Anda di halaman 1dari 10

Elly Risman: “Banyak Orangtua yang Tak

Siap Jadi Orangtua”


Posted on Maret 24, 2007 by bundaagnes | Tinggalkan komentar

Jumat, 29 September 2006


Menjadi orangtua itu tidak mudah. Apalagi di zaman neo jahiliyah seperti sekarang ini.
Mengemban amanah mengasuh dan mendidik anak hingga kelak mereka menjadi insan yang
tangguh dan shalih adalah tugas yang maha berat.

Majalah Hidayatullah edisi September 2006

Rubrik FIGUR

Tulisan 1:

Mudahkah menjadi orangtua? Sebagian orang mungkin mengira demikian. Mereka kira, setelah
menikah dan punya anak lantas mereka otomatis siap menjadi orangtua yang cakap dan baik.
Kalau ada yang berfikir begitu berarti dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.

Yang benar, menjadi orangtua itu tidak mudah. Apalagi di zaman neo jahiliyah seperti sekarang
ini. Mengemban amanah mengasuh dan mendidik anak hingga kelak mereka menjadi insan yang
tangguh dan shalih adalah tugas yang maha berat.

Kemampuan menjadi orangtua yang cakap dan baik tidak jatuh dari langit begitu saja, melainkan
harus ditempuh dengan banyak belajar. Pelajaran pertama biasanya didapat dari orangtua para
orangtua itu. Misalnya, jika si Fulan kini menjadi seorang ayah, maka cara si Fulan mendidik
anak-anaknya biasanya mengikuti bagaimana cara ayah si Fulan dulu mendidik dirinya. Kalau si
Fulan dulu dididik ayahnya dengan cara lemah-lembut, biasanya si Fulan juga akan mendidik
anak-anaknya dengan cara lemah-lembut pula. Sebaliknya, kalau si Fulan dulu dididik ayahnya
dengan cara kekerasan, biasanya si Fulan juga akan mendidik anak-anaknya dengan cara
kekerasan pula. Jadi terjadi semacam pewarisan cara mendidik dari satu generasi ke generasi
berikutnya.

Pelajaran kedua diperoleh dari lingkungan sosialnya. Bisa dari saudaranya, rekan-rekannya,
gurunya, atau dari buku dan majalah yang dia baca. Pelajaran jenis kedua ini tidak kalah kuat
pengaruhnya pada seseorang, tetapi berapa banyak pelajaran yang dia dapat sangat tergantung
dari keaktifannya belajar dari lingkungan sosialnya itu.

Mereka yang aktif belajar, insya Allah, memiliki banyak khazanah pengetahuan tentang
bagaimana mendidik dengan baik dan benar. Namun orangtua yang seperti ini jumlahnya sedikit
saja ketimbang orangtua lain yang cuek, tak mau belajar. Kebanyakan hanya mengandalkan
instink dan pelajaran dari orangtuanya dulu, meski pelajaran itu mungkin mengandung
kekeliruan.

Akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai orangtua yang terkaget-kaget dan
kebingungan menghadapi problema mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Bahkan belum lama
ini di Bandung ada seorang Muslimah terdidik yang membunuh ketiga anak kandungnya karena
kegamangannya mempersiapkan masa depan anak-anaknya.

Masalah seperti ini semakin hari semakin serius dan semakin parah, karena gempuran budaya
jahiliyah semakin hari semakin masif menyerang keluarga kita. Gempuran itu langsung datang
ke rumah kita, melalui tayangan di televisi, VCD, internet, telepon seluler, dan media cetak.

Dampak negatifnya sudah terasa di sekitar kita. Pada tahun 2002 Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) melakukan penelitian tentang perilaku seks remaja kita pada
enam kota di Jawa Barat. Dari penelitian itu diperoleh data, sekitar 40% remaja kita yang berusia
15-24 tahun mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah.

Hasil penelitian ini kemudian diperkuat temuan VCD berisi adegan pelajar SMA di Cianjur yang
melakukan hubungan seks di ruang kelas sekolahnya.

Berbagai temuan negatif ini tentu saja mencemaskan seluruh orangtua yang berotak waras. Tapi
kebanyakan orangtua cuma sampai di situ, tak tahu apa yang harus diperbuat.

