Disusun Oleh :
Dari cerita di atas, terlihat bahwa pertemuan dengan sang murid, ketika sang murid sudah
menjadi perwira polisi, dan ucapan sang murid yang mengatakan bahwa ia bisa menjadi polisi
karena hukuman keras yang pernah diterima dari sang guru, membuat sang guru merasa yakin
bahwa hukuman memang perlu diberikan. Tetapi pertanyaannya, apakah memang karena
tindakan hukuman yang diberikan oleh sang guru, ataukah karena ada hal lain yang membuat
anak tersebut bisa berhasil di kemudian hari? Pertanyaan lain, apakah sang murid yang sudah
menjadi polisi, dalam menjalankan tugasnya tidak akan melakukan kekerasan kepada
masyarakat, karena dari ucapan sang murid bahwa ‘karena ia dihajar oleh sang guru, maka ia
bisa menjadi polisi. Ucapan ini juga menunjukkan bahwa sang murid meyakini bahwa
hukumanlah yang membuat ia menjadi polisi. Besar kemungkinan pendekatan ini juga yang
akan dilakukannya dalam menjalankan tugasnya sebagai polisi.
Contoh cerita di atas hampir di temui di berbagai tempat diadakannya sosialisasi disiplin
positif. selalu ada cerita dari guru-guru tentang keberhasilan anak/murid karena hukuman yang
mereka berikan, dalam versi yang berlainan. Cerita seperti di atas membuat guru-guru yakin
bahwa hukuman efektif tidak saja dalam mengontrol perilaku anak, tetapi juga dalam
membentuk dan mengembangkan karakter baik anak. Walaupun belum ada survey, penelitian
yang membuktikan keyakinan guru-guru seperti cerita di atas.
Cerita di atas juga menunjukkan bahwa sang guru juga tidak lagi memiliki cara lain
dalam mengontrol perilaku anak yang dianggap nakal. Hukuman yang keras diberikan karena
menurut sang guru berbagai cara sudah dilakukan, seperti nasehat, berbicara dengan sang anak,
sudah lapor ke orang tua, memberikan ‘hukuman ringan’, tapi semuanya tidak bermanfaat.
Dalam dialog dengan guru-guru, hampir seluruhnya mengatakan bahwa ketika anak-
anak, ketika menjadi murid di sekolah, memang perilaku-perilaku tidak pantas (misbehave)
seperti terlambat ke sekolah, bicara dalam kelas, tidak mengerjakan PR, bolos sekolah, malas
mengikuti pelajaran, masalah kebersihan kuku dan pakaian, dan lain-lain juga pernah mereka
lakukan. Akibat dari tindakan-tindakan tidak pantas yang mereka lakukan maka mereka akan
dihukum dengan berbacai cara seperti membersihkan ruangan kelas, berdiri di depan kelas,
dipukul, dicubit telinganya, tangannya dipukul, dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman
yang mereka alami ini kemudian juga mereka pakai dalam mendisiplinkan anak di kelas atau
sekolah. Pengalaman dari masa kanak-kanak itu digunakan ketika menjadi guru, dan tentunya
diwariskan lagi ke generasi berikutnya.
Dari uraian di atas, selain karena terlihat bahwa ada beberapa sebab, mengapa guru-guru
memberikan hukuman kepada anak-anak.
1. Karena pendekatan reward & punishment mudah dilakukan, ketika anak berbuat baik
diberi pujian dan ketika anak berbuat yang tidak pantas dihukum. Dengan pendekatan
ini, maka anak akan tahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan.
2. Karena pengalaman guru-guru sebelumnya, bahwa mereka pernah dihukum ketika
melakukan kesalahan atau tindakan tidak pantas. Pengalaman inilah yang kemudian
mereka terapkan ketika menjadi guru.
3. Guru-guru tidak memiliki pengetahuan atau ketrampilan lain dalam mendisiplinkan
anak selain penggunaan hukuman.
Dari gambar di atas terlihat ada beberapa alasan guru dalam memberikan hukuman
kepada murid. 26,7% mengatakan bahwa hukuman diberikan karena murid melakukan
kesalahan, 23,1% mengatakan bahwa karena murid tidak mengikuti arahan guru, 20,5%
mengatakan karena tidak memenuhi kewajiban, 15,2% mengatakan karena nakal, 13,2%
mengatakan bahwa murid tidak disiplin dan 1,3% mengatakan bahwa melanggar aturan
sekolah.
1
Kota Batam, kabupaten Gianyar, kota Palangkaraya, kabupaten Rembang, kota Medan, kota Bukit Tinggi,
Kota Balikpapan, kota Surabaya, kabupaten Pariaman, kota Mataram.
