Anda di halaman 1dari 31

Disusun Oleh ;

J.H. Souisa & Imanuel Djahi


Senior Associate pada Yayasan Nusantara Sejati (YNS)
Dan PT. Wacana Tata Akademika (PT. WTA) - Jakarta
PENERAPAN PENDEKATAN DISIPLIN POSITIF
DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK

Sosialisasi Disiplin Positif

BAHAN UNTUK PESERTA SOSIALISASI

Disusun Oleh :

J. H. Souisa & Imanuel Djahi


Senior Associate pada Yayasan Nusantara Sejati (YNS)
Dan PT. Willi Toisuta & Asscociates ( PT. WTA ) Jakarta

Yayasan Nusantara Sejati ( YNS )


PT. Wacana Tata Akademika ( PT. WTA )
Kantor : Jln. Simprug Golf IV No 108
Sesi 1

Sosialisasi Disiplin Positif

Persepsi dan Respons Orangtua


dalam Mendisiplinkan Anak
Pengantar
Setiap orang tua, siapapun dia tentunya berharap bahwa anaknya akan bertumbuh,
berkembang dengan baik, menjadi anak yang baik. Untuk itu, maka setiap orang tua berupaya
untuk mengelola perilaku anak agar anak bertumbuh sesuai dengan yang diharapkan. Namun,
banyak orang tua bahkan guru tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup untuk
mendisiplinkan anak, bahkan mengembangkan karakter baik dari anak.
Pendekatan yang paling sering dilakukan dalam mendisiplinkan dan mengembangkan
karakter baik anak adalah dengan metode “reward & punishment” atau pemberian hukuman
dan hadiah/penghargaan. Jadi, ketika anak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma,
kebiasaan, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, maka orang tua akan memberi hukuman.
Sebaliknya, ketika anak melakukan hal-hal yang baik, maka anak tersebut akan diberi
penghargaan atau hadiah. Dengan pendekatan ini, diharapkan anak akan paham bahwa jika
berbuat salah, tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat/keluarga
maka akan dihukum dan jika berbuat baik, maka akan ada penghargaan.
Walaupun pendekatan ini secara akademik baru dikembangkan pada sekitar tahun 60-
70an, oleh Pavlov dan Skinner, namun sebenarnya pendekatan ini sudah dikenal lama. Sebagai
orangtua, tentunya pendekatan ini sudah sangat dikenal, bahkan sudah diterapkan kepada anak-
anak. Banyak dari orangtua yang semasa kecilnya dihukum jika salah dan diberi hadiah jika
melakukan yang baik. Pengalaman-pengalaman ini kemudian menjadi pengetahuan, dipegang
sebagai sebuah nilai, dan diterapkan pada anak-anak mereka. Reward & punishment akhirnya
dipegang sebagai sebuah kebenaran, apalagi muncul berbagai mitos di seputar penggunaan
hukuman seperti ‘di ujung rotan ada emas’. Lebih jauh, dengan keyakinan akan kebenaran
hukuman, maka orangtua bahkan guru-guru kemudian melabelkan anak dalam dua kategori
‘anak nakal dan anak baik’.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah memang benar ada anak nakal dan anak baik?
Apakah memang anak itu sejak awal memang ditadkirkan menjadi anak nakal dan anak baik?

Refleksi Pengalaman Selama Bersekolah dan Selama menjadi Guru.


Sekolah merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat moderen saat ini. Sekolah
merupakan tempat dimana harapan-harapan masyarakat, orangtua bahkan negara tentang
generasi yang baik, berkualitas, dipertaruhkan. Harapan-harapan orangtua agar anaknya
berkembang dengan baik, memiliki sikap ataupun karakter yang baik, diharapkan bisa
terbentuk di sekolah. Dan ujung tombak dari sekolah untuk mewujudkan harapan-harapan
orangtua/masyarakat tersebut adalah guru.
Dari hasil dialog dengan guru-guru di beberapa kabupaten/kota dalam kegiatan
sosialisasi penerapan disiplin positif bersama Kemen PPPA, diketahui bahwa pendekatan yang
umum digunakan dalam mengontrol perilaku anak agar sesuai dengan yang diharapkan adalah
dengan memberi pujian dan hukuman. Guru-guru mengatakan bahwa dari pengalaman mereka
selama ini, selain pendekatan ini mudah dilakukan, hukuman juga efektif dalam mengontrol
perilaku anak di sekolah. Karena sering dilakukan, maka akhirnya membangun keyakinan dari
guru-guru akan efektivitas penggunaan hukuman dalam mendisiplinkan anak.
Berikut ini salah satu contoh pernyataan guru-guru, yang meyakini bahwa hukuman
bermanfaat dalam mengontrol perilaku anak bahkan membentuk karakter anak selanjutnya.
“Di sekolah tempat saya mengajar (SMP), ada anak/siswa yang sangat susah
diatur. Anak/siswa tersebut hampir setiap hari melakukan hal-hal yang tidak
pantas, melanggar aturan sekolah. Karena perilakunya tersebut, anak ini sangat
terkenal di sekolah, dan guru-guru sudah menyerah untuk menangani anak ini.
Bahkan orangtuanya juga sudah tidak mampu menangani anak ini.
Ketika anak itu kelas tiga, saya kebetulan menjadi wali kelasnya. Sebagai wali
kelas, saya sudah berupaya untuk menyadarkannya, mehasehati dan berbicara
dengan anak itu. Suatu saat, ia dan beberapa temannya membuat masalah, dan
saya dipanggil kepala sekolah untuk berbicara tentang tingkah laku anak tersebut.
Saya kemudian memanggil anak itu dan teman-temannya yang membuat masalah.
Ketika saya mengajak bicara, mereka seperti tidak peduli dengan saya. Akhirnya...
saya menghajar mereka satu per satu, dan anak ini (yang suka buat masalah) saya
hajar sampai hampir pingsan”.
Setelah anak tersebut lulus, saya tidak pernah dengar kabar atau berita tentangnya.
Namun kira-kira 1 tahun lalu saya bertemu denganya. Ketika bertemu, ia telah
menjadi seorang perwira polisi dan memiliki hidup yang baik. Waktu bertemu, kami
berpelukan dan anak itu mengatakan ‘kalau bukan karena bapak dulu menghajar
saya, maka saya tidak bisa menjadi seperti ini’.
Jadi pak... pengalaman saya ini membuktikan bahwa ada anak nakal dan hukuman
itu sangat efektif. Pengalaman ini membuat saya yakin bahwa memang hukuman
dibutuhkan untuk mendisiplinkan anak”.