Elly Risman adalah satu dari jutaan orangtua yang juga merasa cemas dan gelisah melihat
fenomena mengerikan seperti itu, yang kemudian berketetapan hati untuk melakukan perlawanan
dan pencegahan.

Bersama sejumlah kawan dekatnya, antara lain Neno Warisman, Erry Sukresno, Hidayat Achyar,
dan Tommy Sutomo, pada tahun 1998 Elly mendirikan Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH).

Melalui yayasan tersebut Elly mengajak para orangtua untuk terus belajar bagaimana menjadi
orangtua yang seharusnya, sehingga kualitas pengasuhan anaknya menjadi semakin baik. Dan
jika ada kekeliruan selama ini dapat diperbaiki. “Kami siap membantu orangtua yang mau
berubah,” jelas wanita kelahiran Aceh Barat ini.

Menurutnya, selama ini orangtua tidak sadar bahwa banyak terdapat kekeliruan pola asuh yang
mereka terapkan pada anak-anaknya, sehingga berakibat buruk di kemudian hari. “Sikap anak
yang negatif itu karena salah asuh orangtuanya,” jelasnya.

Sayangnya, kebanyakan mereka baru sadar ketika anak-anaknya menginjak dewasa. “Orangtua
harus berpacu dengan perkembangan teknologi dan kemajuan informasi yang di sana juga
banyak bermuatan informasi negatif,” tambahnya.

Kegiatan YKBH secara garis besar ditujukan untuk orangtua, remaja dan anak-anak. Kegiatan
tersebut berbentuk workshop dan pelatihan parenting (pengasuhan dan pendidikan anak), serta
pelayanan konsultasi untuk pribadi, keluarga, pasangan dan anak-anak.
YKBH juga membuka program pelatihan untuk anak-anak agar siap menghadapi tantangan
hidupnya yang semakin berat. Untuk mendukung program itu, sejak tiga tahun lalu Elly merekrut
30 anak-anak muda, mahasiswa, sarjana yang baru saja lulus, dan psikolog muda. Mereka dilatih
selama hampir enam bulan untuk menjadi konselor bagi rekan sebayanya dan anak-anak.

Jika yang menyampaikan orang muda, diharapkan komunikasi antara pelatih dan yang dilatih
lebih lancar, terutama dalam membincangkan soal seksual. “Ternyata memang benar, kepada
kakak pelatih yang muda-muda itu anak-anak jadi lebih terbuka mengemukakan pertanyaan dan
pendapatnya,” terangnya.

Kepada wartawan Hidayatullah, Bahrul Ulum, Saiful Hamiwanto, dan fotografer Ahmad Lutfi
Efendi, yang berkunjung di kantornya, Elly memperlihatkan dua buah album foto berukuran
besar. Album itu berisi puluhan kertas berukuran kecil yang masing-masing berisi pertanyaan
dari peserta pelatihan yang bersekolah di kelas 4-6 SD. Apa isi pertanyaan mereka?

Dahsyat! Mereka sudah bisa bertanya tentang cara-cara berhubungan suami-istri yang
memuaskan, masturbasi, oral seks, serta fungsi kondom. Kok bisa?

“Bagaimana tidak bisa? Setiap hari anak kita diterpa dengan tayangan-tayangan porno dari
televisi, VCD, tabloid, komik, internet, HP, bahkan dari pornoaksi yang dilakukan orang-orang
dewasa di sekitarnya,” papar Elly.

Selanjutnya Elly berbicara panjang lebar kepada majalah Hidayatullah tentang gawatnya
ancaman yang mengintai anak-anak kita, “Karena anak-anak Indonesia sekarang sudah dijadikan
komoditi industri seks internasional.”

Lantas apa yang harus dilakukan para orangtua Indonesia? Silakan simak pendapat selanjutnya
berikut ini:

Melihat problema yang dihadapi remaja kita saat ini, nampaknya perlu ada perbaikan pola
pengasuhan dan pola komunikasi antara orangtua dengan anak-anaknya ya?