Gambar 2. Kecenderungan Bentuk Hukuman kepada anak Perempuan
Dinasehati 2,4%
lari keliling lapangan sekolah 3,7%
dicubit 3,9%
membersihkan toilet 8,7%
Telp /Panggil Orang tua 12,2%
disuruh berdiri depan kelas 13,4%
Dimarahi 38,9%
dijewer 4,7%
dibentak 4,9%
lari keliling lapangan sekolah 7,7%
membersihkan toilet 9,9%
Telp / Panggil Orang tua 10,8%
disuruh berdiri depan kelas 13,1%
Dimarahi 32,2%
Sama dengan anak perempuan, hukuman yang paling sering dilakukan kepada anak laki-
laki adalah dimarahi (32,2%). Selanjutnya, untuk anak laki-laki, kecenderungan hukuman yang
dominan diberikan adalah di suruh berdiri di depan kelas (13,1%), telephon atau panggil orang
tua (10,8%), membersihkan toilet (9,9%), lari keliling lapangan sekolah (7,7%), dibentuk
(4,9%) dan dijewer (4,7%).
Dari gambar 2 dan 3 di atas, untuk 10 kabupaten/kota yang pernah diberikan sosialisasi
penerapan disiplin positif, terlihat bahwa hukuman baik fisik maupun non fisik menjadi
pendekatan utama yang di lakukan guru untuk mengontrol perilaku tidak pantas anak. Selain
hukuman fisik dan non fisik, ada metode lain yang digunakan yaitu nasehat dan menelpon atau
memanggil orang tua. Data ini juga menunjukkan bahwa rata-rata guru tidak memiliki
ketrampilan lain dalam mengendalikan perilaku tidak pantas anak selain menghukum,
memanggil orang tua dan menasehati.
2
Dipak Naker and Deborah Sekitoleko. 2009. Positive Discipline: Creating A Good school without Corporal
Punishment. Kampala-Uganda: Raising Voice. p. 8
3
Dipak Naker and Deborah Sekitoleko. 2009. Ibid. p. 12
mengatakan bahwa guru menggunakan corporal punishment karena mereka pernah
mengalaminya semasa kecil. Akibatnya, mereka percaya bahwa corporal punishment akan
mengajari anak-anak bagaimana berperilaku yang baik. Seringkali guru atau orang dewasa
tidak menyadari bahaya yang mereka sebabkan dengan pemberian hukuman.
Pengalaman pendampingan anak-anak di Uganda, Naker dan Sekitoleko mengatakan
bahwa hukuman berdampak buruk bagi anak. Dampak tersebut antara lain:
1. Konsekuensi Fisik. Banyak anak menderita cedera fisik seperti patah tulang, infeksi
dan penyakit fisik lainnya. Konsekuensi fisik ini akan menyakitkan anak dan mahal
bagi keluarga. Cedera dapat mempengaruhi perkembangan fisik anak.
“guru-guru memukul kami karena terlambat, padahal rumah kami jauh
dari sekolah, kami harus berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Teman saya
memiliki bekas luka di mana guru memukulnya dengan keras” (pengakuan
anak perempuan 10 tahun).
2. Konsekuensi emosional dan Psikologis. Ketika anak-anak dipukuli, mereka sering
merasa marah dan malu pada saat yang sama, mereka merasa terhina. Ketika
memaksa anak untuk mentolerir ketidakadilan, maka kita sementara merusak harga
diri dan kepercayaan diri mereka. Anak-anak juga dapat berhenti mempercayai orang
dewasa yang berulang kali menghukum mereka. Pengalaman negatif ini dapat
menyebabkan depresi, bunuh diri, keinginan balas dengan dan agresi terhadap orang
lain.
“Apa yang tersisa untuk saya di sini? Tidak ada yang peduli padaku.
Mereka menyiksaku dengan kata-kata, dan hatiku sakit. Lebih baik aku
mati daripada hidup dengan cara begini” (anak perempuan berusia 15
tahun).
3. Konsekuensi pada Perilaku. Banyak anak-anak yang mengalami hukuman fisik
suka menggertak anak-anak lain, atau menggunakan kekerasan ketika dewasa.
Hukuman fisik mengajarkan anak bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima
untuk memaksakan pandangan mereka pada seseorang yang tidak sekuat mereka.
“saya menjadi kasar dan memukuo anak-anak kecil lainnya. (pengakuan
anak laki-laki berusia 16 tahun)
“saya merasa sangat malu, dan merasa kesepian” (pengakuan gadis berusia
17 tahun).
4. Konsekuensi pada Perkembangan. Anak-anak yang mengalami hukuman fisik secara
teratur, hidup dengan perkembangan kognitif dan emosional yang lambat atau
terganggu. Mereka akan takut-takut dalam mencoba hal-hal baru. Mereka
membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempelajari ketrampilan sosial dan
akademik. Kinerja mereka di sekolah memburuk, dan kemampuan mereka untuk
membentuk hubungan yang sehat dan memuaskan dapat sangat terpengaruh.