Dari cerita di atas, terlihat bahwa pertemuan dengan sang murid, ketika sang murid sudah
menjadi perwira polisi, dan ucapan sang murid yang mengatakan bahwa ia bisa menjadi polisi
karena hukuman keras yang pernah diterima dari sang guru, membuat sang guru merasa yakin
bahwa hukuman memang perlu diberikan. Tetapi pertanyaannya, apakah memang karena
tindakan hukuman yang diberikan oleh sang guru, ataukah karena ada hal lain yang membuat
anak tersebut bisa berhasil di kemudian hari? Pertanyaan lain, apakah sang murid yang sudah
menjadi polisi, dalam menjalankan tugasnya tidak akan melakukan kekerasan kepada
masyarakat, karena dari ucapan sang murid bahwa ‘karena ia dihajar oleh sang guru, maka ia
bisa menjadi polisi. Ucapan ini juga menunjukkan bahwa sang murid meyakini bahwa
hukumanlah yang membuat ia menjadi polisi. Besar kemungkinan pendekatan ini juga yang
akan dilakukannya dalam menjalankan tugasnya sebagai polisi.
Contoh cerita di atas hampir di temui di berbagai tempat diadakannya sosialisasi disiplin
positif. selalu ada cerita dari guru-guru tentang keberhasilan anak/murid karena hukuman yang
mereka berikan, dalam versi yang berlainan. Cerita seperti di atas membuat guru-guru yakin
bahwa hukuman efektif tidak saja dalam mengontrol perilaku anak, tetapi juga dalam
membentuk dan mengembangkan karakter baik anak. Walaupun belum ada survey, penelitian
yang membuktikan keyakinan guru-guru seperti cerita di atas.
Cerita di atas juga menunjukkan bahwa sang guru juga tidak lagi memiliki cara lain
dalam mengontrol perilaku anak yang dianggap nakal. Hukuman yang keras diberikan karena
menurut sang guru berbagai cara sudah dilakukan, seperti nasehat, berbicara dengan sang anak,
sudah lapor ke orang tua, memberikan ‘hukuman ringan’, tapi semuanya tidak bermanfaat.
Dalam dialog dengan guru-guru, hampir seluruhnya mengatakan bahwa ketika anak-
anak, ketika menjadi murid di sekolah, memang perilaku-perilaku tidak pantas (misbehave)
seperti terlambat ke sekolah, bicara dalam kelas, tidak mengerjakan PR, bolos sekolah, malas
mengikuti pelajaran, masalah kebersihan kuku dan pakaian, dan lain-lain juga pernah mereka
lakukan. Akibat dari tindakan-tindakan tidak pantas yang mereka lakukan maka mereka akan
dihukum dengan berbacai cara seperti membersihkan ruangan kelas, berdiri di depan kelas,
dipukul, dicubit telinganya, tangannya dipukul, dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman
yang mereka alami ini kemudian juga mereka pakai dalam mendisiplinkan anak di kelas atau
sekolah. Pengalaman dari masa kanak-kanak itu digunakan ketika menjadi guru, dan tentunya
diwariskan lagi ke generasi berikutnya.
Dari uraian di atas, selain karena terlihat bahwa ada beberapa sebab, mengapa guru-guru
memberikan hukuman kepada anak-anak.
1. Karena pendekatan reward & punishment mudah dilakukan, ketika anak berbuat baik
diberi pujian dan ketika anak berbuat yang tidak pantas dihukum. Dengan pendekatan
ini, maka anak akan tahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan.
2. Karena pengalaman guru-guru sebelumnya, bahwa mereka pernah dihukum ketika
melakukan kesalahan atau tindakan tidak pantas. Pengalaman inilah yang kemudian
mereka terapkan ketika menjadi guru.
3. Guru-guru tidak memiliki pengetahuan atau ketrampilan lain dalam mendisiplinkan
anak selain penggunaan hukuman.

Bentuk-Bentuk Hukuman dari guru/orangtua terhadap anak


Data sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (SIMFONI PPA) yang
dikeluarkan Kemen PPPA tahun 2019 menunjukkan bahwa ada banyak kasus kekerasan
terhadap anak. Selama tahun 2019, terjadi 8.488 kasus kekerasan terhadap anak. Dari total
kasus tersebut, 5650 kasus terjadi pada anak perempuan dan 2838 kasus terjadi pada anak laki-
laki. Kekerasan seksual paling banyak terjadi pada anak perempuan, sebesar 4.063 kasus,
sedangkan pada anak laki-laki kekerasan fisik yang paling banyak dialami, sebesar 1553 kasus.
Jika dipilah berdasarkan tempat terjadinya kekerasan, data SIMFONI PPA 2019 menunjukkan
bahwa kasus kekerasan terbesar itu terjadi di rumah, total kasus 3.648, kemudian di masyarakat
dengan 747 kasus, 1.405 kasus dan di sekolah dengan 747 kasus. Kasus-kasus kekerasan di
sekolah menurut KPPPA seringkali tersamarkan lewat pemberian hukuman dengan dalih
“demi disiplin”.
Dari hasil pemetaan di 101 kabupaten/kota di Indonesia, tempat dilakukannya sosialisasi
penerapan disiplin positif oleh YNS dengan didukung oleh Kemen PPPA, ditemukan bahwa
Rata-rata guru dari 10 lokasi sosialisasi penerapan disiplin positif di sekolah, pernah
memberikan hukuman kepada siswa atau murid di sekolah. 92% responden (guru-guru)
mengatakan bahwa mereka pernah menggunakan hukuman untuk mendisiplinkan anak, dan
dari 92% tersebut, 83% diantaranya mengatakan bahwa mereka jarang menggunakan
hukuman, 9,3 mengatakan sering menggunakan hukuman.
Alasan pemberian hukuman dan bentuk-bentuk hukuman juga bermacam-macam.
Berikuti ini akan ditampilkan gambar yang berisikan data tentang pemberian hukuman dan
alasan-alasannya.

Gambar 1. Alasan Guru Menghukum

Melanggar Aturan… 1,3%


Tidak Disiplin 13,2%
Nakal 15,2%
Tidak memenuhi… 20,5%
Tidak mengikuti Arahan 23,1%
Melakukan Kesalahan 26,7%

Dari gambar di atas terlihat ada beberapa alasan guru dalam memberikan hukuman
kepada murid. 26,7% mengatakan bahwa hukuman diberikan karena murid melakukan
kesalahan, 23,1% mengatakan bahwa karena murid tidak mengikuti arahan guru, 20,5%
mengatakan karena tidak memenuhi kewajiban, 15,2% mengatakan karena nakal, 13,2%
mengatakan bahwa murid tidak disiplin dan 1,3% mengatakan bahwa melanggar aturan
sekolah.

1
Kota Batam, kabupaten Gianyar, kota Palangkaraya, kabupaten Rembang, kota Medan, kota Bukit Tinggi,
Kota Balikpapan, kota Surabaya, kabupaten Pariaman, kota Mataram.
Gambar 2. Kecenderungan Bentuk Hukuman kepada anak Perempuan

Dinasehati 2,4%
lari keliling lapangan sekolah 3,7%
dicubit 3,9%
membersihkan toilet 8,7%
Telp /Panggil Orang tua 12,2%
disuruh berdiri depan kelas 13,4%
Dimarahi 38,9%

0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0%

Tentang kecenderungan bentuk hukuman dominan kepada anak perempuan, Gambar 2


menunukkan bahwa hukuman yang paling sering diberikan kepada anak perempuan adalah
dimarahi (38,9%), disuruh berdiri di depan kelas (13,4%), telepon atau panggil orang tua
(12,2%), membersihkan toilet (8,7%), dicubit (3,9%), Lari keliling lapangan sekolah (3,7%)
dan dinasehati (2,4%).

Gambar 3. Kecenderungan Bentuk Hukuman kepada anak Laki-Laki

dijewer 4,7%
dibentak 4,9%
lari keliling lapangan sekolah 7,7%
membersihkan toilet 9,9%
Telp / Panggil Orang tua 10,8%
disuruh berdiri depan kelas 13,1%
Dimarahi 32,2%

0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0%

Sama dengan anak perempuan, hukuman yang paling sering dilakukan kepada anak laki-
laki adalah dimarahi (32,2%). Selanjutnya, untuk anak laki-laki, kecenderungan hukuman yang
dominan diberikan adalah di suruh berdiri di depan kelas (13,1%), telephon atau panggil orang
tua (10,8%), membersihkan toilet (9,9%), lari keliling lapangan sekolah (7,7%), dibentuk
(4,9%) dan dijewer (4,7%).
Dari gambar 2 dan 3 di atas, untuk 10 kabupaten/kota yang pernah diberikan sosialisasi
penerapan disiplin positif, terlihat bahwa hukuman baik fisik maupun non fisik menjadi
pendekatan utama yang di lakukan guru untuk mengontrol perilaku tidak pantas anak. Selain
hukuman fisik dan non fisik, ada metode lain yang digunakan yaitu nasehat dan menelpon atau
memanggil orang tua. Data ini juga menunjukkan bahwa rata-rata guru tidak memiliki
ketrampilan lain dalam mengendalikan perilaku tidak pantas anak selain menghukum,
memanggil orang tua dan menasehati.

