Anda di halaman 1dari 12

PENGERTIAN MILLENIAL

Millennials atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir
setelah Generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980- 2000an. Maka ini berarti
millenials adalah generasi muda yang berumur 17- 37 pada tahun ini. Millennials sendiri
dianggap spesial karena generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, apalagi dalam
hal yang berkaitan dengan teknologi.

Generasi millennials memiliki ciri khas tersendiri yaitu, mereka lahir pada saat TV
berwarna,handphone juga internet sudah diperkenalkan. Sehingga generasi ini sangat mahir
dalam teknologi.

http://rumahmillennials.com/siapa-itu-generasi-millenials/#.W_IvbBAxXDc 19/112018 10.38

CIRI-CIRI ORTU MILLENIAL


1. Generasi merunduk
Pola Asuh yang Baik untuk Anak
Keluarga adalah tempat dimana seseorang pertama kalinya mendapatkan pendidikan. Dari
bagaimana seorang anak belajar berjalan, berbicara, makan yang benar dan banyak hal lagi yang
dilakukan oleh keluarga karena fungsinya sebagai mana sebagai tempat pertama anak mendapat
pendidikan. 

Keluarga juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan anak baik secara material maupun
immaterial. Secara material adalah kebutuhan jasmani anak, dan immaterial kebutuhan batin
anak, seperti halnya kasih sayang, perhatian, teguran, dan sebagainya. Jika ingin membentuk
anak yang sholeh dan sholehah, cerdas serta terampil, maka harus dimulai dari keluarga. 

Agar terbentuk keluarga yang sehat dan bahagia para orang tua perlu pengetahuan yang cukup
sehingga mampu membimbing dan mengarahkan setiap anggota keluarga menuju tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat mendasar dalam
mengoptimalkan potensi anak.

Parenting dalam Bahasa Indonesia ialah pengasuhan dan biasanya orang jawa menyebutnya
dengan  “among” “momong” atau “ngemong” tergantung daerahnya masing-masing.

 Sedangkan dalam Bahasa Inggris “parents” yang artinya orangtua, sedangkan secara umum,
parenting adalah teknik bagaimana pola mengasuh, mendidik dan membesarkan anak dengan
baik dan benar, dengan harapan tumbuh kembang anak dapat sesuai dengan harapan. 

Menurut Brooks mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses tindakan dan interaksi antara
orang tua dan anak, dimana kedua belah pihak saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh
menjadi dewasa. 

Tindakan itu mencakup merawat, melindungi dan membimbing kehidupan baru, serta memenuhi
kebutuhan anak atas cinta, perhatian dan nilai. Sedangkan interaksi itu terjadi secara terus
menerus antara anak, orang tua, dan masyarakat. 

Menurut Jerome Kagan seorang psikologi perkembangan, mendefinisikan pengasuhan sebagai


serangkaian keputusan tentang sosialisasi pada anak,  yang mencakup apa yang harus dilakukan
oleh orang tua agar anak mampu bertanggung jawab dan memberikan konstribusi sebagai
anggota masyarakat termasuk juga apa yang harus dilakukan orang tua ketika anak menangis,
marah, berbohong dan tidak melakukan kewajiban dengan baik.

Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengasuhan atau Parenting adalah upaya
yang dilakukan orangtua dalam menyiapkan anak memiliki kompetensi yang dibutuhkan agar
siap hidup dimasyarakat. 

Sehingga orang tua  memiliki peranan penting dalam kehidupan anak. Brooks mengidentifikasi
empat peranan orang tua khususnya dalam mempengaruhi perkembangan anak, yaitu
memberikan lingkungan yang protektif, memberikan pengalaman yang membawa pada
pengembangan potensi maksimal, menjadi penasehat dalam komunitas yang lebih besar, menjadi
kekuatan yang tak tergantikan dalam kehidupan anak.

Setiap anak terlahir dengan karakteristik yang berbeda-beda. Dengan keunikan dan kemampuan
yang bermacam-macam, maka setiap anak akan berbeda pola pengasuhannya. Contohnya, anak
yang pendiam tidak bisa diasuh dengan cara yang sama dengan mengasuh anak hiperaktif, dan
sebaliknya. 