“Saya tidak puas ketika saya berpikir mereka akan mengalahkan saya.
Otak saya tertutup, saya seolah-olah tidak memiliki kehidupan dan
terguncang dengan banyak ketakutan” (pengakuan anak laki-laki, 15
tahun).
Karena konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkan oleh pemberian hukuman, maka
Naker dan Sekitoleko mengatakan bahwa hukuman bersifat kontraproduktif, lebih banyak
bahayanya daripada keberhasilan. Hukuman merusak rasa percaya diri anak dan berkontribusi
bagi rasa tidak percaya anak terhadap orang dewasa. Jika kita tertarik membantu anak untuk
belajar (juga dari kesalahan), maka hukuman tidak akan membantu anak untuk mencapai tujuan
tersebut.
Hal yang dikemukakan oleh Naker dan Sekitoleko di atas juga dikemukakan UNESCO.
Pemberian hukuman kepada anak akan membuat mereka semakin marah, benci, dan merasa
ketakutan. Hukuman tersebut juga hanya akan membuat anak merasa malu, bersalah, gelisah,
bertambah agresif, tidak mandiri, dan tidak peduli pada orang lain. Sifat-sifat tersebutlah yang
merupakan masalah yang lebih besar baik bagi guru, wali anak, dan anak-anak lain4. Berikut
ini akan dilihat dampak-dampak lain yang bisa diakibatkan oleh pemberian hukuman. Antara
lain:
4
UNESCO. 2006. Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah
terhadap Pembelajaran Buku khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan
bagi Pendidik, 18. Thailand:UNESCO. Dan lihat juga: Plan in Viernam. 2009. Positive Disiplin-Training Manual.
Vietnam: Plain in Vietnam.
5
Op. Cit. Plan in Vietnam, 45
➢ Menimbulkan dendam dalam diri anak,
sehingga berlanjut ke generasi berikutnya
lebih besar6.
➢ Berkorelasi negatif terhadap tingkat
kreatifitas anak.78
➢ Akibat dari seringnya mendapat hukuman
kemampuan anak untuk mengontrol diri,
bertanggungjawab bahkan kekritisan akan
suatu bentuk tindakan tidak berkembang
lainnya 1,0%
Diam 1,2%
Menyesal 1,3%
Kecewa 10,1%
Menentang / melawan 8,7%
Biasa saja 19,3%
Marah 4,5%
Menangis 14,0%
Jengkel 8,6%
Takut 27,8%
Apa yang dikemukakan sebelumnya tentang dampak hukuman bagi anak, tidak jauh beda
dengan hasil pemetaan yang dilakukan di 10 kabupaten/kota di Indonesia. Gambar 4 di atas
menunjukkan perasaan anak ketika mereka memperoleh hukuman dari guru. Gambar 4 di atas
menunjukkan bahwa saat mendapat hukuman, maka kebanyakan anak merasa takut (27,8%),
merasa biasa saja (19,3%), menangis (14%), kecewa (10,1%), menentan atau melawan (8,7%),
jengkel (8,6%), dan marah (4,5%).
6
UNESCO. Op. Cit., dan lihat juga: Albert, L. A Teacher’s Guide to Cooperative Discipline, (American Guidance
Service, 1989) in Charles C.M. and Senter G.W. Building Classroom Discipline.
http://faculty.washington.edu/cadavis1/ 503%20Readings/AlbertChapter.pdf [accessed online 10 June 2016.
Pukul 15.00]
7
Bigner J. J. 1994. Parent-child relations – An Introduction to parenting. Pearson
8
Bigner J. J. 1994. Parent-child relations – An Introduction to parenting. Pearson
Yang menarik dari data di atas adalah 19,3% anak merasa biasa saja ketika memperoleh
hukuman dari guru. Ini bisa berarti bahwa anak-anak tersebut sering memperoleh hukuman,
sehingga mereka merasa biasa saja ketika dihukum. Ini juga bisa berarti bahwa bagi anak-anak
tersebut, hukuman sudah tidak punya makna lagi bagi mereka, atau juga mereka paham bahwa
kalau buat kesalahan maka mereka akan mendapat hukuman dan mereka siap untuk
menghadapinya.
Dengan melihat data di atas, seharusnya guru sadar bahwa hukuman hanya akan
memberikan dampak negatif bagi anak; takut, marah, kecewa, benci, melawan, menangis,
menyesal, dan sebagainya. Tentunya, perasaan-perasaan ini berdampak negatif bagi
perkembangan anak.
Dari hasil pemetaan terhadap perasaan guru, juga terlihat bahwa banyak guru yang
sebenarnya tidak suka menghukum, namun karena tidak paham bagaimana mengelola perilaku
anak, atau mendisiplinkan anak, maka mereka akhirnya menggunakan pendekatan hukuman.
