prof Yo mengajari dan menggali potensi setiap anak sampai
berhasil. Ibarat menanam tanaman di tanah yang gersang, maka yang harus kita
lakukan pertama kali adalah menyirami tanah itu dulu dan diberi pupuk supaya
gembur. Begitu tanah sudah subur, maka ditanami tanaman apa saja akan tumbuh.

Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Belajar itu dari usia kapan saja dan baru akan
berhenti setelah kita tiada. Utamanya bagi kita sebagai orangtua ataupun orang yang
usianya di atas kita, Prof Yo menyarankan agar otak kita selalu terus bekerja dan tidak
pikun adalah dengan rajin menghafal lagu, menyanyi dan berhitung (penjumlahan,
perkalian, menghitung cepat, dan pecahan desimal).

Seorang anak akan berhasil apabila mendapat metode pembelajaran yang tepat dari
guru yang hebat.

Jangan jadikan seni, bahasa, minat terhadap hobi sebagai pelarian karena tidak bisa
science. Banyak anak mengatakan "Saya tidak pintar fisika. Saya tidak bisa
matematika". Sebenarnya anak tersebut bukannya tidak bisa atau tidak suka tapi tidak
mau berusaha untuk mengerjakan fisika/matematika. Banyak faktor yang
mempengaruhi, sehingga pelajaran seni, bahasa dan lainnya dijadikan sebagai
pelarian saja, bukan datang dari hati nurani.

Tidak boleh mengatakan kepada anak "nilai kamu jelek". Sebaiknya sebelum
memberi penilaian, orangtua terlebih dahulu melihat kemampuan anak. Akan lebih
baik mengatakan pada anak "kamu tidak cocok di sains, lebih cocok di........"

Apabila anak sudah bersentuhan dengan hiburan dan kemajuan teknologi seperti
gadget, mal, TV, games, dll sehingga mengganggu proses belajar, maka sentuh
hatinya. Buat kondisi kritis di mana anak sadar bahwa belajar lebih penting daripada
bermain atau boleh memberikan pilihan belajar dahulu lalu bermain, buat suasana
belajar yang menyenangkan, jadikan teknologi sebagai teman.

Saat ini banyak anak Papua dan daerah tertinggal yang menimba ilmu di Universitas
Surya. Setelah lulus nanti, mereka akan kembali ke daerah masing-masing untuk
mengajarkan anak-anak dan sekaligus mengembangkan daerahnya. Universitas Surya
juga membuka kelas maupun memberikan pelatihan bagi para orang tua dan anak-
anak yang ingin belajar dengan metode GASING untuk disebarluaskan ke
lingkungan/komunitas masing-masing.
Saya dan teman-teman sekantor cukup terkesan dengan pemaparan Prof Yo diatas dan
tertarik untuk menerapkan metode belajar GASING untuk anak-anak di rumah.

Semoga hasil bincang-bincang ini bermanfaat untuk Urban Mama dan yuk kita sama-
sama ciptakan suasana belajar yang gampang, asyik, dan menyenangkan.
https://m.theurbanmama.com/articles/tidak-ada-anak-yang-bodoh.html

Prof. Yohanes Surya, Guru Bangsa yang Mampu Mendidik Anak


Paling “Bodoh” Menjadi Langganan Jawara Olimpiade

Faisal Bosnia Ahmad


Profesor Yohanes Surya adalah aset bangsa. Beliau dikenal luas sebagai fisikawan
terkemuka Indonesia serta pembimbing Tim Olimpiade Fisika Indonesia/TOFI. Jasa-
jasanya terhadap kemajuan pendidikan, khususnya matematika dan fisika, tak ternilai
harganya.

Bapak lulusan Universitas Indonesia ini juga punya target ambisius supaya Indonesia
berhasil meraih hadiah Nobel pada 2020. Ia merasa bahwa dengan gelar tersebut,
penghargaan dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan juga akan semakin tinggi. Mari
kita sedikit berkenalan dengan bapak olimpiade sains dan fisika Indonesia ini.