Dampak Pemberian Hukuman


Dari hasil pemetaan di 10 kabupaten/kota juga ditemukan bahwa 44% guru mengatakan
bahwa hukuman memberikan dampak buruk bagi perkembangan anak, sedangkan 38%
mengatakan bahwa tidak memberikan dampak buruk dan sisanya mengatakan tidak tahu.
Ketika didialogkan lebih jauh kepada 44% guru yang percaya bahwa hukuman memberi
dampak buruk, umumnya mereka tidak bisa memberikan alasannya. Sedangkan guru-guru
yang meyakini bahwa hukuman tidak berdapak buruk, memberi berbagai alasan, dan salah satu
alasannya seperti yang dikemukakan di bagian awal, bahwa anak yang mereka hukum pada
akhirnya memiliki kehidupan yang baik, dan mereka mengakui bahwa itu karena hukuman
yang pernah diberikan.
Pertanyaannya adalah lalu apakah hukuman itu? Apakah ada hasil penelitian yang bisa
membuktikan bahwa hukuman itu membawa dampak buruk atau baik bagi anak atau bahkan
bagi guru?
Komisi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan hukuman fisik (corporal
punishment) sebagai berikut:2
“Any punishment in which physical force is used and intended to cause some degree
of pain or discomfort, however light. Most involves hitting (smacking, slapping,
spanking) children with the hand or with an implement—whip, stick, belt, shoe,
wooden spoon, etc. But it can also involve, for example, kicking, shaking or
throwing children, scratching, pinching, burning, scalding, or forced ingestion (for
example, washing children’s mouths out with soap or forcing them to swallow hot
spices). In addition, there are other non-physical forms of punishment which are
also cruel and degrading and thus incompatible with the Convention. These include,
for example, punishment which belittles, humiliates, denigrates, scapegoats,
threatens, scares or ridicules the child.”
Dari definisi di atas, corporal punishment itu meliputi hukuman fisik maupun non fisik,
yang tujuannya adalah untuk menyakiti atau menimbulkan rasa tidak nyaman. Bentuk-
bentunya meliputi memukul, menampar, menendang, mengguncang atau melempar anak,
menggaruk, mencubit, membakar, atau memaksa menelan (misalnya mencuci mulut anak
dengan sabun, atau menelan secara paksa rempah-rempah panas). Sedangkan hukuman non-
fisik meliputi tindakan-tindakan yang merendahkan anak, meremehkan anak, menghina,
kambing hitam, mengancam atau mengejek anak.
Menurut komisi Hak Anak PBB, hukuman baik fisik maupun non fisik kejam dan
merendahkan anak, tidak menghormati anak. Dipak Naker and Deborah Sekitoleko3

2
Dipak Naker and Deborah Sekitoleko. 2009. Positive Discipline: Creating A Good school without Corporal
Punishment. Kampala-Uganda: Raising Voice. p. 8
3
Dipak Naker and Deborah Sekitoleko. 2009. Ibid. p. 12
mengatakan bahwa guru menggunakan corporal punishment karena mereka pernah
mengalaminya semasa kecil. Akibatnya, mereka percaya bahwa corporal punishment akan
mengajari anak-anak bagaimana berperilaku yang baik. Seringkali guru atau orang dewasa
tidak menyadari bahaya yang mereka sebabkan dengan pemberian hukuman.
Pengalaman pendampingan anak-anak di Uganda, Naker dan Sekitoleko mengatakan
bahwa hukuman berdampak buruk bagi anak. Dampak tersebut antara lain:
1. Konsekuensi Fisik. Banyak anak menderita cedera fisik seperti patah tulang, infeksi
dan penyakit fisik lainnya. Konsekuensi fisik ini akan menyakitkan anak dan mahal
bagi keluarga. Cedera dapat mempengaruhi perkembangan fisik anak.
“guru-guru memukul kami karena terlambat, padahal rumah kami jauh
dari sekolah, kami harus berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Teman saya
memiliki bekas luka di mana guru memukulnya dengan keras” (pengakuan
anak perempuan 10 tahun).
2. Konsekuensi emosional dan Psikologis. Ketika anak-anak dipukuli, mereka sering
merasa marah dan malu pada saat yang sama, mereka merasa terhina. Ketika
memaksa anak untuk mentolerir ketidakadilan, maka kita sementara merusak harga
diri dan kepercayaan diri mereka. Anak-anak juga dapat berhenti mempercayai orang
dewasa yang berulang kali menghukum mereka. Pengalaman negatif ini dapat
menyebabkan depresi, bunuh diri, keinginan balas dengan dan agresi terhadap orang
lain.
“Apa yang tersisa untuk saya di sini? Tidak ada yang peduli padaku.
Mereka menyiksaku dengan kata-kata, dan hatiku sakit. Lebih baik aku
mati daripada hidup dengan cara begini” (anak perempuan berusia 15
tahun).
3. Konsekuensi pada Perilaku. Banyak anak-anak yang mengalami hukuman fisik
suka menggertak anak-anak lain, atau menggunakan kekerasan ketika dewasa.
Hukuman fisik mengajarkan anak bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima
untuk memaksakan pandangan mereka pada seseorang yang tidak sekuat mereka.
“saya menjadi kasar dan memukuo anak-anak kecil lainnya. (pengakuan
anak laki-laki berusia 16 tahun)
“saya merasa sangat malu, dan merasa kesepian” (pengakuan gadis berusia
17 tahun).
4. Konsekuensi pada Perkembangan. Anak-anak yang mengalami hukuman fisik secara
teratur, hidup dengan perkembangan kognitif dan emosional yang lambat atau
terganggu. Mereka akan takut-takut dalam mencoba hal-hal baru. Mereka
membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempelajari ketrampilan sosial dan
akademik. Kinerja mereka di sekolah memburuk, dan kemampuan mereka untuk
membentuk hubungan yang sehat dan memuaskan dapat sangat terpengaruh.
“Saya tidak puas ketika saya berpikir mereka akan mengalahkan saya.
Otak saya tertutup, saya seolah-olah tidak memiliki kehidupan dan
terguncang dengan banyak ketakutan” (pengakuan anak laki-laki, 15
tahun).
Karena konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkan oleh pemberian hukuman, maka
Naker dan Sekitoleko mengatakan bahwa hukuman bersifat kontraproduktif, lebih banyak
bahayanya daripada keberhasilan. Hukuman merusak rasa percaya diri anak dan berkontribusi
bagi rasa tidak percaya anak terhadap orang dewasa. Jika kita tertarik membantu anak untuk
belajar (juga dari kesalahan), maka hukuman tidak akan membantu anak untuk mencapai tujuan
tersebut.
Hal yang dikemukakan oleh Naker dan Sekitoleko di atas juga dikemukakan UNESCO.
Pemberian hukuman kepada anak akan membuat mereka semakin marah, benci, dan merasa
ketakutan. Hukuman tersebut juga hanya akan membuat anak merasa malu, bersalah, gelisah,
bertambah agresif, tidak mandiri, dan tidak peduli pada orang lain. Sifat-sifat tersebutlah yang
merupakan masalah yang lebih besar baik bagi guru, wali anak, dan anak-anak lain4. Berikut
ini akan dilihat dampak-dampak lain yang bisa diakibatkan oleh pemberian hukuman. Antara
lain:

Dampak Jangka Pendek Dampak Jangka Panjang


➢ Rasa sedih, rendahnya penghargaan diri,
➢ Hukuman mengakibatkan terjadinya
kemarahan, perilaku agresif, keinginan
permusuhan dan dendam.
untuk balas dendam, mengalami mimpi
➢ Anak yang mengalami hukuman akan
buruk dan mengompol, depresi, cemas,
menjadi anti sosial
menggunakan narkoba, melakukan
➢ Anak yang mengalami hukuman fisik akan
pelecehan seksual dan pelecehan anak,
cepat melakukan kekerasan fisik jika
kenakalan.
menghadapi masalah
➢ Berpotensi besar putus sekolah karena
➢ Perilaku positif anak tidak berkembang mereka takut akan mengalaminya lagi di
karena setiap mengalami hukuman fisik, sekolah.
anak hanya menghentikan tindakannya ➢ Keluar dari sekolah mereka akan menjadi
tanpa tahu mengapa. pengonsumsi minuman keras dan
melakukan tindakan sosial yang tidak baik
dan tidak dapat diterima
➢ Anak mengalami luka fisik sehingga
membutuhkan perawatan medis. Luka fisik
tersebut bisa berdampak permanen bahkan
kematian5.
➢ Anak yang mendapat hukuman atas perilaku
mereka menjadi tidak percaya diri atas
tindakan yang mereka ambil

4
UNESCO. 2006. Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah
terhadap Pembelajaran Buku khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan
bagi Pendidik, 18. Thailand:UNESCO. Dan lihat juga: Plan in Viernam. 2009. Positive Disiplin-Training Manual.
Vietnam: Plain in Vietnam.
5
Op. Cit. Plan in Vietnam, 45
➢ Menimbulkan dendam dalam diri anak,
sehingga berlanjut ke generasi berikutnya
lebih besar6.
➢ Berkorelasi negatif terhadap tingkat
kreatifitas anak.78
➢ Akibat dari seringnya mendapat hukuman
kemampuan anak untuk mengontrol diri,
bertanggungjawab bahkan kekritisan akan
suatu bentuk tindakan tidak berkembang