Ada berbagai perasaan yang dirasakan guru ketika memberi hukuman pada anak.
Lainnya 1,0%
Menyesal 4,5%
sedih 32,4%
kecewa 23,2%
marah 12,8%
jengkel 5,0%
terpaksa 15,0%
biasa saja 7,0%
Dari Gambar 5 dan 6 di atas, terlihat bahwa sebenarnya guru-guru juga tidak merasa
senang ketika memberi dan setelah memberi hukuman kepada anak. Umumnya mereka merasa
sedih, kecewa, menyesal dengan tindakan mereka, dan lain-lain. Jika perasaan-perasaan
tersebut yang ada pada guru ketika memberi dan setelah memberi hukuman, ini berarti bahwa
guru-guru juga memperoleh dampak negatif dengan memberi hukuman kepada anak.
9
UNESCO. Op. Cit. Hal 21-23, lihat juga : http://www.nospank.net/pta.htm dan
http://birthwithoutfearblog.com/2011/12/17/myths-and-facts-spanking/
Mitos: “ Untuk kelas yang besar, siswa yang banyak, hukuman diperlukan agar kelas bisa
kondusif”.
Fakta : “Alasan ini menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmauan guru mencari
cara lain dalam berhubungan dengan anak dan manajemen kelas. Kegagalan
guru dalam mengembangkan tanggung jawab anak terhadap perilakunya
tercermin dari argumen ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan
yang berpusat pada siswa dapat membuat kelas lebih kondusif karena siswa
aktif dalam proses belajar.”
Mitos: “Hukuman fisik cara yang paling baik. Metode yang lain tidak bisa melakukan sebaik
itu.”
Fakta : “ Hukuman fisik tidak sama dengan disiplin. Pandangan ini lahir dari
pemahaman yang dangkal akan disiplin dan juga hukuman fisik itu sendiri.
Dari hasil penelitian sendiri telah menunjukkan bahwa hukuman fisik
berdampak negatif pada perkembangan anak.”
Mitos: “Hukuman mengajarkan ketaatan dan rasa hormat.”
Fakta : ”Hukuman fisik tidak sesuai dengan pembelajaran students centered karena
membatasi siswa untuk bertanya, berpikir kreatif, dan menerima tujuan
personal. Anak hanya taat ketika ada yang mengawasi, padahal ketaatan pada
peraturan dan etik harus didasarkan pada kesadaran.”
Mitos: “Di ujung rotan ada emas”
Fakta : “Hasil penelitian menunjukkan cara mendidik yang menggunakan kekerasan
(hukuman) berdampak negatif bagi perkembangan anak. Negara seperti
Finlandia yang tidak menerapkan hukuman dapat mendidik anak dengan
baik bahkan menjadi negara dengan pendidikan terbaik di dunia saat ini.”
Mitos: “Hukuman adalah bentuk kasih sayang. Anak yang kukasihi kuhajar dan ku didik.”
Fakta : “Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hukuman berdampak negatif bagi
perkembangan anak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Apakah hal ini masih bentuk kasih sayang?”
Mitos: “Anak perlu mengenal hukuman karena dalam kehidupan sehari-hari banyak aturan
yang harus ditaati.”
Fakta : “Hampir semua sekolah-sekolah di Indonesia menggunakan hukuman, namun
nyatanya warga Indonesia masih belum taat pada aturan. Sebaliknya Selandia
Baru yang tidak lagi menggunakan pendekatan hukuman di sekolah menjadi
negara yang paling taat pada aturan.”
Mitos: “Hukuman fisik adalah salah satu budaya kita. Orang Indonesia timur keras, maka
untuk mendidik juga harus keras”
Fakta :” Padahal, meski memang tidak bisa ditampik bahwa budaya ini ada, di Asia
budaya yang menekankan adanya harmoni dan pengaturan diri juga kuat.
Dibanding hukuman fisik, cara tradisional dapat digunakan sebagai bentuk
disiplin yang tidak melibatkan kekerasan.”
Penutup
Pendekatan hukuman adalah pendekatan yang dominan dipakai oleh orang tua atau guru.
Pendekatan ini digunakan karena mudah dilakukan, karena pengalaman-pengalaman
sebelumnya, juga karena orang tua atau guru tidak memiliki pengetahuan atau ketrampilan lain
dalam mendisiplinkan anak. Akhirnya hukumanlah yang digunakan untuk mendisiplinkan
anak.
Namun, hukuman memiliki dampak yang buruk, tidak saja bagi perkembangan anak
namun juga bagi guru. karena itulah, maka seharusnya guru-guru, orangtua, orang dewasa tidak
menggunakan hukuman dalam mendisiplinkan anak. Disinilah dibutuhkan pendekatan lain
yang dapat mendisiplinkan anak tanpa kekerasan atau hukuman. Disiplin positif dapat menjadi
salah satu acuan dalam mendisiplinkan anak.