Ya. Anak-anak bisa seperti itu karena pendidikan agamanya lemah. Komunikasi dengan
orangtua sangat buruk. Misalnya anak tanya tentang kondom tidak boleh, bertanya tentang
perkosaan dan sodomi dimarahi. Padahal itu semua mereka lihat di TV. Orangtua tak siap jadi
orangtua. Tak tahu tahapan perkembangan anak. Mereka masih memegang pendidikan seks
sebagai sesuatu yang tabu, tidak layak dibicarakan. Kalaupun ingin berbicara tak tahu bagaimana
memulainya, sampai kapan dan sejauh mana.

Seberapa besar kesalahan orangtua menghadapi anak?

Islam tegas memerintahkan kita untuk memuliakan dan mengajarkan anak-anak dengan akhlak
yang baik. Anak itu amanah, kalau kita salah mendidik, dia bisa menjadi ujian, bahkan bisa
menjadi musuh. Orangtua sering tidak memuliakan anaknya. Kalau mereka bertanya malah
dibentak. Padahal setiap anak punya hak untuk mengetahui sesuatu yang dia lihat. Mereka butuh
informasi yang benar dan lurus, termasuk masalah seks.
Pernahkah orangtua bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita penuhi hak anak-anak? Sudahkah
kita mendengar perasaan mereka? Sudah cukupkah kita memberi bekal kepercayaan diri yang
benar pada mereka? Bukankah bekal kepercayaan diri mereka sudah banyak kita curi dengan
cara pendidikan yang salah?

Orangtua masih bersikap double bounce (plin-plan) pada anak. Suatu saat dibolehkan, tapi pada
saat lain dilarang. Dampaknya anak merasa tidak mampu, tidak berharga, sehingga gampang
dipengaruhi. Pendidikan agamanya mestinya dari orangtua sendiri. Dari sini saya berfikir, berat
benar pekerjaan orangtua sekarang ini.

Apakah keadaannya memang sudah segawat itu?

Iya. Sekarang ini kepala si anak seperti dipanah dari segala penjuru; dari atas, bawah, kiri, kanan
dan belakang. Mereka dituntut macam-macam. Prestasilah, ranking, dan macam-macam. Padahal
Allah menciptakan manusia itu berbeda-beda. Tapi kita menuntut berlebihan, seperti harus
mendapatkan ranking. Itu artinya semua mata pelajaran harus bagus. Padahal tidak semua mata
pelajaran harus bagus. Ada yang kuat matematikanya, bahasanya, atau seninya. Dalam teori
multiple intelligents, cerdas itu macam-macam. Ada cerdas angka, cerdas ruang, dan cerdas
gerak. Kita harus tahu itu.

Orangtua harus mengetahui kecerdasan yang dimiliki anaknya. Jika menuntut berlebihan maka
membuat anak tak terpenuhi haknya. Itu baru satu panah, dari orangtua. Lalu sekolah, guru-
gurunya, lingkungannya, dan semuanya “memanah” dia. Lalu ada tawaran baru dalam bentuk
pornografi. Banyak beredar komik porno, VCD porno, internet porno, narkoba, ajakan berantem.

Ada orangtua yang merasa tak tega bila anaknya tak mengikuti perkembangan kemudian
anaknya dibelikan HP berkamera. Apa akibatnya? Anak-anak itu kemudian bukan hanya
mengirim SMS porno, tapi juga MMS (foto) porno.

Pengaruh itu tampaknya tak terbendung, begitu?

Saya berani bilang, anak kita menjadi sasaran industri seks internasional. Silakan buka situs
international media watch di Amerika. Di situ ada tulisan tentang The Drug of the New
Millennium. Di situ saya memperoleh informasi bahwa memang di sana memproduksi film,
VCD, dan komik porno. Film-film itu dibuat sangat murah dengan bintang film yang tidak
terkenal. Kemudian dilempar ke sini. Itu bisa mencuci anak kita empat hal.