Kehidupan yang sederhana tak menghalanginya mengejar pendidikan tinggi


Sang guru besar lahir di Jakarta, 6 November 54 tahun silam. Siapa sangka,
kehidupan masa lalunya ternyata jauh dari kata mewah. Sebagai anak ketujuh dari
sembilan bersaudara, ia harus hidup hidup sederhana apa adanya. Maklum, ayahnya
pensiunan tentara, sedangkan ibunya hanya berjualan kue tradisional. Uang yang
diperoleh tak cukup untuk menyekolahkan anak mereka hingga ke perguruan tinggi.

Beruntung, saudaranya yang memilih untuk langsung bekerja selepas SMA, sepakat
untuk menyisihkan uang hasil keringat agar Yohannes bisa kuliah. Itu karena mereka
yakin bahwa Yohannes merupakan anak yang cerdas.
Pada tahun 1986, ia pun lulus dari Universitas Indonesia dengan mengambil
konsentrasi ilmu Fisika. Setelah lulus, ia salurkan ilmunya dengan mengajar di
SMAK I Penabur Jakarta.

Dua tahun kemudian, ia mengejar titel magister dan doktor dari College of William
and Mary, Virginia, Amerika Serikat, yang masing-masing lulus dengan mendapat
predikat Cum Laude. Setelah sukses meraih gelar tersebut, ia lalu bekerja sebagai
konsultan Theoretical Physics di Continous Electron Beam Accelerator Facility
(CEBAF) di kota yang sama.

Memilih pulang ke tanah air untuk mengabdi pada bangsa


Sebetulnya hidup beliau sudah mapan di Amerika Serikat. Gaji tinggi, masa depan
terjamin. Ia juga sudah memegang Greencard (status keimigrasian yang mengijinkan
pemegangnya untuk hidup dan bekerja di AS), namun ia lebih memilih kembali ke
negara asalnya.

Pak Surya punya cita-cita mulia. Ia ingin mengharumkan nama bangsa di kancah
internasional. Khususnya dalam olimpiade Matematika dan Fisika.
Semua berawal ketika ia mendengar pengumuman akan diadakannya Olimpiade
Fisika Internasional di kampusnya, William and Marry. Ia pun gerak cepat meminta
bantuan kepada UI untuk menyeleksi 5 siswa SMA terbaik dari dari Indonesia.

Selanjutnya, kelima orang terpilih ini diterbangkan ke Amerika Serikat untuk


kemudian ia latih secara personal. Langkah ini menjadi cikal bakal berdirinya Tim
Olimpiadi Fisika Indonesia (TOFI). Dalam ajang olimpiade tersebut, Indonesia
berhasil meraih medali perunggu atas nama Oki Gunawan. Sejak saat iu, ia pun
pulang ke negara asalnya untuk semakin mengibarkan sangsaka merah putih di negeri
orang.

Menyulap anak paling “bodoh” menjadi super cerdas


Beliau ingin membuktikan bahwa setiap anak Indonesia dikaruniai kecerdasan yang
luar biasa. Tak ada yang namanya anak bodoh. Yang ada hanyalah anak yang tak
mendapat kesempatan belajar dan tidak dilatih oleh guru yang baik serta metode yang
benar.

Padahal kedua anak ini dulu bahkan tak mampu berhitung. [Image Source].

Tak mau asal ngomong, beliau terbang sendiri ke Papua untuk mencari murid yang
paling “bodoh.” Dalam artian, murid tersebut sering tak naik kelas, sama sekali tak
mengerti fisika atau bahkan sekadar perhitungan sederhana.
Beberapa anak ia ambil untuk kemudian dilatihnya. Selama enam bulan
menggembleng mereka, hasilnya luar biasa. Mereka yang awalnya bahkan tak mampu
melakukan perkalian atau penjumlahan, kini berhasil menorehkan banyak prestasi

Seperti dalam ajang Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School
yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Itu adalah Olimpiade Matematika
dan Sains untuk siswa tingkat SD se-Asia dan diikuti oleh 131 peserta. Dalam ajang
tersebut, anak-anak papua tersebut berhasil mengantongi 4 emas, 5 perak, dan 3
perunggu.

