Anda di halaman 1dari 49

Halaman 73

" Direktorat Keayahbundaan

Meski menuai kontroversi, Mendikbud Anies Baswedan akhirnya tetap melahirkan direktorat
keayahbundaan. Anies berargumen bahwa di samping guru, orangtua juga bertanggung jawab
terhadap pendidikan anaknya. Agar pendidikan di rumah berhasil diperlukan pedoman dan program
bagi orangtua tentang apa dan bagaimana mendidik anak yang baik, baik perspektif agama,
psikologi, maupun sosiologi-antropologi. Mick Karabegovic menulis, “Responsible parenting is the
most valuable tool of our society.”

Kebijakan "kontroversial itu dilatar belakangi lemahnya peran orangtua dalam membentuk karakter
anak, rumah yang tidak nyaman bagi pertumbuhan anak, dan lemahnya koordinasi guru 'dan”
orangtua dalam memantau dan menangani masalah anak. Meski tugas direktorat keayahbundaan
(seharusnya) bisa dijalankan dengan mengefektifkan tugas komite sekolah dan dewan pendidikan
nasional-sebagaimana masukan dari berbagai pihak, namun Anies bergeming.

Bagi pihak yang kontra, selain akan memerlukan dana _ yang besar, mendirikan direktorat baru jauh
lebih rumit di_ banding memberdayakan lembaga yang sudah ada sebelumnya, namun tidak efektif
karena kurang perhatian dari peme

rintah. Alih-alih memilih jalan yang sederhana, Anies malah

Halaman 74

memilih jalan yang berliku. Ada kesan, ia ingin menunjukkan kepada publik bahwa ia juga-seperti
menteri kabinet

kerja yang lainnya-punya program baru yang orisinal dan menggebrak. Berhasil atau tidak, biar
waktu yang menjawab

nya. Yang pasti, kebijakan ini terkesan tanpa persiapan yang matang-cara kerja yang kerap dikritik
Anies sendiri.

Keliru Pikir

Namun fakta buruknya pendidikan di rumah benar adanya. Perilaku menyimpang anak-anak usia
sekolah, seperti pacaran, seks bebas, merokok. memakai narkoba, ikut geng motor, dan tawuran,
merupakan cermin buruknya hubungan, bimbingan, dan perhatian orangtua terhadap anak.
Orangtua beranggapan bahwa guru dan kepala sekolah sudah menyelesaikan semua masalah anak,
dari.baca, tulis, hitung, hingga soal moral anak.

Sementara orangtua sibuk dengan urusannya sendiri. Seolah tanggung jawabnya hanya mencari
uang untuk bayaran sekolah, liburan, dan kebutuhan sandang dan papan anak. Anak membutuhkan
kehadiran orangtua secara fisik agar mcreka bisa belajar langsung dari keduanya. )esse Jackson
menyatakan, “Your children need your presence more than your presents.” Cara orangtua
membahagiakan anak tidak selamanya sesuai dengan keinginan anak.

Mereka tidak belajar dari telepon, SMS, email, atau ceramah dari orangtua, tetapi dari perilaku
keduanya Anak adalah cermin orangtuanya. ]ika ingin anak-anak tumbuh menjadi anak yang saleh,
maka orangtua harus menjadi orang saleh. Menunaikan shalat. mengaji, sabar mendidik anak,
berkata lemah lembut, memberikan pelukan, pujian, dan doa. ,

mengatur waktu belajar, dari membatasi waktu dan tontonan

anak. merupakan contoh sikap orangtua yang saleh.

Halaman 75

Kekeliruan lain orangtua adalah menganggap warisan harta lebih utama dibanding ilmu. Keliru pikir
ini menyebabkan anak tidak mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya. Meski orangtua
mampu, anak tidak sampai ke perguruan tinggi atau mengalami pernikahan dini. Harta bisa habis
seiring bergulirnya waktu, sedangkan ilmu itu bertambah dan berkembang. Harta tidak
mendatangkan ilmu, sedangkan ilmu mendatangkan harta. Orang kaya tanpa ilmu membawa
keburukan, sedangkan orang kaya berilmu membawa kemaslahatan.

Mewariskan ilmu kepada anak lebih berharga dari apa pun di dunia ini. Ilmu melahirkan akhlak anak,
baik kepada Allah, sesama manusia, maupun kepada alam. Kejahatan terjadi karena orang tidak atau
kurang berilmu. Jika ada orang berilmu tapi melakukan kejahatan, itulah yang disebut ilmu yang
tidak bermanfaat. Inti ilmu pengetahuan adalah tindakan yang semata baik.

Orangtua juga keliru dalam melihat masa depan anak Dengan dalih masa depan yang cerah, ia sering
memaksakan kehendak kepada anak. Sekolah, kursus, kuliah, dan liburan bukan inginnya anak, tapi
inginnya orangtua. Ini bukan berarti bahwa orangtua tidak boleh mengarahkan anak Justru orangtua
wajib mengarahkan anak untuk memilih di antara sekian pilihan yang baik. Orangtua menyediakan
pilihan, bukan memaksakan kehendak.

Anak berbeda dengan orangtuanya dalam hal kebutuhan dan keinginan. Anak bisa galau antara
menjadi dirinya sendiri atau menuruti keinginan orangtua. Iika tak pandai mengambil jalan tengah
(win-win solution), orangtua bisa mengalami konflik dengan anak. Disebutkan bahwa mendidik anak
harus seperti main layang-layang: kadang menarik benang, kadang _mengulur benang. Orangtua
harus punya sikap keras dan

Halaman 76

lembut, tinggal menempatkan diri kapan bersikap keras dan kapan bersikap lembut.

Akhirnya, saya sepakat dengan C. Everett Koop bahwa, “Life affords no greater responsibility, no
greater privilege, than the raising of the next generation.” Menjadi orangtua bukan tugas mudah di
tengah maraknya fasilitas dan ajaran yang bertentangan dengan moralitas. Anak bisa kapan saja
mengakses hal-hal yang tidak perlu, sementara orangtua tidak bisa selalu bersama anak.

Agar berhasil melahirkan generasi yang saleh, saatnya orangtua menjadikan rumah sebagai tempat
menyemaikan benih akhlak mulia. Menurut Gandhi, “There is no school equal to a decent home and
no teacher equal to a virtuous parent.” Artinya, keberhasilan dan ”karakter anak berhubungan
dengan bagaimana kualitas orangtua memperlakukannya di rumah. Sebagus apa pun sekolahnya,
jika rumah tidak nyai man bagi anak, dan orangtua tidak memberikan contoh yang baik, maka anak
akan tumbuh tidak “sesuai harapan.

Pendidikan orangtua sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di rumah. Masih banyak
orangtua yang tidak berpendidikan (not well educated), sehingga melahirkan anakanak yang
berperilaku menyimpang. Namun saya percaya bahwa well educated tidak selalu identik dengan
tingginya pendidikan (formal) orangtua. Orangtua yang mau belajar dari mana pun, dan bertanggung
jawab terhadap pendidikan anaknya, itulah yang disebut well educated.

Seperti anak, orangtua juga bertumbuh. Ia harus bersedia belajar tanpa henti untuk menjadi guru
bagi anak-anaknya. Iangan-jangan benar, direktorat _keayahbundaan merupakan sumber dan media
belajar '(baru) efektif bagi orangtua yang galau sekaligus butuh bimbingan dalam mendidik anak
Wallahu a’larn bish-shawab. '

Halaman 77

" Membeli Waktu Ayah

Ramai berita menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada Sabtu, 2 Mei
kemarin, menghadirkan tanya: Bagaimana potret wajah pelajar Indonesia? Siapa yang paling
bertanggung jawab terhadap perilaku menyimpang pelajar?

Seorang siswa Kelas VIII SMP di Jakarta Selatan ditemukan tewas akibat gantung diri di rumahnya.
(14/1/2015). Belum diketahui pasti penyebab korban melakukan aksi tersebut. Kecuali gantung diri,
perilaku menyimpang di kalangan pelajar adalah tawuran dan narkoba. Sepanjang 2013, sebanyak
20 pelajar Indonesia tewas sia-sia karena tawuran. Dari jumlah tersebut, 12 di antaranya merupakan
pelajar Jakarta.
Komnas PA mencatat, sepanjang 2013 ada 255 kasus tawuran antar-pelajar di Indonesia. Angka ini
meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya, yang hanya 147 kasus. Dari jumlah tersebut, 20
pelajar meninggal dunia saat terlibat atau usai aksi tawuran, sisanya mengalami luka berat dan
ringan. Adapun di Jakarta, pada 2013 angka tawuran pelajar mencapai 112 kasus. Iumlah ini
meningkat dibanding 2012, yang hanya 98 kasus dengan 12 orang meninggal dunia.

Sebuah sumber menyebutkan, dari empat juta orang di Indonesia yang menyalahgunakan narkoba,
22 persen di antaranya merupakan anak muda yang masih duduk di bangku sekolah dan universitas.
Umumnya pengguna yang berada di kelompok 15-20 tahun menggunakan narkotika jenis ganja dan
psikotropika seperti Sedatin (Pil BK), Rohypnol, Megadon.

Sejak 2010 sampai 2013 tercatat ada peningkatan jumlah pelajar dan mahasiswa yang menjadi
tersangka kasus narkoba. Pada 2010, tercatat ada 531 tersangka narkotika, jumlah itu meningkat
menjadi 605 pada 2011. Setahun kemudian,

Halaman 78

terdapat 695 tersangka narkotika, dan tercatat 1.121 tersangka pada 2013.

Pembentuk Perilaku

Perilaku anak dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya orangtua, guru, teman, bacaan, dan
tontonannya. Semuanya berpengaruh membentuk kepribadian anak. Lazimnya anak lebih banyak
menghabiskan waktunya di rumah. Pertanyaannya, apakah di rumah anak belajar hal-hal yang positif
seperti yang diajarkan di sekolah? .

Anak adalah tanggung jawab orangtua. Kebutuhan anak tidak hanya jasmani, tetapi juga rohani.
Selain perlu diberi minuman dan makanan yang bergizi, anak juga memerlukan bimbingan
bagaimana menjadi anak yang baik. Pengembangan kecerdasan anak juga tidak boleh hanya fokus
pada intelektual, melupakan spiritual dan emosionalnya.

Iika orangtua sibuk, anak akan menghabiskan waktunya dengan teman, bacaan,atau tontonannya.
Sedikit waktu berinteraksi dengan orangtua. Teman sangat mudah ditemui oleh anak, dan bacaan
atau tontotan mudah diakses oleh anak Adapun orangtua belum tentu ada setiap anak
membutuhkannya. Alasan bekerja sering membuat orangtua tidak punya waktu untuk bersama
anak. Kesibukan orangtua menyebabkan hubungan orangtua dengan anak tidak baik.

Masalahnya, apakah orangtua tahu siapa teman-teman bermain anaknya, dan apa yang. mereka
lakukan saat bermain? Demikian juga bacaan dan tontonan anak bisa jadi diluar kontrol dan
sepengetahuan orangtua. Misalnya, internet menyajikan segala hal (informasi, gambar, dan video),
yang baik maupun yang buruk.

Orangtua dalam posisi tidak bisa menolak kehadiran internet dalam kehidupan anak. Internet
membantu kemajuan

Halaman 79

belajar anak, tapi juga mengandung hal-hal yang bisa merusak konsentrasi belajar. Orangtua bisa
hadir sebagai pendidik utama dalam mencegah dampak negatif internet terhadap anak.

Perilaku menyimpang anak bisa jadi merupakan ciri retaknya bangunan keluarga abad ini. Pertama,
tidak ada peraturan dalam keluarga. Kapan waktu belajar anak, menonton tv, dan bermain gawai.
Tanpa peraturan, anak akan melakukan hal-hal yang belum tentu baik. Sebaliknya, peraturan
mengarahkan anak ke hal-hal positif. Orangtua menjelaskan mengapa ini boleh dan ini tidak boleh.

Kedua, sedikit atau bahkan tidak ada waktu untuk bersama. Orangtua kadang terlalu sibuk bekerja
demi karier sehingga jarang bicara dengan anaknya. Pada saat sarapan, makan malam, dan
menjelang tidur sebenarnya orangtua bisa berbincang-bincang dengan anak. Namun orangtua sering
tidak ada saat momen tersebut, bahkan masih bekerja pada Sabtu dan Minggu. '

Anak memerlukan orangtua sebagai pendengar yang baik. Dia bisa bicara tentang keinginan,
pergaulan, dan hal apa pun yang perlu dibagi. Orangtua bisa mengarahkan anak pada pilihan yang
semata baik dari setiap masalah yang dihadapi anak. Berbeda dengan di Negara Barat dan Amerika,
tradisi komunikasi terbuka antara anak dan orangtua inilah yang belum terbentuk di Indonesia.

Sama dengan orangtua, anak juga mengalami stres, sehingga diperlukan mengajaknya berlibur.
Aktivitas anak sehari-hari di sekolah, rumah, dan lingkungan rumah bisa membuatnya mengalami
kebosanan. Pergi keluar rumah bersama anggota keluarga untuk makan, nonton bioskop, atau ke
tempat wisata bisa diagendakan sesuai kemampuan orangtua.

Halaman 80

Teladan

Membentuk perilaku anak akan efektif melalui teladan dan praktik Membaca buku tentang perilaku
baik dan buruk atau mendengar ceramah guru dan orangtua pengaruhnya hanya sedikit. Tapi jika
anak dibiasakan berbuat baik di rumah, maka pengaruhnya akan besar. Habituasi di rumah itu
misalnya berkata baik, membuang sampah pada tempatnya, mengucapkan terima kasih, meminta
maaf, dan merapikan tempat tidur.
Orang yang paling efektif dalam mengajarkan anak halhal baik di rumah tersebut adalah orangtua.
Memberikan contoh perilaku baik dimulai sejak kecil sehingga ketika anak sudah dewasa sudah
terbiasa. Pembelajaran melalui contoh itu tidak akan terjadi jika orangtua pergi saat anak masih
tidur dan datang saat anak sudah? tidur.

Saatnya para orangtua merevolusi mental mereka tentang makna bekerja. Douglas Williams
bertutur, “Spending time with children is more important than spending money on children.” Dr. API
Abdul Kalam menulis tentang pentingnya always leave office on time. 1) Work is a never-ending
process. It can never be completed; 2) Interest of a client is important, so is yourfamily; dan 3) If you
fall in your life, neither your boss nor client will offer you a helping hand; your family and friends will.

Last but not least, ada kisah seorang anak yang ingin meminjam uang kepada ayahnya, dan akan
membayarnya dengan hasil uang tabungannya. Sang anak sebelumnya menunggu ayahnya pulang
kerja di malam hari untuk bertanya berapa perusahaan membayarnya per jam. Sang ayah heran,
untuk apa uang tersebut dan mengapa harus pinjam. “Ayah akan belikan apa pun yang kau inginkan;
tidak perlu meminjam.'Sang anak menjawab, “,Ayah dengan uang tersebut aku

Halaman 81

ingin membeli waktu ayah dua jam saja untuk bisa main bersamaku” ' Perilaku menyimpang anak
merupakan potret relasi

orangtua dengan anak di rumah. Anak adalah cermin orangtuanya. Tidak ada kata terlambat
menyusun kembali bangunan keluarga yang retak karena kesibukan bekerja. Siapa lagi yang akan
peduli akan masa depan anak kecuali orangtua, Keseimbangan antara bekerja dan keluarga adalah
pilihannya.

Halaman 83

V Siswa

" Pendidikan Nirkreasi

“Education’s purposes is to replace an empty mind with an open one.”

Malcolm S. Forbes

Iokowi percaya bahwa revolusi mental merupakan jawaban atas permasalahan yang menerpa
bangsa ini. Ia percaya bahwa perubahan paradigma masyarakatlah yang akan membawa bangsa ini
bergerak ke arah masa depan yang gemilang, baik di sektor pendidikan, ekonomi, politik, maupun
peradaban. Tidak ada hal lain yang mampu mengubah cara pandang masyarakat menjadi lebih baik
dan hebat kecuali melalui sektor pendidikan. '
Perbaikan mental masyarakat negeri ini berarti perbaikan menyeluruh pendidikan kita. Segenap
daya dan upaya, dari pemerintah, komunitas sekolah, hingga pemangku kepentingan, harus
dikerahkan untuk" perbaikan kualitas pendidikan kita yang keadaannya sangat menyedihkan. Ibarat
cermin, pendidikan kita dipenuhi keretakan di mana-mana, tinggal menunggu waktu kehancurannya.