Satu, dasar-dasar kepercayaan, bahwa seks itu fun, “Kamu butuh, jangan sok alim.” Lalu, harga
diri. “Kalau sudah terima uang sekian boleh pegang, lebih banyak lagi bisa cium, lebih banyak
lagi boleh hubungan badan.” Itu terjadi karena harga diri tidak ada. Kenapa? Karena di rumah
waktu belajar pasang tali sepatu dibentak. “Lama amat, sini Mama bantuin!” Anak tidak pernah
punya kepercayaan pada kemampuannya. Dari situ asalnya, jadi ketika sudah gede dia tak pernah
merasa dirinya berharga. Ketiga, sikap yang negatif dibuat jadi positif. “Bukan pacaran kalau
kamu tidak ada sentuhan fisik”. Emosinya dibuat jadi kacau.

Bagaimana supaya orangtua menyadari hal itu?


Mereka harus mau belajar menjadi orangtua yang baik. Selama ini kan berjalan alami dan turun-
temurun. Mana ada sekolah bagi calon orangtua di kalangan umat kita. Padahal di kalangan
Nasrani jika seseorang ingin mendapatkan ijin menikah dari gereja, syaratnya harus lulus
pelatihan pernikahan selama 6 bulan. Jika tidak lulus, maka ia tidak diijinkan menikah di gereja.

Apakah seharusnya kita juga seperti itu?

Iya, kita seharusnya juga punya Islamic parenting school (sekolah Islam non formal untuk
mendidik menjadi orangtua yang baik). Materinya juga sudah jelas. Islam memiliki materi yang
sangat lengkap menyangkut keluarga. Rasulullah sendiri telah mencontohkan bagaimana
membangun keluarga yang sakinah mawadah wa rahma. Misalkan, ketika orangtua menghadapi
pertanyaan tentang seks dari anak, ya kita kembalikan pada agama. Prinsipnya, kalau kita tahu
jangan anak disuruh belajar pada orang lain. Makanya yang namanya perubahan harus dimulai
dari diri sendiri. Jadi orangtua mesti banyak mendengar.

Bagaimana cara YKBH melakukan pelatihan pendidikan seks pada anak sekolah?

Setelah diberi pelatihan lalu disuruh membuat pertanyaan apa saja. Setelah itu dilihat mana
pertanyaan dari anak yang sudah tahu seks dan yang belum. Ppada pertemuan berikutnya anak-
anak yang sudah tahu dipisahkan dengan anak yang belum tahu. Tidak bisa dicampur. Istilahnya
kita beri kelas khusus pada mereka yang tahu dan ingin tahu. Pada kenyataannya, memang justru
kelas yang khusus itulah yang banyak diminati. Pada kelas ini, pertanyaannya sudah dahsyat-
dahsyat. Anak-anak tak segan-segan menanyakan soal seks. Padahal seharusnya saya ini kan
seusia dengan neneknya. Toh mereka berani.

Pendidikan seks bagaimana yang baik untuk anak?

Pendidikan seks itu ada dua, kalau terlalu terbuka seperti di Amerika juga berbahaya. Tapi,
disembunyikan juga salah. Diberi informasi itulah yang penting. Jika ada pertanyaan tentang
seks, orangtua harus memiliki kiat-kiatnya. Yaitu tenang, self control, dan take it easy. Yang
kedua, cek pemahamannya. Jangan-jangan si anak lebih tahu, mereka cuma ngetes. Kalau merasa
kaget, katakan, “Saya tidak pernah mikir.”

Nah, ketiga langkah ini membuat suasana tenang, tidak reaktif dan punya kesempatan berpikir
menjawab atau tidak. Poin selanjutnya, beri jawaban yang terbaik plus norma agama. Jadi, dari
kecil iman dan syariah itu sudah masuk dalam diri anak-anak. Di sinilah perlunya pelatihan bagi
calon orangtua dan orangtua, agar memiliki bekal yang cukup ketika menghadapi anak-anaknya.

Tulisan 2

Hari Tanpa TV, Kenapa Tidak!?

Kecintaan Hainah Ellydar, begitu nama lengkap Elly, terhadap dunia anak-anak tidak lepas dari
masa kecilnya yang begitu bahagia. Ia amat terkesan pada pendidikan orangtuanya, Muhammad
Din Ilyas dan Saadah. Keduanya mendidik sesuai ajaran Islam. Semua keputusan
dimusyawarahkan. Ayahnya selalu mengajak musyawarah sebelum memutuskan sesuatu.
Ibunya, lain lagi. Ia selalu mencatat perilaku anak yang perlu dibenahi tiap harinya. Tiap minggu
anak dipanggil, masuk ke kamar, diberi tahu kesalahan-kesalahannya. ”Ibu saya tidak pernah
mempermalukan anak di depan saudara-saudaranya. Begitu pula menghadapi pembantu,”
ungkap sulung dari enam bersaudara, tiga perempuan dan tiga laki-laki ini.