Metode GASING yang efektif mencetak anak cerdas dari berbagai pelosok
negeri
Melalui Surya Institute yang ia dirikan, beliau giat memperkenalkan metode mutakhir
dalam pembelajaran Matematika dan Fisika GASING alias Gampang, Asik dan
Menyenangkan. Metode yang dibuat supaya anak-anak dapat dengan mudah dan jatuh
cinta mempelajari ilmu matematika dan fisika.

Dalam metode ini, anak-anak tak hanya dijejali oleh teori atau rumus di papan tulis
saja, namun mereka juga diajak mengeksplorasi alat peraga sehingga konsep suatu
rumus dapat mereka bayangkan secara konkret sehingga pemahaman mereka pun
menjadi lebih baik.
Hebatnya lagi, metode ini juga mengajarkan perhitungan rumit di luar kepala alias
mencongkak dengan cepat. Anak-anak diajarkan cara menyelesaikan soal cerita
dengan pendekatan logika dan eksplorasi, sehingga hafalan rumus bukan jadi prioritas
utama.

Keberhasilan mendidik mereka yang sebelumnya dicap “bodoh” hingga menjadi juara
baik di tingkat nasional maupun internasional juga kebanyakan berkat metode atraktif
yang telah ia ciptakan ini.

Sejak tahun 1993 hingga 2007, siswa-siswi binaannya berhasil harumkan nama
bangsa dengan membawa pulang 54 medali emas, 33 medali perak, dan 42 medali
perunggu dari berbagai kompetisi Sains/Fisika internasional.

Saat ini, ia masih terus sibuk mengadakan berbagai pelatihan khusus di berbagai
tempat. Ia juga sudah berhasil mendirikan Surya Research Education Center dan
Surya University. Kelak, dari tempat inilah para pemuda harapan bangsa akan
mengharumkan nama Indonesia di panggung internasional.
https://www.boombastis.com/yohanes-surya-bodoh-olimpiade/94711

Yohanes Surya dan Ambisi Anak-anak Indonesia


28 Juli 2017

Banyak orang mengenal Prof. Yohanes Surya sebagai ilmuwan Fisika yang
membawa Indonesia juara dunia berulangkali di olimpiade Fisika di berbagai negara.
Yohanes Surya dikenal dengan pernyataan "Tidak ada anak yang bodoh, hanya anak-
anak kita belum menemukan guru yang tepat". Yohanes Surya dikenal dengan
metode mengajar Gampang Asyik Menyenangkan (Gasing). Yohanes Surya selalu
mencari cara bagaimana anak-anak kita belajar dengan menikmatinya.

Dalam tulisan ini saya tidak menuliskan prestasinya dibidang keilmuwan. Tetapi saya
menuliskan sisi lain kerendahan hatinya, pikirannya, kelemahannya, ambisinya
membangun anak-anak Indonesia. Saya mau menuliskan Yohanes Surya sebagai
sahabat, guru, sumber inspirasi,canda dan logika berpikirnya, dan impian-impiannya
untuk Indonesia. Menuliskan apa yang saya ketahui tentang Yohanes Surya.

Saya mengenalnya dari almarhum pakar politik Victor Silaen. Victor Silaen ketika itu
masih dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di UKI. Menurut Victor Silaen,
Yohanes Surya itu sangat baik, jika ada kawan-kawan kita yang kesulitan biaya
menyelesaikan tesis dan disertasi Yohanes surya mau membantunya. Berbagai cara
dilakukannya, seperti memperkenalkan kepada jaringan dan lain sebagainya. Yohanes
Surya itu visioner. Saya banyak berdiskusi dengannya, hingga saya menyelesaikan
doktor saya di UI, kata sahabat saya almarhum Victor Silaen yang terakhir mengabdi
di FISIP UPH.

Pertama kali saya menghubunginya lewat email yang saya dapat dari Victor Silaen.
Yohanes Surya sangat cepat membalasnya. Kemudian, saya diminta ke kantornya
untuk berdiskusi. Setelah pertemuan itu kami akrab.