Dari perbedaan karakteristik inilah ilmu Parenting dimunculkan. Lingkungan keluarga menurut
Ki Hajar Dewantara merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting yang memiliki
tugas mendidik budi pekerti dan tingkah laku sosial anak. Lingkungan keluarga ini menurutnya
harus berhubungan dengan baik dengan lingkungan atau lembaga pendidikan yang bertugas
mengusahakan kecerdasan pikiran dan memberi ilmu pengetahuan.

Di zaman yang modern ini, banyak orang tua yang kurang memperhatikan anaknya. Orang tua
cenderung berfikir bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan material bagi anaknya.
Memang materi juga penting untuk mendukung pertumbuhan anak. Namun yang sering terjadi
adalah orang tua yang lupa untuk memberikan kasih sayang, perhatian, cinta, dsb dimana hal
tersebut merupakan hal yang terpenting untung pertumbuhan anak. Karena hal tersebut dapat
mengakibatkan pada watak, kepribadian, serta kejiwaan anak tersebut.

Mungkin selama ini banyak orang tua yang merasa bahwa apa yang diberikan kepada anaknya
sudah maksimal. Namun mereka tidak menyadari ketika mereka tidak memberikan kasih sayang
dan perhatian yang cukup kepada anaknya. Ketika anaknya beranjak dewasa, anaknya tidak
sesuai dengan keinginan orang tua. Orang tua cenderung akan menyalahkan anaknya tanpa
melihat sebab anak bisa menjadi seperti itu. 

Lalu bagaimana cara mengembalikan fungsi keluarga yang sebenarnya? Mengubah pola pikir
orangtua yang sudah terlanjur salah itu sangatlah sulit, walaupun adaorang tua yang sangat
terbuka dengan hal baru. Namun yang lebih mudah dilakukan adalah memberikan pendidikan
kepada calon orang tua tentang bagaimana fungsi keluarga yang sebenarnya, apa saja yang
penting dalam menjadi orang tua. Karena melalui calon-calon orang tua inilah harapan yang baru
akan muncul, dan generasi yang baru akan menjadi lebih baik.

Sekarang ini, sudah ada program “parenting education” yang sudah banyak dilaksanaakan di luar
negeri untuk pendidikan pra-nikah. Namun belum terlalu umum bagi masyarakat Indonesia.
Parenting education adalah program yang digunakan untuk memberikan pendidikan kepada
calon orang tua maupun orang tua tentang bagaimana cara untuk menjadi orang tua yang baik.

Melalui Parenting Education, calon orang tua ataupun orang tua di beri pendidikan bagaimana
cara mendidik anak dengan baik, agar orang tua tidak lagi menyalahkan anaknya saja ketika
anaknya melakukan penyimpangan. Melalui ini, para calon orang tua dapat menjadi orang tua
yang tidak menyingkirkan fungsi-fungsi keluarga yang pada jaman sekarang ini sudah mulai
hilang.
https://www.kompasiana.com/dewimasluchah/57f7afe3d07e61a31773af12/pola-asuh-yang-baik-
untuk-anak 10.42 WIB. 21 November 2018

GENERASI MILLENIAL & PERAN ORANG TUA

Oleh Dedy Hutajulu

REVOLUSI digital[1] telah mengubah kehidupan manusia. Kemunculan internet menyumbang


perubahan perilaku anak dan remaja. Ditunjang teknologi, anak mudah mengakses konten-
konten negatif dari internet, dalam sekali jentikan jari.[2] Sebagai generasi millenial, anak-
anak kita berpeluang membawa perubahan besar, di satu sisi.[3]   Tapi di sisi lain terancam lost
generation.[4] Sebabnya, 34 juta pelajar kita hari ini rentan terpapar pornografi. [5]

Harus kita akui, internet telah melahirkan banyak perilaku anak yang sebelumnya tak pernah kita
bayangkan. Dengan internet, anak millennial terhubung dengan media digital. Mereka senang
saling terkoneksi dan berkomunikasi serta menggandrungi perubahan. Dengan kondisi seperti
itu, sebagai orangtua yang berbeda generasi, perlu bagi kita memahami apa sesungguhnya
tantangan anak millennial, dan peran seperti apa yang harus kita kerjakan.