Ayahnya, meski bukan seorang ulama, namun punya cita-cita yang kuat membangun sebuah
pesantren. Tiga puluh tahun bekerja keras, akhirnya ia berhasil membeli tanah seluas 60 hektar
dan 15 tahun terakhir hidupnya dihabiskan untuk membangun pesantren Subulussalam di
kampungnya di Aceh Singkil.

Elly selalu mengenang ucapan ayahnya. ”Pendidikan haruslah memanusiakan manusia. Kalau
kamu tidak memanusiakan orang Aceh, kapan Aceh itu bisa dibangun?” kata Elly menirukan
ayahnya.

Elly meneladani orangtuanya dalam mengasuh anak. Tentu saja, kini ditambah lagi dengan
pengetahuan yang diperolehnya. Apalagi ia pernah lama tinggal di Amerika. Waktu itu ia ikut
suaminya yang mengambil gelar doktor di Amerika Serikat tahun 1992 hingga 1998.

Saat pulang ke Indonesia, Elly ikut mendirikan PT Surindo Utama dan menjadi salah satu
direkturnya, yaitu Direktur Riset. Dari pengalaman di lembaga tersebut, Elly kemudian
memasuki dunia pendidikan keluarga. “Dari pengalaman survey di lapangan ketika bekerja di
Surindo itulah saya jadi terketuk untuk menekuni bidang pendidikan masyarakat ini,” aku Elly.

Menurut Elly, masa depan Indonesia saat ini tergantung pada generasi muda. Karena itu, setiap
orangtua punya kewajiban menyelamatkan anak-anaknya. “Ayah-ibu mutlak bekerjasama.
Mendidik anak harus dua-duanya, jangan ayahnya saja, atau ibunya saja,” jelasnya.

Anak bagi Elly mempunyai arti yang sangat besar. “Investasi kepada anak bagi kami sangat
penting dibanding lainnya,” kata istri Risman Musa, lelaki yang menikahinya tahun 1978. Dari
pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga anak perempuan: Rossalina Awaina (25) yang kini
sudah menikah, Yuhyina Maisura (22), dan Silmi Kamila (15).

Dalam pendidikan anak, Elly mengaku mendapat support dari sang suami. Antara ia dan
suaminya memiliki visi yang sama bagaimana mendidik anak-anak. “Alhamdulillah, anak-anak
saya tidak ada yang bermasalah. Bahkan ada yang mengikuti jejak saya, sebagai psikolog,”
terang Elly.

Elly bersama suami mempunyai cara tersendiri agar anak-anaknya tegar melawan arus pergaulan
yang permisif, yaitu selalu menyediakan waktu untuk berbicara khusus soal seks, kemudian
mengaitkannya dengan agama. Sebagai psikolog, Elly tahu benar pentingnya budaya keluarga
dalam pendidikan anak. Di rumahnya, pola pendidikan semua dikembalikan kepada Al-Qur`an
dan Hadist.

Elly mengaku, kondisi yang ia alami ketika remaja dulu dengan remaja sekarang jauh berbeda.
Anak sekarang baru berumur 11 tahun sudah menstruasi, karena gizi yang lebih baik dan
pengaruh tayangan-tayangan porno. “Media berbau pornografi luar biasa peredarannya. Kita bisa
dengan mudah menemukan VCD, majalah dan tabloid porno di tempat-tempat terbuka yang bisa
diakses siapapun, termasuk anak-anak dengan harga yang murah,” tegasnya.

Media apa yang paling berpengaruh atas penyebaran pornografi, khususnya pada anak-anak?

Televisi dengan tayangan yang beragam tanpa melihat jam tayang. Sekarang ini sinetron
menduduki peringkat teratas penyebar pornografi. Tetapi untuk kalangan menengah ke atas,
pengaruh televisi masuk urutan nomor tiga setelah internet dan telepon seluler (HP).