Namun kita" belum terlambat. Masih ada waktu untuk memperbaiki keretakan cermin pendidikan
kita. Pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada karier, tetapi melahirkan

Halaman 84

pemecah masalah, pencipta, dan penemu, seperti dikatakan William Deresiewicz, “'Ihe true
purposes of education is make minds, not careers.”

Di antara ikhtiar perbaikan pendidikan itu adalah menjawab pertanyaan, Keterampilan apakah yang
diperlukan generasi muda pada abad ke-21 ini? Faktanya, keterampilan membaca, menulis, dan
berhitung (calistung) tidak cukup menjadikan bangsa ini maju.

Empat Keterampilan

Ada empat keterampilan abad ke-21 yang perlu diberikan sekolah kepada siswa sejak dini. '(Zulama
Modern Learning, 2015). Pertama, melahirkan pemikir (critical thinker). Proses pembelajaran tidak
melulu hafalan tapi melatih siswa untuk menyampaikan gagasannya. Jika ia setuju dengan gagasan
orang lain apa alasannya, dan jika tidak setuju apa alasannya. Siswa juga dilatih untuk melihat.
persoalan dari sudut pandang yang berbeda. Martin Luther King berkata, “The function of education
is to teach one to think intensively and to think critically.”

Guru bisa meminta siswa menyampaikan idenya tentang masalah aktual, seperti kemacetan, banjir,
dan tawuran. Kelak, melalui strategi dan metode pembelajaran seperti ini diharapkan lahir banyak
pemikir yang mampu memecahkan masalah-masalah (solving problem) masyarakat dan bangsa,
seperti korupsi dan pemerataan guru.

Ketidakberhasilan bangsa ini mengatasi masalah pemerataan guru, tawuran, banjir, kemacetan, dan
korupsi, karena kita kekurangan pemikir. Got adalah tempat saluran air, tapi kita membuang sampah
di sana. Trotoar adalah tempat pejalan kaki, tapi kita mendirikan warung di atasnya. Budaya antre
itu baik, tapi kita sukanya menyalip dan tergesa-gesa.

Halaman 85

Hidup hanya sebentar tapi kita menumpuk harta seolah hidup seribu tahun lamanya.

Jika ia tidak menjadi pakar atau pejabat negara kelak, setidaknya ia bisa menyelesaikan masalah-
masalah yang ada di lingkungannya, keluarga, atau dirinya sendiri. Kemampuan menyelesaikan
masalah sangat penting agar orang tetap bahagia, karena selalu berpikir baik (positive thinking)
dalam melihat setiap masalah. Berat dan sulit bagi orang lain suatu masalah, tidak bagi seorang
pemikir. Albert Einstein menulis, “Education is not the learning bffacts, but the training of the mind
to think.”

Kedua, melahirkan komunikator (communicator). Siswa dilatih menyampaikan ide secara lisan
dengan baik (understanding and communicating ideas). Siswa tidak boleh merasa takut salah. Ia
harus percaya diri bahwa menyampaikan gagasan lebih baik daripada diam. Dalam konteks ini,
pepatah diam itu emas (silent is gold) tidak berlaku…

Lihatlah bagaimana kelas kita. Ketika guru meminta siswa menjawab atau mengajukan pertanyaan,
respon siswa sangat lamban dan sedikit sekali yang bertanya atau menjawab, karena siswa kita tidak
(dilatih) percaya diri. Alih-alih memberikan kesempatan siswa aktif bertanya dan menjawab, guru
kita malah lebih dominan dalam pembelajaran.

Lihat pula bagaimana cara wakil rakyat di Senayan menyampaikan pendapat atau cara sebagian kecil
putra bangsa ini dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) salah satu tv swasta. Komunikasi lisan
mereka sangat buruk Seperti apa buruknya sudah menjadi pengetahuan bersama. Saya khawatir,
keburukan lisan merupakan tanda kedangkalan pengetahuan. Maya Angelou berujar, “When you
know better, you do better.”

Ketiga, melahirkan kolaborator (collaborator). Sedikit se

Halaman 86

kali siswa yang memiliki keterampilan jamak, seperti bisa menggambar, menyampaikan pendapat,
dan berhitung. Guru bisa mengelompokkan siswa berdasarkan ragam kecerdasannya, sehingga
mereka bisa bekerja sama menjadi tim yang saling menguatkan. Kemampuan bekerja dalam tim
sangat penting bagi siswa (working with others).

Ia harus terbiasa menerima perbedaan individu, dan melihatnya sebagai kekuatan bukan kelemahan
apalagi sumber perpecahan. Tim adalah tempat belajar bagi dirinya sekaligus bagi orang lain. Jadi,
ada saatnya ia belajar dari kelebihan orang lain, dan pada saat lain orang lain yang belajar pada
dirinya. *

Kelemahan semangat berkolaborasi terlihat dari lemahnya konsorsium dosen di program studi,
asosiasi keilmuan dosen, dan jurnal ilmiah di perguruan tinggi. Dosen kita bergerak maju sendiri-
sendiri. Pintar, besar, dan terkenal sendiri-sendiri. Akhirnya, dosen kita berhasil secara individu,
sementara lembaganya tenggelam secara perlahan. Padahal, tidak ada karya hebat atau
inovasitanpa kolaborasi yang kuat.
Keempat, melahirkan penemu atau pencipta (creator). Siswa diajarkan tidak cepat puas terhadap
apa yang sudah ada saat ini. Ia dilatih menemukan hal baru untuk menjawab persoalan demi hidup
yang lebih baik. Siswa dilatih menjadi inovator mulai dari hal-hal yang sederhana hingga yang
kompleks (producing high quality work).

Bangsa ini seharusnya “belajar dari kemajuan bangsabangsa lain. Tidak selamanya menjadi bangsa
pengimpor tapi pengekspor. Semua yang ada di sekitar kita merupakan produk lari luar, dan kita
bangga dengannya. Mobil dan motor kita dari jepang, yaitu Toyota, Honda, dan Suzuki; mobil dan
handphone dari Korea Selatan, yaitu KIA, Hiundai, dan Samsung; laptop dan handphone dari
Amerika, yaitu Apple.

Halaman 87

Steve Jobs melalui Apple mampu mengubah kecintaan dan persepsi masyarakat dunia terhadap
warna putih. Lihatlah misalnya, bagaimana orang Indonesia menyukai warna putih untuk mobil,
handphone, dan laptopnya. Ini merupakan contoh kecil bagaimana dahsyatnya kekuatan kreasi dan
inovasi.

Contoh lainnya Korea Selatan yang mampu menenggelamkan perusahaan Nokia yang berjaya selama
satu dekade lebih (?), dengan melahirkan handphone pintar Samsung plus (yang dengan cerdik
menggandeng) Android. Kehebatan Samsung bukan saja perangkatnya berbasis Android, tetapi
produknya teruji waktu tahan banting. Maka, meski harganya selangit, produsen tetap berduyun-
duyun membelinya. Masyarakat sudah percaya (trust) kepada Samsung.

Akhirnya, bangsa ini akan tetap tertinggal di belakang bangsa-bangsa lainnya jika tidak mengubah
orientasi pendidikannya, yaitu melahirkan generasi yang kreatif dan inovatif. Bangsa lain maju
karena selalu berpikir maju tiga langkah dan memikirkan suatu hal yang tidak dipikirkan oleh bangsa
lain. Mereka juga bangsa yang tidak takut melakukan kesalahan, seperti Albert Einstein katakan, “A
person who never made a mistake never tried anything new.”

Dua Penguatan

Maka, diperlukan penguatan setidaknya dalam dua hal berikut. Pertama, tingkatkan dana riset. Dana
riset tidak saja untuk operasional tetapi untuk pendirian laboratorium di sekolah dan perguruan
tinggi. Dana riset juga digunakan untuk merekrut peneliti-peneliti muda andal, sekaligus
memberikan kesejahteraan hidup mereka. Lembaga-lembaga riset, negeri maupun swasta,
dihidupkan dengan perhatian yang maksimal, mulai dari kesejahteraan peneliti hingga fasilitasnya.

Halaman 88

Kedua, perbaiki gaji guru. Dengan gaji besar, pemerintah dan yayasan bisa merekrut guru-guru yang
berbakat. Guru yang mengajarnya menggunakan metode, strategi, dan pendekatan yang melahirkan
siswa yang kreatif dan inovatif. Abdul Kalam menulis, “Learning gives creativity, creativity leads to
thinking, thinking provides knowledge, knowledge makes you great.” '
Akhirul kalam, Aristotle menulis, “Educating the mind without educating the heart is no education at
all.” Kreativitas dan inovasi tidak boleh bebas nilai. Kemajuan teknologi dan ilmu di tangan pribadi
yang baik akan membawa kemaslahatan bagi manusia. Sebaliknya, di tangan pribadi yang buruk
akan menghancurkan manusia dan peradabannya Pendidikan melahirkan generasi yang pintar
sekaligus saleh. Wallahu a'lam.

" Orientasi Baru Orientasi

Akhir Juli ini siswa baru akan memulai sekolah, dari SD, SMP, hingga SMA. Di sekolah akan tersua
wajah-wajah suka cita, terutama para siswa dan para orangtua yang mengantarkan anaknya di hari
pertama sekolah. Siswa akan bertemu dengan teman-teman baru, dan orangtua berharap para guru
mampu mendidik anaknya dengan baik.

Sejarah menunjukkan, sekolah tak luput dari kekerasan senior ke junior, khususnya pada masa
orientasi siswa (MOS-selanjutnya disebut orientasi siswa). Tidak hanya menyebabkan luka fisik dan
psikis yang ringan dan sedang, orientasi siswa tidak jarang menyebabkan hilangnya nyawa siswa
baru Misalnya, pada 2009, Roy Aditya Perkasa, siswa SMAN 16 Surabaya, dan pada 2011, Amanda,
siswa SMAN 9 Ciputat, keduanya meninggal saat orientasi siswa.

Halaman 89

Suka cita orangtua yang belum redup, berganti air mata duka. Anak tercinta mereka harus
kehilangan kesempatan menimba ilmu dan meraih masa depan karena tindak kekerasan para
seniornya di sekolah yang baru saja dikenalnya. Sepertinya, kepala sekolah, guru, dan siswa tidak
pernah belajar dari kejadian masa lalu.

Tidak satu pun siswa senior yang merencanakan menyakiti apalagi membunuh siswa juniornya.
Tetapi model orientasi siswa berikut bisa menjadi pemicu terjadinya kekerasan panitia terhadap
siswa baru, karena itu patut dihindari. Pada musim orientasi siswa 2015 ini, guru perlu meyakinkan
kepada panitia siswa bahwa model ini harus dibuang jauh-jauh.

Pertama, berpakaian tidak seperti orang normal alias gila. Diketahui bersama bahwa, siswa siswi
baru kerap diminta memakai atribut ini dan itu sejak dari rumah hingga ke sekolah. Alih-alih melatih
karakter keberanian dan kebersamaan siswa, hal ini malah jauh dari sikap mendidik. Saya tidak bisa
memahami bagaimana para guru membiarkan siswa siswi baru berpenampilan seperti itu. Mereka
bukan badut atau lainnya yang bisa dijadikan bahan olok-olok dan tertawaan di sekolah.

Kedua, membawa sejumlah minuman, snack, dan sembako. Meski minuman dan makanan tersebut
untuk disumbangkan ke pihak lain atau bakti sosial, hal tersebut memberatkan bagi siswa miskin.
Siswa miskin terpaksa memenuhi kemauan sekolah, meski tidak sanggup. Ielas dalam Permendikbud
No. 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Peserta Didik bahwa, sekolah dilarang memungut biaya
apa pun dari siswa. Sekolah gagal paham bahwa hal di atas merupakan bentuk lain dari pungutan ke
siswa.

Ketiga, kegiatan dan hukuman fisik yang berlebihan, seperti berjemur, push up, dan sit up dalam
waktu yang lama.

Halaman 90

Hal ini untuk menghindari kelelahan fisik berlebihan yang bisa berujung fatal. Sebelum orientasi,
apakah sekolah memiliki rekam jejak kesehatan siswa? Saya yakin sebagian besar sekolah tidak
Hukuman fisik harus dihentikan, meskipun sebelumnya panitia siswa mengalaminya sebagai budaya
yang telah berlangsung lama. Stop budaya “balas dendam”. Keempat, guru menyerahkan orientasi
sepenuhnya kepada panitia siswa. Tanpa pendampingan dan kontrol dari guru, orientasi siswa bisa
merupakan ajang “unjuk kekuasaan dan kekuatan” senior kepada juniornya. Perilaku negatif yang
tidak diharapkan sebelumnya, bisa terjadi kapan saja, terutama saat siswa baru melakukan
kesalahan atau pelanggaran. Melalui pendampingan guru, budaya balas dendam dan kekerasan
senior kepada junior di awal masa sekolah diharapkan hilang secara perlahan.

Orientasi Baru

Diperlukan orientasi siswa model baru, dari yang berisi dendam, kebencian, dan kekerasan ke
budaya akademis. Guru tidak boleh lupa bahwa tujuan orientasi siswa di antaranya mengenalkan
sekolah, cara belajar, dan pengenalan diri kepada siswa. Karena itu, saya menyarankan kegiatan
orientasi siswa sebagai berikut.

Orientasi pertama, ilmu pengetahuan. Kegiatan orientasi siswa didesain untuk menumbuhkan
kecintaan siswa kepada ilmu pengetahuan, bidang ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,
ilmu pengetahuan bahasa, maupun ilmu pengetahuan agama. Guru bisa mengajak siswa baru
menonton film ilmu pengetahuan, kemudian mendiskusikan kandungannya. Video berisikan temuan
terbaru dalam bidang teknologi sains misalnya, akan menarik minat siswa.

Orientasi kedua, cinta belajar. Orientasi siswa akan sangat

Halaman 91

berkesan dan berarti jika mampu melahirkan kecintaan siswa terhadap belajar. Guru bisa
menghadirkan ilmuwan, pakar, atau penemu kelahiran Indonesia yang dikenal dunia karena
kepakaran atau temuannya. Sang pakar diminta menceritakan kepada siswa baru bagaimana
perjuangannya dalam menemukan karya-karya baru (genuine) atau inovatif, yang ujungnya pasti
karena cinta belajar. Pakar tersebut bisa saja peneliti, dosen, guru, pengusaha, mahasiswa, atau
bahkan siswa.
Orientasi ketiga, menemukan potensi siswa. Gambaran seperti apa orang yang sukses di dunia ini
perlu disampaikan kepada siswa. Kesuksesan seseorang dalam bidangnya masing-masing ditopang
oleh potensi yang dilatih menjadi kompetensi. Setiap orang dilahirkan membawa potensi dan
keunggulannya sendiri-sendiri.

Inilah yang perlu disadarkan kepada siswa, bahwa jangan minder kalau lemah dalam bidang
tertentu. Sebaliknya, temukan dan rawatlah potensi setiap siswa yang beragam itu melalui
bimbingan dan pendidikan di dalam dan di luar sekolah. Guru bisa menjelaskan teori sembilan
kecerdasan jamak yang dikembangkan oleh Howard Gardner, dari Harvard University.

Orientasi keempat, cinta kebaikan. Menjadi manusia pintar saja tidak cukup, siswa harus diajarkan
pentingnya budi pekerti. Siswa harus diajarkan dan dibiasakan budi pekerti, seperti kejujuran,
kebersihan, toleransi, kemandirian, gotong royong, rendah hati, dan antre. Orientasi siswa bisa
dilakukan dengan perpaduan 30 persen teori dan 70 persen praktik tentang budi pekerti tersebut.

Mengajak siswa baru membersihkan lingkungan sekolah misalnya, bukanlah hal tabu dan
menyimpang. Kemudian, diadakan permainan yang bertujuan menciptakan keakraban antara siswa
senior dan siswa junior. Senior menyayangi ju

Halaman 92

nior, dan junior menghormati senior. Tradisi kekerasan yang selama ini muncul diarahkan ke tradisi
penghargaan terhadap orang lain.

Akhirul kalam, semoga orientasi siswa tahun ini tidak menyisakan duka bagi para orangtua. Kepala
sekolah dan guru bertanggung jawab mendesain kegiatan ini nirkekerasan. Masa tiga atau lima hari
mientasi siswa adalah masa kritis siswa baru di awal kehadirannya di sekolah baru. Di hari-hari awal
ini, kepala sekolah wajib menyajikan setiap kegiatan menjadi momen yang menyenangkan dan
menginspirasi siswa.