Tantangan Generasi Millennial 

Ada tiga tantangan generasi millennial. Pertama, sekarang kita menghadapi kompetisi global.[6]
Di era kini, anak-anak kita dituntut lebih cakap berkomunikasi, memiliki kompetensi bahasa
standar internasional dan terampil mengoperasikan kompetensi komputer serta mampu
berkolaborasi secara global.

Kedua, anak-anak kita merupakan generasi consumtif tecnology, (keranjingan teknologi),


khususnya gawai dan internet.[7] Ketiga, anak-anak kita berhadapan dengan masalah karakter.
Anak-anak kita cenderung tidak bertumbuh dengan apa yang seharusnya terjadi.[8]

Tiga hal itu memerlukan perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak, khususnya orangtua.
Bagaimana kita mengemas pendidikan, agar-anak kita siap bersaing di tingkat global tapi
memiliki karakter yang kuat. Agar anak-anak kita siap bersaing tapi memiliki budaya. Mereka
memberi nilai lebih dalam diri mereka, yang menunjukkan mereka memang orang-orang hebat,
ramah, rendah hati, dan pandai menghargai orang lain.

Di titik inilah perlu sekali menciptakan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang lebih menarik,
yang bisa mengalihkan perhatian anak-anak kita dari keranjingan gawai. Untuk itu, sekolah tentu
harus membikin sistem pendidikan yang lebih komprehensif. Tidak saja mencetak anak yang
cerdas, tapi juga anak berkarakter.

Petakan Potensi Anak

Menyangkut cerdas dan berkarakter, di sinilah kita perlu memetakan kecerdasan anak. Mana-
mana anak yang bisa dikelompokkan berdasarkan kecerdasannya, dan karakter-karakter seperti
apa yang harus dimiliki anak, dan sekarang belum dimilikinya, sehingga kemudian bisa kita
bentuk di sekolah. Sekolah memulai pembentukan karakter itu tetapi didukung oleh orangtua dan
masyarakat.

Pemetaan terhadap anak penting untuk mengetahui mana anak yang berada di jalur cepat, mana
anak yang di jalur sedang dan mana anak yang berada di jalur lambat. Tiga-tiganya bisa
berkembang dan menjulang menjadi hebat, asalkan kita tidak salah menempatkan anak kita di
jalurnya. Misalnya, anak yang jalur lambat, jangan kita paksa melaju di jalur cepat.[9]

Yang kedua, menentukan bakat anak tidak bisa dilihat dari tampilan fisiknya. Kita harus
deteksi (assesment)  potensi anak, sehingga kita bisa tahu bakatnya. Minat itu tumbuh dari
pengaruh lingkungan. Anak yang berminat belum tentu berbakat. Orang-orang berbakat selalu
memberi nilai lebih pada pekerjaannya, sehingga dia bekerja dengan sangat ahli.

Orangtua dianjurkan untuk tidak memaksakan anak menjadi sesuatu. Anak mesti tumbuh sesuai
bakatnya. Karena itu potensi anak sebaiknya dideteksi sejak kecil, supaya kita tahu apa bakat
mereka dan bisa kita arahkan mereka jauh lebih bagus, sepasti dilakukan Sekolah Parulian,
Medan.[10] Sekolah ini mengambil langkah bijak dengan menggandeng psikolog sekaligus
Analis Bakat dan Perilaku Anak. Orangtua juga punya andil besar dalam menggali potensi anak
sejak masih usia dini.[11]

Ternyata, anak yang tidak dideteksi potensinya sejak kecil, di masa depan mereka kepayahan
meraih sukses. Hari ini, angka pengangguran terdidik (minimal Diploma dan Sarjana), masih
tinggi, sebanyak 856.644 orang[12]. Penelitian di UNY tahun 2011, sebanyak 43 persen
pengangguran ini, karena dulunya mereka salah mengambil jurusan.[13] Mereka sekolah sampai
perguruan tinggi, tapi tidak memiliki nilai lebih pada jurusan itu. Itu sebabnya, mereka tidak
berbakat, sehingga ‘tidak layak jual’.

Berbeda dengan anak berbakat, walau masuk jurusan yang tidak favorit, dia malah menjulang
menjadi anak hebat. Itu karena dia memberi nilai lebih pada pekerjaannya.[14] Jadi yang
mengantarkan anak kita jadi hebat, bukanlah jurusan favorit atau tidak, melainkan
bakatnya. Karena itu sekolah harus mengembangkan bakat anak sesuai dideteksi tim ahli. 