Apa yang mesti dilakukan untuk mencegah penyebaran pornografi di televisi ataupun internet?

Saya sudah beberapa kali memprotes stasiun televisi, tapi hanya mendapat jawaban yang tidak
memuaskan. Untuk persoalan yang satu ini, kita harus bertarung dengan industri kapitalis yang
ada di belakang industri pornografi serta ideologi tertentu.

Saya juga pernah ngomong ke Menteri Agama, tentang bahaya tayangan televisi dan beliau
membenarkan. Saya juga datang ke Komisi 8 DPR untuk membahas masalah ini. Saya
membawa data-data yang lengkap tentang tayangan-tayangan yang buruk bagi anak-anak.

Mengenai pemblokiran terhadap situs pornografi, secara teknis sangat bisa dilakukan jika
pemerintah mempunyai itikad baik untuk melindungi masyarakatnya. Karena itu saya tidak
setuju dengan Menteri Infokom yang mengkampanyekan internet ke anak-anak sekolah tanpa
sebuah filter yang kuat. Semestinya membuat dulu perangkat filternya, baru kemudian
mensosialisasikan internet. Saya kira itu bisa dilakukan sebagaimana negara-negara tetangga
kita. Kalau kita tidak bisa membuat filter, lebih baik dihentikan kampanye internet tersebut.

Anda nampaknya prihatin terhadap isi tayangan TV yang terlalu berorientasi bisnis?

Iya. Makanya kami pernah melakukan aksi bersama kawan-kawan yang peduli terhadap anak-
anak dengan melakukan kampanye “Sehari tanpa TV”. Diharapkan dengan adanya aksi ini
keluarga mendapat kesempatan berharga untuk melakukan aktivitas bersama tanpa diganggu
televisi. Dengan mematikan TV, maka setiap anggota keluarga akan memiliki lebih banyak
waktu untuk melakukan kegiatan produktif, dan menyadari bahwa hidup bisa lebih bernilai tanpa
TV.

Tujuan aksi tersebut untuk apa?

Mendesak industri penyiaran agar benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakat,


terutama perlindungan terhadap anak dan remaja. Kemudian menumbuhkan sikap kritis
masyarakat terhadap siaran televisi.

Tapi kenyataannya siaran itu terus berlangsung. Pemerintah maupun institusi lain, terbukti tidak
mampu membuat peraturan yang bisa memaksa industri televisi untuk lebih sopan menyiarkan
acaranya….
Ini tidak lepas dari kepentingan sesaat. Kalangan industri televisi punya argumentasi sendiri
mengapa mereka menyiarkan acara-acara yang tidak memperhatikan kepentingan anak dan
remaja. Intinya, kepentingan bisnis telah mengalahkan dan menempatkan anak dan remaja kita
sekadar sebagai pasar yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya. Dan ketahuilah, meski stasiun
TV sudah mulai memperbaiki isi siaran mereka, namun hal itu tetap tidak bisa menghilangkan
kesalahan mereka di masa lalu dalam memberi “makanan” yang merusak jiwa puluhan juta anak
Indonesia.

Ini artinya gerakan hari tanpa TV perlu dilanjutkan?

Iya. Itu semua kembali pada masyarakat sendiri. Sebab tidak ada pilihan lain kecuali masyarakat
sendiri yang harus menentukan sikap menghadapi situasi ini. Anggota masyarakat yang bersatu
dan memiliki sikap yang sama untuk menolak perilaku industri televisi, akan menjadi kekuatan
yang besar apabila jumlahnya makin bertambah. Penolakan oleh masyarakat yang merupakan
pasar bagi industri televisi, pada saatnya akan menjadi kekuatan yang besar. Kami merencanakan
mengadakan aksi “Enam Hari Tanpa TV” dalam waktu dekat.

Seberapa parah pengaruh negatif TV pada anak-anak?

` Sangat parah. Sekitar 60 juta anak Indonesia menonton TV selama berjam-jam hampir
sepanjang hari. Mulai dari acara gosip selebritis; berita kriminal berdarah-darah; sinetron remaja
yang penuh kekerasan, seks, intrik, mistis, dan amoral. Termasuk juga acara anak yang sebagian
besar berisi adegan yang tidak aman dan tidak pantas ditonton anak.