Tahun 2013 Yohanes Surya mendirikan Surya University (SU). SU menyediakan


beasiswa bagi anak-anak yang berprestasi. Sebagai seorang yang terbiasa kritis, saya
menjumpainya dan mengatakan bahwa beasiswa kepada anak berprestasi saja tidak
selaras dengan pernyataan yang mengatakan " Tidak ada anak yang bodoh tetapi
mereka belum menemukan guru yang tepat". Lalu, Yohanes Surya bertanya,
bagaimana pendapatmu?.

Saya mengatakan SU ada di Banten maka berikan beasiswa kepada anak-anak Banten
bukan karena prestasi. Mereka tidak berprestasi karena bisa saja gurunya tidak
berprestasi. Kalau begitu, carikan anak-anak Banten yang mau kuliah di SU. Kita
juga carikan sponsor untuk membiayai hidup mereka. Kewalahan saya mencari calon
mahasiswa dari Banten.

Puluhan masyarakat Banten masuk SU gratis dan mendapatkan laptop yang


kualitasnya bagus. Mereka yang tidak jalur prestasi di matrikulasi. Dosen SU kerja
keras dosen untuk matrikulasi agar mampu mengikuti perkuliahan. Anak Banten yang
tidak lulus SMA pun ada, dengan catatan setelah kuliah mengikuti paket c.

Selain dari Banten, ada kisah menarik dari Pinangsori, Tapanuli Tengah, Sumatera
Utara. Saya menemukan Ternando Situmeang melalui anak Poriaha, Tapteng,
namanya Robert Hutagalung. Menurut Robert Hutagalung ada anak Pinangsori
lulusan SMAN 1 Pinangsori orangnya pintar. Ternando Situmeang ingin sekali kuliah
tapi tidak punya biaya.

Kami mencari nomor telponnya dan kami hubungi. Saya dituding penipuan, karena
tidak mungkin kuliah gratis. Karena dituding penipuan, saya suruh telpon diberikan
kepada pendeta dimana dia menjadi anggota jemaat. Sedihnya, pendeta yang
marganya sama dengan istriku pun ragu dengan saya. Keraguan itu terjawab setelah
pendeta itu saya minta menelpon pendeta saya. Tidak mungkin ibu pendeta ragu lagi
jika menelpon pendeta saya apakah saya penipu atau tidak. Akhirnya, pendeta itupun
meyakinkan bahwa saya bukan penipu.

Ternando Situmeang berangkat dari Pinangsori naik bus ALS. Tiba di Tangerang
tasnya hilang. Kata pihak ALS tasnya ketukar dengan seorang ibu yang turun di
Lampung. Melihat Ternando sedih, saya katakan bahwa kejadian ini tanda-tanda
Ternando akan menjadi Bupati di Tapteng. Biasanya, anak-anak sukses itu memiliki
kisah yang lucu-lucu. Lalu, istri saya membelikan Ternando pakaian dalam kondisi
darurat.
Selama proses kuliah Ternando Situmeang menikmati kuliah dengan baik. Dia
tinggal di rumah kami. Saya kira, Ternando memiliki dosen-dosen yang bermutu.
Saya merasa puas dengan perkembangan Ternando sebagai mahasiswa. Cara dia
menjawab permasalahan-permasalahan pertanian masyarakat kelihatan ciri
intelektualnya. Saya senang melihat anak-anak yang saya bawa ke SU karena mutu
mereka sangat baik. Padahal, mereka mendapat beasiswa bukan karena prestasi tetapi
karena kebaikan hati dan keterbukaan Yohanes Surya terhadap kritik. Kini Ternando
sedang menyelesaikan skripsinya. Semoga Ternando menyusul teman-temanya dari
jurusan lain yang sudah lulus.

Selain Ternando, ada lagi Menawati Simamora. Menawati Simamora dibawa mertua
saya dari Sijarango 1 Kecamatan Pakkat, Humbahas, Sumatera Utara. Mertua saya
ketika itu pulang kampung dan meyakinkan keluarga Menawati Simamora bahwa ada
menantunya yang bisa membuatnya kuliah gratis. Kini, Menawati bergulat dengan
skripsinya denga topik pertanian berkelanjutan. Awalnya, saya ragu Menawati bisa
mengikuti perkuliahan. Metode pengajaran di SU sangat kreatif dan dinamis. Saya
melihat mahasiswa menikmati perkuliahan.