" Menata Hati, Memetik Honesty

Pangkal segala persoalan yang mendera bangsa ini adalah langkanya kejujuran (honesty).
Ketidakjujuran yang dilakukan oleh individu maupun kelompok melahirkan penyakit kronis bangsa
yang tak kunjung sembuh, bahkan bertambah parah, yaitu: korupsi, pembakaran hutan, mafia migas,
dan maiia beras. Saya pikir tepat slogan KPK ini, bahwa “Berani jujur itu hebat.”

Belajar dari kasus-lcasus tersebut, yang tak menunjukkan tanda-tanda segera menyusut, meski
peraturan telah dibuat dan hukuman telah dilaksanakan, maka diperlukan penyiapan generasi yang
mampu mengatakan tidak pada segala sikap yang tidak jujur. Bertentangan dengan hati nurani.
Terbukti, generasi pejabat, anggota DPR, dan pengusaha yang ada saat ini banyak yang menghuni
hotel prodeo.

Sebagus apa pun peraturan yang dibuat, tanpa sumber daya manusia yang jujur, maka ragam
penyakit di atas tak kan pernah berkurang, bahkan bertambah masif. Ketika para penegak hukum
bisa dibeli dan manusia semakin rakus, maka

Halaman 93

cita-cita menjadi bangsa yang bebas korupsi dan bebas mafia hanya mimpi di siang bolong.

Penyiapan generasi yang jujur dan amanah merupakan tanggung jawab bersama, terutama orangtua
dan guru. Keduanya perlu berjalan seiring dalam memastikan perkembangan anak menjadi orang
dewasa yang jujur. Usaha ini tak kan mudah di tengah banjir informasi dari internet, tontonan yang
tak mendidik, pergaulan remaja yang bebas-jauh dari adat ketimuran, dan minimnya teladan dari
pemimpin di negeri ini.

Orangtua

Rumah adalah sekolah pertama bagi anak, dengan orangtua sebagai gurunya. Laiknya sekolah, di
rumah perlu ada peraturan hasil kesepakatan bersama antara orangtua dan anak-anak. Ada ganjaran
bagi yang mematuhi, dan sebaliknya ada hukuman bagi yang melanggar. Peraturan tidak akan
menjadikan rumah sebagai tempat yang menyeramkan, tapi menenteramkan dan menyenangkan.

Di antara peraturan rumah misalnya, dilarang mencuri, menceritakan kejadian di sekolah dan
tempat bermain-yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, dan berkata jujur.
Orangtua bisa melakukan beberapa hal berikut: membimbing anak mengerjakan pekerjaan rumah
(PR) anak, bukan mengerjakannya; meminta anak belanja di warung, dan menanyakan
kembaliannya; melatih anak menceritakan pengalamannya di sekolah, tentang temannya, mata
pelajaran, makanan, atau gurunya.

Terpenting dari semua itu adalah pribadi orangtua. Mengembangkan sikap akan mudah dengan
contoh. Anak adalah cermin orangtuanya. Mendambakan anak yang jujur akan sia-sia jika orangtua
sendiri tidak berlaku jujur. Seperti akan

Halaman 94

mudah menjadikan anak terbuka, jika orangtua biasa terbuka kepada mereka. Demikian pula sikap
bertanggung jawab perlu dimulai dari orangtua.

Contoh lain, bagaimana pentingnya orangtua menunjukkan hidup yang alami dan tak berlebihan.
Mencari uang dengan cara halal dan menerima upah (hanya) yang sesuai dengan haknya. Ia memilih
hidup :sederhana daripada mewah namun hasil korupsi; memilih menjadi rakyat biasa atau bawahan
daripada menjadi pejabat atau pemimpin karena menghalalkan segala cara. Sophocles menulis,
“Better to fail with honor than succeed by fraud.” ’

Guru

Kecuali di rumah, sekolah merupakan tempat kedua bagi pembentukan karakter anak. Disadari
bersama bahwa pengembangan karakter lebih utama daripada pengetahuan dan keterampilan anak.
Kurikulum 2013 misalnya, dalam setiap silabus mata pelajaran terdapat kompetensi inti pertama
adalah spiritual dan kompetensi inti kedua adalah sosial. Disusul ketiga dan keempat adalah
pengetahuan dan keterampilan. Keberhasilan penanaman karakter dalam proses belajar mengajar di
kelas sangat tergantung kepada guru.

Di luar kelas, guru merancang program-program yang tujuannya pengembangan sikap jujur siswa,
seperti kantin kejujuran. Jual beli yang mengandalkan kejujuran siswa dan guru, tanpa ada kasir atau
penjual. Suatu cara mendidik siswa untuk merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha ,Melihat dan
Mengetahui setiap laku lampah manusia, sehingga di mana dan kapan pun ia harus berbuat semata
yang baik dan benar.

Seperti orangtua di atas, keberhasilan pengembangan karakter kejujuran siswa akan tergantung
pada pribadi guru. Guru terlebih dahulu berupaya menjadi orang jujur dalam

Halaman 95

setiap ucapan dan perbuatannya. Jujur tidak hanya berkata sesuai kenyataan dan kebenaran, tapi
juga bertindak sesuai kebenaran.

Maka, perlu dihindari praktik pembiaran siswa menyontek saat ujian sekolah dan ujian nasional
(UN), penjualan buku yang berorientasi kepada meraup keuntungan daripada kebutuhan siswa, dan
penilaian yang tidak objektif terhadap hasil belajar siswa dan kelulusan siswa. Pembelaan terhadap
masa depan siswa harus melalui penyelenggaraan pembelajaran dan pendidikan yang bermutu,
bukan dengan (misalnya) memberikan nilai tinggi yang tidak sesuai dengan kenyataan siswa di
lapangan (objektif). '

Menata hati

Sering muncul pertanyaan, apakah karakter seorang anak bisa diubah? Kalau bisa diubah, bagaimana
caranya? Tak jarang orangtua dan guru menyerah dalam memperbaiki perilaku anak, karena sudah
beragam cara dilakukan tapi tak juga berhasil. Ujungnya, anak kerap dibiarkan hidup sesuai
pilihannya. “Terserah kau mau menjadi apa.”
Pernyataan ini menjawab soal pertama, bahwa, “Honesty and integrity are absolutely essentialfor
success in life-all areas of life. 'Ihe really good news is that anyone can develop both honesty and
integrity.”

Karakter bisa diubah dengan cara mendidik yang tulus, optimis, dan dengan teladan-seperti
dijelaskan di atas. Karakter lahir dari kualitas hati, maka pendidikan harus menyentuh aspek hati
setiap siswa. Ia tidak akan berhasil dengan cara memasang slogan “Honesty is the best teacher” di
dinding sekolah, atau ceramah tentang baik buruk di depan siswa, tetapi melupakan perbaikan
karakter guru dan staf.

Centang perenang problem kebangsaan saat ini bertemali

Halaman 96

dengan miskinnya teladan guru dan orangtua di masa lalu, bahkan hingga saat ini. Maka, tiada
pilihan lain bagi pendidik kecuali menata hati diri masing-masing, agar mampu menyinari hati gelap
peserta didik. Pengetahuan terkait dengan otak. dan keterampilan terkait otot, sedangkan sikap
terkait dengan hati. Brigham Young berkata, “Honest heart produce honest actions.”

Akhirnya, kejujuran adalah kunci keberhasilan individu dalam menapaki kehidupan sementara dan
fana ini. Keberhasilan individu-individu akan mengantarkan kejayaan dan kemajuan bangsa.
Kesuksesan yang tidak ditopang oleh akar kejujuran akan roboh secara perlahan, bahkan bisa
menjadi malapetaka bagi individu dan bangsa ini-seperti yang kita rasakan bersama saat ini.

Para pemimpin, anggota dewan, dan pengusaha masa mendatang adalah harapan bersama menuju
kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dah beradab. Saatnya orangtua dan guru
bergandengan tangan menata diri menjadi pribadi yang mulia, demi tugas mahaberat: melahirkan
generasi berkarakter jujur. Generasi bijaksana yang tak akan (pernah) menukar harga diri dengan
jabatan atau uang milirian. Thomas Jefferson bersenandung, “Honesty is the first chapter in the book
wisdom.”

Halaman 97

VI Karakter

" Menggugat Karakter Masyarakat

Potret masyarakat saat ini adalah hasil pendidikan di masa lalu Bahagia menyaksikan orang-orang di
sekitar kita yang berperilaku baik, seperti ramah, sabar, dermawan, dan tulus. Orang baik
menginspirasi orang lain untuk menjadi baik.
Orang baik banyak, tapi orang buruk juga tak kalah banyak. Mudah menemukan yang baik, semudah
menemukan yang buruk, seperti kita jumpai setiap hari di lingkungan kita, di jalan, di pasar, dan di
tempat hiburan.

Setiap kali berangkat kerja, pergi ke pasar, mudik, atau membaca koran, pikiran campur aduk antara
suka dan duka. Bagaimana tidak, sepanjang jalan dan halaman bersua perilaku masyarakat yang
tidak beradab (uncivilized).

Saya sederhanakan perilaku masyarakat itu ke dalam beberapa karakter saja. Penjelasan ini untuk
bahan renungan bersama, bahwa untuk menjadi bangsa maju, Indonesia menghadapi tantangan
besar justru dari dalam dirinya sendiri, watak masyarakat.

Pertama, karakter kotor/jorok. Buang sampah di pinggir jalan bukan hanya sekadar tisu, puntung
rokok, kotak/botol bekas minuman, tetapi sampah rumah tangga yang sudah dikemas plastik.
Sampah menumpuk dan bertebaran bukan

Halaman 98

pada tempatnya. Bau tak sedap menjadi santapan warga yang melintas.

Belanj a di pasar tradisional bukan pilihan menyenangkan, jika kita tak suka berbecek ria. Aneh,
meski bukan musim penghujan, di pasar selalu becek. Para pedagang ikan, sayur, cabai, bawang, dan
buah-buahan berjejer di jalan yang seharusnya untuk mobil dan motor. Sampah dagangan mereka
dibuang di got, sehingga sebentar saja turun hujan mengakibatkan banjir, karena saluran air
mampet.

Toilet duduk di tempat-ternpat'umum mudah rusak dan kotor karena warga menggunakannya tidak
semestinya. Bukan hanya di terminal atau pom bensin, bahkan di bandara internasional.

Kedua, karakter egois. Di jalan raya, saling menyalip, melanggar rambu lalu lintas, dan bunyi klakson
menjadi hal lumrah. Pemilik mobil dan motor mengubah lampu depan dengan lampu yang
menyilaukan pengendara dari arah berlawanan. Sangat mengganggu, bahkan bisa membahayakan!

Berjalan kaki ke kantor, sekolah, atau kampus sangat tidak nyaman karena trotoar sudah dipenuhi
pedagang kecil dan besar. Bahkan tidak aman karena setiap saat bisa saja terserempet motor atau
mobil yang melaju kencang meski di tempat keramaian. Sepeda motor menggunakan trotoar karena
tak sabar antre. Tidak ada ruang dan jalan untuk pejalan kaki (pedestrian), bahkan pesepeda. Semua
jalan dikuasai motor dan mobil.
Dibutuhkan keberanian besar bahkan untuk sekadar menyeberang jalan, sebab pengendara tidak
memberi kesempatan. Maka, di jalan raya yang ramai penyeberang-setelah ada banyak korban,
dipasang “polisi tidur”. Polisi tidur tidak hanya milik perumahan lagi. Ia telah move on, merambah
jalanjalan raya kami.

Halaman 99

Sopir angkot dan bus kebut-kebutan, lupa nasib penumpang, anak, dan istri di rumah. Sering, karena
ngebut, penumpang terlewat. Entah apa yang mereka cari, penumpang atau secepat mungkin
mencapai garis finis. Saya sungguh bingung. Mobil dan motor harus mengalah jika rombongan motor
gede (moge) melintas. Moge bahkan mengalahkan mobil ambulans, karena pengendara tidak segera
menepi meski sirene berbunyi.

Merokok di mana saja suka, termasuk di angkot dan bus. Jangan coba-coba mengingatkan, karena
dia merasa tersinggung. Alih-alih mendapat ucapan terima kasih, Anda bisa saja dicaci maki bahkan
dipukul.

Ketiga, karakter pencuri/perampok 'dan pembunuh. Ini melampaui pencurian biasa, seperti
mengambil uang, mobil, dan motor. Tidak hanya mengambil harta benda, perampok siap
membunuh korbannya yang melawan.

Kursi di tempat umum atau taman rusak karena ada bagian tertentu yang dijarah. Taman dan
tempat bermain tidak lagi nyaman. Baut-baut jembatan dan kabel listrik hilang. Bagaimana jika
petugas tak rajin mengontrol jembatan. Nyawa puluhan orang taruhannya. Kotak amal masjid
diambil. Mesin pompa air di sekolah dan masjid pun dijarah. Sungguh terlalu; tega nian.

Keempat, karakter pemarah dan pendendam. Tawuran bukan hanya terjadi antarwarga masyarakat
yang sudah dewasa, tetapi antarsiswa sekolah menengah pertama dan atas, serta mahasiswa.

Bersenggolan di jalan raya, tidak terima disalip, atau muak dengan perilaku sopir angkot yang suka
ngetem sem

barangan-hingga menghalangi jalan, segera disambut dengan bunyi klakson lima hingga tujuh mobil
dan motor di belakangnya. Adu mulut dan perkelahian di jalan raya juga

Halaman 100

kerap terjadi.

Kelima, karakter perusak. Pembatas jalan tidak pernah berumur panjang. Meski dibuat dari bahan
cor-coran yang kuat, satu atau dua bulan sudah raib atau terlepas. Tujuannya tak lain, membuka
akses putaran kendaraan agar tidak terlalu jauh berputar balik. Pelakunya adalah “polisi lima ratus”-
dahulu “polisi cepek”. Lima ratus adalah minimal. Jangan coba-coba memberi dua atau tiga ratus
karena bisa-bisa uang itu dilempar ke anda atau anda dicaci maki.

Dampak

Karakter masyarakat itu menyebabkan setidaknya tiga hal. Pertama, banjir. Banjir bukan semata
karena air berlebih tetapi karena saluran air mampet tertutup ragam sampah buangan warga.
Kerugian akibat banjir sangat besar, materil maupun non materil. Setiap musim hujan, banjir datang
lagi, karena perilaku masyarakat tidak berubah.

Tidak perlu curah hujan tinggi dan berhari-hari, cukup hujan 30 menit atau 60 menit, jalanan
digenangi air cukup tinggi, karena air tak punya tempat lagi kecuali di jalanan.

Kedua, macet. Kemacetan tidak hanya milik Jakarta, Bogor, dan Bandung. Banyak wilayah dan titik-
titik yang tadinya tidak macet terserang macet parah. Separah-parahnya. Sebab semua yang di jalan
egois, tak mau mengalah.

Sopir angkot berhenti seenaknya, tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, melawan arus (memakai
jalur orang lain, sehingga kendaraan dari arah berlawanan tidak bisa bergerak), dan penumpang
menunggu dan memberhentikan angkot di mana saja ia suka. Tidak heran jika angka kecelakaan

sangat tinggi.

Ketiga, ketidaknyamanan. Semua itu melahirkan masyarakat stres, buah dari perilakunya sendiri.
Kemacetan di atas

Halaman 101

akan bertambah parah saat turun hujan/banjir. Tidak ada tempat yang nyaman di sini kecuali di
rumah sendiri. Ketika naik kendaraan umum, sulit membedakan antara pengemis, pengamen,
dengan pemeras. Kita dibuat tidak nyaman ketika hanya mampu mengangkat tangan, tanda maaf.

Mungkin lebih nyaman bagi yang bermobil pribadi? Tidak! Untuk sampai di tempat-tempat liburan,
kita harus bersusah payah terjebak macet. Siapa bilang mal tempat nyaman mengisi akhir pekan?
Bahkan untuk duduk sekadar istirahat barang sejenak sangat sulit mencari kursi, kecuali anda
purapura haus dan membeli segelas es teh manis.