Bayangkan, kalau anak-anak kita adalah satu dari mereka yang tiap hari harus menelan hal-hal
dari TV yang jelas-jelas tidak untuk mereka tapi untuk orang dewasa. Anak-anak akan sangat
berpotensi untuk kehilangan keceriaan dan kepolosan mereka karena masuknya persoalan orang
dewasa dalam keseharian mereka. Akibatnya, sering terjadi gangguan psikologi dan
ketidakseimbangan emosi dalam bentuk kesulitan konsentrasi, perilaku kekerasan, pertanyaan-
pertanyaan yang “di luar dugaan” dan sebagainya.

Hanya sedikit anak yang beruntung bisa memiliki berbagai kegiatan, fasilitas, dan orangtua yang
baik sehingga bisa mengalihkan waktu anak untuk hal-hal yang lebih penting daripada sekadar
menonton TV.

Tulisan 3

Maju Terus Melawan Pornografi

Sebagai sebuah lembaga yang peduli dengan dunia anak, Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH)
sangat resah terhadap pornografi yang melanda anak-anak Indonesia. Hasil survei yayasan
pimpinan Elly Risman ini terhadap 1.705 responden di Jabotabek pada 2005 menemukan hasil
yang mengerikan. Lebih dari 80 persen anak usia 9-12 tahun telah mengakses pornografi. Usia
murid kelas 4-6 itu mayoritas (25 persen) mendapatkan materi pornografi melalui telepon
seluler, situs porno di internet (20 persen), dan majalah serta film/VCD/DVD (masing-masing 12
persen).
“BBC dan CNN pada 2001 melaporkan, Indonesia dan Rusia merupakan pemasok terbesar
materi pornografi anak, di mana anak-anak ditampilkan dalam adegan-adegan seksual,” terang
Elly yang lulus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 1978. Materi tersebut menurut
Elly kemudian dijual, diekspor ke suatu jaringan situs pornografi anak di Texas. “Sebagai
Muslim kita seharusnya malu dengan hal ini,” sesal Elly.

Namun ia mengaku tidak bisa berbuat banyak melihat kenyataan tersebut. Ia dan kawan-
kawannya hanya bisa melakukan himbauan dan pengertian kepada berbagai pihak bahwa kondisi
anak-anak Indonesia sudah diambang kehancuran. “Tidak banyak orang yang peduli dengan apa
yang kami lakukan di sini,” terangnya. Karena itu ia mengaku seringkali mendapat kendala di
lapangan dalam menjalankan porgram-program yayasannya.

Kendala itu bisa dari pihak pengambil keputusan yang sudah tidak peduli dengan apa yang ia
lakukan maupun karena kendala pendanaan. Selama ini, kegiatan yang dilakukan dananya
didapat dari urunan dan sumbangan beberapa kawan. “Saya berharap ada orang yang mau
mendanai kegiatan kami,” harap Elly. Sedangkan dana dari luar negeri seperti PBB, ia tidak mau
menerima karena dianggap syubhat.

Meski dana masih menjadi kendala, namun Elly tetap optimis dan akan bergerak terus demi
menyelamatkan anak-anak Indonesia dari pornografi.

Yang membuat Elly tidak habis pikir, kenapa aturan pornografi di Indonesia yang dikenal negeri
Muslim lebih longgar dari pada Amerika, Inggris, Singapura, atau Korsel. Karenanya ia
menuntut supaya segera diundangkannya RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang
lebih memberikan perlindungan pada anak.

Anda begitu gigih memperjuangkan aksi antipornografi untuk anak. Begitu pentingkah itu?

Kita harus berjuang menyelamatkan anak Indonesia dari kekerasan pornografi. Itu tujuan utama
kita. Contohnya, di negara-negara maju, Amerika, Inggris, atau di Eropa, mereka mengizinkan
pornografi untuk orang dewasa. Tapi, di bawah 18 tahun tidak diizinkan. Itu bisa mereka lakukan
melalui berbagai cara. Kalau pemerintah sungguh-sungguh sebenarnya bisa. Tapi saya melihat
itikad pemerintah dalam hal ini kurang kuat.