Mahasiswa seperti Ternando Situmeang, Menawati Simamora cukup banyak dari


Sumatera Utara, ada pula dari Riau. Awal cerita, diprioritaskan anak-anak Banten
sebagai pertanggungjawaban moral untuk memajukan provinsi Banten. Sayang, tidak
banyak masyarakat Banten memanfaatkan beasiswa ketika itu. Yohanes Surya sudah
membuktikan bahwa anak-anak Indonesia berhak untuk cerdas. Dia memfasilitasinya.

Yohanes Surya dalam setiap pertemuan selalu bicara Indonesia Jaya. Indonesia yang
mahir menggunakan teknologi. Indonesia menggunakan keilmuwan dalam mengelola
Sumber Daya Alam dan seluruh sumber daya yang ada. Indonesia dengan cara yang
benar untuk mendidik. Yohanes Surya kerja keras untuk Indonesia. Yohanes Surya
tidak memperkaya diri. Tetapi pikiran dan tindakannya untuk membangun Indonesia.
Dia memperkenalkan Indonesia Jaya.

Suatu ketika, kami berbincang-bincang. Dalam perbincangan ketika itu dia


mengetahui saya calon legislatif. Ketika itu juga langsung memberikan uang kepada
saya untuk membantu biaya membuat brosur kampanye. Saya melihat pak Gurgur
cocok menjadi anggota dewan. Yohanes Surya yang membawa Indonesia harum
namanya itu begitu murah hati. Tidak perlu mikir panjang untuk hal yang baik. Dia
hanya mau anak-anak Indonesia lebih hebat dari anak-anak di negara lain. Saya
sungguh berempati kepadanya.

Penulis: Gurgur Manurung


Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta
Penulis adalah alumnus pascasarjana IPB Bogor. Aktif di Lembaga Studi Kebijakan Lokal
Di Indonesia, Banten.
https://www.kompasiana.com/gurgurmanurung/597ab8307f25ef175e1236b2/yohanes-surya-dan-
ambisi-anak-anak-indonesia?page=2