Sesi 2.1
10
Elizabeth and Pal Jareg. 1994. Reaching Children Through Dialogue, Redd Barna Pb. Macmillan.
11
Lihat Evans, J.L., Myers, R.G., Ilfeld, E.M. 2000. Early Childhood Counts: A Programming Guide on Early
Childhood Care for Development. Washington DC: The World Bank. Lihat juga Rita Eka I, dkk. 2007.
Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: Fakultas Fsikologi-UNY
- Perkembangan bersifat lentur, artinya perkembangan itu dapat distimulasi sehingga
berlangsung optimal
Prinsip yang diutarakan di atas juga sesuai dengan prinsip perkembangan menurut lifespan
development perspective. Ada empat asumsi yang mendasari prinsip ini yaitu (1) lifelong, (2)
multidimensional and multidirectional, (3) highly plastic, and (4) affected by multiple
interacting forces.12
Selain prinsip di atas perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang memperngaruhi perkembangan
anak. Faktor yang mempengaruhi perkembangan anak yaitu keberadaan anak itu seperti
genetik dan faktor bawaan, dan faktor lingkungan meliputi keamanan dan penerimaan anak,
kasih sayang dan dukungan dari berbagi pihak serta lingkungan yang ramah anak (kebutuhan
dasar anak terpenuhi, anak memperoleh kesemapat untuk berpartisipasi secara adil,
kesempatan mengekspresikan diri, hak anak dijamin, jaminan perlindungan dari berbegai
bentuk kekerasan). Lingkungan dan faktor bawaan saling mempengaruhi dalam
perkembangan anak.
Oleh karena itu perkembangan anak harus dilihat dari kerangka interaksi dengan lingkungan
sekitarnya yang terus menerus saling mempengaruhi. Interaksi ini meliputi konteks personal,
interpersonal, sosial dan tingkatan budaya. Setiap konteks ini masing-masing punya peran yang
signifikan terhadap perkembangan anak. Salah satu teori mengenai interaksi dan partisipasi
yang saling memperngaruhi antar konteks diperkenalkan oleh Urie Bronfenbrenner melalui
teori sosial ekologi-nya.13 Dasar dari perkembangan anak direpresentasikan oleh faktor fisik
(inner physical), kognitif, emosi dan sosial.
Kemudian menurut Bronfenbrenner terdapat lima sistem lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan anak selain faktor internal. Kelima sistem tersebut meliputi mikrosistem,
mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem. Pada level Mikrosistem perkembangan
anak dipengaturi oleh interaksi anak dengan orang lain dan institusi yang dekat dengannya
yaitu orang tua, teman sebaya, dan sekolah. Pada level berikutnya, yaitu Mesositem, terjadi
interaksi antar mikrosistem misalnya interaksi antar orang tua, guru dalam sistem sekolah,
anggota keluarga dan teman sebaya dalam institusi keagamaan, organisasi kepemudaan, atau
anak-anak.
Lingkungan berikutnya adalah Ekosistem, yaitu struktur yang memperngaruhi perkembangan
anak melalui interaksi beberapa struktur dalam mikrosistemnya. Ekosistem merupakan sistem
sosial yang lebih luas dimana siswa tidak terlibat langsung atau tidak punya peran langung.
Meskipun anak tidak terlibat langsung namun mereka tetap dapat merasakan dampak positif
atau negatif yang memperngaruhi sistem mereka sendiri. Misalnya adalah jadwal dan beban
kerja orang tua di kantor akan mempengaruhi anak, kondisi kemiskinan dan kekondusifan
masyarakat.
Tingkat berikutnya adalah Makrositem yang mengelilingi mikro-meso dan ekosistem. Nilai-
nilai, ideologi, hukum, masyarakat dan budaya direpresentasikan dalam sistem ini. Pada
tingkatan inilah kita mengerti bahwa anak di Indonesia berbeda dengan anak di Eropa.
Contohnya adalah ada tidaknya payung hukum, budaya yang melindungi anak akan
berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sitem kelima adalah Kronosistem yang meliputi
12
Berk, L.E. 2007. Development Through The Lifespan, 4/e. Illinois State University
13
Ibid. Lihat juga: Rita Eka I, dkk. Op. Cit.
dimensi waktu yang berpengaruh pada lingkungan anak (dari mikrosistem ke makrosistem).
Elemen dari sistem ini bisa saja terjadi dari faktor ekstenal seperti perubahan psikologis yang
terjadi pada anak, kehilangan orang tua.