Di Monas, jika Anda menggelar tikar lalu duduk-duduk bersama keluarga sambil menikmati kerak
telur khas Betawi dan kopi hitam, dijamin tak akan merasa nyaman jika anda tak punya uang dua
puluh ribu dalam pecahan dua ribuan. Pasalnya, pengamen, Ondel-ondel, Sponge Bob, Ipin-Upin,
Hello Kitty, dan sejenisnya datang silih berganti menghibur anda sekeluarga. Hal yang sama terjadi di
Kebun Raya Bogor.

Baiklah, saya akhiri saja gugatan ini. Ya, gugatan terhadap karakter masyarakat yang jauh dari
kriteria masyarakat madani. Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang
ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan teknologi yang berperadaban. Entah apa sebutannya,
masyarakat jahiliahkah, masyarakat tak beradabkah, atau apalah.

Yang pasti, pelakunya semua lapisan masyarakat, warga biasa hingga warga berpendidikan tinggi.
Pendidikan kita jelas telah gagal membentuk karakter masyarakat madani.

Becermin pada kegagalan tersebut, pendidikan kita perlu

berbenah diri. Pendidikan adalah pembentuk watak masyarakat.

Halaman 102

" Plagiasi dan Joki Skripsi

Wacana penghapusan skripsi yang dilontarkan oleh Menristek Dikti, M. Nasir, menarik ditanggapi.
Adapun alasan penghapusan skripsi adalah maraknya praktik plagiasi dan joki skripsi. Sesungguhnya,
plagiasi dan joki skripsi adalah isu lama yang sulit diberantas. Namun ide penghapusan skripsi bagi
sarjana merupakan hal baru bagi sebagian besar kampus di Indonesia.

Plagiasi dan joki skripsi terjadi karena lemahnya kemampuan menulis mahasiswa, mudahnya
melakukan plagiasi, dan maraknya joki skripsi. Pertama, tidak semua orang dilahirkan dengan bakat
menulis. Kelemahan£ menulis mahasiswa terlihat saat membaca makalah karya; mahasiswa, dari
semester pertama bahkan saat mereka semester ketujuh.

Meski hampir semua matakuliah selama tujuh semester mewajibkan mahasiswa membuat makalah,
keterampilan menulis mahasiswa masih rendah. Jika dalam satu semester mahasiswa menulis dua
makalah saja, maka di semester tujuh, mereka sudah menulis 14 makalah. Seharusnya, menulis
skripsi di semester delapan bukan masalah besar bagi maha

Siswa.
Kedua, skripsi dan makalah dengan tema apa pun mudah didapat mahasiswa dari internet. Besar
kemungkinan, mahasiswa tidak terlatih menulis, karena mereka mendapatkan makalah dari internet.
Akibatnya, mereka mengalami kesulitan saat menulis skripsi.

Ketiga, jasa pembuatan skripsi sangat mudah ditemukan oleh mahasiswa di sekitar kampus. Ketika
skripsi menjadi syarat kelulusan, maka mahasiswa memanfaatkan jasa pembuatan skripsi tersebut,
karena tidak mau lama-lama kuliah atau terkena drop-out.

Halaman 103

Budaya Instan

Plagiasi dan joki skripsi merupakan peristiwa luar biasa yang mengarah pada budaya instan dan
ketidakjujuran di kalangan mahasiswa. Apa pun alasannya, mahasiswa jelas terjangkit budaya instan.
Dengan kata lain, meraih tujuan atau sukses tanpa mau bersusah payah. Maka, tidak bisa menulis
bisa jadi bukan alasan tunggal mahasiswa melakukan plagiasi dan memakai joki skripsi, melainkan
budaya instan tadi.

Mahasiswa juga sudah terbiasa dengan ketidakjujuran. Mengklaim makalah dan skripsi sebagai karya
sendiri, padahal mengunduh dari internet. Kesibukan dan keterbatasan waktu dosen membuat
praktik plagiasi di kalangan mahasiswa tidak terdeteksi. Jika dosen mengajar empat kelas dan setiap
kelas ada 40 mahasiswa, maka ia harus memeriksa 160 makalah (minimal sekali) dalam satu
semester.

Karena itu, diperlukan gerakan budaya antiplagiasi dan kejujuran di kampus. Selain penerbitan buku
antiplagiasi dan papan peringatan, setiap dosen menanamkan pentingnya karakter jujur kepada
mahasiswa. Dengan demikian, mahasiswa memiliki kekuatan dari dalam dirinya sendiri untuk tidak
melakukan plagiasi dan menggunakan joki, meskipun kesempatan terbentang di hadapannya.

Bimbingan Skripsi

Apakah penghapusan skripsi merupakan pilihan tepat? Menurut saya, skripsi tidak perlu dihapus,
tetapi kampus memberikan alternatif pilihan kepada mahasiswa untuk memilih jalur nonskripsi,
yaitu mengikuti dua hingga tiga matakuliah yang sks-nya setara skripsi. Kebijakan alternatif ini untuk
menjawab lamanya masa studi akibat penulisan skripsi.

Diperlukan sistem perkuliahan yang memungkinkan mahasiswa selesai tepat waktu, yaitu empat
tahun. Pertimbang

Halaman 104
annya adalah kemampuan menulis mahasiswa dan biaya yang besar jika berlama-lama kuliah.
Memaksakan skripsi sebagai satu-satunya syarat kelulusan tidak sesuai dengan kondisi objektif
mahasiswa. Karena itu, kebijakan berikut bisa dipertimbangkan.

Pertama, bimbingan skripsi dilakukan klasikal dan terjadwal seperti perkuliahan. Seminggu sekali
dosen dan mahasiswa bimbingannya (maksimal 10) bertatap muka di kelas. Dosen memeriksa
skripsi, memberikan bimbingan, dan berdiskusi dengan mahasiswa. Di luar jadwal bimbingan
tersebut, mahasiswa wajib menggali data (melalui membaca buku dan jurnal atau ke lapangan), dan
menulis. Dengan demikian, perkembangan penulisan skripsi mahasiswa terkontrol. Adapun masa
bimbingan klasikal ini adalah 16 kali tatap muka atau empat bulan. 1

Di antara masalah skripsi adalah sulitnya menemui dosen, lambannya koreksi skripsi dari dosen,
standar mutu skripsi yang tinggi dari dosen, mahasiswa malas ke kampus atau menemui dosen, dan
mahasiswa tidak tekun dan teliti. Akar semua masalah tersebut adalah karena mahasiswa
“berjuang” sendirian di satu sisi, dan ego dosen pada sisi yang lain. Dengan sistem klasikal, baik
dosen maupun mahasiswa, tidak punya alasan untuk tidak hadir.

Melalui bimbingan klasikal, diharapkan problem-problem tersebut teratasi. Sistem baru ini juga
memungkinkar terjadinya evaluasi terhadap kinerja bimbingan dosen terhadap skripsi mahasiswa di
setiap akhir semester-sebagaimana perkuliahan biasanya. Selama ini, bisa dikatakan tidak ada
evaluasi kinerja bimbingan sebagaimana dimaksud. Dosen yang “tidak adil” terhadap mahasiswa
seperti “tak tersentuh”. Evaluasi itu misalnya, bisa dilihat dari jumlah pertemuan yang dihadiri dosen
dalam bimbingan skripsi klasikal.

Halaman 105

Sebagai contoh, mahasiswa selalu berhasil dalam mengikuti matakuliah dengan pembelajaran
klasikal selama tujuh semester. Bedanya,. bimbingan skripsi klasikal jumlah mahasiswanya lebih kecil
daripada mahasiswa kelas kuliah biasa. Setiap dosen bisa jadi memiliki dua atau lebih kelas
bimbingan skripsi.

Kedua, tugas makalah pada matakuliah sebagai latihan menulis. Rambu-rambu berikut bisa
dipertimbangkan: makalah individual bukan kelompok, mengutip inti sari pendapat orang lain bukan
paragraf utuh, dan menuliskan pendapat pribadi bukan kumpulan kutipan. Dari aspek sumber,
mahasiswa dikenalkan dengan artikel-artikel jurnal terakreditasi nasional maupun internasional.

Dosen berperan sebagai korektor makalah mahasiswa. Ini membutuhkan usaha lebih-untuk tidak
mengatakan keciiitaan-dari dosen. Masalahnya, tidak semua dosen punya keterampilan menulis dan
mengoreksi. Di sini, kampus punya pekerjaan rumah dua sekaligus, yaitu meningkatkan keterampilan
menulis mahasiswa sekaligus dosennya.
Ketiga, bagi mahasiswa yang terbukti tidak sanggup mengikuti bimbingan skripsi klasikal, diberikan
pilihan untuk mengikuti kelas nonskripsi atau melanjutkan bimbingan skripsi di semester berikutnya.
Dua atau tiga matakuliah pengganti skripsi itu mewajibkan mahasiswa menulis makalah, namun
dengan bimbingan intensif dari dosen. Bedanya dengan skripsi, makalah tersebut tidak diujikan di
hadapan sejumlah penguji, tetapi cukup dosen pengampu matakuliah yang memberikan penilaian.

Demikianlah, beberapa ide untuk mengatasi maraknya plagiasi dan 'joki skripsi di kalangan kampus.
Singkatnya, skripsi tidak perlu dihapuskan karena melatih mahasiswa memecahkan masalah dengan
cara yang ilmiah atau berpikir

Halaman 106

logis. Di samping melatih mahasiswa menulis sejak awal semester, juga penting menanamkan sikap
jujur kepada mahasiswa. Sebesar apa pun godaan untuk melakukan plagiasi atau menggunakan joki
skripsi, jika punya integritas, mahasiswa akan bisa mengatasinya.

Plagiasi dan joki skripsi adalah masalah besar dunia pendidikan. Dibutuhkan keberanian besar pula
untuk melahirkan kebijakan melawan keduanya.

" Empat “Sekolah", Satu Pemenang

Undangan pesta bikini untuk anak SMA di sebuah hotel dan prostitusi online belum lama ini adalah
dua contoh kasus yang terkait dunia pendidikan, khususnya masa depan anak-anak dan remaja.
Bahkan muncul ide kontroversial dari Gubernur DKI, Basuki Tjahaja (Ahok), untuk melegalkan atau
melokalisasi prostitusi.

Bagaimana respon siswa terhadap undangan pesta bikini, dan bagaimana anak remaja terlibat
prostitusi online, bukanlah persoalan yang mudah diurai. Di sini, saya ingin menjelaskan bagaimana
karakter anak dibentuk Karakter anak dibentuk oleh pengalamannya di keluarga, sekolah,
masyarakat, dan media (gawai dan televisi). Baik dan buruk anak sanga. terpengaruh oleh siapa dan
apa yang dominan dari keempat sekolah tersebut.

Empat Sekolah

Sekolah pertama, keluarga. Keluarga mendidik anak sejak kecil hingga dewasa, mulai perilaku,
keterampilan, hingga pengetahuan. Di rumah setiap orangtua punya peraturan tak tertulis tentang
baik buruk, boleh dan tidak boleh. Namun setiap orangtua punya caranya masing-masing dalam

Halaman 107

menyampaikan nilai tersebut kepada anak-anak.


Masalah sering muncul dari cara orangtua mendidik. Niat baik harus dilakukan dengan cara yang
baik. Niat baik yang disampaikan dengan cara keras dan kasar tidak akan berhasil. Anak bukan
menerima, malah menolak. Disarankan, mendidik anak dengan filosofi main layang-layang. Tarik
ulur. Perpaduan antara sikap orangtua yang kadang perlu tegas, dan lain kali perlu lemah lembut.
Meninggalkan cara keras dan kasar. Tika hanya memakai cara tegas saja, maka anak tidak akan
berhasil, seperti layang-layang yang tidak bisa terbang.

Kasih sayang orangtua penting bagi pertumbuhan anak, tapi jangan sampai berlebihan, sehingga
_malah memanjakan anak. Orangtua sering mengizinkan dan memenuhi keinginan anak yang tidak
mendidik, seperti memberikan fasilitas telepon pintar, motor, dan mobil, padahal belum waktunya.
Orangtua dituntut banyak belajar tentang cara mendidik anak, sehingga tidak ada konflik yang
berujung pada “kekecewaan menaun” ariak terhadap keduanya.

Metode pendidikan yang dianggap efektif dalam pembentukan sikap adalah teladan. Sekuat apa pun
keinginan orangtua menanamkan nilai, tanpa keteladanan dari keduanya akan sia-sia. Kebiasaan
sikap dan tutur bicara orangtua membentuk karakter anak, yang baik maupun yang buruk. Tak perlu
suara keras, dengan suara lembut dibarengi teladan, anak akan meniru kebiasaan orangtuanya.
Orangtua sebagai teladan nilai baik buruk; boleh dan tidak boleh.

Sekolah kedua, sekolah Di sekolah anak diajarkan banyak hal yang berujung pada pembentukan
pribadi yang beriman dan bertakwa. Pribadi yang saleh, berkarakter baik, berbudi luhur, sehingga
menyenangkan orang lain. Tidak hanya pembelajaran di kelas, di sekolah ada ragam kegiatan untuk
membentuk karakter siswa.

Halaman 108

Akan tetapi, sekolah sering lupa bahwa bukti lebih penting daripada kata-kata atau yang tertulis.
Tata tertib, visi misi, dan buku-buku pelajaran selalu berisi hal-hal baik. Demikian juga kepala
sekolah, guru, dan staf selalu bertutur kata yang baik. Namun kenyataan sering menunjukkan
sebaliknya. Lebih mudah bicara tinimbang praktik.

Mari absen seraya memberikan nilai tentang aspek-aspek berikut di sekolah: disiplin guru, budaya
baca guru, cara mengajar guru, kebersihan sekolah, pelayanan staf, dan kepemimpinan kepala
sekolah. Disadari atau tidak, semua aspek itu membentuk watak siswa. Siswa belajar dan meniru apa
yang dilihat dan dirasakannya di sekolah. Bohong kalau di sekolah hanya berisi hal-hal yang baik,
yang buruk juga sangat nyata-yang bagi warga sekolah bisa jadi dianggap wajar-wajar saja.

Kekurangan sekolah sangat mudah dikenali dan dibaca dengan cara melihat kondisi toilet, ruang
kelas, musola, bahkan ruang kerja kepala sekolah dan guru. Toilet yang tidak bersih, ruangan kelas
dan jendela berdebu, dan ruangan guru yang tak rapi dan penuh dokumen yang berdebu dan tidak
perlu, adalah cermin gagalnya sekolah menerapkan nilai-nilai baik. Iika mereka gagal membumikan
nilai-nilai tersebut di “halamannya” sendiri, bagaimana mereka mampu menanamkan nilai-nilai baik
ke siswa?

Sekolah ketiga, masyarakat. Anak hidup di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Mereka
punya teman bermain yang “sealiran”. Interaksinya lisan dan fisik. Iika senang mereka tertawa, jika
sedih mereka menangis. Hari ini bertengkar, besok sudah baikan lagi. Mereka tidak hanya belajar
dari teman sebayanya-di dalam maupun di luar rumah, tapi juga dari orangtua temannya
(bagaimana mereka disambut dan diperlakukan selama bermain di rumah temannya sangat

Halaman 109

tergantung pada sikap tuan rumah).

Sekolah keempat, media (gawai dan televisi) sebagai bacaan dan tontonan wajib anak-anak generasi
teknologi dan informasi (TI) saat ini. Di era ini anak-anak hidup dengan gawai, telepon pintar, tablet,
dan laptop, yang berisi ragam bacaan, tontonan, dan permainan. Tak ada hari tanpa gawai. Gawai
menjadi sekolah baru bagi anak-anak, melengkapi budaya nonton televisi yang eksis puluhan tahun
lalu hingga saat ini.

Seperti televisi, gawai memiliki nilai baik dan buruk. Jika digunakan secara bijak, dengan atau tanpa
bimbingan orangtua, maka gawai menjadi alat atau“ media yang menyediakan banyak hal positif,
khususnya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tidak ada pertanyaan yang tidak bisa
dijawab olehumesin Google. Belajar dan hidup menjadi lebih mudah, kaana pengetahuan bisa
diperoleh dalam waktu cepat. Dunia berada di ujung jari.

Namun isi gawai tak selalu tentang informasi positif. Konten pornografi sangat mudah diakses.
Konten media sosial kadang berisi haI-hal yang tidak produktif. Televisi sama. Program Keluarga
Cemara, Laptop Si Unyil, Petualangan Si Bolang. Kick Andy Show, Kajian Agama dan Sejarah, dan
seterusnya sangat mendidik. Tapi bagaimana dengan program sinetron dan kontes dangdut yang
dalam dialog, sikap, dan kontennya tidak mendidik?