Kenali Bakat, Tumbuhkan Minat

Setelah kita tahu apa bakat anak, tugas kita sebagai orangtua adalah menumbuhkan minat
pada bakat tersebut. Kalau anak berbakat jadi dokter, misalnya. Maka, mulai hari ini kalau ada
pameran alat-alat kedokteran, ada talksow mengenai dokter hebat, jumpa dengan dokter hebat di
rumah sakit, itu anak harus diperkenalkan terus. Bahkan perlu sekali mengundang orang
profesional mengajar di kelas.[15] Cara ini sudah dilakukan SD De Green Camp di Kota
Tanjung Pinang, Riau. 

Kita juga percaya, bertemu banyak orang hebat kentara memotivasi anak menggeluti minatnya.
Prinsip itulah yang diterapkan SMA Negeri 15 Semarang, Jawa Tengah. Mereka mengundang
orangtua siswa untuk berbagi ilmu dan pengalaman di depan kelas.[16] Kemudian pasok dengan
majalah-majalah kesehatan atau jurnal-jurnal yang ditulis dokter-dokter hebat. Pastikan anak kita
bisa leluasa mengakses bacaan yang mendukung minat dan bakatnya. Tentu bukan hanya untuk
topik dokter. Tetapi juga untuk profesi lain. 

Kerjasama Sekolah dan Orangtua

Selain mendeteksi itu, tugas lain orangtua—dan ini tak kalah penting—adalah menumbuhkan
kerjasama yang baik antara sekolah dengan orangtua. Caranya bagaimana? Orangtua harus
menyadari waktu anak di sekolah itu paling lama hanya delapan jam sehari. Artinya dua pertiga
dari waktunya sehari-hari ada di rumah dan di lingkungan sekitar.

Karena itu, sudah selayaknyalah orangtua jangan berpikir bahwa dengan menyekolahkan anak,
semua tanggung jawab pengembangan potensi anak dibebankan kepada sekolah. Tanggung
jawab kita yang utama adalah bekerja sama dengan sekolah, mengembangkan bakat anak
kita secara bersama-sama. Sehingga dengan pengembangan bakat secara terencana ini,
anak-anak kita bertumbuh, berkembang dan menjulang di masa depan. 

“Keliru jika orangtua memandang tugas mereka hanya sekadar menyekolahkan anak. Lebih
keliru lagi, jika orangtua tak menyadari perlunya kolaborasi dengan sekolah,” kata Patimah,
pendiri PAUD Cendana.[17] 

Bangun Karakter Anak

Yang kedua, orangtua juga harus memahami, bakat saja tidak bisa mengantarkan anak kita
menjadi orang hebat, tetapi karakternya. Karakter seperti daya juang tinggi, hasrat berprestasi
dan kontak sosialnya. Ada anak hebat, cerdas dan semangat, tapi daya juangnya rendah, sedikit-
sedikit kalau ketemu masalah dia gampang menyerah, mudah bete. Anak begituan, daya
juangnya perlu dibangun. Dan seberapa intens kita bercerita mengenai orang-orang sukses
kepada anak kita, itu berpengaruh bagi mereka, berpengaruh pada hasrat berprestasinya.

Begitu juga soal kontak sosialnya. Ini yang paling penting dan menjadi keprihatinan kita. Banyak
anak yang juara di sekolah tetapi hubungannya dengan orang lain miskin sekali. Gersang sekali
relasinya dengan orang lain. Kita kehilangan anak-anak yang ceria, yang penuh hormat pada
orangtua, yang pandai menyenangkan hati orang lain. Di banyak tempat dan situasi, teknologi
sepasti gawai telah memutus hubungan anak dengan keluarganya, menjarakkan anak dengan
teman-temannya dan dengan gurunya.

Batasi Pemakaian Gawai

Banyak orangtua mengeluhkan anaknya keranjingan gawai. Anak lebih doyan menghabiskan
waktunya berjam-jam ‘bermesraan’ dengan gawainya. Bayangkan, rata-rata pemakaian gawai di
kalangan anak-anak adalah sebelas jam dan sebagian besar hanya tahan tujuh menit untuk tidak
menggunakannya.[18] Mereka merasa hubungan dengan orang lain tidak butuh. Mereka lebih
senang berhubungan dengan benda mati.

Psikolog anak dan keluarga Ajeng Raviando mewanti-wanti, ketergantungan pada gawai
menyebabkan demensia digital pada anak.[19] Demensia digital berupa penurunan kognitif
akibat keranjingan memakai perangkat digital. Ancaman demensia digital ini telah menghantui
remaja dan anak muda di Korea Selatan.[20] Menurut penelitian kecanduan teknologi di masa
sekolah menyebabkan tekanan mental dan fisik, panik, bingung, dan merasa isolasi ekstrem.
Kecanduan teknologi membuat anak tak bisa jauh dari gawai walau hanya sehari.[21] Karena itu,
pembatasan pemakaian gawai sangat dianjurkan oleh Psikolog Ajeng.

Saking kuatirnya akan fenomena ini, pemerintah Korea Selatan dan Taiwan cepat-cepat
menerbitkan aturan yang membatasi pemakaian gawai.[22] Di Korea Selatan[23], setiap ponsel
yang dipakai remaja 18 tahun ke bawah dipasangi aplikasi pemonitor, bernama smart sherrif.
Aplikasi itu berfungsi mengendalikan akses ke situs berbahaya (konten dewasa), termasuk ke
situs perjudian. Taiwan sedikit lebih tegas. Mereka melarang anak di bawah umur dua tahun
mengakses perangkat elektronik. Singapura sendiri hanya membolehkan anak menggunakan
gawai selama satu jam dalam sehari. Dan itu pun anak baru boleh pegang android jika sudah
kelas 1 SMA.

Ini yang tidak diatur di negara kita. Celakanya, anak-anak yang baru usia setahun sudah dijejali
orangtuanya dengan gawai. Jika Taiwan, Korea Selatan dan Singapura sudah membatasi
penggunaan gawai pada anak, pemerintah kita masih merencanakan.[24] Kominfo sendiri masih
sebatas mengajak orangtua terlibat damping anak saat “bermain” gawai.[25]

Ketika belum ada regulasi yang membatasi pemakaian gawai, mustinya, tiap keluarga
menetapkan aturan di rumah. Harus ada kesepakatan seperti apa pemakaian gawai dan berapa
lama. Begitu juga dengan aturan di sekolah, sehingga ada keselarasan antara program sekolah
dengan kebijakan orangtua di rumah.

Generasi Hebat

Kita harus akui anak-anak kitahari ini adalah generasi hebat. Pada 1923, Sosiolog Karl
Mannheim telah meramalkan, tahun 2000 ke atas akan lahir generasi Z (Gen Z), generasi penuh
problem.[26] Dalam essainya itu, Mannheim mengakui anak-anak millennial dan Gen Z ini
sungguh hebat, penuh potensi dan apa saja bisa mereka lakukan. Sayangnya, kalau kita tak bisa
membina dan mengelola potensinya, mereka akan menjadi masalah bagi kita.

Anak-anak millennial dan Gen Z ini mengedepankan kreativitas. Fred Tuffile, Direktur Program
studi wirausaha, seperti dikutip Forbes mendefenisikan, anak millennial dan gen Z suka mencari
kericuhan, memiliki kewaspadaan terhadap resiko dipecat, alergi kehidupan monoton ala
kantoran, dan mereka berpikir selalu ‘ada jalan keluar’.[27]

Di sinilah penting orangtua dan sekolah mengenal betul karakter dua generasi hebat ini. Di saat
bersamaan, harus terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara guru, sekolah dan orangtua
murid. Di lain sisi perhatian orangtua terhadap anak musti meningkat seiring usia anak
bertambah.[28]

Begitu juga hubungan antara anak dengan orangtua akan tercermin dalam perilaku anak di
sekolah. Sampai anak dewasa (usia 17 tahun), perhatian kita kepada anak kita harus intens demi
tumbuh kembang anak kita lebih baik. Harus kita akui, semua kenakalan anak itu, yang berujung
pada pidana berawal dari hilangnya pengakuan orangtua kepada anak.[29] Kelakuan anak kita di
masyarakat semua bermuara para kecenderungan relasi di dalam rumah. Jadi sesibuk apapun kita
dengan dalih berupaya menghidupi keluarga, sesungguhnya jangan lupa memberi perhatian pada
anak kita.

Anak-anak millenial dan Gen Z ini sangat memerlukan perhatian dan sentuhan dari orangtuanya.
Semakin kurang perhatian yang mereka dapat di rumah, mereka akan mencarinya di luar
(rumah). Anak millennial ini kuat mencontoh perilaku orangtuanya. Mereka cepat mencontoh
orangtuanya yang merokok di rumah. Mencontoh hal-hal negatif dan positif. Karena itu gaya
hidup yang baik dari orangtua serupa cermin bening di mata anak-anaknya.

Parenting Forum

Anak-anak millenial dan Gen Z itu karakternya beda dengan generasi sebelumnya. Karena
karakternya berbeda, perilakunya juga berbeda jauh. Sehingga sangat payah jika orangtua
mendidik anak dengan pola-pola lama yang diajarkan nenek moyangnya. Justru jika pola lama
digunakan untuk mendidik anak, hasilnya semakin kontraproduktif. Generasi millennial dan Gen
Z semakin mengandalkan logika. Dan uniknya mereka sangat mengenal kata persahabatan.
Persahabatan itu sangat dihargai anak millennial dan Gen Z.

Anak lebih menuruti kata sahabatnya, ketimbang nasihat orangtunya. Di sinilah orangtua harus
cerdas mencari ‘celah’ untuk membangun persahabatan dengan anak. Orangtua yang bisa
berperan selayaknya sahabat bagi anaknya, akan lebih mudah bagi mereka mengarahkan anak-
anaknya.

Belum lagi, orangtua juga musti rajin mengikuti parenting forum yang diadakan sekolah.
Psikolog, analis bakat dan perilaku, pakar gizi, ahli kesehatan bisa dihadirkan di sana. Guru dan
orangtua bisa leluasa berbagi uneg-uneg dan pengalaman. Orangtua tentu punya pengalaman
unik mendidik anak. Pengalaman itu bisa dibagikan di forum itu. Sehingga kemudian orangtua
bertambah wawasannya bertambah dalam mendidik anak.

Jadi, kalau kita mau berhasil sebagai orangtua hari ini, pertama kita harus tahu bakat anak kita.
Kedua, kita harus tau cara bagaimana mengembangkan bakat anak kita. Bagaimana kita
membesarkan anak, itu bisa kita dapat dalam forum-forum parenting, dimana ahli dihadirkan
untuk berbicara, dimana guru dan juga orangtua-orangtua hebat ikut berbagi pengalaman-
pengalaman (best practices) mereka mendidik anak. (*)

#sahabatkeluarga

https://cits16.wordpress.com/2018/08/07/generasi-millenial-dan-peran-orangtua/ 10.50, 21
November 2018
Begini Cara Orang Tua Millennial Mendidik
Anak
Menjadi orang tua pada zaman sekarang terbilang lebih sulit daripada orang tua generasi
sebelumnya. Kritik dari generasi baby boomers dan generasi X serta hasil studi terbaru terhadap
para orang tua yang masuk dalam generasi millennial (yang lahir tahun 1981-1995) menjadi
perdebatan yang tidak pernah usai. Apalagi, orang tua modern tidak lagi berpikir berpikir rumit
atau kompleks dalam mendidik anak.  

Disiplin tentunya menjadi tanggung jawab orang tua kepada anak-anaknya karena ini adalah
salah satu cara untuk memberitahu apa yang benar dan salah serta memberikan batasan pada
anak. Pada beberapa orang, disiplin pada anak bisa diartikan berbeda; mulai dari merapikan
mainannya sendiri sampai memberikan hukuman bila anaknya mengganggu kaka/adiknya. Setiap
generasi memiliki teknik dan tren yang berbeda.

Dikutip dari romper.com, penelitian membuktikan bahwa cara orang tua millennial mendidik
anak-anaknya terbilang lebih longgar dalam urusan disiplin--meski sebagian besar orang masih
ada yang mendukung metode disiplin sama seperti pada generasi sebelumnya. Studi lain dari
Pew Research Center menemukan bila orang tua millennial lebih overprotective dalam menjaga
anak-anak mereka ketimbang generasi sebelumnya. Sebaliknya, orang tua millennial juga
terkenal lebih sering memuji anak mereka ketimbang generasi sebelumnya.

Orang tua millennial juga cenderung menciptakan lingkungan yang lebih santai dan tidak terlalu
terstruktur untuk anak-anak mereka. Cara ini ternyata lebih membuat mereka santai dan bahagia
sebagai orang tua. Selain itu, mereka menolak untuk memberikan tekanan saat membesarkan
anak-anak mereka, dalam artian mereka cenderung lebih membebaskan apa yang ingin dilakukan
oleh anak-anak. Tidak hanya itu, mereka memperkuat hubungan antara orang tua dan anak
dengan memberikan perilaku positif bila anak melakukan kesalahan.

Tentunya, mendisiplinkan anak-anak--dari saat balita sampai remaja--merupakan masa-masa


yang paling frustasi. Bagaimana cara orang tua mendidik anaknya tergantung dari keyakinan
mereka dalam melihat seperti apa didikan yang baik bagi anak. Apakah menggunakan metode
tradisional atau lebih memilih alternatif yang fleksibel seperti kaum millennial.
https://womantalk.com/parenting/articles/begini-cara-orang-tua-millennial-mendidik-anak-xvJaJ
10.52, 21 nov

Gaya Mendidik Kekinian yang disukai


Orang Tua Generasi Millennials
Apakah Anda termasuk dalam kategori orang tua generasi millennials? Menurut William Strauss
dan Neil Howe, kelompok millennial (Gen Y) ini adalah mereka yang lahir antara tahun 1980
sampai dengan tahun 2000. Pengelompokkan ini kemudian membuat perbedaan antara gaya
mendidik kekinian khas orang tua millennials dengan generasi sebelumnya (baby boomer). Lalu,
bagaimana contoh para orang tua masa kini mendidik anaknya? Mari, simak ulasannya!

1. Kolaborasi dengan anak

Banyak orang tua millennials melibatkan anak dalam proses mendidik. Seperti Adinda
Maheswari, ketika membuat alat peraga untuk jenis-jenis emosi, Sang Ibu melibatkan anaknya
Ayasha. Hal tersebut dilakukan agar anak bisa berbagi emosi yang dirasakan. Selain itu, orang
tua millennials melibatkan anak mereka dalam pengambilan keputusan, tujuannya agar anak
belajar untuk bernegosasi. Tentu saja keterlibatan anak ini selalu dibimbing oleh orang tua.

2. DIY (Do It Yourself)


(Sumber: instagram.com/ayashaputri)

Selain itu, Adinda Maheswari membuat sendiri puzzle dari bekas bungkus snack. “Bahannya
sangat mudah didapat dan cara mengerjakannya pun tidak susah. Anak senang, Orangtuapun bisa
mengalokasikan uang untuk ditabung ke pengeluaran lain sehingga lebih hemat, lalu anak yang
melihat proses pengerjaan mainan DIY ini juga belajar jadi lebih kreatif (tidak melulu harus beli
kalau bisa dibikin dari barang bekas).” ujar sang Ibu.

3. Berbagi di media sosial


Sebagai generasi millennials, orang tua pasti sudah akrab dengan media sosial,
bukan? Melalui media sosial orang tua melakukan social sharing dengan berbagi
mengenai cara mendidik. Orang tua millennials memanfaatkan media sosial untuk
saling berbagi informasi, dengan menekankan bahwa setiap anak berbeda, sehingga
tidak ada cara mendidik yang salah atau benar.

4. Tidak hanya berfokus pada sekolah formal


Generasi millennial dibesarkan pada lingkungan yang bersifat membangun dan fleksibel.
Serta memiliki informasi tak terbatas melalui gadget yang dapat diakses kapan saja.
Generasi ini percaya bahwa pendidikan tidak hanya melalui sekolah formal. Hal tersebut
menyebabkan orang tua millennials lebih terbuka pada banyak pilihan pendidikan saat ini,
seperti kursus online, website pendidikan, dan sekolah alam.

https://blog.ruangguru.com/gaya-pendidikan-kekinian-yang-disukai-orang-tua-
generasi-milenial 11.00, 21 nov

Anda mungkin juga menyukai