Sumber : http://www.growingupinaustralia.gov.au/pubs/reports/krq2009/keyresearchquestions.html
Dari teori sosial ekologi-nya Bronfenbrenner kita dapat melihat bahwa perkembangan anak
dipengaruhi oleh lingkungan dari yang mikro sampai ke makro bahkan faktor luar yang tidak
bisa diduga seperti kehilangan/kematian orang tua. Untuk itu, dalam berhubungan dengan anak
guru harus mempertimbangkan setiap sistem ini. Lebih lanjut, untuk menyediakan kesempatan
yang luas pada perkembangan anak setiap sistem tersebut harus diberdayakan, dari keluarga,
masyarakat, budaya bahwa kebijakan pemerintah.
14
Horno, P. 2005. Love, Power and Violence: A Transcultural Comparison of Physical and Psychological
Punishment Patterns. Spain: Save the Children Spain
15
Lihat UNESCO. 2006. Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah
terhadap Pembelajaran Buku khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan bagi
Pendidik. Thailand:UNESCO. Dan lihat juga: Plan in Viernam. 2009. Positive Disiplin-Training Manual. Vietnam:
Plain in Vietnam
pujian, namun perilakunya cenderung menimbulkan kritikan dari orang
sekitarnya. Namun sayangnya kritikan tersebut seringnya malah membuat
perilaku anak semakin tidak baik. Anak umur 6 tahun belum dapat
membedakan kepemilikannya maupun kepemilikan orang lain.
7 tahun Cenderung tenang dan berperilaku positif. Bersikap serius, asyik dengan
diri sendiri, moody (suasana
hati yang berubah-ubah), penuh kecurigaan atau kekhawatiran. Sangat
sensitif dengan suasana
hati orang disekitarnya. Terkadang merasa dirinya tidak disukai oleh
orang lain sehingga mereka merasa harus membuat orang tersebut senang.
Sering bermalas-malasan, rentang ingatan pendek, dan perhatiannya
mudah dialihkan.
8 tahun Penuh semangat, dramatis, rasa ingin tahu yang tinggi, dan banyak
kemauannya. Tidak se – moody anak usia 7 tahun, namun anak usia 8
tahun tetap sensitif. Membutuhkan orang lain untuk meluangkan waktu,
perhatian, dan setuju pada dirinya; mulai berpikir secara abstrak; Tertarik
dan fokus pada kepemilikan pribadi.
9 tahun Lebih pendiam dari pada anak usia 8 tahun. Cenderung mandiri,
bertanggung jawab, dapat
diandalkan, dan kooperatif. Terkadang bisa menjadi
temperamental (cepat marah) namun pada dasarnya kemarahan mereka
berdasar. Mereka dapat menerima kritikan dengan baik apabila kritikan
tersebut disampaikan dengan baik; tertarik dengan kesamarataan; bagi
anak berumur 9 tahun standar kelompok lebih penting daripada standar
yang ditetapkan oleh orang dewasa. Cenderung asyik dengan diri sendiri
dan mungkin tidak mendengarkan ketika diajak bicara. Terkadang
mereka terlihat tidak peduli dan acuh tak acuh
namun di waktu lain mereka dapat menunjukkan
10 tahun Ceplas-ceplos, terus terang, sederhana, jelas, stabil namun masih bersikap
kekanakan. Memiliki banyak
kemauan namun tidak sebanyak anak berusia 9 tahun. Cenderung ceria
dan berbahagia dengan kehidupan yang mereka jalani. Di suatu waktu
menunjukkan sikap dengan tensi tinggi melalui kemarahan yang
meledak-ledak namun di lain waktu menunjukkan rasa kasih sayangnya.
Anak usia 10 tahun tidak dalam masa perkembangan yang
mengkhawatirkan, namun sifatsifatnya pada usia sebelumnya
bagaimanapun masih terlihat.
Senang membuat kelucuan sendiri yang belum tentu lucu bagi orang lain.
Usia 10 tahun adalah usia yang
bahagia.
11-13 tahun Usia awal masa remaja, usia di mana terdapat banyak perubahan.
Mengembangkan identitas pribadi dan lebih mandiri. Kebutuhan akan
privasi meningkat dan merasa sangat sensitif bila di olok-olok dan
moody. Kebutuhan untuk memiliki teman
meningkat.
14-16 tahun Usia pertengahan masa remaja. Kemandirian, pengembangan seksual, dan
kepedulian pada diri
sendiri meningkat. Sangat sadar/mengutamakan penampilan. Pemikiran
kekanakan sudah banyak berkurang; mereka peduli akan fakta dan dapat
membuat keputusan yang baik.
17-21 tahun Usia akhir masa remaja. Menjadi lebih mandiri, bergantung pada diri
sendiri, hanya sedikit sekali
terpengaruh oleh teman-teman di sekitarnya; mengembangkan kapasitas
pemikiran yang dewasa.