Gambar 4. Perasaan Anak Saat Mendapat Hukuman (perspektif guru)

lainnya 1,0%
Diam 1,2%
Menyesal 1,3%
Kecewa 10,1%
Menentang / melawan 8,7%
Biasa saja 19,3%
Marah 4,5%
Menangis 14,0%
Jengkel 8,6%
Takut 27,8%

0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0%

Apa yang dikemukakan sebelumnya tentang dampak hukuman bagi anak, tidak jauh beda
dengan hasil pemetaan yang dilakukan di 10 kabupaten/kota di Indonesia. Gambar 4 di atas
menunjukkan perasaan anak ketika mereka memperoleh hukuman dari guru. Gambar 4 di atas
menunjukkan bahwa saat mendapat hukuman, maka kebanyakan anak merasa takut (27,8%),
merasa biasa saja (19,3%), menangis (14%), kecewa (10,1%), menentan atau melawan (8,7%),
jengkel (8,6%), dan marah (4,5%).

6
UNESCO. Op. Cit., dan lihat juga: Albert, L. A Teacher’s Guide to Cooperative Discipline, (American Guidance
Service, 1989) in Charles C.M. and Senter G.W. Building Classroom Discipline.
http://faculty.washington.edu/cadavis1/ 503%20Readings/AlbertChapter.pdf [accessed online 10 June 2016.
Pukul 15.00]
7
Bigner J. J. 1994. Parent-child relations – An Introduction to parenting. Pearson

8
Bigner J. J. 1994. Parent-child relations – An Introduction to parenting. Pearson
Yang menarik dari data di atas adalah 19,3% anak merasa biasa saja ketika memperoleh
hukuman dari guru. Ini bisa berarti bahwa anak-anak tersebut sering memperoleh hukuman,
sehingga mereka merasa biasa saja ketika dihukum. Ini juga bisa berarti bahwa bagi anak-anak
tersebut, hukuman sudah tidak punya makna lagi bagi mereka, atau juga mereka paham bahwa
kalau buat kesalahan maka mereka akan mendapat hukuman dan mereka siap untuk
menghadapinya.

Dengan melihat data di atas, seharusnya guru sadar bahwa hukuman hanya akan
memberikan dampak negatif bagi anak; takut, marah, kecewa, benci, melawan, menangis,
menyesal, dan sebagainya. Tentunya, perasaan-perasaan ini berdampak negatif bagi
perkembangan anak.

Dari hasil pemetaan terhadap perasaan guru, juga terlihat bahwa banyak guru yang
sebenarnya tidak suka menghukum, namun karena tidak paham bagaimana mengelola perilaku
anak, atau mendisiplinkan anak, maka mereka akhirnya menggunakan pendekatan hukuman.
Ada berbagai perasaan yang dirasakan guru ketika memberi hukuman pada anak.

Gambar 5. Perasaan Guru Saat Memberi Hukuman

Lainnya 1,0%
Menyesal 4,5%
sedih 32,4%
kecewa 23,2%
marah 12,8%
jengkel 5,0%
terpaksa 15,0%
biasa saja 7,0%

0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0%


Gambar 6. Perasaan Guru Setelah Memberi Hukuman

Kembali Tenang 9,6%


lega 5,1%
Menyesal 49,7%
sedih 2,7%
kecewa 25,6%
marah 2,6%
jengkel 2,6%
senang 1,1%
biasa saja 10,3%

0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0%

Dari Gambar 5 dan 6 di atas, terlihat bahwa sebenarnya guru-guru juga tidak merasa
senang ketika memberi dan setelah memberi hukuman kepada anak. Umumnya mereka merasa
sedih, kecewa, menyesal dengan tindakan mereka, dan lain-lain. Jika perasaan-perasaan
tersebut yang ada pada guru ketika memberi dan setelah memberi hukuman, ini berarti bahwa
guru-guru juga memperoleh dampak negatif dengan memberi hukuman kepada anak.

Mitos Penggunaan Hukuman Kepada Anak / Siswa


Meskipun penelitian dengan jelas menunjukkan bahaya dan ketidakefektifan hukuman fisik,
guru tetap menggunakan pendekatan ini ketika berhadapan dengan anak. Hal ini terjadi karena
adanya keyakinan yang melekat dalam diri guru akan pentingnya hukuman fisik. Keyakinan
ini sebenarnya hanyalah sebuah mitos karena, sebagaimana diungkapkan di atas, hukuman fisik
lebih banyak berdampak negatif dibanding dampak positifnya.
Hukuman fisik ini diperkuat oleh mitos-mitos yang diyakini benar. Berbagai mitos tersebut
misalnya sebagai berikut:9
Mitos: “Saya dulu mengalaminya dan tidak ada yang membahayakan saya.”
Fakta : “Argumen ini bisa saja hanya sekedar pembelaan akan tindakan yang telah
dilakukan, karena mereka mungkin saja pernah merasa takut dan marah ketika
hal ini terjadi pada mereka. Lagi pula cara yang digunakan pada mereka tidak
berarti sesuai pada anak jaman sekarang. Pendapat ini akan menjadi legitimasi
terjadinya kekerasan secara turun-menurun.”

9
UNESCO. Op. Cit. Hal 21-23, lihat juga : http://www.nospank.net/pta.htm dan
http://birthwithoutfearblog.com/2011/12/17/myths-and-facts-spanking/
Mitos: “ Untuk kelas yang besar, siswa yang banyak, hukuman diperlukan agar kelas bisa
kondusif”.
Fakta : “Alasan ini menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmauan guru mencari
cara lain dalam berhubungan dengan anak dan manajemen kelas. Kegagalan
guru dalam mengembangkan tanggung jawab anak terhadap perilakunya
tercermin dari argumen ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan
yang berpusat pada siswa dapat membuat kelas lebih kondusif karena siswa
aktif dalam proses belajar.”
Mitos: “Hukuman fisik cara yang paling baik. Metode yang lain tidak bisa melakukan sebaik
itu.”
Fakta : “ Hukuman fisik tidak sama dengan disiplin. Pandangan ini lahir dari
pemahaman yang dangkal akan disiplin dan juga hukuman fisik itu sendiri.
Dari hasil penelitian sendiri telah menunjukkan bahwa hukuman fisik
berdampak negatif pada perkembangan anak.”
Mitos: “Hukuman mengajarkan ketaatan dan rasa hormat.”
Fakta : ”Hukuman fisik tidak sesuai dengan pembelajaran students centered karena
membatasi siswa untuk bertanya, berpikir kreatif, dan menerima tujuan
personal. Anak hanya taat ketika ada yang mengawasi, padahal ketaatan pada
peraturan dan etik harus didasarkan pada kesadaran.”
Mitos: “Di ujung rotan ada emas”
Fakta : “Hasil penelitian menunjukkan cara mendidik yang menggunakan kekerasan
(hukuman) berdampak negatif bagi perkembangan anak. Negara seperti
Finlandia yang tidak menerapkan hukuman dapat mendidik anak dengan
baik bahkan menjadi negara dengan pendidikan terbaik di dunia saat ini.”
Mitos: “Hukuman adalah bentuk kasih sayang. Anak yang kukasihi kuhajar dan ku didik.”
Fakta : “Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hukuman berdampak negatif bagi
perkembangan anak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Apakah hal ini masih bentuk kasih sayang?”
Mitos: “Anak perlu mengenal hukuman karena dalam kehidupan sehari-hari banyak aturan
yang harus ditaati.”
Fakta : “Hampir semua sekolah-sekolah di Indonesia menggunakan hukuman, namun
nyatanya warga Indonesia masih belum taat pada aturan. Sebaliknya Selandia
Baru yang tidak lagi menggunakan pendekatan hukuman di sekolah menjadi
negara yang paling taat pada aturan.”
Mitos: “Hukuman fisik adalah salah satu budaya kita. Orang Indonesia timur keras, maka
untuk mendidik juga harus keras”
Fakta :” Padahal, meski memang tidak bisa ditampik bahwa budaya ini ada, di Asia
budaya yang menekankan adanya harmoni dan pengaturan diri juga kuat.
Dibanding hukuman fisik, cara tradisional dapat digunakan sebagai bentuk
disiplin yang tidak melibatkan kekerasan.”