Satu Pemenang

Demikianlah empat sekolah secara bersama-sama membentuk anak-anak dan generasi muda
Indonesia. Wajah dua generasi tersebut saat ini merupakan bukti siapa sesungguhnya pemenang
(baca: pembentuk) karakter dua generasi kita tersebut Siapakah yang lebih berpengaruh
membentuk ge

Halaman 110

aerasi muda kita? Orangtua, sekolah, masyarakat, atau media gawai dan televisi?
Mendidik anak tak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan kesabaran yang besar dalam proses
menjadikannya manusia dewasa yang bisa bertindak benar dalam situasi apa pun. Mendidik anak
tidak semudah melukis di atas kanfas yang hasilnya sesuai dengan harapan si pelukis. Juga tak
semudah bunda menyulam di atas kain dan si pemahat mengukir di atas kayu.

Mendidik tidak akan pernah mudah karena anak punya akal dan jiwa yang kapasitasnya sangat
berbeda dengan orangtua dan guru. Apa yang diinginkan orangtua dan guru kadang tidak sesuai
dengan anak-anak karena mereka punya dunia, akal, dan jiwanya sendiri. Orangtua dan guru harus
belajar memahami dunia, akal, dan jiwa anak agar mereka bisa berdamai dengan anak-anak. Bukan
sebaliknya, benturan keinginan antar-keduanya.

Saatnya orangtua, guru, masyarakat, dan pebisnis bergandeng tangan, membuat komitmen,
menandatangani pakta integritas. tentang janji keberpihakan pada pembentukan karakter anak yang
pintar dan berbudi pekerti luhur, sesuai kapasitas mereka masing-masing. Kesadaran bersama
dibutuhkan karena saat ini yang terjadi adalah ketidaksinkronan tujuan empat sekolah, yang satu
menyerukan kebaikan, namun yang lainnya menyesatkan.

" Jual Beli liazah

Di republik ini banyak hal palsu. Beras palsu, uang palsu, dan ijazah palsu. Ijazah palsu dan jual beli
ijazah bukan hal baru dalam dunia pendidikan kita. Ia kejahatan luar biasa yang sulit dihilangkan
seperti halnya korupsi dan narkoba. Penjual

Halaman 111

ijazah tumbuh subur karena melihat peluang dan permintaan yang tinggi dari masyarakat yang “sakit
akal dan jiwa”.

Ketimpangan Standar

Fenomena ijazah palsu adalah bukti ketimpangan standar pendidikan antara PT negeri dan PT
swasta. Orang harus berjuang susah payah untuk mendapatkan gelar tertentu, sementara ada pihak
yang “tanpa keringat” dengan mudah mendapatkan gelar sarjana, master, bahkan doktor. Modal
mereka hanya dua: uang dan kegilaan.

Perbedaan mencolok antara PT asli dan palsu adalah dari sisi masa tempuh studi dan mutu tugas
akhir, apakah itu skripsi, tesis, atau disertasi. Banyak PT yang sengaja mendesain kuliah S-l kurang
dari empat tahun dan pertemuan kurang dari 14 kali, sehingga peminatnya membludak. Pun
keaslian dan .mutu skripsi tidak diperhatikan secara serius. Proses bimbingan skripsi dilakukan
secara kilat. Demikian pula terjadi pada tesis dan disertasi.
Maka, masyarakat cenderung memilih kampus yang mudah meluluskan dan biayanya murah. Bukan
mencari kampus yang mutu dosen dan perkuliahannya bagus. Orientasinya selembar ijazah, bukan
ilmu pengetahuan. Pragmatisme ma

' syarakat seperti ini jelas keliru. Singkatnya, mereka gila ijazah bukan gila ilmu.

Ragam Gila

Suburnya praktik jual beli ijazah palsu menandakan masyarakat kita mengidap penyakit gila yang
cukup parah. Pertama, gila pekerjaan. Ijazah adalah kunci utama untuk diterima bekerja, PNS
maupun non-PNS. Kecerdasan dan keterampilan seseorang tidak berguna jika tidak memiliki

' selembar ijazah dari Prodi atau kampus yang terakreditasi,

Halaman 112

kecuali memilih jalur wirausaha.

Kesulitan dan persaingan hidup mendorong orang menghalalkan jalan pintas memperoleh ijazah,
apalagi tawaran cukup terbuka, ada kesempatan, dan cukup aman. PT yang sudah terakreditasi
memanfaatkan kebutuhan masyarakat terhadap ijazah dengan paket kuliah cepat dan singkat, dari
empat tahun menjadi satu atau dua tahun. Asal berani bayar, bisa lulus “tepat waktu”.

Kedua, gila jabatan. Para PNS tidak akan naik pangkat atau jabatan jika ijazahnya tidak naik, dari SMA
ke sarjana, sarjana ke master, atau master ke doktor. Mereka mencari kuliah abal-abal yang
menjanjikan ijazah terakreditasi, karena waktu mereka untuk belajar sangat sempit (Sabtu dan
Minggu). Bagaimana peran Kopertis/Kopertais sebagai lembaga pembina PTS?

Sistem pemilihan kepala daerah dan anggota dewan secara langsung juga membuka celah baru
praktik ijazah palsu, karena sang calon minimal bergelar sarjana. Terbukti, beberapa kepala atau
wakil kepala daerah terjerat kasus pemalsuan ijazah. Demi prestise jabatan, mereka rela membeli
ijazah, meskipun tahu risikonya tidak kecil.

Ketiga, gila gelar. Manusia adalah makhluk yang paling sulit dipahami perilakunya. Orang 'yang
sudah punya segalanya, yaitu harta, takhta, dan keluarga, belum cukup rupanya. Mereka butuh titel
atau gelar di depan dan belakang namanya, agar terkesan intelek atau pintar. Padahal,
intelektualitas tidak identik dengan gelar, terutama di Indonesia.
Keempat, gila uang. Tidak ada motif lain dari para pembuat ijazah palsu kecuali mengumpulkan uang
dari pemesan. Keberadaan dan kesalahan mereka relatif mudah dideteksi.

Mereka menjual ijazah kepada mereka yang tidak mengikuti kuliah di PT tertentu. Kecuali, mereka
bekerja sama dengan

Halaman 113

oknum PT.

Akan tetapi, ada modus lain terkait jual beli ijazah ini, bahwa pimpinan, dosen, atau staf PT, secara
berkelompok atau individu, “menjual” ijazah kepada mahasiswa dengan mengurangi masa studi
dan/atau mengurangi pertemuan kuliah. Pembukaan kelas jauh sangat rawan praktik jual beli ijazah.
Bahkan, PLT benar-benar memberi ijazah kepada mereka yang tidak mengikuti kuliah sama sekali.
Faktanya, banyak kampus ditutup pemerintah karena praktik jual beli ijazah.

Rupanya, gila uang tidak mengenal status pendidikan. Dari orang yang tidak berpendidikan tinggi,
hingga komunitas kampus yang bergelar doktor dan profesor, menjual ijazah demi uang. Kesannya,
mereka seperti pahlawan yang menolong banyak orang lemah mendapatkan ijazah untuk ragam
kepentingan.

Sesungguhnya, yang terjadi adalah kerusakan moral aka" demik dan penghancuran mental generasi
muda oleh pelaku pendidikan sendiri. Dosen yang berperan membentuk generasi muda yang
berintegritas, justru mereka sendiri rapuh. Mereka sudah tidak bisa dipercaya karena integritasnya
sudah terbeli. Bayangkan ini terjadi, bagaimana mungkin seorang dosen membuat skripsi
mahasiswanya sendiri. Kemudian, ia pula yang mengujinya.

Ilmu dan Amal

Menghukum orang dan menutup kampus yang menjual ijazah tepat, namun tidak menyelesaikan
masalah dalam jangka panjang. Persoalan ”utamanya ada pada mental generasi bangsa yang sakit,
yaitu gila uang, gila gelar, gila jabatan, dan gila-gila yang lainnya. Bangsa ini mengalami krisis
generasi yang berintegritas, khususnya di dunia pendidikan. Nyata bahwa banyak ilmu tidak
menjamin perilaku yang baik.

Halaman 114

Karena itu, orientasi pendidikan dasar hingga tinggi ditekankan pada pembentukan sikap, bukan
semata pengetahuan dan keterampilan. Pelaku pendidikan mengarahkan setiap kegiatan di sekolah
dan kampus pada pencapaian generasi yang beriman dan bertakwa, yang tecermin dalam perilaku
yang selalu baik dan benar.
Kecuali itu, Kopertis dan Kopqrtais perlu meningkatkan pengawasan terhadap PTS-PTS yang menjadi
binaannya. Sudah saatnya mengefektifkan pengawasan melalui Pangkalan Data Perguruan Tinggi
(PDPT). Misalnya, apakah jumlah wisudawan sesuai dengan data mahasiswa yang terdaftar? Apakah
jumlah dosen tetap benar-benar nyata sesuai jumlah Prodi? Apakah jumlah pertemuan. perkuliahan
tatap muka sesuai standar minimal?

Akhirul kalam, jual beli ijazah bisa dicegah melalui perbaikan sistem data pendidikan tinggi sekaligus
perbaikan mental individu-individu penyelenggara pendidikan. Sistem yang baik bisa mendorong
perubahan perilaku ke arah yang baik, namun bisa juga sebaliknya. Sebaik apa pun sistemnya, tidak
akan berhasil di hadapan orang-orang yang sudah sangat rusak mentalnya.

Takwa dan Gerakan Seribu

Melihat foto-foto para sahabat yang sedang umroh di laman Facebook bukan hal baru dan asing lagi
bagi kita. Tawaran umroh berseliweran melalui media cetak dan media sosial. Hasilnya, ibadah
umroh sudah menjadi tren di kalangan kelas menengah Muslim. Fenomena baru ini layak disambut
positif, tetapi juga patut dikritisi dari aspek makna takwa, khususnya dalam konteks keindonesiaan. ..

Singkatnya, apakah Muslim yang sering pergi umroh su

Halaman 115

dah bisa dikatakan sebagai orang yang bertakwa? Demikian juga, apakah fenomena antusiasme
Muslim Indonesia dalam berhaji menandakan ketakwaan-sebagaimana yang dimaksudkan dalam
ajaran Islam? Jika tidak, apa alasan dan bagaimana meluruskan paham Muslim Indonesia ini?

Dimensi Takwa

Di antara dimensi ketakwaan seorang Muslim adalah kesalehan spiritual dan kesalehan sosial.
Indikator kesalehan spiritual adalah menjalankan shalat, puasa, zakat, haji, dan umroh. Adapun di
antara indikator kesalehan sosial adalah infak, sedekah, dan menyantuni anak yatim. Tidak
sempurna ketakwaan seseorang jika hanya memiliki kesalehan spiritual, namun lemah dalam
kesalehan sosial.

Umat Muslim Indonesia yang mampu sangat antusias menjalankan ibadah haji dan umroh. Meski
wajib haji hanya satu kali, Muslim kaya bisa berangkat ke-tanah suci dua kali, tiga kali, bahkan lebih.
Muslim kaya tidak perlu antre lama, seperti jemaah haji reguler yang harus menunggu sembilan
hingga 12 tahun, karena mampu membayar di atas rata-rata.
Antusiasme Muslim dalam berhaji dan berumroh-terutama di Ramadhan, tidak berbanding lurus
dengan antusiasme mereka dalam menjawab problem-problem kemasyarakatan, seperti kemiskinan
dan mutu madrasah. Berapa banyak anak-anak yang tidak bisa madrasah karena faktor ekonomi,
dan berapa banyak fasilitas belajar madrasah yang sangat tidak memadai, seperti ruang kelas
belajar, papan tulis, perpustakaan, dan toilet?

Ketimpangan sikap keberagamaan umat Muslim itu karena pemahaman mereka yang keliru tentang
makna takwa. Seolah sudah menjadi hamba saleh dengan menjalankan ritual Spiritual, padahal abai
terhadap problem-problem sosial. Tak

Halaman 116

wa adalah kesediaan Muslim menyelesaikan persoalan sosial di samping kepatuhan dalam


menjalankan ritual spiritual.

Inilah tantangan Muslim Indonesia abad ini. Paradigma Muslim seperti ini harus berubah atau
diubah ke pemahaman Islam yang holistik atau komprehensif. Bahwa Islam mendorong umatnya
untuk memecahkan problem-problem sosial dan pendidikan. Memberikan beasiswa, membangun
toilet, dan membangun perpustakaan lebih bermakna daripada pergi haji dan umroh berkali-kali. '

Meluruskan Paham

Para dai dan daiah perlu meluruskan paham umat Muslim yang lebih mementingkan kesalehan
spiritual daripada kesalehan sosial ini, mulai dari majelis taklim, khotbah lumat, tabligh akbar, hingga
program keagamaan di televisi. Bukan tidak ada dai yang menjelaskan pentingnya kesalehan sosial,
tetapi seperti apa dan bagaimana wujudnya memerlukan penjelasan yang lebih kontekstual sesuai
dengan kondisi masyarakat dan pendidikan Nusantara.

Jika pahala dan manfaat umroh misalnya, hanya untuk Muslim yang melaksanakannya, maka
manfaat memperbaiki dan menyediakan fasilitas pendidikan adalah untuk masyarakat luas yang
pahalanya jelas tidak sedikit. Muslim kelas menengah saatnya merangkul (atau dirangkul) madrasah
yang kondisi fasilitasnya sangat jauh dari standar.

Kepala sekolah atau yayasan membuka diri terhadap kontribusi masyarakat yang bertujuan
memajukan pendidikan madrasah, bukan sebaliknya menutup diri. Kepercayaan masyarakat harus
diikuti dengan pengelolaan madrasah dengan prinsip-prinsip tanggung jawab, transparan, keadilan,
dan sesuai aturan.

Halaman 117

I
Gerakan Seribu

Ketika negara tidak sanggup menyediakan fasilitas pendidikan yang layak, maka peran serta
masyarakat merupakan suatu kewajiban yang tak bisa ditawar sedikit pun. Bukan karena Indonesia
negara miskin (sungguh Indonesia negara kaya raya), tetapi karena para eksekutif dan legislatifnya
hanya berpikir kepentingan pribadi dan golongannya saja. Rakyat dilupakan, meski dalam bicaranya
selalu mengatasnamakan rakyat.

Sebagai aktualisasi kesalehan sosial, saya menyerukan pentingnya banyak gerakan yang muncul dari
bawah (bottom up), di mana masyarakat mulai peduli dan berkontribusi terhadap mutu pendidikan,
khususnya pendidikan dasar. Sebut saja misalnya,_ “' Gerakan Seribu Toilet Madrasah”, “Gerakan
Seribu Perpustakaan Madrasah”, “Gerakan Seribu Ruang Kelas Baru”, dan “Gerakan Satu Iuta Papan
Tulis”.

Saya yakin ini bukan ide baru. Di luar sana, entah di mana, yang pasti di Bumi Pertiwi kita, sudah ada
gerakan peduli mutu pendidikan. Hanya saja, di Ramadhan kali ini, bersama kita mewujudkan cita
mulia peduli mutu pendidikan dasar ini melalui aktualisasi kesalehan sosial yang lebih nyata, sebagai
wujud ketakwaan kepada Allah SWT.

Di negeri yang jemaah haji dan umrohnya besar ini kita menemukan fakta fasilitas madrasah yang
jauh di bawah standar-negeri maupun swasta. Ironis, padahal Islam mengajarkan keseimbangan
dalam perilaku saleh, dimensi spiritual dan dimensi sosial. Bersediakah seorang Muslim menukar
biaya umroh yang kedua dan ketiga mereka dengan satu perpustakaan madrasah atau satu toilet
madrasah?

Bila diperlukan, perpustakaan diberi nama sesuai dengan nama penyandang dananya. Bukan untuk
riya atau pamer, tetapi penghargaan kepada sang dermawan. Ini tidak akan

Halaman 118

menghapus pahala kebaiknnya di sisi Allah SWT. Ditulis atau tidak, Allah Maha Mengetahui apa yang
ada dalam hati setiap hamba-Nya Karena itu, lebih baik ditulis atau diberi nama, sebagai bukti
gerakan peduli pendidikan dari umat Muslim Indonesia.