Umumnya lebih mudah ditangani daripada anak-anak pada usia awal atau
tengah masa keremajaan.
Bereksplorasi pada hubungan jangka panjang. Berpendapat pada banyak
hal yang terjadi di sekitarnya. Berkurangnya kesadaran diri akan
penampilan semata.
Sesi 2.2
Sosialisasi Disiplin Positif
Jordy adalah anak laki-laki berusia 6 tahun, anak kedua dari sebuah keluarg di kota
Kupang. Keluarga Jordy dapat dikategorikan sebagai kelas menengah, bapaknya seorang
pegawai negeri dan ibunya seorang pedagang kue di pasar. Setiap malam saat ibunya
menyiapkan bahan-bahan kue untuk dagangan, Jordy selalu ikut menyibukkan diri, memegang
bahan-bahan kue, bertanya-tanya, bahkan seringkali nampak sengaja menumpahkan bahan
adonan. Ibu Jordy seringkali tidak sabar menghadapinya, apalagi ketika ada bahan adonan kue
yang ditumpahkan Jordy.
Dalam Kasus yang lain, terjadi dengan Orpa, ia adalah anak ke dua dalam keluarganya.
Orangtua Orpa juga pedagang sayuran di pasar. Orpa berusia 9 tahun, dan duduk di kelas 3
Sekolah Dasar X. Menurut keterangan guru kelasnya, Orpa termasuk anak yang sulit, pasif
dalam proses pembelajaran di kelas. Orpa memang tidak menggangu teman-teman lain, namun
jika diberikan tugas, Orpa cenderung untuk tidak mengerjakannya, atau acuh tak acuh dengan
tugas tersebut. Jika ditanya, Orpa malah diam saja tidak memberikan respons apa-apa, bahkan
pernah Orpa melotot ke sang guru dengan ekspresi wajah marah.
Dua kasus di atas berbeda, namun kedua kasus tersebut menunjukkan perilaku tidak tepat
anak. Pada kasus Jordy, terlihat bahwa ia sengaja menumpahkan adonan kue milik ibunya,
sedangkan pada kasus Orpa, pasif dalam belajar dan terkadang menunjukkan sikap menantang
guru. Pertanyaannya adalah mengapa Jordy dan Orpa melakukan hal-hal yang dianggap tidak
tepat? Apa penyebabnya? Bagaimana orang tua harus menghadapi perilaku Jordy atau guru
menghadapi Orpa?
Berikut ini akan diuraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan anak-anak
berperilaku tidak tepat, tujuan dari perilaku tersebut dan bagaimana sebaiknya orangtua, guru
atau orang dewasa menghadapinya.
16 Diadaptasi dari: Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic Education. 2012.
Positive Discipline and Classroom Management-Course Reader. Afrika Selatan; dan juga: UNESCO. 2006.
Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran
Buku khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan bagi Pendidik. Thailand:
UNESCO
Untuk mencoba memahami latar belakang perilaku/tindakan anak, pertanyaan berikut
dapat membantu:
- Apakah ada permasalahan dengan materi belajar atau pendekatan pembelajaran
yang digunakan guru? Kadang-kadang anak berbuat sesuatu yang tidak pantas
dikarenakan tugas-tugas belajar yang terlalu sulit atau terlalu mudah bagi mereka.
Metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar mereka atau ekspektasi
guru yang tidak jelas dan tidak logis dapat membuat mereka bosan sehingga mereka
melakukan tindakan yang tidak pantas.
- Apakah karena motivasi emosional anak? Anak sering bertindak di luar batas untuk
mencapai tujuan tertentu, seperti mencari perhatian, perasaan yang meluap-luap dan
tidak terkontrol, atau reaksi atas kenyataan yang dihadapi atau merasa disakiti atau
terluka. Anak juga dapat bertindak tidak pantas sebagai cara untuk menghindari
ketakutan akan kegagalan atau menutupi perasaan mereka yang tidak menentu.
- Apakah perilaku atau tindakan tersebut refleksi dari masalah di sekolah? Anak
sebagai korban atau pelaku bullying (perisakan) atau trauma akibat kondisi sekolah
akan mengalami ketakutan, cemas, gelisah, dan menarik diri. Anak yang mengalami
hal ini mungkin akan melakukan tindakan bullying pada temannya sebagai konsekuensi
emosi mereka atau cara agar mereka merasa lebih baik.17
- Apakah perilaku atau tindakan mereka sebagai akibat dari masalah personal atau
masalah di dalam rumah? Anak yang mempunyai masalah di rumah akan
mempengaruhi tindakan dan perilakunya di sekolah. Anak banyak menghadapi
tantangan emosional di rumah dan pengaruhnya akan terbawa ke sekolah. Misalnya,
anak yang mengalami kekerasan di rumah, orang tua tidak akur, anggota keluarga sakit,
serta masalah ekonomi-sosial keluarga bahkan mungkin saja anak dijadikan pekerja di
bawah umur. Masalah-masalah ini mempengaruhi tindakan anak di sekolah. Misalnya,
anak yang mendapat perlakuan fisik atau bullying di rumah akan melakukan hal yang
sama kepada temannya. Oleh karena itu guru perlu mengetahui bagaimana keadaan
anak di rumah dalam hubungannya dengan perilakunya di sekolah.