Penutup

Pendekatan hukuman adalah pendekatan yang dominan dipakai oleh orang tua atau guru.
Pendekatan ini digunakan karena mudah dilakukan, karena pengalaman-pengalaman
sebelumnya, juga karena orang tua atau guru tidak memiliki pengetahuan atau ketrampilan lain
dalam mendisiplinkan anak. Akhirnya hukumanlah yang digunakan untuk mendisiplinkan
anak.

Namun, hukuman memiliki dampak yang buruk, tidak saja bagi perkembangan anak
namun juga bagi guru. karena itulah, maka seharusnya guru-guru, orangtua, orang dewasa tidak
menggunakan hukuman dalam mendisiplinkan anak. Disinilah dibutuhkan pendekatan lain
yang dapat mendisiplinkan anak tanpa kekerasan atau hukuman. Disiplin positif dapat menjadi
salah satu acuan dalam mendisiplinkan anak.
Sesi 2.1

Sosialisasi Disiplin Positif

Memahami Anak dalam Tahap


dan Ciri Perkembangannya
Perkembangan Anak
Banyak perbedaan paradigma dalam memahami anak. Sebelum pertengahan abad 20, konsep
dominan mengenai anak adalah melihat anak sebagai penerima passif, tidak dapat berpikir
dengan baik dan tergantung pada orang dewasa. Konsep ini sudah ditinggalkan. Sekarang
disadari bahwa anak adalah aktor sosial aktif, yang punya kontribusi terhadap masyarakat tidak
sekedar mengikuti apa yang terjadi dalam masyarat atau lingkungannya. Untuk itu guru harus
memahami konsep perkembangan sebagai proses aktif dimana masyarakat harus memberikan
ruang dan jaminan berlangsungnya proses perkembangan tersebut dengan baik. Perkembangan
didefenisikan sebagai proses perubahan dimana anak menjadi semakin mahir dan bertumbuh
pada level yang semakin kompleks, baik dari segi pemikiran, perasaan dan interaksi dengan
orang lain dan objek dalam lingkungan.

Perkembangan anak meliputi:10


- Pertumbungan
- Perubahan
- Komunikasi
- Belajar
- Pertumbungan pada kemandirian diri
- Mengambil peran dalam kehidupan sosial

Prinsip utama yang mendasari perkembangan anak adalah sebagai berikut:11


- Perkembangan bersifat holistik. Perkembangan adalah hasil saling mempengaruhi
antara faktor bawaan, sosial, budaya dan lingkungan.
- Perkembangan anak dimulai pada masa prenatal
- Delapan tahun pertama anak adalah dasar untuk perkembangan selanjutnya untuk itu
perlu perhatian intens pada tahap ini
- Kebutuhan anak berbeda di setiap tahun pada usia dini
- Perkembangan bersifat multi-determined dan bervariasi tergantung gizi anak, pengaruh
biologis, warisan genetik, sosial dan konteks budaya
- Perkembangan anak secara natural adalah komulatif dan tidak selalu progresif
- Anak adalah partisipan aktif dalam perkembangannya dan proses belajarnnya
- Perkembangan dan proses belajar terjadi sebagai hasil dari interaksi anak dengan orang
lain dan objek dalam lingkungannya
- Anak tinggal dalam sebuah konteks—keluarga, komunitas, budaya—dan kebutuhan
mereka semakin efektif jika dihubungkan dengan konteks ini.
- Perkembangan berlangsung seumur hidup, artinya perkembangan berlangsung dan
berkesinambungan sepanjang hidup
- Perkembangan bersifat multidireksional, yaitu bahwa perkembangan terjadi pada arah
tertentu, misalnya pada masa bayi lebih condong pada perkembangan fisikal

10
Elizabeth and Pal Jareg. 1994. Reaching Children Through Dialogue, Redd Barna Pb. Macmillan.
11
Lihat Evans, J.L., Myers, R.G., Ilfeld, E.M. 2000. Early Childhood Counts: A Programming Guide on Early
Childhood Care for Development. Washington DC: The World Bank. Lihat juga Rita Eka I, dkk. 2007.
Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: Fakultas Fsikologi-UNY
- Perkembangan bersifat lentur, artinya perkembangan itu dapat distimulasi sehingga
berlangsung optimal
Prinsip yang diutarakan di atas juga sesuai dengan prinsip perkembangan menurut lifespan
development perspective. Ada empat asumsi yang mendasari prinsip ini yaitu (1) lifelong, (2)
multidimensional and multidirectional, (3) highly plastic, and (4) affected by multiple
interacting forces.12
Selain prinsip di atas perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang memperngaruhi perkembangan
anak. Faktor yang mempengaruhi perkembangan anak yaitu keberadaan anak itu seperti
genetik dan faktor bawaan, dan faktor lingkungan meliputi keamanan dan penerimaan anak,
kasih sayang dan dukungan dari berbagi pihak serta lingkungan yang ramah anak (kebutuhan
dasar anak terpenuhi, anak memperoleh kesemapat untuk berpartisipasi secara adil,
kesempatan mengekspresikan diri, hak anak dijamin, jaminan perlindungan dari berbegai
bentuk kekerasan). Lingkungan dan faktor bawaan saling mempengaruhi dalam
perkembangan anak.
Oleh karena itu perkembangan anak harus dilihat dari kerangka interaksi dengan lingkungan
sekitarnya yang terus menerus saling mempengaruhi. Interaksi ini meliputi konteks personal,
interpersonal, sosial dan tingkatan budaya. Setiap konteks ini masing-masing punya peran yang
signifikan terhadap perkembangan anak. Salah satu teori mengenai interaksi dan partisipasi
yang saling memperngaruhi antar konteks diperkenalkan oleh Urie Bronfenbrenner melalui
teori sosial ekologi-nya.13 Dasar dari perkembangan anak direpresentasikan oleh faktor fisik
(inner physical), kognitif, emosi dan sosial.
Kemudian menurut Bronfenbrenner terdapat lima sistem lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan anak selain faktor internal. Kelima sistem tersebut meliputi mikrosistem,
mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem. Pada level Mikrosistem perkembangan
anak dipengaturi oleh interaksi anak dengan orang lain dan institusi yang dekat dengannya
yaitu orang tua, teman sebaya, dan sekolah. Pada level berikutnya, yaitu Mesositem, terjadi
interaksi antar mikrosistem misalnya interaksi antar orang tua, guru dalam sistem sekolah,
anggota keluarga dan teman sebaya dalam institusi keagamaan, organisasi kepemudaan, atau
anak-anak.
Lingkungan berikutnya adalah Ekosistem, yaitu struktur yang memperngaruhi perkembangan
anak melalui interaksi beberapa struktur dalam mikrosistemnya. Ekosistem merupakan sistem
sosial yang lebih luas dimana siswa tidak terlibat langsung atau tidak punya peran langung.
Meskipun anak tidak terlibat langsung namun mereka tetap dapat merasakan dampak positif
atau negatif yang memperngaruhi sistem mereka sendiri. Misalnya adalah jadwal dan beban
kerja orang tua di kantor akan mempengaruhi anak, kondisi kemiskinan dan kekondusifan
masyarakat.
Tingkat berikutnya adalah Makrositem yang mengelilingi mikro-meso dan ekosistem. Nilai-
nilai, ideologi, hukum, masyarakat dan budaya direpresentasikan dalam sistem ini. Pada
tingkatan inilah kita mengerti bahwa anak di Indonesia berbeda dengan anak di Eropa.
Contohnya adalah ada tidaknya payung hukum, budaya yang melindungi anak akan
berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sitem kelima adalah Kronosistem yang meliputi

12
Berk, L.E. 2007. Development Through The Lifespan, 4/e. Illinois State University
13
Ibid. Lihat juga: Rita Eka I, dkk. Op. Cit.
dimensi waktu yang berpengaruh pada lingkungan anak (dari mikrosistem ke makrosistem).
Elemen dari sistem ini bisa saja terjadi dari faktor ekstenal seperti perubahan psikologis yang
terjadi pada anak, kehilangan orang tua.