Pernah Neno Warisman diundang salah satu Departemen Pemerintah untuk mengisi soal
pornografi dan kekerasan pada anak. Neno menyampaikan pada panitia bahwa orang yang paling
pas mengisi acara tersebut saya. Panitia setuju. Namun dua hari sebelum acara dilakukan, tahu-
tahu dibatalkan. Alasannya, karena saya bukan public figur. Biarpun begitu saya tetap akan
berjuang melawan pornografi.

Anda optimis masalah ini bisa teratasi?

Untuk hilang secara total tidak. Pornografi akan tetap ada seperti halnya kebaikan dan keburukan
selama kehidupan ini. Namun semua agama pasti menghendaki kita untuk berbuat kebaikan.
Yang bisa kita lakukan bagaimana meminimalkan penyebaran pornografi terutama pada anak-
anak melalui undang-undang, karena yang ada saat ini belum memberikan efek jera.
Selain itu, dari segi penegakan hukum, aparat kepolisian perlu melakukan tindakan yang lebih
progresif untuk meningkatkan profesionalisme kinerja aparat dalam memberantas pornografi.

Bagaimana upaya untuk melindungi anak-anak dari pengaruh pornografi?

Menurut saya perlu ada regulasi yang tegas, karenanya kita mendesak dan sedang terus
memperjuangkan agar DPR segera mengundangkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Bagi
kami RUU itu merupakan tujuan jangka menengah. Sedang tujuan utama kami yaitu
menyelamatkan anak-anak Indonesia dari pornografi.

Kami dari lembaga-lembaga peduli anak terus melakukan advokasi di lapangan serta melakukan
penyadaran melalui seminar, betapa pentingnya mengawasi anak-anak, yang diterapkan berupa
pendidikan untuk melakukan penjagaan mulai dari rumah sendiri.

Apakah cara itu cukup efektif?

Kita memang belum pernah melakukan penelitian secara akurat, seberapa besar persentase
perubahan itu, karena aliansi ini kan masih baru. Untuk kongkritnya perlu dirumuskan lagi, tetapi
untuk penyadaran melalui ibu-ibu sudah kami lakukan puluhan tahun yang lalu. Saya mengakui,
ini tantangan yang sangat berat, seperti membangun istana pasir, sudah kita bangun kemudian
dengan mudah terhapus gelombang berupa industri pornografi. Akibatnya moral anak kita
terkikis lagi. Akan begitu terus, tetapi kita harus tetap peduli terhadap masalah ini.

Bagaimana pendapat Anda tentang kelompok yang berupaya membelokan RUU APP dan
menganggap keberadaannya justru akan mengancam kebudayaan Indonesia?

Makanya saya bersama kawan-kawan berusaha mendatangi mereka untuk berdialog. Saya yakin,
pasti ada jalan keluar. Dan hal ini sudah dicoba beberapa waktu lalu melalui pertemuan di
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Alhamdulillah, sudah mulai terbuka, mudah-mudahan mereka
sadar, bahkan tanpa malu-malu kami pun sudah mendatangi tokoh-tokoh yang berpengaruh di
negeri ini untuk meminta dukungan.

Mengenai pembelokan yang dilakukan sekelompok masyarakat, saya mengajak kelompok yang
berfikiran seperti itu untuk sama-sama membaca dulu RUU-nya, menyelidiki mana substansi
yang mengancam kebudayaan seperti yang dimaksudkan. Saya mengakui, memang benar ada
agenda di balik berbagai pendapat ini, namun kita harus bisa meyakinkan bahwa anggapan itu
tidak benar.

Ketika saya mengisi seminar di Bali dan Menado, awalnya masyarakat sinis dengan saya.
Namun setelah mendengar penjelasan saya, terutama tentang betapa besarnya ancaman
pornografi terhadap anak-anak kita, mereka malah simpati pada saya.

Ternyata kalau mereka diajak berbicara tentang anak, pikirannya sama. Mereka juga khawatir
dan takut anak-anaknya rusak. *

Anda mungkin juga menyukai