- Apakah perilaku merupakan refleksi dari persoalan sosial-ekonomi? Faktor sosial
ekonomi sangat mempengaruhi perilaku anak. Misalnya anak yang lapar akan
mengalami kesulitan untuk konsentrasi dan cenderung performanya rendah dibanding
anak yang cukup makan. Selain itu, anak yang punya tanggungjawab besar dalam
pekerjaan rumah, akan mengalami kelelahan dan sulit untuk konsentrasi di sekolah.
Anak miskin juga punya tantangan untuk mendapatkan bahan pelajaran seperti buku,
perlengkapan sekolah bahkan transportasi ke sekolah.
- Apakah itu diakibatkan persoalan medis atau biologis? Perasaan tidak nyaman atau
depresi, sebagai contoh, dapat mempengaruhi bagaimana anak bertindak. Sesuatu yang
normal jika kadang anak lupa tugas/PR mereka, melamun selama di kelas, bertindak
tanpa berpikir panjang, atau gelisah. Namun permasalahan yang muncul juga dapat
17 Tim CJCP. 2015. School Safety Framework Early Warning System module on Preventing and Addressing
Bullying: CJCP, UNICEF dan Departemnt Basic Education of South Africa
berhubungan dengan attention deficit disorder (ADD) atau attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD). Anak mungkin mengalami hambatan membaca dan
mengeja (seperti anak yang menyandang dyslexia) akan berdampak pada proses belajar
anak.
❖ Mencari perhatian: semua anak membutuhkan perhatian, hal ini berhubungan dengan
self-esteem. Anak yang tidak mendapat perhatian yang mereka butuh, dari guru, orang
tua bahkan dari temannya akan melakukan sesuatu yang berbeda, bahkan yang
mengganggu untuk mendapat perhatian. Misalnya, anak berjalan di kelas atau mencoba
menginterupsi ketika guru berbicara atau mengganggu temannya yang sedang belajar.
❖ Menunjukkan kekuasaan: Ketika anak menyadari bahwa mereka dapat
mempengaruhi lingkungan mereka, pada saat ini anak mencoba menguji kekuatan atau
kekuasaan mereka. Anak mencoba menguji apakah mereka bisa melampaui atau
melanggar batas yang telah ditetapkan oleh orang dewasa. Misalnya ketika orang tua
atau guru mengatakan bahwa anak tidak boleh berjalan di dalam kelas, anak mencoba
menguji bagaimana jika mereka melanggar larangan ini.
❖ Untuk balas dendam: Anak yang menganggu atau memukul, menyerang temannya
atau orang dewasa mungkin karena mengalami ketidakadilan atau perlakuan yang
menyakitkan fisik dan emosi mereka. Anak yang ingin membalas dendam akan
menyerang atau menarik diri (tidak mau berkerja sama) dari temannya.
❖ Menghindari kegagalan atau ketidakmampuan: Anak yang tidak bisa mencapai
harapan guru atau orang tua cenderung akan mengangap mereka tidak memiliki
kemampuan. Hal ini sering terjadi jika anak mereka menghadapi tugas-tugas belajar
yang dihadapi di luar kemampuannya. Perasaan tidak mampu ini akan diperlihatkan
anak dengan menarik diri dari proses pembelajaran atau aktivitas yang dilakukan
bersama.
Level 3: Perilaku tidak pantas - Menyakiti siswa lain - Peringatan tertulis berupa
berupa melanggar aturan atau kode - Vandalisme jika siswa melanggar lagi
etik sekolah yang serius - Mencuri akan diskors
- Rasis - Bimbingan khusus dengan
konselor sekolah (atau
Ditangani oleh: Kepala Sekolah dengan wali kelas, jika
tidak ada konselor)
Level 4: Perilaku tidak pantas yang - Menggunakan Alkohol - Bimbingan intensif dengan
sangat serius - Terlibat dalam tindakan guru atau wali kelas dan
seksual di sekolah konselor sekolah (BP),
untuk sementara tidak
Ditangani oleh: Kepala Sekolah, melibatkan dalam proses
Yayasan atau Komite Sekolah belajar dengan teman yang
lain
19
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic Education. Op. Cit.
Ditangani oleh: Kepala Sekolah,
Yayasan, Komite dan Dinas Pend
dan Pihak Kepolisisan