Sumber : http://www.growingupinaustralia.gov.au/pubs/reports/krq2009/keyresearchquestions.html

Dari teori sosial ekologi-nya Bronfenbrenner kita dapat melihat bahwa perkembangan anak
dipengaruhi oleh lingkungan dari yang mikro sampai ke makro bahkan faktor luar yang tidak
bisa diduga seperti kehilangan/kematian orang tua. Untuk itu, dalam berhubungan dengan anak
guru harus mempertimbangkan setiap sistem ini. Lebih lanjut, untuk menyediakan kesempatan
yang luas pada perkembangan anak setiap sistem tersebut harus diberdayakan, dari keluarga,
masyarakat, budaya bahwa kebijakan pemerintah.

Aspek Perkembangan Anak


Sebagaimana yang diungkapkan pada prinsip perkembangan anak bahwa terdapat beberapa
area/aspek perkembangan anak. Berikut adalah area/aspek perkembangan anak:
• Perkembangan fisik, yang meliputi kesehatan, perkembangan otak, perkembangan
biologis dan perkembangan psikomotorik
• Perkembangan emosional, meliputi
penghargaan diri, kepercayaan diri, dan
identitas diri. Perkembangan
emosional adalah dasar bagi
perkembangan kognitif dan sosial.
Perkembangan emosional anak akan
mempengaruhi hubungannya dengan
orang lain, dan sebaliknya.
• Perkembangan kognitif, meliputi
bahasa, intelegensia, pemikiran,
pemecahan masalah dan skill analisis
• Perkembangan sosial meliputi
komunikasi, membangung relasi,
sikap, skill sosial, norma, aturan, kemampuan resolusi konflik bahkan perkembangan
etika dan moral.
Setiap aspek perkembangan ini saling
Social mempengaruhi satu dengan yang lain, tidak
Development
mungkin satu aspek berkembang optimal tanpa
Cognitive
diikuti perkembangan aspek lain. Salah satu
gambaran relasi antar aspek ini diungkapkan
Development
oleh Horno. Horno14 menggambarkan relasi
Affective/Emotional keempat aspek ini dalam bentuk piramida
Development seperti yang terlihat di samping. Melalui
gambaran relasi piramid ini Horno ingin
mengatakan bahwa perkembangan emosional menjadi dasar pada perkembangan yang lain.
Namun ini hanyalah salah satu gambaran, berbagai gambaran lain melihat interrelasi terjadi
tidak bertingkat namun secara totalitas.

Ciri dasar perkembangan berdasarkan tahap umur:15


Tingkatan Ciri dasar perkembangan
0-1 tahun • Anak pada umur ini belajar mempercayai orang tua atau orang lain
• Anak membutuhkan rasa aman, kepercayaan, perhatian dan interaksi
yang intens. Untuk itu tindakan seperti memeluk, berbicara,
tersenyum, sentuhan, dll dari orang tua sangat dibutuhkan anak.
1-4 tahun • Anak sekarang sudah mengalami rasa marah baik karena hal fisik
maupun emosional
• Pada umur ini, anak ingin mengeksplorasi segala sesuatu yang berada
di sekitarnya. Hal ini karena rasa ingin tahu mereka yang besar
• Anak sudah mampu berbicara, berjalan, pergi ke toilet, memakai baju
dan memulai melakukan sesuatu secara mandiri
• Anak menganggap temannya sebagai saingan/kompetitor. Misalnya
anak tidak ingin berbagi mainan, makanan dengan temannya.
• Anak sudah mulai mengetahui sesuatu tindakan ada penyebab dan
akibatnya
• Anak membutuhkan aturan, tuntunan dan penjelasan sederhana untuk
mengontrol dorongan emosi mereka.
5 tahun Cenderung tenang dan pendiam. Biasanya terdapat keinginan untuk
mencoba hanya pada hal-hal yang dapat dia lakukan, sehingga dia merasa
nyaman dalam melakukan penyesuaian. Ramah, periang, apresiatif, ingin
menyenangkan orang lain dan melakukan hal-hal yang benar; ingin dan
berniat jadi anak baik; belum mampu mengakui kesalahan dan juga belum
mampu mengungkapkan kebenaran.
6 tahun Emosi tinggi. Cepat suka dan cepat pula untuk benci pada sesuatu hal.
Sering membuat kekacauan dan
menimbulkan masalah bagi diri sendiri maupun orang lain. Terkadang
memancing kegaduhan dan
perkelahian dengan orang lain. Ketika suasana hatinya sedang baik, anak
berumur 6 tahun akan menunjukkan sifatnya yang riang gembira, enerjik,
dan antusias. Anak dalam masa perkembangan ini membutuhkan banyak

14
Horno, P. 2005. Love, Power and Violence: A Transcultural Comparison of Physical and Psychological
Punishment Patterns. Spain: Save the Children Spain
15
Lihat UNESCO. 2006. Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah
terhadap Pembelajaran Buku khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan bagi
Pendidik. Thailand:UNESCO. Dan lihat juga: Plan in Viernam. 2009. Positive Disiplin-Training Manual. Vietnam:
Plain in Vietnam
pujian, namun perilakunya cenderung menimbulkan kritikan dari orang
sekitarnya. Namun sayangnya kritikan tersebut seringnya malah membuat
perilaku anak semakin tidak baik. Anak umur 6 tahun belum dapat
membedakan kepemilikannya maupun kepemilikan orang lain.
7 tahun Cenderung tenang dan berperilaku positif. Bersikap serius, asyik dengan
diri sendiri, moody (suasana
hati yang berubah-ubah), penuh kecurigaan atau kekhawatiran. Sangat
sensitif dengan suasana
hati orang disekitarnya. Terkadang merasa dirinya tidak disukai oleh
orang lain sehingga mereka merasa harus membuat orang tersebut senang.
Sering bermalas-malasan, rentang ingatan pendek, dan perhatiannya
mudah dialihkan.
8 tahun Penuh semangat, dramatis, rasa ingin tahu yang tinggi, dan banyak
kemauannya. Tidak se – moody anak usia 7 tahun, namun anak usia 8
tahun tetap sensitif. Membutuhkan orang lain untuk meluangkan waktu,
perhatian, dan setuju pada dirinya; mulai berpikir secara abstrak; Tertarik
dan fokus pada kepemilikan pribadi.
9 tahun Lebih pendiam dari pada anak usia 8 tahun. Cenderung mandiri,
bertanggung jawab, dapat
diandalkan, dan kooperatif. Terkadang bisa menjadi
temperamental (cepat marah) namun pada dasarnya kemarahan mereka
berdasar. Mereka dapat menerima kritikan dengan baik apabila kritikan
tersebut disampaikan dengan baik; tertarik dengan kesamarataan; bagi
anak berumur 9 tahun standar kelompok lebih penting daripada standar
yang ditetapkan oleh orang dewasa. Cenderung asyik dengan diri sendiri
dan mungkin tidak mendengarkan ketika diajak bicara. Terkadang
mereka terlihat tidak peduli dan acuh tak acuh
namun di waktu lain mereka dapat menunjukkan
10 tahun Ceplas-ceplos, terus terang, sederhana, jelas, stabil namun masih bersikap
kekanakan. Memiliki banyak
kemauan namun tidak sebanyak anak berusia 9 tahun. Cenderung ceria
dan berbahagia dengan kehidupan yang mereka jalani. Di suatu waktu
menunjukkan sikap dengan tensi tinggi melalui kemarahan yang
meledak-ledak namun di lain waktu menunjukkan rasa kasih sayangnya.
Anak usia 10 tahun tidak dalam masa perkembangan yang
mengkhawatirkan, namun sifatsifatnya pada usia sebelumnya
bagaimanapun masih terlihat.
Senang membuat kelucuan sendiri yang belum tentu lucu bagi orang lain.
Usia 10 tahun adalah usia yang
bahagia.
11-13 tahun Usia awal masa remaja, usia di mana terdapat banyak perubahan.
Mengembangkan identitas pribadi dan lebih mandiri. Kebutuhan akan
privasi meningkat dan merasa sangat sensitif bila di olok-olok dan
moody. Kebutuhan untuk memiliki teman
meningkat.
14-16 tahun Usia pertengahan masa remaja. Kemandirian, pengembangan seksual, dan
kepedulian pada diri
sendiri meningkat. Sangat sadar/mengutamakan penampilan. Pemikiran
kekanakan sudah banyak berkurang; mereka peduli akan fakta dan dapat
membuat keputusan yang baik.
17-21 tahun Usia akhir masa remaja. Menjadi lebih mandiri, bergantung pada diri
sendiri, hanya sedikit sekali
terpengaruh oleh teman-teman di sekitarnya; mengembangkan kapasitas
pemikiran yang dewasa.
Umumnya lebih mudah ditangani daripada anak-anak pada usia awal atau
tengah masa keremajaan.
Bereksplorasi pada hubungan jangka panjang. Berpendapat pada banyak
hal yang terjadi di sekitarnya. Berkurangnya kesadaran diri akan
penampilan semata.
Sesi 2.2
Sosialisasi Disiplin Positif