Siapa peduli mengawali kampanye gerakan-gerakan ini semasif ajakan agen-agen travel untuk
umroh dan haji ke Tanah Suci? Ada banyak pilihan paket, dari hotel bintang dua hingga hotel bintang
lima. Semakin banyak bintang, semakin nyaman pelayanan dan fasilitasnya, tentu harganya juga
lebih mahal. Karena yang berminat banyak, anda harus rela antre. Setor uang down payment dahulu,
berangkat tahun depan atau dua tahun kemudian.
Untuk gerakan seribu di atas, bisa menyodorkan konsep Paket A, B, hingga C, di mana setiap paket
punya harganya sendiri-sendiri. Untuk Gerakan Seribu Toilet misalnya, Paket A : Rp12.000.000,Paket
B = Rpl0.000.000,dan paket C = Rp8.000.000,-. Ini sekadar contoh, di mana hitungan pasti perpaket
disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing.

Demikianlah, tidak ada yang salah dengan antusiasme Muslim terhadap umroh. Ua'ng-uang mereka,
hasil jerih payah mereka. Untuk apa uang mereka adalah hak mereka. Dikatakan banyak orang,
bahwa setiap orang yang pernah ke Tanah Suci pasti rindu untuk pergi lagi ke sana. Tetapi, apa kata
dunia, Muslim Indonesia banyak yang kaya (buktinya rajin haji dan umroh), tetapi fasilitas
madrasahnya sangat kurang dan memprihatinkan. Jangankan fasilitas, gaji gurunya pun dalam
sebulan hanya Rp250.000. What?!

Halaman 119

" sekolah yang Tak Dirindukan

Menanamkan budi pekerti tidak cukup hanya diajarkan, tetapi dibiasakan. Itulah inti Permendikbud
No. 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Bahwa penanaman nilai dimulai dari
diajarkan dan dibiasakan, kemudian menjadi kebiasaan, sehingga menjadi budaya. Pembentukan
nilai dilakukan melalui jalur nonkurikuler, seperti sekolah wajib melaksanakan upacara, nyanyi, baca,
dan doa.

Penumbuhan budaya baik di sekolah tidak mudah. Nilainilai baik diajarkan oleh guru tapi tidak
dipraktikkan, maka yang terjadi adalah kegagalan menahun Nilai-nilai baik hanya tertulis di buku-
buku pelajaran, dinding-dinding sekolah, ceramah guru, dan arahan pembina upacara, namun tidak
wujud di lingkungan sekolah. Berikut adalah empat contoh budaya yang sangat sulit ditemukan di
banyak sekolah kita.

Pertama, budaya bersih dan rapi. Banyak guru yang mengabaikan kebersihan dan kerapihan sekolah,
seperti toilet, taman, ruang kelas, ruang guru, dan lingkungan sekolah. larang ada tempat sampah,
tidak ada wastafel, saluran air mampet, dan debu menebal di meja dan jendela kelas adalah kondisi
nyata sekolah.

Kondisi ini menyebabkan lingkungan sekolah kotor dan tidak nyaman untuk belajar dan bermain.
Siswa tidak betah berada di sekolah. Dampaknya, sekolah kurang diminati kecuali dari keluarga yang
tidak mampu. Keluarga kelas menengah tidak akan rela menyekolahkan anaknya di sekolah seperti
ini.

Kedua, budaya sehat. Jajanan anak-anak sekolah tidak sehat, guru, staf, dan kepala sekolah merokok
di sekolah, dan tidak ada lapangan olahraga yang memadai di sekolah.

Halaman 120
Makanan tidak sehat bukan saja dijajakan di luar sekolah, bahkan di kantin sekolah. Iajanan tidak
sehat menimbulkan penyakit. Guru merokok mengajarkan anak untuk merokok. Anak-anak yang
tidak mendapat faSilitas olahraga, selain tidak sehat, juga mematikan bakat anak dalam bidang
olahraga tertentu.

Ketiga, budaya penghijauan. Halaman sekolah minim pepohonan, bunga, dan rumput, sehingga
gersang dan panas, terutama pada siang hari dan musim kemarau. Sekolah dipenuhi debu, sehingga
tidak nyaman bagi warga dan pengunjung sekolah. Belajar pun tidak efektif karena kondisi ruangan
kelas yang panas. Pembangunan fasilitas sekolah tidak berorientasi penghijauan.

Keempat, budaya baca. Sekolah tanpa ruang perpustakaan khusus sangat banyak bisa ditemui,
bahkan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sulit menemukan pemandangan anak-anak
membaca buku di lingkungan sekolah pada saat guru tidak hadir atau saat istirahat. T idak ada
fasilitas membaca di lingkungan sekolah. Budaya baca sulit tumbuh, karena fasilitas tidak ada dan
atmosfer akademik tidak berkembang.

Kegagalan sekolah mewujudkan budaya tersebut merupakan cermin bahwa guru masih memiliki
karakter pemalas, cuek, munafik, egois, dan boros. Mengapa guru tidak membiasakan budaya-
budaya baik padahal mereka bukan sekadar tahu tapi memahaminya? Menurut saya, karena
komitmen dan kreativitas guru lemah. Sekolah diisi oleh guru-guru yang tidak profesional, meskipun
sudah bersertifikat. Kepala sekolah tidak kompeten dan visioner karena pemilihannya bukan
berdasarkan kompetensi, integritas, dan prestasi kinerja, tapi kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Guru-guru di sekolah bukan orang yang dilahirkan dan/

Halaman 121

atau dididik menjadi guru yang profesional. Di banyak sekolah, tak jelas kriteria untuk menjadi guru.
Banyak guru lulusan SMA, lulusan lembaga pendidikan guru abal-abal, dan lulusan fakultas non-
keguruan yang tidak pernah mendapatkan pendidikan dan latihan keguruan. Guru kompeten tidak
mau mengajar di sekolah dengan kondisi budaya buruk seperti di atas, karena memilih sekolah yang
lebih baik dari beragam aspek, termasuk penghonoran.

Mewajibkan sekolah melakukan pembudayaan kegiatan tertentu saja tidak cukup. Pemerintah perlu
memperbaiki mutu guru sebagai kunci keberhasilan gerakan habituasi nilai-nilai baik. Pertama,
pelatihan guru secara merata yang bertujuan mengubah sikap, dari tidak peduli menjadi peduli
pembentukan karakter; dari tidak kreatif menjadi kreatif.

Komitmen dan kreativitas merupakan kunci pembudayaan nilai-nilai di sekolah. Guru yang memiliki
keduanya mampu mendesain kegiatan-kegiatan yang terkait pembudayaan, meski keuangan sekolah
tidak terlalu besar. Pembudayaan nilai baik gagal total karena sekolah minim dana sekaligus minim
guru yang kreatif dan berkomitmen.
Kedua, pembenahan lembaga pencetak guru (LPTK). Banyak LPTK abal-abal yang melahirkan banyak
guru tidak kompeten, karena proses perkuliahannya tidak sesuai standar. Guru-guru alumni LPTK
jenis abal-abal ini yang berkiprah di sekolah-sekolah yang nilai pembudayaannya sangat buruk Guru
yang sekadar mengajar tapi tidak mendidik siswa dengan kegiatan nonkurikuler.

Betapa pun seriusnya LPTK melaksanakan PLPG atau PPG, tanpa pembenahan LPTK-LPTK penyuplai
bakal calon guru, kegiatan PLPG atau PPG hanya akan merupakan kegiatan pemborosan uang negara
yang tidak jelas hasil dan dampaknya. jumlah LPTK yang dapat dipercaya jauh lebih

Halaman 122

sedikit daripada LPTK yang tidak jelas.

Kecuali itu, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan fasilitas pendidikan yang standar
kepada sekolah-sekolah secara adil, merata, dan tanggung jawab. Tidak mendahulukan negeri dari
swasta, tidak memprioritaskan sekolah milik Ormas tertentu dari sekolah yang dimiliki Ormas
lainnya, dan tidak mengambil keuntungan sedikit pun dari segala bentuk bantuan ke sekolah.

Perubahan pola pikir guru melalui pelatihan perlu diikuti dengan bantuan fasilitas pendidikan dari
pemerintah, terutama sekolah yang menampung mayoritas anak-anak dari keluarga miskin. Banyak
sekolah yang didirikan bukan untuk meraup keuntungan dari orangtua siswa, melainkan murni untuk
membantu anak-anak miskin. Sekolah-sekolah inilah yang harus menjadi prioritas pemerintah.
Kelengkapan fasilitas pendidikan sangat mendukung gerakan penumbuhan budi pekerti.

Akhirul kalam, saat ini terdapat 53 juta siswa, 20 persen dari total jumlah penduduk SisWa siswi
tersebut tersebar di sekolah-sekolah yang mutunya beragam. Menarik pesan Mendikbud Anies
Baswedan saat mengisi buku tamu di SDN 01 Lebak Bulus Pagi, Jakarta Selatan, Senin (27/7) pagi.
“ladikan sekolah ini taman pembelajaran yang menantang tapi menyenangkan. Kepala sekolah dan
guru pancarkan darimu keteladanan budi pekerti untuk anak didik semua.”

Saya yakin, sekolah yang tidak bersih dan rapih, tidak sehat, tidak hijau oleh pepohonan, bunga, dan
rumput, dan tidak punya perpustakaan yang memadai, sangat tidak menyenangkan bagi siswa.
Benar, mereka mengikuti persekolahan setiap hari, tapi aktivitas belajar di dalam dan di luar kelas
dilakukan sebagai rutinitas tanpa makna, sehingga tidak ngangeni. Tidak

Halaman 123

ada pilihan lain bagi siswa kecuali menerima takdir belajar di sekolah yang serba kekurangan fasilitas
pendidikan.Sekolah mereka, adalah sekolah yang tak dirindukan.

Halaman 125

VII Kepemimpinan
" Bukan Pemimpin Stempel

Tidak ada satu pun lembaga pendidikan yang visinya tidak bagus. Visi adalah cita-cita lembaga yang
memang mesti bagus dan tinggi. Masalahnya, sangat sedikit lembaga pendidikan yang berhasil
mewujudkan visinya. Visi hanya manis di bibir dan indah dalam tulisan, namun lemah dan rendah
dalam pencapaian.

Alasan klasik biasanya dialamatkan pada ketiadaan atau keterbatasan dana. Bagaimana program
bisa jalan jika tidak ada dana? Dana sangat diperlukan untuk pengadaan fasilitas, operasional, dan
perekrutan sumber daya manusia sebuah lembaga pendidikan. Masuk akal bukan? Pertanyaannya,
apakah lembaga pendidikan yang punya fasilitas, sumber daya, dan dana operasional besar pasti
bisa mewujudkan visinya?

Krisis Pemimpin

Kecuali dana, mewujudkan Visi lembaga memerlukan sentuhan pemimpin. Orang bisa saja
menduduki jabatan pemimpin tapi belum tentu kinerjanya menunjukkan bahwa ia benar-benar
pemimpin sejati (the real leader). Pemimpin yang tidak mampu mewujudkan visi lembaganya tidak
bisa disebut pemimpin (leader), seperti kata Warren G. Bennis, “Lead

Halaman 126

ership is the capacity to translate vision to reality.” Ia disebut pemimpin by the jure not by the fact.

Kelemahan pendidikan kita paling utama adalah minimnya pemimpin. Mengapa sulit menemukan
sosok pemimpin? Pertama, memang tidak ada (krisis) sosok yang memenuhi kriteria sebagai
pemimpin. Kedua, jika pun ada orang yang memenuhi kriteria sebagai pemimpin, ia belum tentu bisa
terpilih sebagai pemimpin. Inilah kelemahan sistem sekaligus budaya pemilihan pemimpin di
lembaga pendidikan kita, dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.

Seperti jabatan di pemerintahan, pemilihan pemimpin di lembaga pendidikan lebih besar faktor
politiknya dibanding faktor profesionalitas-sebut saja misalnya integritas dan kapabilitas. Sehingga
muncul adagium, “jabatan politis bukan jabatan profesionalitas.” Meski ada kemungkinan orang
yang menjabat punya integritas dan kapabilitas, sistem tersebut lebih sering memunculkan orang
“nomor dua”, bahkan “nomor tiga.” Yang terpilih bukan orang terbaik yang dimiliki lembaga, tapi
siapa yang dikehendaki kubu mayoritas.

Jika sistem dan budaya ini tak segera diubah pada satu sisi, dan kelompok mayoritas mengalami
krisis kader yang berpotensi menjadi pemimpin pada sisi yang lain, maka lembaga pendidikan kita
akan sulit mewujudkan visinya. Alihalih mampu bersaing di level regional dan internasional, lembaga
pendidikan kita akhirnya hanya sibuk mengurusi aspek administratif pendidikan-bukan mutu dan
pengembangan pendidikan.

Tiga Kriteria

Sulitnya menemukan sosok pemimpin sungguhan dalam dunia pendidikan setidaknya bisa diukur
dari tiga hal berikut. Pertama, pemimpin adalah pembuat kebijakan. Tentu bukan

Halaman 127

sekadar membuat kebijakan, tetapi kebijakan yang selaras dengan visi lembaga. Tidak harus baru,
kebijakan lama bisa dilanjutkan selama itu bagus.

Jangan salah, tidak sedikit pemimpin yang membiarkan kebijakan-kebijakan lembaga tidak selaras
dengan visi. Alasannya bermacam-macam, mulai dari (yang favorit) tidak ada dana, tidak disetujui
pihak yang berwenang, tidak ada tenaga pelaksana, hingga tidak ada fasilitas. Sebenarnya, alasan
utama kejumudan pemimpin adalah tiadanya kemauan baik (political will) untuk maju dan
berkembang.

Jadi, alasan-alasan di atas bisa benar adanya, tapi justru di sinilah masalahnya: pemimpin harus bisa
mencari jalan keluar bukan sebaliknya menyerah dengan keadaan (status quo), meski bisa saja solusi
itu salah. Dikatakan, “A genuine leader is not a searcher of consensus but a molder of consensus.”
Sepanjang kebijakan itu relevan dengan visi lembaga, pemimpin harus mengambil langkah tegas
mewujudkannya.

Pilihan seorang pemimpin adalah melanjutkan kebijakan lama yang baik, menghapus kebijakan yang
tak relevan, atau melahirkan kebijakan baru (original). Mempertahankan kebijakan yang tak relevan
dengan visi menunjukkan kelemahan pemimpin. Dalam mengambil keputusan, ia bisa saja salah,
maka perlu diskusi untuk menghasilkan keputusan bersama. Ken Robinson menulis, “If you’re not
prepared to be wrong. you’ll never come up with anything original.”

Kedua, pemimpin berbuat yang benar. Peter Ducker menulis, “Management is doing thing right;
Leadership is doing the right things.” Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sangat terbuka pilihan
bagi seorang pemimpin melakukan sesuatu atau tidak. Di sinilah perbedaan sekaligus kelebihan
seorang pemimpin. Bawahan hanya bisa bicara atau berpendapat, se

dangkan pemimpin punya kewenangan membuat keputusan (kebijakan).

Halaman 128
Kemampuan menghasilkan kebijakan yang provisi inilah yang ditunggu dari seorang pemimpin.
Sebut saja misalnya penerbitan jurnal ilmiah, penguatan bahasa asing, penulisan karya ilmiah,
penelitian, pengembangan konsorsium dosen, untuk PT. Adapun di sekolah adalah penulisan karya
ilmiah, pelatihan guru, kebersihan sekolah, dan pemberian kesempatan kuliah.

Lebih dari sekadar kemampuan membuat kebijakan yang provisi, pemimpin bahkan dituntut mampu
melahirkan inovasi. Steve Iobs mengatakan, “Innovation distinguishes between leader and a
follower.” Di sinilah terlihat bahwa sedikit sekali pemimpin di lembaga pendidikan. Hampir tidak
terdengar inovasi yang lahir dari civitas academica kampus maupun sekolah. Pada saat yang sama,
sudah lama terdengar bahwa kampus dan sekolah menerapkan ISO (International Organization for
Standardization). Lagi-lagi terbukti bahwa pemimpin kita bukan pemimpin sungguhan, tapi pengikut.

Pencapaian lembaga tidak bisa diukur dari kelemahan sumber daya manusianya, tetapi
kepemimpinan. Karena menurut Brian Tracy, “Leadership is to get extraordinary achievement from
ordinary people.” Iadi, lebih baik memiliki pemimpin yang hebat dengan bawahan yang
kemampuannya biasa-biasa saja, dibanding memiliki banyak bawahan yang hebat tapi pemimpinnya
biasa saja.