Pembelajaran IPA dan Matematika serta masalahnya

2010-01-09

“Wemi 17 + 5 berapa?” pertanyaan ini saya ajukan pada seorang siswa kelas V di
suatu Sekolah dasar di Kabupaten Tolikara Papua. Wemi menggambar 17 garis-garis
kecil dan 5 garis-garis kecil. Kemudian ia menghitung banyaknya garis itu satu
persatu hingga ia dapatkan hasil 22.
Wemi termasuk salah satu anak yang cukup baik, anak yang lain bahkan tidak bisa
menghitung penjumlahan sama sekali, apalagi perkalian dan pembagian.
Di daerah lain di Papua, saya menginterview kali ini anak-anak SMA. Saya bertanya
pada anak-anak tersebut “berapa 1/2 + 1/3=”. Tidak ada satupun yang menjawab 5/6,
sebagian besar menjawab 2/5 bahkan ada yang menjawab 1/5. Saya sempat bertanya
pada kepala sekolah kenapa anak-anak ini bisa jadi seperti ini? Kepala sekolah
menjawab :”kualitas guru disini sangat rendah dan muridnya memang tidak berbakat
matematika”.
“Lalu apa kriteria anak ini naik kelas?” tanya saya lebih lanjut.
“Tidak ada! Semua anak dinaikan kelas” kepala sekolah menjawab dengan jujur.
“Kalau tidak naik kelas, orang tua akan datang bawa parang dan tombak”, lanjutnya.
Orangtua disana merindukan anak-anaknya pintar, itu sebabnya mereka menyuruh
anaknya bersekolah. Jika anak mereka tidak lulus, mereka anggap sekolah tidak
mengajar dengan baik. Wajar saja kalau mereka menuntut kenaikan kelas dengan
parang dan tombak.
Pembelajaran Matematika dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) merupakan masalah
yang besar tidak hanya di daerah-daerah tetapi juga di kota-kota besar. Banyak
lembaga pendidikan mengatakan bahwa anak-anak sulit belajar matematika atau IPA
karena memang mereka tidak berbakat. Menurut mereka sebaiknya anak-anak yang
tidak berbakat IPA dan matematika ini diarahkan pada ilmu-ilmu sosial saja.
Namun yang kami temukan dilapangan ternyata berbeda. Selama tahun 2008/2009
saya dengan tim dari Surya Institute berkeliling ke kota-kota dan kabupaten di
Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Kami melatih ratusan bahkan ribuan guru IPA
dan Matematika. Selama pelatihan ini kami menemukan bahwa faktor utama siswa
sulit belajar matematika dan IPA ini adalah metode pembelajaran yang tepat dan
kualitas guru, bukan keadaan/potensi siswa.
Potensi siswa Indonesia Secara rata-rata kemampuan siswa Indonesia dalam belajar
matematika atau IPA (fisika) sangat baik. Anak-anak Indonesia tidak bodoh. Kalau
mereka mendapat kesempatan, mereka akan berprestasi luar biasa.
Sekitar pertengahan tahun 2009 kami membawa 5 anak dari kabupaten Tolikara dan 5
anak dari Wamena ke Surya Institute di Tangerang. Tolikara dan Wamena adalah
daerah pegunungan di Papua yang selama ini dianggap sangat terbelakang. Dari
Wamena kami ambil 1 siswa dari desa Kurulu dimana seluruh penduduknya masih
mengenakan koteka dan perempuannya masih telanjang dada.
Di Surya Institute para siswa ini dilatih matematika GASING (Gampang Asyik dan
Menyenangkan) 4 jam per hari. Selama pelatihan kami melihat bahwa sesungguhnya
siswa-siswa ini sangat cerdas matematika, berlawanan dengan anggapan selama ini
yang menganggap mereka ini bodoh.
Siswa ini juga punya keinginan kuat untuk maju, mereka ingin sepintar anak-anak lain
dari pulau Jawa. Mereka juga sangat rajin belajar.
Hasilnya? Hanya dalam waktu 6 bulan mereka sudah mampu menghitung dengan
sangat baik. Segala bentuk soal pecahan dapat dikerjakan dengan baik. Semua soal
cerita dari buku Matematika kelas 1 hingga kelas 6 SD dapat diselesaikan dengan
sangat baik.
Ternyata siswa yang selama ini dianggap “bodoh” itu dapat menjadi hebat sekali
hanya dalam waktu 6 bulan asalkan mereka mendapat guru yang berkualitas dan
metode pembelajaran yang tepat.
Saya masih ingat, tahun 2004 saya bawa Andrey Awoitauw siswa SMP kelas 1 dari
Jayapura. Ketika dibawa ke Surya Institute ia tidak bisa menghitung pecahan. Ia
hanya bisa menghitung kali, jumlah dan kurang. Tapi ketika dilatih dengan metode
yang tepat dan guru yang berkualitas, Andrey mampu meraih medali emas dalam
bidang Matematika SMP Olimpiade IPA Nasional 2005 di Jakarta. Bahkan nilainya
melebihi nilai yang diperoleh seorang siswa yang pernah juara menjadi juara dunia
matematika.
Hasil Andrey mengingatkan saya sekitar 15 tahun lalu waktu saya pulang dari
Amerika Serikat, teman saya bertanya kenapa mau pulang ke Indonesia, bukankah
sudah enak kerja di Pusat fisika nuklir Amerika Serikat. Ketika saya jawab bahwa
saya pulang karena ingin menjadikan Indonesia juara dunia dalam olimpiade fisika,
teman saya ini tertawa. Ia bilang Indonesia tidak akan bisa jadi juara, anaknya bodoh-
bodoh dan malas-malas.
Ternyata 5 tahun kemudian, setelah saya menemukan metode yang tepat, anak-anak
Indonesia mulai bermunculan menjadi juara dalam berbagai lomba tingkat dunia.
Dimulai tahun 1999 Made Agus Wirawan dari Bali merebut medali emas Olimpiade
Fisika Internasional di Italia. Kemudian tahun 2005 Anike Bowaire dari Papua dan
Dhina Susanti dari Semarang berhasil meraih medali emas The First Step to Nobel
Prize in Physics sekaligus menjadikan Indonesia juara dunia dalam lomba tersebut.
Di Tahun 2006 Jonathan Mailoa meraih peringkat 1 dari 386 peserta sekaligus
membawa Indonesia menjadi juara pertama diantara 85 negara peserta Olimpiade
Fisika Internasional di Singapore. Di tahun 2009 Indonesia menjadi juara dunia dalam
lomba karya ilmiah International Conference for Young Scientists di Polandia dengan
merebut 6 medali emas. Tahun 2009 juga Indonesia juara dunia dalam lomba Global
Enterprise Challenge suatu lomba yang menggabungkan kemampuan
entrepreneurship dan IPA. Di tingkat SMP kita beberapa kali juara dunia dalam
International Junior Science Olympiad. Sampai tahun 2009 sudah lebih dari 69 medali
emas dipersembahkan siswa-siswa Indonesia dalam kejuaraan-kejuaraan ini.
Hasil berbagai olimpiade ini semakin meyakinkan saya bahwa kalau kita bisa
menemukan metode yang tepat dan guru yang hebat, anak-anak kita akan menjadi
luar biasa. Kualitas guru Selama melatih ribuan guru-guru IPA dan matematika di
berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, kami menemukan perbedaan yang cukup
mencolok dari segi kualitas antara guru-guru di kota besar dan daerah-daerah
terutama daerah tertinggal.
Guru di kota besar terutama dari sekolah-sekolah terbaik, sudah cukup baik
kualitasnya. Mereka punya kesempatan dan fasilitas yang baik untuk mengembangkan
diri. Sebagian dari mereka sudah menggunakan komputer dalam proses
pembelajarannya, bahkan ada yang mampu membuat perangkat-perangkat lunak
pembelajaran.
Mereka hanya kesulitan ketika harus melatih siswa ke tingkat olimpiade. Soal-soal
olimpiade seperti olimpiade fisika, matematika, kimia masih dirasakan terlalu berat
untuk mereka. Mereka butuh pelatihan khusus untuk olimpiade ini.
Untuk guru-guru di daerah, keinginan majunya sangat kuat. Mereka sadar bahwa
mereka kurang, mereka ingin memperbaiki diri. Seorang peserta dari Aceh yang kami
latih selama 1 bulan di Jakarta mengatakan: “Selama 20 tahun saya mengajar, belum
pernah kami mendapatkan pelatihan seperti ini. Disini walaupun kami belajar dari
pagi hingga malam hari, kami sangat menikmati, kami baru sadar bahwa ternyata
kami ini sangat kurang… Waktu 1 bulan ini kami anggap kurang. Kami ingin belajar
lagi. Kami ingin nanti siswa-siswa Aceh jadi siswa yang pintar-pintar”.
Seorang guru dari desa di Pulau Jawa menangis “waduuuh selama ini ternyata saya
mengajar salah, 15 tahun saya mengajar salah… o Gusti ampuni saya…” Guru ini
mengaku ia telah mengajar konsep yang salah (miskonsepsi) tentang IPA. Ia tidak
tahu bahwa yang ia ajarkan itu salah. Ia menganggap bahwa bumi bisa berputar terus
karena dapat energi dari sinar matahari. Ia menganggap bahwa benda terapung karena
gaya ke atas lebih besar dari gaya berat. Dan masih banyak lainnya.
Guru dari suatu daerah di Papua mengaku ia selama ini sangat bersalah, telah
mengajar salah. Guru ini menghitung 23 + 3 hasilnya 56. Menurut guru ini konsep
penjumlahan sama seperti perkalian. Jadi ia harus menambahkan puluhan dan satuan
masing-masing dengan 3. Ia menjumlahkan 2 + 3 = 5 dan 3 + 3 = 6. Jadi hasilnya 56!.
Dalam pecahanpun mereka keliru menghitung ½ + 1/3. Menurut mereka untuk
menghitung penjumlahan ini pembilang dijumlah dan penyebut dijumlah jadi hasilnya
2/5.
Guru dari daerah lain mengaku bahwa selama ini ia mengajar sangat monoton. Ia
telah membuat pelajaran IPA yang begitu asyik dan menyenangkan menjadi mata
pelajaran yang membosankan siswa. Guru ini mengaku bahwa selama ini ia tidak
mendapatkan metode yang tepat. Akhirnya yang terjadi adalah siswa bosan dan
mengganggap IPA atau fisika itu sulit.
Masih banyak kisah-kisah guru yang mengaku bahwa mereka selama ini belum
mengajar secara GASING (Gampang, Asyik dan menyenangkan). Mereka bingung
karena selama ini belum banyak dapat pelatihan yang baik.
Berdasarkan berbagai komentar dari para guru dan pemantauan di lapangan, kami
menyimpulkan bahwa keadaan guru-guru IPA dan Matematika di daerah pinggiran
atau daerah tertinggal adalah :
1. Mereka sadar kekurangan mereka;
2. Mereka punya kemampuan untuk berkembang asal diberikan kesempatan;
3) Mereka punya keinginan kuat untuk berubah menjadi lebih baik;
4) mereka punya jiwa pendidik yang ingin membuat anak didiknya berhasil;
5) Mereka memerlukan tambahan sarana berupa alat demonstrasi IPA dan matematika
+ pelatihan menggunakan alat ini untuk membuat pelajaran menjadi lebih menarik;
6). Secara ekonomi mereka perlu perbaikan agar lebih konsentrasi dalam mendidik
anak.
Jadi sebenarnya guru-guru yang ada di Indonesia adalah guru yang baik, mereka
punya hati, mereka punya keinginan maju tetapi mereka butuh bantuan, dukungan dan
kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik.
What’s next? Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika dan IPA di
Indonesia, seluruh stakeholder pendidikan termasuk pemerintah dan masyarakat perlu
saling bahu membahu dalam meningkatkan kualitas guru. Yang dimaksud kualitas
disini termasuk kemampuan menguasai konten (guru IPA harus mengerti konsep-
konsep IPA secara benar dan guru matematika mengerti dan mampu mengerjakan
soal-soal matematika dengan benar) dan juga metode pembelajaran yang GASING
(Gampang, Asyik menyenangkan).
Lewat guru yang berkualitas inilah kita bisa mengubah wajah matematika dan IPA
yang selama ini dianggap momok yang menakutkan menjadi sesuatu yang
menyenangkan.
Untuk guru-guru dikota besar, diperlukan sekali pelatihan intensif sampai level
olimpiade sehingga siswa-siswa terbaik kita dapat kesempatan terus untuk
meningkatkan kemampuannya sampai ke level olimpiade.
Untuk guru-guru di daerah terutama di daerah terpencil, perlu ada pelatihan khusus
yang cukup lama (tidak hanya pelatihan sporadis yang hanya 1-2 harisaja). Pelatihan
6 bulan – 1 tahun ini akan membantu guru-guru ini untuk meng-update konten yang
dimiliki dan juga memperbaiki metode pembelajaran. Kita berharap kedepannya
kemampuan guru-guru di daerah ini akan mampu menyamai kemampuan guru-guru di
kota-kota besar. Memang untuk pelatihan yang lama ini butuh dana yang cukup besar,
tetapi dengan dana 20 % yang dicanangkan pemerintah untuk pendidikan, hal ini
tidaklah sulit untuk dilaksanakan.
Saya percaya jika semua stakeholder pendidikan bekerja bahu membahu
meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, maka kualitas
sumber daya manusia kita akan meningkat secara luar biasa.
(Prof. Yohanes Surya adalah Pendiri Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan
(STKIP) Surya suatu sekolah untuk mendidik calon guru untuk menjadi guru
berkualitas. http://www.yohanessurya.com)

Materi metode gasing dapat diunduh pada link di bawah:


http://www.suryainstitute.org/content.php?id=Menu-7&title=Belajar%20GASING

Anda mungkin juga menyukai