Cara Pandang Baru dalam Melihat


Perilaku Tidak Tepat Anak
(Misbehave)
Pengantar

Jordy adalah anak laki-laki berusia 6 tahun, anak kedua dari sebuah keluarg di kota
Kupang. Keluarga Jordy dapat dikategorikan sebagai kelas menengah, bapaknya seorang
pegawai negeri dan ibunya seorang pedagang kue di pasar. Setiap malam saat ibunya
menyiapkan bahan-bahan kue untuk dagangan, Jordy selalu ikut menyibukkan diri, memegang
bahan-bahan kue, bertanya-tanya, bahkan seringkali nampak sengaja menumpahkan bahan
adonan. Ibu Jordy seringkali tidak sabar menghadapinya, apalagi ketika ada bahan adonan kue
yang ditumpahkan Jordy.

Dalam Kasus yang lain, terjadi dengan Orpa, ia adalah anak ke dua dalam keluarganya.
Orangtua Orpa juga pedagang sayuran di pasar. Orpa berusia 9 tahun, dan duduk di kelas 3
Sekolah Dasar X. Menurut keterangan guru kelasnya, Orpa termasuk anak yang sulit, pasif
dalam proses pembelajaran di kelas. Orpa memang tidak menggangu teman-teman lain, namun
jika diberikan tugas, Orpa cenderung untuk tidak mengerjakannya, atau acuh tak acuh dengan
tugas tersebut. Jika ditanya, Orpa malah diam saja tidak memberikan respons apa-apa, bahkan
pernah Orpa melotot ke sang guru dengan ekspresi wajah marah.

Dua kasus di atas berbeda, namun kedua kasus tersebut menunjukkan perilaku tidak tepat
anak. Pada kasus Jordy, terlihat bahwa ia sengaja menumpahkan adonan kue milik ibunya,
sedangkan pada kasus Orpa, pasif dalam belajar dan terkadang menunjukkan sikap menantang
guru. Pertanyaannya adalah mengapa Jordy dan Orpa melakukan hal-hal yang dianggap tidak
tepat? Apa penyebabnya? Bagaimana orang tua harus menghadapi perilaku Jordy atau guru
menghadapi Orpa?

Berikut ini akan diuraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan anak-anak
berperilaku tidak tepat, tujuan dari perilaku tersebut dan bagaimana sebaiknya orangtua, guru
atau orang dewasa menghadapinya.

Memahami latar belakang tindakan Anak16


Perilaku adalah sesuatu yang dapat dipahami dan mempunyai suatu tujuan. Perilaku atau
pun tindakan tidak datang tiba-tiba, tanpa alasan dan tujuan. Anak melakukan sesuatu untuk
suatu alasan tertentu meskipun mereka tidak memahami alasan tersebut. Oleh karena itu
penting untuk mencoba memahami dan melihat dunia sebagaimana anak memahami dan
melihatnya. Selain itu, orang dewasa (baik orang tua maupun guru) harus mencoba mengerti
persoalan yang mungkin mempengaruhi bagaimana anak bertindak di dalam kelas dan di
rumah. Kita harus bertanya pada diri kita sendiri jikalau mereka mengalami kesulitan akan
keadaan kelas dan sekolah atau sesuatu dari luar kelas dan sekolah yang mungkin penyebab
dari persoalan tersebut. Dengan demikianlah kita bisa memulai merespon perilaku anak dengan
bijaksana, percaya diri dan efektif.

16 Diadaptasi dari: Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic Education. 2012.
Positive Discipline and Classroom Management-Course Reader. Afrika Selatan; dan juga: UNESCO. 2006.
Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran
Buku khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan bagi Pendidik. Thailand:
UNESCO
Untuk mencoba memahami latar belakang perilaku/tindakan anak, pertanyaan berikut
dapat membantu:
- Apakah ada permasalahan dengan materi belajar atau pendekatan pembelajaran
yang digunakan guru? Kadang-kadang anak berbuat sesuatu yang tidak pantas
dikarenakan tugas-tugas belajar yang terlalu sulit atau terlalu mudah bagi mereka.
Metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar mereka atau ekspektasi
guru yang tidak jelas dan tidak logis dapat membuat mereka bosan sehingga mereka
melakukan tindakan yang tidak pantas.
- Apakah karena motivasi emosional anak? Anak sering bertindak di luar batas untuk
mencapai tujuan tertentu, seperti mencari perhatian, perasaan yang meluap-luap dan
tidak terkontrol, atau reaksi atas kenyataan yang dihadapi atau merasa disakiti atau
terluka. Anak juga dapat bertindak tidak pantas sebagai cara untuk menghindari
ketakutan akan kegagalan atau menutupi perasaan mereka yang tidak menentu.
- Apakah perilaku atau tindakan tersebut refleksi dari masalah di sekolah? Anak
sebagai korban atau pelaku bullying (perisakan) atau trauma akibat kondisi sekolah
akan mengalami ketakutan, cemas, gelisah, dan menarik diri. Anak yang mengalami
hal ini mungkin akan melakukan tindakan bullying pada temannya sebagai konsekuensi
emosi mereka atau cara agar mereka merasa lebih baik.17
- Apakah perilaku atau tindakan mereka sebagai akibat dari masalah personal atau
masalah di dalam rumah? Anak yang mempunyai masalah di rumah akan
mempengaruhi tindakan dan perilakunya di sekolah. Anak banyak menghadapi
tantangan emosional di rumah dan pengaruhnya akan terbawa ke sekolah. Misalnya,
anak yang mengalami kekerasan di rumah, orang tua tidak akur, anggota keluarga sakit,
serta masalah ekonomi-sosial keluarga bahkan mungkin saja anak dijadikan pekerja di
bawah umur. Masalah-masalah ini mempengaruhi tindakan anak di sekolah. Misalnya,
anak yang mendapat perlakuan fisik atau bullying di rumah akan melakukan hal yang
sama kepada temannya. Oleh karena itu guru perlu mengetahui bagaimana keadaan
anak di rumah dalam hubungannya dengan perilakunya di sekolah.
- Apakah perilaku merupakan refleksi dari persoalan sosial-ekonomi? Faktor sosial
ekonomi sangat mempengaruhi perilaku anak. Misalnya anak yang lapar akan
mengalami kesulitan untuk konsentrasi dan cenderung performanya rendah dibanding
anak yang cukup makan. Selain itu, anak yang punya tanggungjawab besar dalam
pekerjaan rumah, akan mengalami kelelahan dan sulit untuk konsentrasi di sekolah.
Anak miskin juga punya tantangan untuk mendapatkan bahan pelajaran seperti buku,
perlengkapan sekolah bahkan transportasi ke sekolah.
- Apakah itu diakibatkan persoalan medis atau biologis? Perasaan tidak nyaman atau
depresi, sebagai contoh, dapat mempengaruhi bagaimana anak bertindak. Sesuatu yang
normal jika kadang anak lupa tugas/PR mereka, melamun selama di kelas, bertindak
tanpa berpikir panjang, atau gelisah. Namun permasalahan yang muncul juga dapat

17 Tim CJCP. 2015. School Safety Framework Early Warning System module on Preventing and Addressing
Bullying: CJCP, UNICEF dan Departemnt Basic Education of South Africa
berhubungan dengan attention deficit disorder (ADD) atau attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD). Anak mungkin mengalami hambatan membaca dan
mengeja (seperti anak yang menyandang dyslexia) akan berdampak pada proses belajar
anak.