Pemimpin bisa menjadikan bawahan yang biasa menjadi hebat dan kreatif, sedangkan pemimpin
stempel (katakanlah demikian) bisa menjadikan baWahan yang hebat menjadi biasa atau tidak
berkembang. '

Ketiga, pemimpin itu inspiratif. Mengapa pemimpin bisa mengubah bawahan-seperti dijelaskan di
muka? Karena ia menginspirasi bawahan untuk punya mimpi, belajar, menjadi dirinya sendiri, dan
bekerja. Bukan sebaliknya, mematikan

Halaman 129

mimpi, menghalangi belajar, dan menolak berpikir kreatif dan inovatif. John Quincy Adams berujar.
‘lf your actions inspire others ta dream more, learn more, do more. and become more, you are a
leader?

Hasil penelitian dosen tidak bisa “bicara' di level nasional maupun internasional karena manajemen
penelitian di kampus tidak disiapkan secara matang. Bagaimana perencanaan penelitian, proses, dan
evaluasinya. Kualitas riset tidak hanya tentang kapasitas peneliti, melainkan ketersediaan waktu dan
dana. Terkait waktu ada dua hal: Apakah waktu penelitian cukup panjang, atau apakah peneliti
memiliki waktu yang cukup untuk menulis (fokus).

Kecuali penelitian, pengajaran dan pengabdian masyarakat perlu terus dikembangkan agar
maksimal. Meski evaluasi dosen sudah sering dilakukan, tindak lanjut hasil evaluasi belum dilakukan,
sehingga problem yang sama terulang di semester berikutnya. Inilah sedikit dari banyak kelemahan
yang
dihadapi pemimpin di PT.

Di tengah minimnya jumlah profesor, doktor, dan karya ilmiah yang bermutu, dibutuhkan pemimpin
yang membuka peluang seluas-luasnya bagi guru dan dosen untuk melanjutkan studi dan melakukan
penelitian. Jangan ada terdengar lagi dosen yang gagal presentasi makalah di luar negeri atau dosen
tidak segera kuliah S-3, karena tidak ada dana.

Kunci keberhasilan lembaga pendidikan adalah kualitas kepemimpinan pemimpinnya. Kita tidak bisa
menilainya dari latar belakang pendidikannya-luar atau dalam negeri-atau pengalamannya di masa
lalu, tapi dari kerja nyata selama masa kepemimpinannya Sejarah yang akan membuktikan, apakah
seseorang itu pemimpin sungguhan atau pemimpin stempel. Sejarah tak pernah bohong.

Halaman 131

VIII Budaya

" Membumikan Budaya Kerja

Ada yang beda jika berada di Gedung Kementerian Agama (Kemenag), juga kantor-kantor lembaga di
bawah struktur Kemenag. Di setiap lantai, di beberapa sudut yang mudah terlihat publik, terpasang
banner dan semacamnya yang berisi Lima Budaya Kerja Kemenag, yaitu Integritas, Profesionalitas,
Inovasi, Tanggung Jawab, dan Keteladanan.

Mulai 2015 ini, setiap pegawai di lingkungan Kemenag wajib menandatangani pakta integritas untuk
melaksanakan budaya kerja tersebut. Peningkatan kinerja dimulai dari budaya kerja sebagai
komitmen bersama. Budaya kerja biasanya lahir dari dan atas keinginan pemimpin.

Pertanyaannya adalah seberapa efektif budaya kerja meningkatkan kinerja di lingkungan Kemenag?
Apa yang harus dilakukan Kemenag agar budaya kerja dijalankan oleh semua pegawai di lingkungan
Kemenag?

Setelah ditetapkan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin (LHS), paling tidak butuh waktu
setengah hingga satu tahun untuk menyosialisasikan budaya kerja ini di lingkungan Kemenag pusat,
provinsi, kota, hingga kabupaten-berarti hingga akhir 2015. Sosialisasi penting untuk menyamakan
persepsi dan memulai komitmen bersama.

Halaman 132

Tahap penyusunan dan sosialisasi ini biasanya tidak sulit. Masalah timbul pada tahap implementasi,
karena budaya kerja lama pegawai tidak serta-merta bisa digantikan oleh budaya kerja baru.
Lapisan Masalah

Kegagalan penerapan budaya baru terletak pada kepemimpinan yang lemah. Maka, LHS dan
segenap pimpinan di Kemenag setidaknya perlu memperhatikan tiga hal berikut. Pertama, integritas,
tanggung jawab, dan keteladanan. Sebanyak apa pun poster budaya kerja dicetak dan diletakkan di
kantor di lingkungan Kemenag, tidak akan berarti jika para pemimpin tidak menunjukkan integritas
dan tanggung jawab dalam bekerja.

Sejarah mencatat, meski dikenal sebagai Kementerian yang diisi orang-orang yang paham dan ahli
agama, nyatanya ia tidak bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dari menteri hingga
pejabat di bawahnya terbukti melakukan korupsi. Kecuali yang terekspos ke publik, bisa jadi korupsi
yang tidak terekspos lebih masif dan besar lagi. Perilaku sederhana dan jujur adalah pilihan hidup
pemimpin, agar terhindar dari korupsi.

Selain korupsi dana haji, pejabat di Kemenag juga terlibat korupsi pengadaan alat laboratorium IPA
di MTs dan MA (2010) sebesar Rp71,5 miliar dan korupsi proyek pengadaan Al-Qur'an (2011-2012).
KPK melakukan survei (2013) untuk mengukur indeks integritas instansi pemerintah. Dari 22 instansi
pusat yang disurvei, Kemena'g menduduki peringkat terbawah, artinya paling korup, disebabkan
banyaknya praktik suap dan gratifikasi.

Dengan dana terbatas, sementara lembaga pendidikan '

binaannya banyak, Kemenag rentan terhadap kolusi dan ne

Halaman 133

potisme. Bantuan tidak diarahkan semata kepada kelompok tertentu, sementara kelompok lainnya
seperti dimarginalkan. Kemenag selaiknya berdiri di atas semua golongan.

Kedua, profesional. Persoalan seputar haji seperti pemondokan, katering, dan agen travel yang terus
berulang tidak akan terjadi jika pengelolaan haji diserahkan kepada pihak yang kompeten. Demikian
juga dalam pendidikan, terbaca bahwa pemilihan kepala madrasah negeri tidak profesional.
Integritas dan kapasitas calon kepala madrasah bisa dikalahkan oleh status golongan tertentu dan/
atau kedekatan hubungan.

LHS harus bisa membuktikan bahwa persoalan-persoalan tersebut tidak terjadi pada masanya. Jika
tidak, budaya kerja akan tercatat sebatas slogan.
Ketiga, inovatif. Sistem pendaftaran haji yang ada selama ini perlu diganti. Haji plus dan haji untuk
kedua kali atau lebih sudah saatnya dihapuskan, karena menjadikan daftar tunggu haji reguler ,bisa
sampai sepuluh tahun bahkan lebih. Ini tidak berlaku bagi bagi haji plus. Dengan membayar tiga
hingga lima kali lipat dari harga haji biasa, mereka bisa berangkat pada tahun pertama atau kedua.
Lamanya masa tunggu calon jemaah haji, sementara mereka sudah membayar 25 juta untuk
pendaftaran, menimbulkan banyak pertanyaan tentang pengelolaan dana dan bunga bank uang
mereka.

Dalam pendidikan, mutu madrasah berada di bawah sekolah. Pilihan pertama masyarakat adalah
sekolah, setelah gagal baru madrasah. Perhatian dan pemerataan bantuan terhadap madrasah perlu
ditingkatkan. Kecuali itu, budaya bersih di lingkungan pesantren belum terbentuk Pesantren
umumnya kumuh, jorok, tidak nyaman, dan tidak asri.

Halaman 134

Pemimpin

Iawaban terhadap lapisan masalah di atas adalah sebagai berikut. Pertama, teladan dan kerja sama.
Budaya kerja bukan sekadar perubahan artifisial atau sekadar slogan, tetapi perubahan mental
bersama dan aksi nyata. Ia akan berhasil jika ada teladan dari pimpinan pada satu sisi, dan kerja
kolektif pada sisi yang lain. Kate Zabriskie menulis, “Our culture is one of teamwork, shared
responsibility, and share reward.”

Kedua, penghargaan. Pemberian tunjangan kinerja (Tukin) bagi pegawai Kemenag yang sudah
berjalan selama satu tahun ini diharapkan berdampak positif terhadap implementasi budaya kerja
tersebut. Sebaliknya, hukuman harus diberikan kepada pegawai yang kinerjanya lemah. Tukin
memang dibuat untuk membayar pegawai sesuai kinerjanya; semakin baik kinerja, semakin baik
pendapatannya; demikian sebaliknya.

Ketiga, inovatif. Hanya pemimpin inovatif yang bisa menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Posisi
LHS sebagai Menteri Agama sangat Vital dalam'membumikan budaya kerja tersebut. Ia mungkin
sebaiknya menyimak saran Steve Iobs berikut ini, “The one who are crazyenough to thin that they
can change the world, are the one who do.”

Akhirnya, sejarah akan mencatat: Apakah budaya kerja mampu mengubah kinerja Kemenag ke arah
yang lebih baik, mulai dari urusan pendidikan, haji, hingga bimbingan masya

rakat Tentu bukan pekerjaan mudah. LHS bukan saja harus mampu membersihkan Kemenag dari
korupsi, tapi menoreh

kan tinta emas dalam pengelolaan haji, pendidikan, dan keru


kunan umat beragama.

Jika budaya kerja hanya bagus dalam konsep dan ceramah pemimpin alias gagal dalam praktik, saya
tak heran, karena untuk membumikan budaya keq'a membutuhkan pemimpin

Halaman 135

yang memiliki x faktor-meminjam istilah kompetisi nyanyi. Apakah LHS memiliki x faktor dalam
memimpin? Waktu yang akan menjawabnya.

" Warisan Budaya Buruk Sekolah

Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, membatalkan hasil UN sebagai salah satu
syarat kelulusan siswa pada Desember 2014. Kelulusan siswa sepenuhnya kewenangan sekolah,
karena guru yang lebih tahu perkembangan kompetensi siswa. Salah pikir jika kelulusan siswa hanya
dinilai dari aspek kognitif, melupakan sikap dan-psikomotorik.

Hasil UN akan dipakai sebagai pemetaan mutu pendidikan nasional. Dari pemetaan tersebut
pemerintah membuat program perbaikan mutu pendidikan secara nasional. Kecuali hasil UN,
sesungguhnya dengan hasil akreditasi sekolah dan Visitasi, pemerintah bisa melakukan perbaikan
mutu sekolah.

Pemerintah juga sudah tahu perbedaan kualitas sekolah di kota dan di desa. Sekolah di daerah
perbatasan, terluar, dan terdalam sangat jauh dari standar nasional pendidikan. Sebanyak 75 persen
sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Hasil UN selama ini tidak
menunjukkan kondisi riil sekolah tersebut karena proses UN penuh dengan kecurangan terstruktur.

Pemerintah tak sanggup menghilangkan kecurangan sekolah meski sudah melakukan upaya
pencegahan yang berlapis. Maka, kebijakan Mendikbud di atas diharapkan merupakan solusi terbaik
dalam menghilangkan perilaku buruk yang ada di sekolah setiap kali melaksanakan UN. Perilaku
buruk itu dilakukan secara sadar, terencana, dan masif.

Halaman 136

Budaya Buruk

Dampak kebijakan UN sebagai syarat kelulusan sekolah dan syarat masuk perguruan tinggi (PT)
sangat buruk bagi dunia pendidikan. Kepala sekolah dan guru melakukan kecurangan, orangtua dan
siswa stres, ada oknum penjual kunci jawaban, pengawasan berlebih saat UN oleh dosen, guru, dan
polisi, dan pendidikan dimaknai sebagai kognitif semata.
Pusat Psikologi Terapan Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) melakukan survei
online atas pelaksanaan UN tahun 2004-2013. Ditemukan bahwa kecutangan UN terjadi secara
massal lewat aksi menyontek, serta melibatkan peran tim sukses yang terdiri dari guru, kepala

sekolah, dan pengawas.

Total responden dalam survei adalah 597 orang yang berasal dari 68 kota dan 89 kabUpbten di 25
provinsi. Tujuh puluh lima persen responden mengaku pernah menyaksikan kecurangan dalam UN.
Siswa membayar Rpl juta sampai 1,5 juta untuk mendapatkan bocoran soal. Secara psikologis,
mayoritas responden mengaku takut tidak lulus UN (66 persen). Bahkan, 95 persen responden
mengaku ingin bunuh diri.

Apakah praktik negatif yang ditimbulkan UN tersebut tidak akan terjadi lagi setelah kebijakan
tersebut? Inilah tantangan dunia pendidikan menengah saat ini. Kebijakan baru UN ini diharapkan
bisa menghapus praktik kecurangan “yang terjadi di sekolah. Kecurangan bukan semata inisiatif
kepala sekolah dan guru tapi melibatkan kepala dinas pendidikan kabupaten dan provinsi, juga
bupati dan walikota. Dinas pendidikan dan pimpinan daerah menutup mata terhadap praktik negatif
tersebut karena tidak mau dianggap gagal dalam membina sekolah diwilayahnya.

Halaman 137

Perbaikan

Meninggalkan budaya negatif seputar UN yang sudah berlangsung lama tidak akan mudah, namun
bukan berarti tidak bisa. Kuncinya ada pada kemauan pemimpin, yaitu kepala sekolah dan kepala
dinas pendidikan. Mereka bersama guru-guru bersepakat bahwa yang lalu adalah kesalahan dan ke
depan harus jujur dalam mendidik siswa melalui UN yang jujur.

Pertama, meluruskan pandangan tentang tujuan pendidikan. Pendidikan bertujuan melahirkan anak
yang berbudi luhur dan pintar. Namun sulit melahirkan anak yang baik jika di akhir masa sekolah,
anak dipaksa berbuat curang dan tidak jujur oleh para pendidik dan pimpinan, atau bahkan direstui
orangtua. Pendidikan di rumah dan si sekolah dirusak oleh kegiatan UN yang penuh manipulasi,
meski sudah dijaga ketat dan berlapis oleh pengawas independen, yaitu dosen/ mahasiswa dan
polisi. Suatu “prestasi-sekolah” yang tak patut dibanggakan.

Tidak berguna melahirkan anak yang pandai namun suka menipu dan tidak jujur. Untuk
mendapatkan anak yang jujur dalam hidupnya sekolah perlu memberikan contoh seperti tidak
menyontek. Sungguh, praktik kecurangan UN di sekolah sangat jauh dari makna dan tujuan
pendidikan. Bukankah orangtua menyekolahkan anak untuk jadi anak baik?
Kedua, meningkatkan mutu pembelajaran. Hasil baik tidak bisa diralh dengan cara instan seperti
melatih siswa dengan soal-soal UN pada akhir semester (drilling). Sekolah perlu melatih siswa sejak
tahun pertama agar pandai dan siap menghadapi UN. Jika pembelajaran bermutu, orangtua, guru,
dan siswa tak perlu khawatir dengan hasil UN. Hasil UN pasti sesuai dengan mutu pembelajaran yang
baik di sekolah.

Halaman 138

Sekolah seharusnya mengajarkan siswa untuk kerja keras dengan cara giat belajar sejak tahun
pertama sekolah. Masalahnya, mutu pembelajaran di setiap sekolah sangat beragam. Tidak semua
sekolah mutu pembelajarannya baik, seperti kurangnya guru, kurangnya fasilitas, lemahnya
kompetensi guru, hingga kurangnya ruang kelas. Sebagai contoh, nilai rata-rata kompetensi guru di
Indonesia hanya 44,5. Padahal, nilai standar kompetensi guru adalah 75.

Ketiga, menerima hasil UN dan memperbaiki kekurangan. Orangtua, sekolah, dan dinas pendidikan
harus menyikapi positif hasil UN siswa. Tanpa kecurangan, nilai riil UN siswa (jika rendah) justru
dijadikan sebagai bahan melakukan perbaikan di kemudian hari. Hasil UN di sekolah, di tingkat
kecamatan, tingkat kebupaten, tingkat provinsi, dijadikan sebagai bahan melakukan pembenahan
pendidikan di sekolah dan daerah. Bukankah pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang baik di
seluruh wilayah Indonesia?