Tujuan dari Anak melakukan Perilaku Tidak Tepat


Guru penting berbicara dengan anak untuk memahami latar belakang dan persoalan serta
tantangan yang mereka hadapi. Hal ini penting untuk mengetahui apa dibalik tindakan
dibanding fokus pada orang yang melakukan kesalahannya. Pemahaman konteks dan kondisi
yang mempengaruhi perilaku anak tidak hanya mendapatkan solusi tetapi juga dapat mencegah
hukuman yang tidak adil, yang diakibatkan oleh kemarahan dan tindakan yang mengacaukan.
Selain alasan atau faktor-faktor di atas, ada tujuan tertentu dalam perilaku tidak pantas
anak. Menurut Dreikurs, R. Dan Soltz18, ada empat tujuan anak berperilaku tidak pantas
(misbehave), yaitu mencari perhatian (attention seeking), menunjukkan kekuasaan (showing
power), untuk balas dendam (revenge) dan menghindari kegagalan atau ketidakmampuan
(feeling adequate).

❖ Mencari perhatian: semua anak membutuhkan perhatian, hal ini berhubungan dengan
self-esteem. Anak yang tidak mendapat perhatian yang mereka butuh, dari guru, orang
tua bahkan dari temannya akan melakukan sesuatu yang berbeda, bahkan yang
mengganggu untuk mendapat perhatian. Misalnya, anak berjalan di kelas atau mencoba
menginterupsi ketika guru berbicara atau mengganggu temannya yang sedang belajar.
❖ Menunjukkan kekuasaan: Ketika anak menyadari bahwa mereka dapat
mempengaruhi lingkungan mereka, pada saat ini anak mencoba menguji kekuatan atau
kekuasaan mereka. Anak mencoba menguji apakah mereka bisa melampaui atau
melanggar batas yang telah ditetapkan oleh orang dewasa. Misalnya ketika orang tua
atau guru mengatakan bahwa anak tidak boleh berjalan di dalam kelas, anak mencoba
menguji bagaimana jika mereka melanggar larangan ini.
❖ Untuk balas dendam: Anak yang menganggu atau memukul, menyerang temannya
atau orang dewasa mungkin karena mengalami ketidakadilan atau perlakuan yang
menyakitkan fisik dan emosi mereka. Anak yang ingin membalas dendam akan
menyerang atau menarik diri (tidak mau berkerja sama) dari temannya.
❖ Menghindari kegagalan atau ketidakmampuan: Anak yang tidak bisa mencapai
harapan guru atau orang tua cenderung akan mengangap mereka tidak memiliki
kemampuan. Hal ini sering terjadi jika anak mereka menghadapi tugas-tugas belajar
yang dihadapi di luar kemampuannya. Perasaan tidak mampu ini akan diperlihatkan
anak dengan menarik diri dari proses pembelajaran atau aktivitas yang dilakukan
bersama.

18 Dreikurs, R. And Soltz. 1964. Children: The Challenge


Motivasi Contoh Tindakan Respon Guru atau Orang Tua
Anak
Negatif Positif

Mencari perhatian Mengungkapkan Cenderung Memberikan perhatian


gurauan (seperti mengeluh dan pada tindakan positif
Mop, budaya mengulang-ulang anak, bukan pada
gurauan Papua) atau agar anak berhenti tindakan negatifnya.
membuat trick pada atau diam
Mengarahkan/mengali
guru/orang tua atau
hkan anak pada
pada temannya,
tindakan yang positif.
berpakaian tidak
Gunakan konsekuensi
normal, berisik.
logis.
Melupakan atau
mengabaikan sesuatu

Menunjukkan Bertindak agresif, Marah, Mencoba tetap tenang.


kekuasaan berkelahi, terprovokasi Mencoba memahami
menantang, sehingga cenderung perasaan anak dan
menggoda, tidak menghukum dan menunjukkan bahwa
kooperatif, menyerang balik guru mengerti
menampilkan agresi, perasaan mereka
berkelahi,
Membantu anak untuk
menantang,
menyadari bahwa
keras kepala, resisten kekuasaan dan
kekuatan mereka dapat
digunakan untuk hal
baik

Untuk balas Merugikan atau Cenderung Coba bersabar. Tetap


dendam menyakiti membalas kembali bersikap ramah sambil
seseorang/teman, menunggu anak
berlaku kasar, tidak menjadi tenang.
sopan, kekerasan,
Mendorong kerjasama
menghancurkan
membangun
sesuatu
kepercayaan dengan
Benci dengan anak-anak.
seseorang, menghina
Bekerja sama dengan
seseorang.
anak untuk
memecahkan masalah .
Mendorong anak,
tunjukkan padanya
bahwa mereka dicintai
dan dihormati.
Mengatur jadwal
untuk bertemu secara
intens dengan anak.

Menghindari Mudah menyerah Cenderung setuju Tidak menunjukkan


kegagalan atau akan tugas yang pada anak tanpa penghinaan atau kritik.
ketidakmampuan diberikan, tidak mau memberikan solusi.
Memberikan bantuan
mencoba/berusaha, Menjatuhkan
tidak mau semangat anak Membagi tugas
berpartisipasi, bolos menjadi beberapa yang
dari sekolah, lebih sederhana,
menghabiskan waktu membantu anak untuk
bermain game atau mulai dengan tugas
mencoba merokok yang mudah bagi
atau minum keberhasilan awal.
minuman keras. Mendorong anak;
fokus pada kekuatan
nya dan nilai internal.
Tidak menunjukkan
belas kasihan atau
kasih sayang yang
berlebihan; jangan
menyerah.
Menghabiskan waktu
yang teratur dengan
anak untuk membantu
dia .

Tingkatan Perilaku Tidak Tepat Anak


Perilaku tidak pantas anak mempunyai berbagai bentuk seperti yang diungkapkan di atas,
ada yang sangat serius sehingga mungkin tidak bisa dihadapi oleh guru saja. Untuk itu guru
harus dibantu oleh pihak lain seperti kepala sekolah, dll. Berikut petunjuk dalam menghadapi
perilaku tidak pantas (misbehave) anak:19

Level Contoh perilaku tidak Contoh Konsekuensi Logis


pantas (misbehave)
(akan diperdalam dalam
materi konsekuensi logis)

Level 1: Perilaku tidak pantas di - Ribut - Peringatan dari guru


dalam kelas - Terlambat masuk kelas - Pulang lebih akhir
- Tidak mengerjakan tugas - Membersihkan kelas
- Mengotori kelas
Ditangani oleh: guru

Level 2: Perilaku tidak pantas - Merokok - Peringatan tertulis


berupa melanggar aturan atau kode - Bolos Sekolah - Berbicara dengan orang
etik sekolah - Mengganggu Kelas lain tua
- Kontrak tindakan yang
disetujui/dibuat bersama
Ditangangin oleh: guru dan siswa
dibantu oleh guru BP (atau guru
yang lebih senior jika tidak ada
guru BP)

Level 3: Perilaku tidak pantas - Menyakiti siswa lain - Peringatan tertulis berupa
berupa melanggar aturan atau kode - Vandalisme jika siswa melanggar lagi
etik sekolah yang serius - Mencuri akan diskors
- Rasis - Bimbingan khusus dengan
konselor sekolah (atau
Ditangani oleh: Kepala Sekolah dengan wali kelas, jika
tidak ada konselor)
Level 4: Perilaku tidak pantas yang - Menggunakan Alkohol - Bimbingan intensif dengan
sangat serius - Terlibat dalam tindakan guru atau wali kelas dan
seksual di sekolah konselor sekolah (BP),
untuk sementara tidak
Ditangani oleh: Kepala Sekolah, melibatkan dalam proses
Yayasan atau Komite Sekolah belajar dengan teman yang
lain

Level 5: Perilaku tidak pantas ❖ Menggunakan senjata ❖ Menyerahkan pada pihak


berupa terlibat dalam kriminalitas tajam yang berwajib
❖ Ganguan seksual,
kekerasan seksual
❖ Perampokan
❖ Membunuh

19
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic Education. Op. Cit.
Ditangani oleh: Kepala Sekolah,
Yayasan, Komite dan Dinas Pend
dan Pihak Kepolisisan

Anda mungkin juga menyukai