Sungguh sekolah akan diuji oleh kebij akan baru UN tersebut: Apakah kecurangan masih akan
mewarnai pelaksanaan UN di 2015 ini? Kita berharap sekolah lebih mementingkan kebaikan siswa di
masa depan, yaitu dengan memberikan teladan kejujuran dan giat belajar dalam pelaksanaan UN .
Bagaimana bisa melihat kondisi nyata mutu pendidikan di sekolah jika prosesnya penuh kecurangan.
Bukankah niat dan tujuan yang baik harus diikuti dengan cara-cara yang baik pula?

Daniel Goleman (1999) menulis, bahwa faktor penting yang memengaruhi prestasi seseorang adalah
kecerdasan emosional (emotional quotient). EQ adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri
dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan

Halaman 139

dengan orang lain.

Sekolah layak disebut lembaga pendidikan jika mampu menghapus budaya buruk akibat UN. Guru
efektif dan bagus manakala mampu melahirkan siswa yang cinta membaca dan belajar, kapan dan di
mana pun. Ada atau tidak ada UN, siswa tetap belajar, karena merupakan kebutuhan dasar manusia.
Guru juga memastikan bahwa model pembelajaran di kelas dan budaya sekolah diarahkan pada
tujuan bahwa siswa menghargai (kemampuan) diri sendiri dan orang lain. Wallahu a'lam.

-' Nilai Edukasi Idul Fitri


Ramadhan diawali dengan shalat Tarawih, shalat witir, dan puasa. Umat Islam di seluruh dunia
berpuasa sebulan penuh. Idul Fitri adalah hari penutup Ramadhan. Hari kemenangan, karena
berhasil menaklukkan hawa nafsu; hari kembali suci, karena membersihkan diri dan Allah
mengampuni dosa-dosa Muslim yang berpuasa.

Keberhasilan manusia dalam puasa Ramadhan diukur dari kemampuannya mengendalikan diri,
terutama dalam menjaga persaudaraan sesama Muslim. Tradisi mudik, bermaaf-maafan (halal
bihalal), silaturahmi, dan ziarah kubur pada Hari Raya Idul Fitri, jangan hanya sebatas simbol yang
tak mewujud dalam perilaku Muslim sehari-hari.

Tradisi di atas meniscayakan seorang Muslim mudah memaafkan bukan pendendam, penyayang
bukan perusak atau pelaku kekerasan, dan qanaah bukan rakus harta. Sudah berpuluh kali
Ramadhan, puasa, dan Idul Fitri dijalani seorang Muslim, namun perilaku mereka menunjukkan
bahwa puasa dan tradisi dalam lebaran hanya sekadar ritual tanpa makna.

Halaman 140

Pertama, sebagian umat Muslim adalah pendendam, tidak mudah menerima kekalahan. Pada saat
pemilihan rektor di perguruan tinggi, acap kali pihak yang kalah tidak mau menerima hasil pemilihan
yang sudah dilakukan secara “demokratis”. Bukannya menerima dengan lapang dada, malah mencari
kelemahan sang pemenang. _

Maka, pemilihan pimpinan puncak PT bukannya membawa kebaikan bagi kampus dan kemajuan
pendidikan, malah sebaliknya menimbulkan konflik antarcalon, bahkan para pendukungnya. Tidak
jarang, penyelesaian konflik harus melibatkan pemerintah pusat, karena internal kampus tidak
kunjung mampu menyelesaikannya alias deadlock-untuk tidak mengatakan chaos.

Seorang Muslim cendekia selaiknya memandang jabatan sebagai amanah yang tidak mudah
dilaksanakan. Karena itu, ia tidak akan pernah memintaminta jabatan apa pun, apalagi
memperjuangkannya“ matimatian”. Tugas utama dosen adalah mengajar, meneliti, dan pengabdian
masyarakat (tridarma).

Hanya dengan sikap seperti itu, menang kalah dalam pemilihan rektor tidak ada bedanya. Ia akan
kembali mengajar, meneliti, dan mengabdi, dan tidak perlu melakukan upaya apa pun yang
mencederai keutamaan seorang Muslim. Bukankah dikatakan, orang yang kuat adalah yang mampu
memaafkan meskipun dirinya benar.

Pemilihan rektor memang proses politik, yang pasti dipenuhi strategi memenangkan calon oleh
pendukungnya masingmasing. Karena itu, ia rawan manipulasi dan upayaupaya yang mengarah pada
pelanggaran konstitusi dan moral. Karena kemungkinan sama-sama melakukan manufer politik '
itulah, seharusnya dosen siap menang kalah, berjiwa lapang. termasuk memaafkan jika merasa
“dizalimi”. '

Halaman 141

Kedua, sebagian generasi muda Muslim adalah pelaku kekerasan, bahkan sanggup membunuh
sesamanya dengan beragam senjata tajam. Tawuran sudah menjadi tradisi di kalangan pelajar dan
mahasiswa Muslim Indonesia, yang belum mampu dicarikan solusinya hingga saat ini. Pun saat masa
orientasi siswa/mahasiswa baru, kekerasan kerap terj adi di sekolah/kampus meski sudah banyak
korban sebelumnya.

Di mana nilai kasih sayang kepada sesama saudara yang merupakan makna instrinsik silaturahmi dan
halalbihalal umat Muslim pada saat dan setelah Lebaran? Generasi muda Muslim seharusnya
menebarkan kasih sayang kepada sesama, sehingga terwujud suasana kondusif dalam mencari ilmu
dan pengembangan potensi. Alih-alih tawuran, mereka seyogia

nya berlomba-lomba dalam meraih prestasi akademik dan non-akademik. '

Setiap manusia adalah bersaudara, meskipun berbedabeda agama, suku, dan bahasa. Sebagai
saudara, para pelajar dan mahasiswa seharusnya saling menyayangi dan melindungi satu sama lain,
meskipun beda sekolah dan kampus, bahkan berbeda pandangan. Kesalahpahaman bisa terjadi
kapan saja antarmereka, tapi pemecahannya bukan dengan jalan kekerasan melainkan dengan
dialog damai dan akal sehat.

Ketiga, umat Muslim jauh dari sifat qanaah-merasa cukup dengan rezeki yang halal. Kasus korupsi
dana pendidikan lazim terjadi seperti pengurangan dana Bantuan Operasional sekolah (BOS),
Sertifikasi guru, dan pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB). Korupsi dana pendidikan terjadi karena

manusia rakus harta, gaya hidup mewah, dan budaya hidup instan dalam meraih kekayaan.

Tradisi ziarah kubur setelah shalat Idul Fitri di Indonesia sesungguhnya mengajarkan umat Muslim
untuk belajar

dari keadaan mayat yang tak membawa hartanya sedikit pun.

Halaman 142

Sekaya apa pun seseorang, ketika sudah mati hanya kain kafan putih dan amalnya yang akan
menemani di alam kubur. Hartanya akan menjadi warisan keluarganya.
Jadi, buat apa kaya jika hasil korupsi, menipu, dan memeras. Kematian mengajarkan manusia agar
cerdas dalam memperoleh dan mendistribusikan harta. Harta harus diperoleh dengan cara yang
halal dan memberikannya kepada yang berhak jika berlebih. Seorang Muslim tidak dilarang menjadi
kaya raya, asal diperoleh dengan cara-cara yang halal. Iika tidak sanggup menjadi kaya dengan cara
halal, ia tidak boleh mengeluh, karena toh hidup hanya sementara.

Demikianlah, Idul Fitri dan tradisi yang menyertainya mengajarkan seorang Muslim untuk menjadi
manusia yang berkarakter baik. Karakter pemaaf dan welas asih akan menciptakan kehidupan yang
damai, aman, dan tenteram. Kondisi ini penting bagi proses pendidikan, di mana para dosen menjadi
contoh baik dan para siswa berangkat dan pulang sekolah tanpa perlu merasa cemas sedikit pun.

Adapun karakter merasa cukup (qanaah) akan menghasilkan kehidupan yang saling memercayai.
Orang-orang akan bahagia karena haknya tidak dikurangi. Para pemimpin tenteram hatinya karena
merasa tidak melanggar aturan. Qanaah seorang pemimpin akan menghindarkannya dari korupsi.

Korupsi pendidikan tak seramai korupsi dalam politik dan ekonomi, tetapi bukan berarti dibiarkan
terus terjadi. Budaya korupsi pendidikan bisa dicegah melalui perbaikan mental pemimpin dan
pelaksana pendidikan dari pusat hingga daerah. Di hari fitri ini, semoga mereka sadar bahwa korupsi

melahirkan sikap antipati dan pudarnya kepercayaan publik terhadap para pemimpin. Tidak ada
duka yang lebih dalam kecuali saat pemimpin kehilangan kepercayaan bawahannya.

Mohon maaf lahir batin, semoga puasa kita diterima. Se

Halaman 143

moga puasa, Lebaran, tradisi halalbihalal, dan ziarah kubur, mampu melahirkan Muslim dengan
mental baru: pemaaf, menyayangi sesama, dan qanaah. Inilah tiga pilar mental Muslim sebagai
fondasi kukuh terciptanya negeri yang amandamai-sentosa, dalam lindungan Allah SWT.

" Melampaui Rasa Ingin Tahu

Selamat datang era digital dan keluasan informasi, dan selamat tinggal era cetak dan kesulitan
informasi. Ucapan ini terasa sangat lambat, namun penting dan relevan di saat kita memperingati
Hari Hak untuk Tahu (”International Right to Know Day) setiap 28 September.

Hak untuk Tahu adalah hak asasi setiap warga yang dijamin oleh konstitusi, yakni Pasal 28F UUD
1945 bahwa, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi,
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.”

Kemasan Baru

Era digital mengubah kemasan informasi dan pengetahuan dari Cetak ke digital, dari sulit ke mudah,
dari berat ke ringan, dari jauh ke dekat, dan dari mahal ke murah, sehingga menjadikan cara belajar
lebih mudah dilakukan kapan dan di mana saja. Perubahan kemasan informasi dan ilmu
pengetahuan akan terus berkembang seiring kemajuan teknologi.

Pertama, era buku dan jurnal cetak ke era e-books dan e-journals atau paperless. Keunggulan era
paperless ini adalah orang bisa membawa banyak buku dan jurnal yang disimpan di gawai dalam tas
bahkan sakunya tanpa khawatir merasa

Halaman 144

berat. Saat ini, tidak lagi dibutuhkan ruangan yang besar dan rak-rak buku yang panjang dan tinggi di
perpustakaan kampus dan rumah untuk menyimpan buku, jurnal, dan majalah.

Bahkan, jutaan judul e-books dan e-journals disediakan secara cuma-cuma alias gratis di banyak
alamat website di internet, yang bisa diunduh kapan saja oleh yang membutuhkan. Indahnya berbagi
dan mengunduh banyak sumber pengetahuan secara gratis bagi insan akademik di era ini. Dunia
menjadi begitu kecil dan dekat, karena orang bisa dengan mudah membaca dan mempelajari karya
ilmuwan dan sastrawan dari belahan bumi mana pun.

Entah kapan terakhir kalinya kita membuka kamus, buku, dan jurnal versi cetak? Gawai sudah
menjadi “perpustakaan besar” yang menyimpan ragam e-books dan e-journals yang bisa diakses dan
dibaca kapan saja saat dibutuhkan.

Kedua, pendidik (guru dan dosen) tidak lagi menjadi satu-satunya tempat bertanya pelajar (siswa
dan mahasiswa), karena mereka bisa mendapatkan jawaban dari internet melalui perangkat gawai
(telepon pintar dan tablet) yang murah dan mudah dibawa ke mana saja. Informasi apa pun yang
kita butuhkan, sudah tersedia dalam genggaman.

Belajar tidak lagi identik dengan baca buku dan tatap muka di kelas. Belajar bisa dengan membaca
gawai, yang hampir selalu bisa menjawab setiap pertanyaan pembelajar. Hanya dengan menulis kata
kunci yang diinginkan, mesin Google akan menyajikan jawaban beragam-teks dan gambar. Belajar
menjadi lebih mudah, murah, dan bisa dilakukan kapan saja.
Ketiga, penyebaran informasi, ide, dan pengetahuan dari pribadi maupun kelompok bisa dilakukan
dalam waktu singkat sehingga bisa langsung diterima, dibaca, dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak
yang membutuhkan. Gagasan ringan seperti opini dan gagasan berat seperti hasil penelitian bisa
disebar

Halaman 145

kan melalui media sosial Facebook, BBM, dan WhatsApp, atau melalui website berbayar atau gratis.

Penyebaran informasi dan pengetahuan yang super cepat ini jelas meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman pembaca, bahkan memanfaatkannya untuk pengembangan ilmu pengetahuan sehingga
mereka bisa lebih produktif, kreatif, dan inovatif. Asal terhubung dengan internet, orang bisa
menulis dan meneliti dengan sumber otoritatif yang melimpah, tanpa harus pergi ke perpustakaan
atau toko buku.

Keunggulan kemasan informasi dan pengetahuan ini patut disyukuri. Seharusnya kemajuan teknologi
membuat pelajar dan pendidik Indonesia lebih cerdas, lebih kreatif, dan lebih produktif. Namun
kenyataannya tak seindah yang dibaYangkan.

Di era digital saat ini misalnya, saya masih sering mendengar mahasiswa pascasarjana berujar seperti
ini, “Saya sulit atau tidak menemukan referensi terkait hal tersebut.” Setiap kali mendengar kata-
kata seperti ini, saya biasanya menarik napas dalam-dalam-sambil berpikir, “Di era internet saat ini,
kok masih ada ya mahasiswa yang ketinggalan zaman dan gagap teknologi.”

Fenomena Negatif

Paling tidak, ada empat fenomena negatif yang mengemuka pada pelajar dan pendidik Indonesia
menghadapi era digitalisasi informasi saat ini. Pertama, budaya membaca dan menulis masih
rendah. Maksudnya, membaca buku dan jurnal, dan menulis karya ilmiah, bukan membaca media
sosial dan menulis status, serta komentar setiap ada status baru dari

teman. Untuk yang terakhir ini, mungkin Indonesia adalah juaranya. Kedua, tidak ada waktu untuk
membaca dan menulis

Halaman 146

karena kesibukan di dalam dan di luar kampus. Kumpulan materi penting, buku, dan jurnal elektronik
kerap hanya tersimpan dalam laptop dan gawai, tapi tidak pernah dibaca. Orang hanya semangat
saat meminta dan mengumpulkan materi dari narasumber dan internet, tapi malas membaca dan
mengolahnya.
Ketiga, tidak bisa memahami buku dan jurnal yang ditulis dalam bahasa Inggris karena kemampuan
bahasa pendidik dan pelajar kita lemah. Akibatnya, sumber belajar yang berkualitas tinggi dan
berharga tersebut tidak bermanfaat bagi peningkatan kompetensi pendidik dan pelajar Indonesia.

Keempat, tidak bisa mengolah informasi dan pengetahuan dari para penulis dalam dan lruar negeri
untuk melahirkan tulisan baru sesuai bidangnya masing-masing. Sepanjang tidak ada kebijakan yang
berorientasi peningkatan keterampilan menulis pendidik dan pelajar di lembaga pendidikan, maka
keterampilan menulis mereka akan tetap lemah seperti saat ini.

Pendekatan pembelajaran kita menitikberatkan pada hafalan, bukan penciptaan budaya kritis,
kontekstual, dan pemecahan masalah di kalangan pelajar sejak dini. Tiga pendekatan belajar ini
merupakan modal untuk melahirkan karya tulis yang bagus, di samping latihan dan bakat menulis.
Akibatnya, bukan saja pelajar yang kesulitan menulis, tapi juga pendidiknya.

Akhirul kalam, diperlukan kecerdasan memilah dan memilih infomasi dan pengetahuan yang terkait
bidang keilmuan kita masing-masing, serta mengolahnya menjadi pengetahuan baru dan
menyebarkannya kembali kepada publik yang membutuhkan. Semua ini akan berhasil, hanya jika
kita mampu melampaui rasa ingin tahu (beyond curiosity).

Halaman 147

Artinya, pelajar dan pendidik bangsa ini harus mampu menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri
mereka. Bertanya dan bertanya, kemudian mencari jawaban dengan membaca dan menelitilah yang
memungkinkan siapa pun di dunia ini menjadi sosok penemu dan pemecah masalah
kemasyarakatan. Keingintahuan yang besar adalah lamci memanfaatkan lautan informasi dan
pengetahuan yang tersembunyi di gawai kita masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai