Anda di halaman 1dari 47

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………........ i

KATA PENGANTAR ………………………………………………….......... ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………............ 3


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ……………………………………………….... 4

B. Rumusan masalah …………………………………………….. 4

C. Tujuan ……………………….………………………………... 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Sertifikasi Guru ………………………………………............. 6
1. Pengertian ............................................................................ 6
2. Tujuan Sertifikasi Guru ....................................................... 6

3. Kritria Guru Profesional ...................................................... 8


4. Dasar Hukum Pelaksanaan Sertifikasi Guru ........................ 10
5. Alur Sertifikasi guru ............................................................ 11
6. Prinsip sertifikasi guru ......................................................... 13
7. Pasca sertifikasi guru ........................................................... 15
B. Peningkatan Mutu Guru
17
1. Pengertian ..……………………….....................................
2. Standar Mutu Pendidik ....................................................... 19

C. Menejemen Berbasis Sekolah (MBS) ....................................... 27

1. Pengertian Berbasis Sekolah (MBS) ................................... 28

2. Tujuan Berbasis Sekolah (MBS) ......................................... 29

3. Ruang Lingkup MBS ........................................................... 30

4. Karakteristik MBS ............................................................... 32

5. Konsep Dasar MBS ............................................................. 28


6. Manfaat MBS ....................................................................... 30

7. Implementasi MBS .............................................................. 32

8. Strategi Implementasi MBS ................................................. 43

9. Dampak MBS Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan ..... 44


BAB III PENUTUP
Kesimpulan ………………………………………………….......... 46
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………........ 47

3
BAB I
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi
manusia, pendidikan padadasarnya merupakan usaha sumberdaya manusia
seiring perkembangan zaman yang sangat cepat dan modern membuat dunia
pendidikan khususnya diindonesia semakin penuh dengan dinamika. Dimanika
itu tampak dari tidak henti-hentinya sejumlah masalah yang dihadapi didunia
pendidikan. Merosotnya mutu pendidikan diindonesia disebabkan oleh
buruknya sisitem pendidikan nasional dan rendahnya sumber manusia.
Kebijakan pendidikan terdapat ketidak jelasan dalam asumsi-asumsi
terhadap permasalahan-permasalahn pendidikan, dalam melakukan analisis
kebijakan pendidikan kurang konstektual sebagai suatu kebujakan yang utuh
dan teritegrasi secara empirical, evaluative, normative, predicitive, memberi
pedoman jelas bagi pengejewantahan formulasi, implementasidan evaluasi
kebijakan. Kebijakan ini tidak diformulasikan berdasarkan elemen-elemen
yang perlu di integrrasikan secara synergy artinya apakah rumusan-rumusan
kebijakan tersebut telahmemenuhi kriteria kebijakan yang utuh atau masihada
butir-butir yang lepasdari ruang lingkupnya.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di
bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya
peningkatan kualitas manusia Indonesia secara kaffah (menyeluruh).
B. Rumusan Masalah
1. Apa manfaat dan tujuan diterapkannya Sertifikasi Guru ?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru ?
3. Apa tujuan penerapan menejemen berbasis sekolah ?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui Apa manfaat dan tujuan Sertifikasi Guru ?
2. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
guru ?
3. Untuk mengetahui tujuan penerapan menejemen berbasis sekolah ?

4
BAB II

A. Sertifikasi Guru
1. Pengertian
Berdasarkan pada Panduan pelaksanaan sertifikasi guru tahun 2006
sertifikasi guru didefinisikan sebagai “upaya peningkatan mutu guru
dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru, sehingga diharapkan
dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia
secara berkelanjutan. Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa sasaran akhir
dari program setifikasi adalah peningkatan mutu pendidikan secara
berkelanjutan. Pencapaian sasaran tersebut memerlukan keseriusan dan
upaya sistematis serta kontribusi dari semua pihak yang terkait dengan
pendidikan di Indonesia. Definisi ini pun memposisikan guru sebagai ujung
tombak upaya pencapaian dan peningkatan mutu pendidikan yang
diharapkan.
Tujuan sertifikasi guru adalah untuk (1) menentukan kelayakan guru
dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, (2) peningkatan proses dan mutu hasil
pendidikan, dan (3) peningkatan profesionalisme guru. (Panduan
pelaksanaan sertifikasi guru tahun 2006: p.1)
2. Tujuan sertifikasi guru
Tujuan sertifikasi untuk meningkatkan kualitas kelulusan serta
kualitas pendidikan dengan meningkatkan kualitas guru. Dengan dasar
mempunuai banyak tujuan ini, ada beberapa tujuan utamanya yang secara
detail sebagai berikut :
1. Menentukan kelayakan guru sebagai agen pembelajaran. Agen
pembelajaran berarti guru menjadi pelaku dalam proses pembelajaran.
Disini berarti guru menjadi pelaku dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, guru yang sudah menerima sertifikat pendidik
berarti sudah layak menjadi agen pembelajaran.
2. Meningkatkan proses dan mutu pendidikan. Mutu pendidikan dapat
dilihat dari mutu siswa sebagai hasil pembelajaran. Mutu siswa ini

5
diantaranya ditentukan dari kecerdasan, minat dan usaha siswa yang
bersangkutan Guru yang bermutu dalam arti berkualitas dan
profesional menentukan mutu siswa.
3. Mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Berbekal
pendidikan formal dan berbagai kegiatan guru yang tercantum pada
dokumentasi data yang dikumpulkan dalam proses sertifikasi, maka
guru akan mrntransfer lebih banyak ilmu yang dimiliki kepada peserta
didiknya. Untuk tujuan ini secara psikologis kondidisi tersebut dapat
meningkatkan martabat guru yang bersangkutan.
4. Meningkatkan profesionalisme. Guru yang profesional antara lain
dapat ditentukan dari pendidika, pelatihan, pengembangan diri dan
berbagai aktifitas lainya yang terkait dengan profesinya. Langkah awal
untuk menjadi profesional dapat ditempuh dengan mengikuti
sertifikasi guru.
Ada dua target pelaksanaan sertifikasi guru, yaitu sebagai berikut :
1. Meningkatkannya kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, kompetensi pedagogis, dan kompetensi sosial
guru.
2. Meninigkatnya profesionalitas, kinerja, dan kesejahteraan
guru.
Adapun manfaat utama dari sertifikasi guru adalah sebagai berikut :
1. Melindungi profesi guru dari praktik yang mencurigakan citra
guru. Guru yang telah bersertifikat pendidik harus bisa
menerapkan proses pembelajaran di kelas sesuai dengan teori
serta praktik yang sudah diuji.
2. Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak
bermutu dan tidak profesional
3. Meningkatnya kesejahteraan ekonomi guru. Lolosnya guru
dalam proses sertifikasi merupakan ukuran untuk mendapatkan
imbalan yang sesuai dengan prestasi, berupa tunjangan profesi.
Keberadaan sertifikasi guru dapat meningkatkan kesejahteraan
guru seiring dengan prestasi yang diraihnya. Yang perlu

6
diketahui bahwa tunjangan profesi bukan merupakan tujuan
utama sertifikasi, jadi tunjangan profesi merupakan
konsekuensi logis yang mengiringi kompetensi guru.1
3. Profesionalisme Guru
a. Pengertian
Istilah profesionalisme berasal dari profession. Dalam Kamus
Inggris Indonesia, “profession berarti pekerjaan”.2 Arifin dalam buku
Kapita Selekta Pendidikan mengemukakan bahwa profession
mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang
memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan
khusus.3 Dalam buku yang ditulis oleh Kunandar yang berjudul Guru
Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang
artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh
seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan
tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang
diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi adalah
suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu.4
Adapun mengenai kata Profesional, Uzer Usman memberikan suatu
kesimpulan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat professional
memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari
dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata prifesional itu
sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata
benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter,
hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat
profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka
yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan

1
I.Prihatini. Merauh Sukses Sertifikasi Guru,(Sukoharjo: CV Graha Printama Selaras, 2019) hal 20
2
John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996),
Cet. Ke-23, h. 449
3
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke- 3,
h. 105
4
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan
Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), Cet. Ke-1, h.
45.

7
oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. Dengan
bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional
adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam
bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya
sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal.5
Mulyasa dalam bukunya “Menjadi Guru Profesional” (2006)
menyoroti keprofesionalan guru dari segi proses pembelajaran. Mulyasa
menekankan bahwa guru profesional harus mampu menciptakan
pembelajaran kreatif dan menyenangkan. Dua kata terakhir “kreatif” dan
“menyenangkan” diungkapkan dengan kata hubung “dan”. Menurut
logika bahasa kata “dan” mencakup dua hal yang tidak boleh berpisah.
Kreatif dapat bermakna variatif, inovatif, atau baru dan harus dinikmati
secara menyenangkan oleh pebelajar. Tuntutan kreatif dan
menyenangkan terkesan sederhana tetapi dalam aplikasinya bukanlah hal
yang gampang.
UU Sisdiknas 2003 pasal 39 (2) menyebutkan, pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Kriteria profesional yang disebutkan ini sudah sangat memadai
apabila dimiliki oleh seorang guru/dosen. Kemampuan guru, mulai dari
perencanaan sampai pada penilaian adalah kemampuan proses evaluasi
untuk mendeteksi hasil yang akan dan telah dicapai. Sedangkan
pelaksanaan penelitian merupakan upaya mengatasi masalah jika didapati
adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan (anjuran pelaksanaan
Penelitian Tindakan Kelas).6
Osamwonyi dalam Abdul Madjid menjelaskan Kualitas guru dapat
ditingkatkan melalui program pelatihan dan pengembangan keprofesian.

5
Usman, M. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006, Cet. Ke-
20, h. 14-15.
6
Ihyana Malik, “KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru)”, Otoritas
Vol.1 No.1 April 2011. Hal : 73

8
Bahkan sesungguhnya, kebutuhan terhadap program pelatihan guru yang
dilakukan dalam jabatan tidak dapat disepelekan. Pelatihan guru dalam
jabatan (in service training/education) merupakan keharusan untuk
meningkatkan kinerja dan motivasi guru dalam mengajar di bidang
masing-masing. Ketiadaan program pelatihan akan menyebabkan
kemunduran pertumbuhan keprofesionalan guru, sehingga akan tercipta
kesenjangan antara tuntutan dan tingkat pencapaian guru. Pelatihan guru
dalam jabatan sendiri dapat dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan
seperti seminar, workshop, konferensi, kegiatan pembelajaran di kelas,
pameran, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut didesain untuk
memungkinkan guru mengembangkan diri dan meningkatkan
kompetensinya.7
Pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia memberlakukan UU Guru
yang dianggap sebagai strategi paling komprehensif yang akan
diterapkan untuk meningkatkan kualitas pengajaran di Indonesia. Aturan
perundangan itu meletakkan dasar bagi program sertifikasi guru berskala
besar oleh Pemerintah Pusat yang berupaya menetapkan standar bagi
guru, meningkatkan kecakapan mereka, dan akhirnya meningkatkan
kualitas pendidikan.
Sertifikasi tersebut dilengkapi dengan tunjangan profesi yang
secara efektif melipatgandakan gaji pokok guru sehingga dapat
meningkatkan daya tarik profesi guru dan memberi insentif bagi guru
untuk berpartisipasi dalam proses sertifikasi. Di samping itu, program
tersebut juga menyediakan guru bersertifikat yang ditugaskan ke daerah
terpencil atau tertinggal dengan tunjangan tambahan yang secara efektif
membuat tiga kali lipat besaran gaji pokok mereka. Pelipatgandaan gaji
guru memang merupakan pendorong kuat untuk menarik lulusan baru
agar lebih baik bertugas sebagai guru
Berkaitan dengan sertifikat pendidik yang harus dimiliki oleh guru
profesional, amanat UUGD telah dilaksanakan sejak tahun 2007 melalui

7
Dr. Abdul Madjid, Analisis Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Penerbit Smudra Biru, 2018)
Hal : 98

9
program sertifikasi guru dalam jabatan setelah diterbitkannya Peraturan
Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam
Jabatan. Mulai tahun 2009 landasan hukum pelaksanaan sertifikasi guru
dalam jabatan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008
tentang Guru.8
4. Dasar hukum
Dasar hukum yang digunakan sebagai acuan pelaksanaan sertifikasi
guru dalam jabatan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen;
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
d. Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 tahun 2004 tentang
perubahan atas No.16 tahun 2001 tentang Yayasan
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008
tentang Guru.
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013
tentang.
g. Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
h. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007
tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru.
i. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008
tentang Konselor/Pendidikan Profesi Konselor
j. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun
2012 tentang sertifikasi guru dalam jabatan

8
Asep Suryahadi dkk. “Penilaian Kebijakan untuk Meningkatkan Kualitas Guru dan Mengurangi
Ketidakhadiran Guru”. The SMERU Research Institute Hal : 7

10
k. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 Tahun
2013 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dalam Rangka Penataan
dan Pemerataan Guru.
l. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun
2014 tentang Peran Guru TIK dan KKPI dalam Implementasi
Kurikulum 2013.
m. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 111 Tahun
2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah.
5. Alur Sertifikasi Guru
Alur pelaksanaan Sertifikasi Guru yang diangkat sebelum 31
Desember 2005 sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2012 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam
Jabatan disajikan pada Gambar.

11
Penjelasan alur sertifikasi guru yang disajikan pada Gambar sebagai
berikut.
a. Guru berkualifikasi S-1/D-IV dapat memilih pola PF atau PLPG
sesuai kesiapannya.
b. Bagi guru yang memilih pola PF, mengikuti prosedur sebagai
berikut :
1) Menyusun portofolio dengan mengacu Pedoman Penyusunan
Portofolio.
2) Portofolio yang telah disusun diserahkan kepada dinas
pendidikan provinsi/kabupaten/kota untuk dikirim ke LPTK
sesuai program studi.
3) Apabila hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi guru dapat
mencapai batas minimal kelulusan (passing grade), dilakukan
verifikasi terhadap portofolio yang disusun. Sebaliknya, jika
hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi guru tidak
mencapai passing grade, guru tersebut menjadi peserta
sertifikasi pola PLPG dan apabila tidak lulus mengikuti
pembinaan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau
mengembangkan diri secara mandiri untuk mempersiapkan diri
untuk menjadi peserta sertifikasi tahun berikutnya.
4) Apabila skor hasil penilaian portofolio mencapai passing
grade, namun secara administrasi masih ada kekurangan maka
peserta harus melengkapi kekurangan tersebut (Melengkapi
Administrasi atau MA1) untuk selanjutnya dilakukan verifikasi
terhadap portofolio yang disusun
c. Peserta yang memilih pola PLPG wajib mengikuti uji kompetensi
awal (uji kompetensi guru). Pelaksanaan PLPG ditentukan oleh
Rayon LPTK sesuai ketentuan yang tertuang dalam Rambu-Rambu
Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru.
d. PLPG diakhiri dengan uji kompetensi. Peserta yang lulus uji
kompetensi berhak mendapat sertifikat pendidik dan peserta yang
tidak lulus uji kompetensi diberi kesempatan mengikuti dua kali

12
ujian ulang. Apabila tidak lulus ujian ulang yang kedua, peserta
masih diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulang yang
terselenggara selama 3 tahun sejak pelaksanaan PLPG dengan
biaya sendiri. Peserta yang tidak lulus, dikembalikan ke dinas
pendidikan kabupaten/kota, khusus untuk guru SLB ke dinas
pendidikan provinsi.
6. Prinsip Sertifikasi Guru
Semua guru menginginkan sertifikasi berjalan lancar seperti yang
dicita-citakan, yaitu lulus menjadi guru profesional yang diakui semua
pihak. Sertifikasi yang merupakan ajang untuk meningkatkan kompetensi
guru dalam bidang pedagogis, kepripabidan, sosial dan profesional, ada
prinsip utama yang tidak boleh dilanggar. Prinsip utama tersebut adalah
keterbukaan, kejujuran, akuntabilitas, objektivitas, profesionalitas, dan
berorientasi pada tujuan, bukan tunjangan.
a. Keterbukaan
Yang dimaksud disini adalah mulai proses awal sampai selesai
sertifikasi harus dilakukan secara terbuka, transparan, baik dokumen
portofolio, penilaian, anggaran dan sebagiannya yang berhubungan
dengan sertifikiasi. Jadi tidak benar adanya uang pelicin untuk
memuluskan pelaksanaan sertifikasi karena tidak tercantum dalam
mekanisme formal prosedural dan berdasarkan informasi pungutan ini
banyak terjadi ditingkat kabupaten. Sebagai tanda ketidak jujuran adalah
tidak adanya kuitansi pembayaran yang merupakan indikasi ketidak
jujuran tersebut.
b. Kejujuran
Kejujuran sangat dibutuhkan guru yang sedang mengumpulakn
portofolio. Dihimbau guru tidak terjebak dalam kecurangan dan
kebohongan, seperti merekayasa sertifikast, malah SK, RPP, berbagai
opini, bahkan ijazah. Perekayasaan ini akan mencederai dunia pendidikan
yang menanamkan moralitas dengan budi pekerti luhur serta keagungan
sikap, terutama bagi guru yang belum bisa memnuhi syarat sehingga
akan menempuh segala cara untuk memenuhinya.

13
Bila ini terjadi bisa dipastikan bahwa sertifikasi hanya sebuah
formalitas sehingga yang akan diraih adalah tunjangan atau kenaikan
pendapatan dan tidak memikirkan peningkatan pembelajaran, bagaimana
mengembangkan potensi peserta didik, mengembangkan masyarakat
serta memajukan negara dan bangsa.

c. Akuntabilitas
Arti akuntabilitas adalah bisa dipertangung jawabkan. Bila
dihubungkan dengan sertifikasi ini adalah segala sesuatu yang dilakukan
guru harus akuntabel, bisa dipertanggungjawabkan di depan hukum dan
dimata masyarakat. Akuntabilitas penting sebagai ukuran kredibilitas dan
integritas seseorang. Bila sertifikasi tidak akuntabel, maka banyak
kecurangan terjadi. Tentu saja akuntabilitas terhitung pada semua pihak
disemua level baik guru sebagai pelaku sertifikasi, juga birokrasi yang
menyelengarakan (Departemen Pendidikan Nasional, Departemen
Agama, Asesor sebagai pihak penilai portofolio guru, perguruan tinggi
yang ditunjuk pemerintah dan perguruan tinggi yang mengeluarkan
ijazah untuk kualifikasi S1 atau D-IV). Semua berani
mempertanggungjawabkan setiap langkah didepan hukum dan ditengah
sorotan masyarakat.
Dengan demikian akuntabilitas inilah yang membuat proses
sertifikasi guru berjalan dengan baik sesuai dengan mekanisme yang
benar, jujur, tidak ada kecurangan. Bila proses yang dilakukan benar dan
sesuai prosedur, maka kepercayaan diri akan meningkat dan
akuntabilitasnya terjamin baik pula.
d. Profesionalitas
Tujuan dari sertifikasi guru ini akan membawa guru yang
profesional, maka serifikasi guru harus berdasarkan juga pada
profesionalitas guru. Guru yang profesional adalah guru yang mengajar
sesuai bidang keahliannya, setiap saat berupaya mengembankan diri
dengan banyak membaca, menulis, berdiskusi, beraktualisasi, dan selalu
bersikap profesional sesuai dengan mekanisme yang ada.

14
Dengan profesionalitas guru juga sebagai ladang untuk mencari
nafkah, sehingga guru bisa mencurahkan seluruh waktunya, tenaga serta
pikiran untuk memajukan dunia pendidikan, tidak sekedar mengisi waktu
kosong atau sebagai pekerjaan sampingan. Jadi, disana ada rasa totalitas,
loyalitas, dan integritas dalam menjalani profesi yang mulia. Setifikasi
guru adalah salah satu media untuk mengembangkan kreativitas guru
menuju profesionalitas sejati karena dengan kreativitas akan lahir ide-ide
untuk mengembangkan kemampuan dan mengukir prestasi.
e. Objektivitas
Settifikasi harus sesuai dengan fakta dan realitas yang ada, bukan
seubjektifitas sem, relatif atau ada kepentingan terselubung karena
sertifikasi memang butuh objektivitas yang tinggi. Jadi semua pihak yang
terkait dengan sertifikasi ini harus menjaga objektivitas,tidak terpengaruh
hal-hal negatif. Karena objektivitas menuntut pelaku harus independen,
kebersihan hati untuk melakukan tindakan sehingga tidak terjerumus
pada permainan kotor.
f. Berorientasi Pada Tujuan
Sertifikasi mengacu pada pencapaian guru berkualitas untuk
mengembangkan dunia pendidikan. Jadi sertifikasi berorientasi pada
tujuan yang akan membentuk mental guru yang tidak pernah puas dengan
prestasi yang telah diraihnya dan selalu menghindari kecurangan. Kalau
ada guru seperti ini pastinya sabar dan konsisten di jalan yang benar
untuk memenuhi persyaratan, misalnya sebagi berikut :
1) Selalu gigih dan semangat menempuh pendidikan setinggi
mungkin.
2) Aktif menulis artikel, berbagai makalah, dan sejenisnya.
3) Aktif mengikuti berbagai seminar.
4) Selalu berlatih meneliti dan kegiatan lain yang menunjang nilai
sertifikasi.
Namun bisa ditebak jiga orientasi sertifikasi lebih kepada “materi”
bukan pada tujuan sertifikasi, maka sertifikasi akan menjadi ajang
rebutan para guru sehingga pengadaannya menggunakan cara yang kotor.

15
7. Pasca Sertikasi Guru
Guru yang telah lolos sertifikasi dan menerima serifikat pendidik
adalah suatu simbol bahwa gruu harus terus mengabdikan keahlian dan
kompetensinya sebgai pendidik dan pengajar yang profesional. Maka sudah
pasti harus ada tindak lanjut dari sertifikasi tersebut diantranya adalah :
a. Tunjangn Profesi Guru
Mendapatkan tunjangan satu kali gaji setiap bulan adalah salah
satu dorongan tetap mempertahankan profesionalime, selain juga dapat
meningkatkan performa sebagai guru yang harus mengikuti zaman
untuk kepentingan semua pihak. Dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya, guru mempunyai kewajiban sebagi berikut.
1) Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran
yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
2) Meningkatkan dan mengembangkan kualitas kademik dan
kompetensi yang berkelanjutan sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
3) Objektif dalam bertindak, tidak diskrimantif dengan
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan status ekonomi
peserta didik dalam pembelajaran.
4) Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan
kode etik guru serta nilai-nilai agama.
5) Memelihara dan menumpuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Bentuk tanggung jawab guru tidak terbatas pada tugas mengajar
saja sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan, tetapi juga harus
mengikuti perkembangan masyarakat disekitar untuk menambah ilmu
dan wawasan. Guru juga harus bisa menjadi contoh atau model,
menjadi fasilitator yang bisa menjembatani anak agar mudah
mengakses informasi dan ilmu pengetahuan.
b. Tetap Profesional
Profesional merupakan upaya membangun integritas dan kualitas
guru supaya mampu bertindak sebagai agen pembelajaran yang aktif

16
dan kreatif. Untuk mewujudkan hal ini perlu kerja keras terus-menerus,
tidak terbatas waktu dan usia guru yang bersangkutan. Hasil kerja keras
ini memang harus dipertahankan agar profesionalitas tetap terjaga
dengancara sebagai berikut :
1) Mengutamakan kebutuhan siswa.
2) Mengidentifikasi kemampuan serta kelemahan akademik siswa.
3) Menerima segala kritikan yang membangun, tertutama dari
siswa, karena dari siswalahkita mengetahui kemampuan siswa
untuk memudahkan proses pembelajaran.
4) Mampu memilih metode yang tepat untuk diterapakan dalam
proses pembelajaran sehingga hasilnya bisa maksimal sesauai
harapan.
5) Aktif belajar teknologi informasi untuk memudahkan dan
melaksanakan pembelajaran inovatif dan variatif.
6) Sesering mungkin melibatkan peserta didik sehingga suasana
belajar menjadi menyenangkan karena ada keterpaduan
keinginan guru dan siswa.
7) Aktif berdiskusi, membaca buku dan refrensi, mengikuti
berbagai forum ilmiah untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan.
8) Mengikuti berbagai lomba untuk mengukur kemampuan diri
sendiri.
9) Aktif menulis ke jurnal, berbagai media, atau buku untuk
menambah nilai.
10) Melibatkan diri sendiri untuk berorganisai, baik yang
berhubungan dengan kependidikan maupun sosial
kemasyarakatan untuk melatih menyampaikan ide dan menjalin
hubungan baik dengan berbagai pihak.
Saat ini pemerintah tengah mempersiapkan instrumen evaluasi
sebagai mekanisme pengawasan kualitas guru yang telah menerima
sertifikat pendidik. Program yang akan dilaksanakan setiap semester ini

17
diharapkan bisa mendorong guru mencapai prestasi atau pengalaman
profesional baru untuk melengkapi portofolionya.9
B. Peningkatan Kualitas Guru
1. Pengertian
Mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas pengajaran. Pada
gilirannya, guru adalah satu-satunya komponen terpenting untuk menjaga
kualitas pengajaran karena pengetahuan dan keterampilan individual guru
sangat memengaruhi pembelajaran dan prestasi anak didik.10 Dalam kamus
besar Bahasa Indonesia dinyatakan, bahwa pendidik adalah orang yang
mendidik.11 Dalam pengertian yang lazim digunakan, pendidik adalah orang
dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada paserta
didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai
tingkat kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai
hamba dan khalifah Allah swt dan mampu melakukan tugas sebagai
makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.12
Istilah pendidik mencakup pula guru, dosen, dan guru besar. Guru
adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar dan pendidikan menengah. Dosen adalah pendidik profesional dan
ilmuan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan guru besar atau
professor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih
mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.13
Mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau
jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang

9
I.Prihatini, Meraih Sukses Sertifikasi Guru....72
10
Asep Suryahadi dkk. Penilaian. “Kebijakan untuk Meningkatkan Kualitas Guru dan Mengurangi
Ketidakhadiran Guru”, The SMERU Research Institut, ( 2017) Hal. 5
11
W.J.S. Perwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) Hal.250
12
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal, 159
13
Ibid, 160

18
ditentukan oleh pelanggan.14 Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu
dapat dilihat mulai dari input, proses, dan output. Kualitas atau mutu adalah
conformance to requirement yaitu sesuai yang diisyaratkan atau
distandarkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan standar
kualitas yang telah ditentukan. Standar kualitas meliputi bahan baku, proses
produksi, dan produksi jadi.15
2. Standar Mutu Pendidik
Dalam PP no. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
bab VI disebutkan bahwa Pendidik secara umum harus memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.16
a. Standar kualifikasi
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang
pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian
yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.17
Pendidikan mutu guru sebagai pendidik dan tenaga kependikan
dilaksanakan dengan mengacu pada standar pendidik dan
tenaga kependidikan mata pelajaran dalam Standar Nasional
Pendidikan (SNP). Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan penyediaan
guru pendidikan agama Islam untuk satuan pendidikan peserta didik
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Dilakukan
pula pendidikan dan pelatihan metode pembelajaran pendidikan agama
Islam, pemberian bea peserta didik Strata 1 (S1) untuk guru pendidikan
agama Islam, dan juga melakukan sertifikasi guru pendidikan agama
Islam.

14
Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2010) Hal, 56
15
Philip B. Crosby, Quality is Free, (Mc-Graw Hill Book: New York, 1979) Hal. 58
16
Undang-Undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 & PP RI No. 47 Tahun 2008, (Bandung:
Rhustyb Publiser, 2009), 77.
17
Ibid,. 77

19
Peningkatan kemampuan guru juga diberikan kepada guru-guru
yang belum mencapai gelar S1 sesuai dengan Undang-Undang yaitu
memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan tanpa banyak
meninggalkan tugas-tugas di sekolah yaitu dengan merancang suatu
program pendidikan dualmode system. Dualmode system adalah dua
modus belajar yaitu menggunakan modul sebagai bahan belajar mandiri
(BBM), kemudian ada kuliah secara tatap muka di tempat yang sudah
ditunjuk dan disepakati antara mahasiswa dengan dosennya. Dualmode
system itu hakekatnya sama dengan Universitas Terbuka yang
melaksanakan belajar jarak jauh, namun berbeda dengan kelas jauh dari
suatu perguruan tinggi. Kalau kelas jauh perguruan tinggi membuka
kelas di luar kampusnya, sehingga menyulitkan untuk mengontrol
kualitas pembelajaran dan kualitas lulusannya.
Secara Undang-Undang kegiatan ini legal, karena ada pasal atau
Bab dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003 pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ
(Perguruan Tinggi Jarak Jauh). Dalam Undang-Undang itu secara lebih
spesifik mengizinkan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk
melaksanakan pendidikan melalui cara Perguruan Tinggi Jarak Jauh
dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, misalnya
dengan memanfaatkan perangkat komputer dengan internetnya seperti e-
learning atau e-mail. Belajar jarak jauh ini tidak boleh diselenggarakan
atau dibuka oleh perguruan tinggi yang tidak ditugasi, jadi harus
dikendalikan atau dikoordinasikan.18
Ada dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas kemampuan
guru, pertama adanya jalur resmi untuk mengikuti pendidikan S1, kedua
yang rutin mengikuti kegiatan-kegiatan melalui Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP). Dari kedua jalur ini, diharapkan guru pendidikan
agama Islam di sekolah tidak berjalan begitu saja dan kemampuannya
juga tidak meningkat. Sebagai orang Islam kita berpegang kepada suatu
kaidah yang menyatakan bahwa “kalau hari ini lebih jelek dari hari

18
Ibid,.78

20
kemarin, maka celaka. Kalau hari ini sama dengan hari kemarin,
maka rugi, dan kalau hari ini lebih bagus dari hari kemarin, maka
beruntung”. Maka harus ada upaya-upaya untuk terus menerus belajar
min al-mahdi ila al-lahdi. Artinya guru harus senantiasa meningkatkan
kualitas dirinya.
Dalam manajemen mutu perbaikan terus menerus merupakan suatu
keharusan.19Artinya semua komponen yang terlibat dalam sebuah
organisasi termsuk guru harus senantiasa melihat segala kekurangannya
dan tetap melakukan perbaikan demi tercapainya tujuan yang telah
ditentukan bersama.
b. Standar kompetensi
Istilah kompetensi guru mempunyai banyak makna, Broke and
Stone mengemukakan bahwa kompetensi guru merupakan gambaran
kualitatif tentang hakikat perilaku guru yang penuh arti. 20 Sedangkan
dalam PP RI No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
bab VI pasal 28 ayat (3) disebutkan bahwa kompetensi sebagai agen
pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta
pendidikan anak usia dini meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi professional, dan kompetensi social. 21
1) Kompetensi pedagogic
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28
ayat (3) butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik
adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang
meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya. 22 Lebih lanjut dalam RPP tentang guru
dikemukakan bahwa “kompetensi pedagogik merupakan

19
Edward Sallis............, 76
20
E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
hlm. 25
21
Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 & PP RI No. 47 Tahun 2008. ....77.
22
E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru,.... 75.

21
kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik
yang sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan
b) Pemahaman terhadap peserta didik
c) Pengembanagan kurikulum/silabus
d) Perencanaan pembelajaran
e) Pelaksanaan pembelajran yang mendidik dan dialogis
f) Pemanfaatan teknologi pembelajaran
g) Evaluasi hasil belajar
h) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potendi yang dimilikinya.23
2) Kompetensi kepribadian
Dalam Standar Nasioanal Pendidikan, penjelasan pasal 28
ayat (3) butir b, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi
peserta didik dan berakhlak mulia.24
Lebih lanjut dalam PP RI No. 74 tahun 2008 pasal 3 ayat (5)
dijelaskan kompetensi kepribadian guru sekurang-kurangnya
mencakup: beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, arif dan
bijaksana, demokratis, mantap, berwibawa, stabil, dewasa, jujur,
sportif, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat,
secara obyektif mengevaluasi kinerja diri, dan mengembangkan
diri secara mandiri dan berkelanjutan. 25
Moh. Uzer Usman menjelaskan bahwa kemampuan pribadi
ini meliputi hal-hal berikut:26
a) Mengembangkan kepribadian yang meliputi; bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa; berperan dalam
masyarakat sebagai warga Negara yang berjiwa

23
Ibid, 76.
24
Ibid, 77
25
Anonim, Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen, Undang-Undang RI Tahun
2003 Sisdiknas dan PP RI N0. 19 Tahun 2005, (Surabaya: Wacana Intelektual, 2009), 25.
26
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 16.

22
Pancasila; mengembangkan sifat-sifat terpuji yang
dipersyaratkan bagi jabatan guru.
b) Berinteraksi dan berkomunikasi, yang meliputi;
berinteraksi dengan sejawat untuk meningkatkan
kemampuan profesional; berinteraksi dengan masyarakat
untuk penunaian misi pendidikan.
c) Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, yang
meliputi; mengkaji siswa yang mengalami kesulitan
belajar; membimbing murid yang berkelainan dan
berbakat khusus.
d) Melaksanakan administrasi sekolah, yang meliputi;
mengenal pengadministrasian kegiatan sekolah; dan
melasanakan kegiatan administrasi sekolah.
e) Melaksanakan penelitian sederhana, yang meliputi;
mengkaji konsep dasar penelitian ilmiah; dan
melaksnakan penelitian sederhana.
3) Kompetensi professional
Dalam pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Guru dan Dosen
Nomor 14 Tahun 2005 dijelaskan bahwa profesional adalah
pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran
atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan profesi.
Burhanudin Salam dalam Haidar Putra Daulam menyatakan
profesionalis adalah pekerjaan yang menghasilkan nafkah hidup
dan menghendaki suatu keahlian. Cirinya sebagai berikut:
a) Memiliki keahlian di bidang tertentu
b) Menggunakan waktunya untuk bekerja dalam bidang
tersebut.
c) Hidup dari pekerjaan tersebut

23
d) Bukan sebagai hobi. 27
Guru adalah jabatan profesional yang memerlukan berbagai
keahlian khusus. Sebagai suatu profesi, maka harus memenuhi
kriteria professional, sebagai berikut:28
a) Fisik: sehat jasmani dan rohani, tidak mempunyai cacat
tubuh yang bisa menimbulkan ejekan atau rasa kasihan
dari peserta didik.
b) Mental/kepribadian: berjiwa pancasila, mampu
menghayati GBHN, mencintai bangsa dan sesama
manusia dan rasa kasih sayang kepada anak didik,
berbudi pekerti yang luhur, berjiwa kreatif, dapat
memanfaatkan rasa pendidikan yang ada secara
maksimal, mampu menyuburkan sikap demokrasi dan
penuh tenggang rasa, mampu mengembangkan
kreativitas dan tanggung jawab yang besar akan
tugasnya, mampu mengembangkan kecerdasan tinggi,
bersikap terbuka peka, dan inovatif, menunjukkan rasa
cinta kepada profesinya, ketaatannya akan disiplin, dan
memiliki sense of humor.
c) Keilmiahan/pengetahuan: memahami ilmu yang dapat
melandasi pembentukan diri, memahami ilmu
pendidikan dan keguruan dan mampu menerapkannya
dalam tugasnya sebagai pendidik, memahami dan
menguasai serta mencintai ilmu pengetahuan yang akan
diajarkan, memiliki pengetahuan yang cukup tentang
bidang-bidang yang lain, senang membaca buku-buku
ilmiah, mampu memecahkan persoalan secara sistematis
terutama yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan
memahami prinsip-prinsip kegiatan pembelajaran.

27
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kencana,
2007), 76.
28
Oemar Malik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi (Jakarta: Bumi Aksara,
2006), 36.

24
d) Keterampilan: mampu berperan sebagai organisator
proses pembelajaran, mampu menyusun bahan
pembelajaran atas dasar pendekatan struktural,
interdisipliner, fungsional, behavior, dan teknologi,
mampu menyusun garis besar program pembelajaran,
mampu memecahkan dan melaksanakan teknik-teknik
mengajar yang baik dalam mencapai tujuan pendidikan,
mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi
pendidikan, dan memahami dan mampu melaksanakan
kegiatan dan pendidikan luar sekolah.
4) Kompetensi sosial
Kompetensi social adalah kemampuan guru sebagai bagian
dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar secara lisan,
tulisan dan isyarat.29 Arikunto mengemukakan kompetensi social
mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik
dengan peserta didik sesame guru, kepala sekolah, pegawai tata
usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.30
Guru adalah makhluk sosial, yang dalam kehidupannya
tidak bisa terlepas dari kehidupan social masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu guru dituntut untuk
memiliki kompetensi sosial yang memadai, terutama dalam
kaitannya dengan pendidikan, yang tidak terbatas pada
pembelajaran di sekolah tetapi juga pada pendidikan yang terjadi
dan berlangsung di masyarakat.31
Guru dalam pandangan al-Gazali mengemban dua misi
sekaligus, yaitu tugas keagamaan, ketika guru melakukan
kebaikan dengan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada

29
Kementerian Agama RI, Modul Pengembangan Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kemenag
RI, 2010), 3
30
Ibid,.4
31
E. Mulyasa, .....173.

25
manusia sebagai makhluk termulia. Sedangkan yang termulia dari
tubuh manusia adalah hatinya. Guru bekerja menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan dan membawa hati itu menuju Allah.
Tugas lainnya adalah tugas sosiopolitik (kekhalifahan), dimana
guru membangun, memimpin dan menjadi teladan yang
menegakkan keteraturan, kerukunan, dan menjamin
keberlangsungan masyarakat, yang keduanya berujung pada
pencapaian kebahagiaan di akhirat. Oleh karena itu guru harus
memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup
tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.32
Setidaknya ada tujuh kompetensi social yang harus dimiliki
guru agar dapat berkomunikasi dan bergauk secara efektif, baik di
sekolah maupun di masyarakat. Ketujuh kompetensi tersebut
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a) Memiliki pengetahuan tentang adat istiadat baik social
maupun agama
b) Memiliki pengetahuan tentang budaya dan tradisi
c) Memiliki pengetahuan tentang inti demookrasi
d) Memiliki pengetahuan tentang estetika
e) Memiliki apresiasi dan kesadaran social
f) Memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan
pekerjaan
g) Setia terhadap harkat dan martabat manusia.
Keempat standar kompetensi guru tersebut masih bersifat
umum dan perlu dikemas terutama guru pendidikan agama Islam,
dengan menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah
yang beriman dan bertaqwa, serta sebagai warga Negara
Indonesia yang demokratis dan bertanggungjawab.
Abuddin Nata, dalam bukunya menyimpulkan kriteria
seorang pendidik yang dipaparkan oleh Al-Ghazali ke dalam
enam belas kriteria. Kriteria yang harus dimiliki oleh seorang

32
Ibid, 174.

26
pendidik adalah, harus manusiawi, humanis, demokratis, terbuka,
adil, jujur, berpihak pada kebenaran, menjunjung akhlak mulia,
toleran, egaliter, bersahabat, pemaaf dan menggembirakan.
Dengan sifat-sifat yang demikian, maka seorang pendidik dapat
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dalam keadaan yang
partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan
(paikem).
Sebagian besar dari kriteria yang disampaikan oleh ahli
pendidikan Islam seperti al-Ghazali di atas, lebih banyak terkait
dengan kompetensi kepribadian dan social. Adapun kompetensi
akademik dan pedagogik tampaknya kurang mendapat perhatian.
Hal ini menurut mereka, kompetensi kepribadian, akhlak dan
social lebih utama dibandingkan dengan kompetensi lainnya.
Kompetensi akademik dan pedagogik berkaitan dengan
pembinaan mutu intelektual dan keterampilan peserta didik,
sedangkan kompetensi kepribadian dan sosial berkaitan dengan
pembinaan mutu akhlak dan kepribadian peserta didik.33
C. Menejemen Berbasis Sekolah
Dampak dari pelaksanaan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004
dan Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 adalah pemerintah daerah
diberi hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah (kabupaten/kota) berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang
RI Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut :
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan.
2. Perencanaan, pemamfaatan, dan pengawasan tata ruang.
3. Penyelengaraan ketertiban umum & ketenteraman masyarakat.
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum.
5. Penanganan bidang kesehatan.
6. Penyelenggaraan pendidikan.

33
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 168

27
7. Penanggulanagan masalah social.
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan.
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menegah.
10. Pengendalian lingkungan hidup.
11. Pelayanan pertanahan.
12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil.
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan.
14. Pelayanan administrasi penanaman modal.
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Konsekwensi logis dari pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah
tersebut adalah perubahan terhadap manajemen pendidikan. Karena itu,
manajemen pendidikan berbasis pusat diubah menjadi manajemen pendidikan
berbasis sekolah (MBS). Selanjutnya pada Pasal 51 Undang-Undang RI Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa
pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.34
1. Pengertian
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan terjemahan
dari school based management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika
Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan
dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat.
MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada
sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan
mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi
keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara
sekolah, masyarakat, dan pemerintah.35

34
Hamid, Menjemen Berbasis Sekolah, Al Khawarizmi, Vol.1.2003.Hal. 89
35
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2002),Hal, 11

28
Manajemen Berbasis sekolah/madrasah (MBS/ MBM) merupakan
paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat
sekolah (pelibatan masyarakat) daalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional. Pelibatan masyarakat ini dimaksudkan agar mereka lebih
memahami, membantu, mengontrol pengelolaan pendidikan.
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan
dari “school-based management”. MBS merupakan paradigma baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan
masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan alternatif
baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada
kemandirian dan kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen
berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari
desentralisasi pendidikan.36
MBS adalah salah satu basis manajemen pengelolaan sekolah yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengambilan kepu tusanbersama secara partisipatif dari semua warga
sekolah dan masyarakat di sekitarnya dalam upaya mengembangkan dan
meningkatkan mutu pendidikan. Model manajemen demikian ditujukan
untuk memberikan kemandirian kepada sekolah serta meningkatkan mutu
pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Melalui MBS, setiap satuan pendidikan dapat menentukan kebijakan
sendiri untuk meningkatkan mutu dan relevan sipendidikan dengan
mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama
yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dalam membentuk
pribadi peserta didik. Pendekatan manajemen ini, merupakan satu sistem
pengelolaan yang luas dalam berbagai aspek.

2. Tujuan Menejemen Berbasis Sekolah


MBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah
melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah untuk mendorong
36
Nurkolis. Manajemen Berbasis sekolah Teori, Model dan Aplikasi.(Jakarta: Grasindo. 2003)
Hal. 25

29
sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih
rincinya, MBS bertujuan untuk:
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif
sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan
pemerintah tentang mutu sekolah.
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu
pendidikan yang akan dicapai.37
3. Ruang Lingkup MBS
Melalui MBS, pihak manajemen sekolah diberi keleluasaan untuk
mengatur dirinyasendiri dalam berbagai hal. Berhasil tidaknya sebuah
sekolah dalam menjalankan proses pendidikan sepenuhnya tergantung pada
manajemen sekolah. Ibarat nakhoda yang berlayar ditengah lautan, si
nachodalah yang menentukan ke mana arah kapalnya menuju dan
bagaimana teknisnya mengarungi lautan. Tentu, ada manual yang menjadi
guidance bagaimana caranya mengendalikan kapal, tapi teknis apa dan
bagaimana yang harus dilakukan ketika berlayar, sepenuhnya tanggung
jawab nakhoda, dibantu oleh anak buah kapal. MBS memiliki ruang lingkup
yang luas meliputi berbagai aspek:
a. MBS merupakan otonomi satuan pendidikan dalam mengelola
pendidikan di satuan pendidikan yang bersangkutan. Dalam hal ini,
kepala sekolah dan guru dibantu komite sekolah dalam
mengelolapendidikan.
b. Kewenangan kepala sekolah untuk menentukan secara mandiri untuk sa-
tuan pendidikan yang dikelolanya dalam bidang manajemen, yang
meliputi rencana strategis dan operasional, struktur organisasi dan tata
kerja, sistem audit dan pengawasan internal; dan sistem penjaminan mutu
internal.

37
Dirjo Ardiansyah, dkk. Majemen Berbasis Sekolah (MBS.) Sekolah Menengah Atas.(Jakarta
Selatan: Direktur Pembinaan Sekolah SMA. 2018) Hal. 3

30
Hal-hal tersebut merupakan ruang lingkup MBS di mana setiap satuan
pendidikan memiliki kewenangan untuk mengelola kegiatan pendidikan di
satuan pendidikan.
Hanya saja konsep desentralisasi model MBS itu kerapkali belum
dipahami se-cara mendasar dan filosofis. Akibatnya, manajemen sekolah
yang semestinya dapat melakukan berbagai hal secara mandiri, mereka tidak
bisa melakukannya karena perlu dukungan aturan sebagai langkah
melakukan kebijakan di sekolah. Hal demikian menyebabkan MBS tidak
optimal. Seolah sekolah itu dikendalikan secara“autopilot” oleh pemerintah
selaku pengelola pendidikandi satu wilayah.
Selain itu, MBS itu juga kerap diinterpretasikan secara beragam
sehingga belum ditemukan model yang paling sesuai dengan kondisi nyata
setiap sekolah di se-tiap kondisi yang sesuai dengan konteks lokalnya. Oleh
karena itu perlu sebuah naskah tentang MBS yang disusun secara
konseptual dan relevan sesuai dengan kondisi nyata di sekolah.38
4. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen berbasis sekolah memiliki karakteristik yang perlu
dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika
sekolah ingin berhasil dalam menerapkan MBS, maka beberapa
karakteristik MBS perlu dipelajari dan dipahami dengan baik. Membahas
karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah
efektif. Jika MBS dianggap sebagai wadah/kerangkanya maka sekolah
efektif merupakan isinya. Oleh sebab itu, karkteristik MBS memuat elemen-
elemen sekolah efektif yang dikategorikan menjadi input, proses dan output.

38
Ibid...4

31
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya suatu proses. Sesuatu yang dimaksud
berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai
pemandu berlangsungnya proses. Input sumberdaya meliputi sumberdaya
manusia (kepala sekolah, guru, konselor, karyawan, peserta didik) dan
sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan,dsb). Adapun
input-input pendidikan antara lain:
a. Memiliki kebijakan, visi, misi, tujuan, sasaran mutu yang jelas.
b. Sumberdaya tersedia dan siap.
c. Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi. 4) Memiliki harapan
prestasi yang tinggi.
d. Fokus pada pelanggan (khususnya siswa).
e. Input manajemen (tugas, rencana, program, ketentuan-ketentuan,
pengendalian/pengawasan).
Proses merupakan berubahnya ”sesuatu” menjadi ”sesuatu yang
lain”. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut
input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Pada
penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah, yang dimaksud dengan
proses pendidikan meliputi empat hal yaitu :
a. Proses pengambilan keputusan.
b. Proses pengelolaan kelembagaan.
c. Proses pengelolaan program.
d. Proses belajar mengajar.
Output pendidikan adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses
pembelajaran dan manajemen. Output sekolah dapat diukur dengan kinerja
sekolah yang terdiri dari: (1) Efeketifitas; (2) Kualitas; (3) Produktivitas; (4)
Efisiensi; (5) Inovasi; (6) Kualitas kehidupan kerja; dan (7) Moral kerja.39
5. Pola Baru Manajemen Pendidikan
Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Demikian pula
manajemen penge-lolaan sekolah. Banyaknya bukti empirik tentang

39
Hamid, Menjemen Berbasis Sekolah, Al Khawarizmi, Vol.1.2003.92

32
lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannnya
otonomi daerah, membawa konsekuensi pada perubahan manajemen
sekolah. Sebuha konsekuensi logis untuk dilakukan penyesuaian manajemen
pengelolaan sekolah dari pola lama menuju pola baru. Pola baru manajemen
pendidikan juga dibutuhkan untuk mengan-tisipasi perkembangan zaman
yang lebih bernuansa otonomi dan demokratis. Leih jelasnya perhatikan
kolom berikut ini :
Pola Lama Ke Pola Baru (MBS)
Subordinasi Otonom
Pengambilan keputusan Pengambilan keputusan
terpusat partisipatif
Ruang gerak kaku Ruang gerak luwes
Pendekatan birokratik Motivasi diri
Sentralistik Desentralistik
Pendekatan
Diatur
professional
Overregulasi Deregulasi
Mengontrol Mempengaruhi
Mengarahkan Memfasilitasi
Menghindari resiko Mengelola resiko
Gunakan uang Gunakan uang
semuanya seefisien mungkin
Individual yang cerdas Teamwork yang cerdas
Informasi terpribadi Informasi terbagi
Pendelegasian Pemberdayaan
Organisasi hierarkis Organisasi datar

Berdasarkan pola baru tersebut, sekolah memiliki wewenang lebih


besar dalam pengelolaan lembaganya. Hal tersebut membawa perubahan
pada banyak hal. Di antaranya pengambilan keputusan dilakukan secara
partisipatif. Demikian pula partisipasi masyarakat juga makin besar, sekolah
lebih luwes dalam me-ngelola lembaganya, pendekatan profesionalisme
lebih diutamakan daripada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih
desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi diri sekolah
daripada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peran
pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari
mengarahkan ke memfasilitasi, dari meng-hindari resiko menjadi mengolah
resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat

33
digunakan untuk anggaran tahun depan (efficien-cy-based budgeting),lebih
mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organ-isasi lebih datar sehingga
lebih efisien.40
6. Konsep Dasar Menejemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pada prinsipnya, MBS merupakan model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah
untuk melakukan pengembalian keputusan secara partisipatif untuk
memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutus
ekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Oleh karena itu, terdapat
sejumlah kata kunci terkait MBS, yakni otonomi sekolah, pengambilan
keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
a. Otonom
Pada prinsipnya, MBS merupakan model manajemen yang
memberikan oto-nomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
sekolah untuk melakukan pengembalian keputusan secara partisipatif
untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan
mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Oleh karena itu,
terdapat sejumlah kata kunci terkait MBS, yakni otonomi sekolah,
pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutusekolah.
b. Pengambilan Keputusan Partisipatif
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk
mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik oleh warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orangtua siswa,
tokoh masyarakat). Wargasekolah didorong untuk terlibat secara
langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi
terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan
bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) daIam pengambilan
keputusan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasamemiliki”
terhadap keputusan tersebut sehingga yang bersangkutan juga akan
bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan
sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula

40
Darjo Ardiansyah dkk. hal.9

34
rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa memiliki, makin besar pula
rasa tanggung jawab dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar
pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam pengambilan
keputusan harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan,dan
relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Dengan pengertian di atas, sekolah memiliki kewenangan dan
kemadirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya untuk mencapai
mutu pendidikan. Dengan kata lain, sekolah merupakan unit utama
pengelolaan proses pendidikan. Sedangkan unit-unit di atasnya, seperti
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan di
daerah merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah. Sekolah yang
mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah.
2) Bersifat adaptif dan antisipatif proaktif sekaligus.
3) Memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani
mengambil risiko, dan sebagainya).
4) Bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah.
5) Memiliki control yang kuat terhadap input manajemen dan sumber
dayanya.
6) Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.
7) Komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan
bagi penilainya.
Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada
umumnya. memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung
jawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya di mana, dia
memiliki kontrol terha-dap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan
bagian dari hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan atau
memberdayakan warga sekolah adalah dengan pemberian kewenangan,
pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan
masalah sekolah secara team work, va-riasi tugas, hasil kerja yang
terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan,

35
kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui
bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes,
dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya
yang dibu-tuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia
ciptaan-Nya yang memiliki murtabat tertinggi.
7. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen berbasis sekolah (MBS) memberikan kebebasan dan
kewenangan yang luas kepala sekolah disertai seperangkat tanggung jawab.
Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan
sumber daya dan pengembangan strategi Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan
kesejahteraan guru sehingga guru dapat berkonsentrasi dalam tugas
utamanya, yaitu mengajar.
Sejalan dengan pemikiran diatas, B Suryosubroto mengutarakan
bahwa otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya
dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar
sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkungan setempat. Maka
dengan adanya otomoni tersebut, sekolah akan lebih leluasa dalam
mengimprovisasi dirinya sesuai dengan kemapuan.
Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang
menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya
cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak
perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang
“jauh panggang dari api”.41
Dengan keleluasaan mengelola sumber daya dan juga adanya
partisipasi masyarakat, mendorong profesionalisme kepemimpinan sekolah
yaitu kepala sekolah baik dalam peran sebagai manajer maupun sebagai
sebagai pemimpin sekolah. Dan dengan diberikan kesempatan kepada
sekolah dalam mengembangkan kurikulum, guru didorong untuk
mengimprovisasi dan berinovasi dalam melakukan berbagai eksperimentasi

41
Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan (Jakarta : Bumi Aksara, 2010),p.85.

36
di lingkungan sekolah dengan tujuan menemukan kesesuaian antara teori
dengan kenyataan.
Perubahan yang paling mendasar dalam aspek manajemen kurikulum,
bahwa pendidikan harus mampu mengoptimalisasikan semua potensi
kelembagaan yang ada dalam masyarakat, baik pada lembaga-lembaga
pendidikan yang dikelola pemerintah, masyarakat ataupun swasta.
Persyaratan dasar penetapan jenis kurikulum antara lain:
a. Kurikulum dikembangkan berdasarkan minat dan bakat peserta didik.
b. Kurikulum berkaitan dengan karakteristik potensi wilayah setempat,
misalnya: sumber daya alam ekonomi, pariwisata, sosial-budaya.
c. Dapat dikembangkan secara nyata sebagai dasar penguat sektor usaha
pemberdayaan ekonomi masyarakat.
d. Pembelajaran berorientasi pada peningkatan kompetensi keterampilan
untuk belajar dan bekerja, lebih bersifat aplikatif dan operasional.
e. Jenis pengelola program bersama-sama dengan peserta didik, orang tua,
tokoh masyarakat, dan mitra kerja42.
Dengan demikian manajemen berbasis sekolah (MBS) mendorong
profesionlisme guru dan terutama kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan yang ada di garda depan. Melalui pengembangan kurikulum
yang efektif dan fleksibel, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan
masyarakat setempat akan meningkat serta layanan pendidikan akan sesuai
dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat seiring perkembangan zaman
yang terus berubah.
8. Implementasi Kebijakan Menejemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dari waktu ke waktu kesadaran masyarakat terhadap urgensi
pendidikan semakin meningkat dan mulai tampak dipermukaan. Hal ini
dapat diindikasikan dengan animo masyarakat yang banyak menyekolahkan
anak-anak mereka ke lembaga yang kredibel. Mereka sadar bahwa untuk
menghadapi tantangan yang semakin berat yang disebabkan oleh perubahan
dan tantangan zaman adalah kesiapan pada penguasaan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu lembaga pendidikan yang maju dan mampu memberikan
42
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan (Bandung : Alfabeta,
2010),.41.

37
layanan yang maksimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan menjadi
sekolah favorit.
Dalam hal ini bukan hanya instansi yang bersifat komersial yang
dituntut untuk berkompetisi, akan tetapi lembaga pendidikan juga dituntut
untuk bersaing dengan lembaga pendidikan yang lain guna menawarkan jasa
yang mempunyai kesesuaian dan keserasian dengan kebutuhan masyarakat
sebagai unsur edukasi. Oleh sebab itu lembaga pendidikan harus memiliki
sistem manajemen pendidikan yang baik dan mampu menyongsong era
kompetisi. Jika pendidikan ingin dilaksanakan secara terencana dan teratur
maka berbagai eleman yang terlibat dalam kegiatan perlu dikenali. Untik itu,
diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu sistem.
Sejalan dengan tuntutan tersebut, pendidikan sudah mulai berbenah
diri dan mengalami reformasi sebagai bentuk konsekuensi dari tuntutan itu.
Pemerintah dalam hal ini sudah menyiapkan konsep pengelolaan
pendidikan, yaitu konsep manajemen berbasis sekolah untuk diterapkan
dilembaga-lembaga pendidikan sebagai jawaban atas tuntutan zaman.
Implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS), pada hakekatnya
adalah pemberian otonomi yang lebih luas kepada sekolah dengan tujuan
akhir meningkatkan mutu hasil penyelenggaraan pendidikan, sehingga bisa
menghasilkan prestasi yang sebenarnya melalui penyelenggaraan manajerial
yang mapan. Melalui peningkatan kinerja dan partisipasi semua stakeholder-
nya maka sekolah pada semua jenjang dan jenis pendidikan pada
otonominya akan menjadi suatu instansi pendidikan yang organik,
demokratis, kreatif, inovatif serta unik dengan ciri khas sendiri untuk
melakukan pembaruan sendiri (self reform).
Dalam kontek ini sekolah memiliki wewenang untuk mengambil
keputusan. Menurut Syahril Sagala, kekuasaan yang dimiliki sekolah antara
lain mengambil keputusan dengan rekruitmen serta pengelolaan guru dan
pegawai administrasi serta keputusan berkaitan dengan pengelolaan sekolah.
Adapun komponen yang didesentralisasikan adalah manajemen kurikulum,
manajemen tenaga kependidikan, manajemen kesiswaan, manajemen
pendanaan serta manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat. Secara

38
visualistis, implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) yang
dimaksud dapat dilihat pada skema berikut ini.

Input Proses Output

Implementasi
Manajemen
Kurikulum, Tenaga Prestasi Belajar
Kependidikan, Proses
Pembelajaran Yang Meningkat
Kesiswaan, Keungan,
dan Hubungan Sekolah
Dengan Masyarakat.

9. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Manajemen Berbasis


Sekolah (MBS)
Kajian yang dirumuskan oleh BPPN dan Bank Dunia merumuskan
beberapa faktor yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
dintaranya adalah:
a. Kewajiban Sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang menawarkan keleluasaan
pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan
kepala sekolah, guru, dan pengelola sisitem pendidikan profesional. Oleh
karena itu pelaksanaannya harus disertai seperangkat kebijakan, serta
monitoring dan tuntutan pertangungjawaban (akuntabel) yang relatif
tinggi, untuk menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi juga
mempunyai kebijakan melaksanakan kebijakan pemerintah dan
memenuhi harapan masyarkat sekolah. Dengan demikian, sekolah
dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara
transparan, demokratis, tanpa monopoli dan tanggung jawab baik
terhadap masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka meningkatkan
kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
b. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak
merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional
terutama yang berkaitan dengan program peningkatan melek huruf dan

39
angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu, dan pemerataan
pendidikan. Dalam hal-hal tersebut, sekolah tidak diperbolehkan untuk
belajar sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan standar yang
ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Agar prioritas-prioritas pemerintah dilakukan oleh sekolah dan
semua aktivitas ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada peserta
didik sehingga dapat belajar dengan baik, pemerintah perlu merumuskan
seperangkat pedoman tentang pelaksanaan MBS. Pedoman-pedoman
tersebut, terutama ditujukan untuk menjamin bahwa hasil pendidikan
(student outcomes) terevalusi dengan baik, kebijakan-kebijakan
pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam
rangka yang disetujui pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai
dengan tujuan.
c. Peranan Orang Tua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan
berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif
dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan
sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Untuk
kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyaraka dan hal ini
merupakan salah satu aspek penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Melalui dewan sekolah (school council), orang tua dan
masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan berbagai keputusan.
Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami, serta mengawasi
dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan belajar-
mengajar. Besarnya partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sekolah
tersebut mungkin dapat menimbulkan rancunya kepentingan antar
sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah perlu
merumuskan bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara
jelas dan tegas.
d. Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Manajemen berbasis sekolah (MBS) menuntut perubahan-
perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi

40
dalam mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi
meningkatkan gesekan pranata yang bersifat profesional dan manajerial.
Untuk memenuhi persayaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru,
tenaga administrasi harus memiliki kedua sifat tersebut yaitu profesional
dan manjerial. Mereka harus memiliki pengetahuan yang mendalam
tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin
bahwa keputusan penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah khususnya,
perlu mempelajari dengan teliti, baik kebijakan dan prioritas pemerintah
maupun prioritas sekolah sendiri. Untuk kepentingan tersebut, kepala
sekolah harus:
1) Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan
masyarakat sekitar sekolah.
2) Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori
pendidikan dan pembelajaran.
3) Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi
sekarang berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu
memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan situasi sekarang.
4) Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah
dan kebutuhan yang berkaitan dengan efektivitas pendidikan di
sekolah.
5) Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tantangan
sebagai peluang, serta mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.
Pemahaman terhadap sifat profesional dan manjerial tersebut
sangat penting agar peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan serta
supervisi dan monitoring yang direnacanakan sekolah betul-betul untuk
mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan kerangka kebijakan
pemerintah dan tujuan sekolah.
e. Pengembangan Profesi
Dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) pemerintah harus
manjamin bahwa semua unsur penting tentang kependidikan (sumber
manusia) menerima pengembangan profesi yang diperlukan untuk

41
mengelola sekolah secara efektif. Agar sekolah dapat mengambil manfaat
yang ditawarkan MBS, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan
profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga
kependidikan untuk MBS. Selain itu, penting untuk dicatat sebaik-
baiknya sekolah dan masyarakat perlu dilibatkan dalam proses MBS
sedini mungkin. Mereka tidak perlu hanya menunggu, tetapi melibatkan
diri dalam diskusi-diskusi tentang MBS dan berinisiatif untuk
menyelenggarakan tentang aspek-aspek yang terkait43.
Dalam menerapkan MBS di sekolah, maka perlu langkah-langkah
yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi sekolah. Dalam
tahapan ini perlu dicermati tahap implementasi dan indikator
pencapaianhasilnya.
a. Tahap Implementasi
Secara umum, implementasi MBS dikelompokkan menjadi tiga tahap,
yaitu tahap pemahaman, tahap implementasi dan tahap penguatan.
1) Tahap Pemahaman
Mencakup ide dasar MBS pada jajaran Kemendikbud dan stake
holder, kejelasan karir dan kebijakan yang menjadi wewenang
pusat, daerah dan sekolah. Perubahan pola hubungan sub-ordinasi,
perubahan sikap dan perilaku baik pimpinan jajaran birokrasi
maupun masyarakat, deregulasi aturan, dan transparansi serta
akuntabilitas.
2) Tahap Implementasi
Tahap implementasi dapat dilakukan dengan berbagai syarat, di
antaranya.
a) Pihak sekolah dapat menerima informasi tentang MBS secara
lengkap dan dapat diterima (akseptabel) maknanya secara
filosofis, logis, dan dapat dipertanggung jawabkan;
b) Melakukan benchmarking ke sekolah yang telah menerapkan
MBS terlebih dahulu, dan mengidentifikasi semua persoalan
yang diha-dapi;

43
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2004) hal.26.

42
c) Menyusun tahapan implementasi dalam ruang lingkup yang
termu-dah terlebih dahulu.
d) Memulai inplementasi sesuai dengan kontekslokal;
3) Tahap Penguatan
Penguatan implementasi MBS dilakukan secara simultan dari
waktu ke waktu dengan melakukan evaluasi dan penguatan berkala,
sehingga diperoleh model implementasi yang benar-benar sesuai.
b. Indikator keberhasilan MBS
Keberhasilan MBS dicirikan dengan sejumlah indikator, antara lain:
1) Menguatnya kepemimpinan sekolah yang demokratis dan
profesional;
2) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mendukung
penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah;
3) Munculnya teamwork yang tinggi di dalam manajemen
sekolah;
4) Meningkatnya kemandirian sekolah dalam menghadapi
berbagai tantangan dalam dunia pendidikan.44
10. Strategi Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Hakekatnya, mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat
menjadi MBS bukanlah pekerjaan mudah, tetapi merupakan suatu proses
yang terus-menerus dan melibatkan seluruh elemen yang
bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Strategi
utama yang digunakan dalam mengimplementasikan manajemen berbasis
sekolah, adalah :
a. Mensosialisasikan konsep MBS kesemua warga sekolah.
b. Melaksanakan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya
berupa tantangan nyata yang harus dihadapi sekolah dalam mengubah
manajemen berbasis pusat menjadi MBS.
c. Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari
pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan
tantangan yang dihadapi.

44
Darjo Ardiansyah,dkk ..... hal 19

43
d. Mengidentifikasi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan
situasional dan masih perlu diteliti tingkat kesiapannya.
e. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya
malalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and
Threat).
f. Memilih langkah-langkah pemecahan masalah.
g. Membuat rencana jangka pendek, menengah dan panjang beserta
program-programnya.
h. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka
pendek MBS.
i. Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil MBS.
11. Dampak MBS Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan
Tujuan MBS adalah peningkatan mutu pembelajaran atau pendidikan.
Program MBS ini terdiri atas tiga komponen yaitu:
a. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
b. Peran Serta Masyarakat (PSM)
c. Peningkatan Mutu KBM melaluiPeningkatan Mutu
Pembelajaran (PAKEM).
Untuk merealisasikan program MBS maka perlu dilakukakan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Pelatihan kepala sekolah, guru dan masyarakat/komite sekolah.
b. Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS).
c. Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
(RAPBS).
Program MBS di sekolah-sekolah tidaklah mungkin terwujud dan
berhasil jika tidak ditunjang oleh biaya operasional sekolah yang cukup
sehingga rencana yang telah dibuat oleh sekolah dan masyarakat dapat
dilaksanakan dengan baik. Saat ini biaya operasional sekolah yang berasal
dari APBD/Pemerintah masih minim dan baru diprioritaskan bagi jenjang
pendidikan tingkat SD dan SMP. Sedangkan untuk jenjang pendidikan
tingkat SMA/SMK lebih banyak menerima biaya operasional dari Komite
Sekolah.

44
Untuk itu, diharapkan jumlah dana operasional dari
APBD/Pemerintah di tahun-tahun mendatang agar lebih ditingkatkan sesuai
dengan amanat Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas pasal 49 ayat 1 yang menyatakan: ”Dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan dana minimal 20 %
dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 % dari APBD”.
Dari uraian diatas dapatlah dirangkum mengenai dampak atau
pengaruh MBS terhadap sekolah dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan antara lain:
a. MBS menciptakan rasa tanggungjawab yang tinggi bagi warga
sekolah melalui manajemen sekolah yg lebih terbuka.
b. Sifat keterbukan MBS meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta
dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah.
c. Pelaksanaan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan
(PAKEM) akan meningkatkan prosentasi kehadiran siswa di sekolah
karena mereka merasa senang dan nyaman belajar.
d. Dukungan biaya operasional yang memadai akan menunjang
terlaksananya program-program yang telah disusun bersama antara
pihak sekolah dan masyarakat.45

45
Hamid, Menejmen Berbasis Sekolah,....... Hal 95

45
BAB III
A. Kesimpulan
Sertifikasi guru didefinisikan sebagai “upaya peningkatan mutu guru
dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara
berkelanjutan”.
Tujuan sertifikasi guru adalah untuk (1) menentukan kelayakan guru
dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, (2) peningkatan proses dan mutu hasil pendidikan, dan (3)
peningkatan profesionalisme guru. Ada dua target pelaksanaan sertifikasi guru,
yaitu (1) Meningkatkannya kompetensi kepribadian, kompetensi profesional,
kompetensi pedagogis, dan kompetensi sosial guru. (2) Meninigkatnya
profesionalitas, kinerja, dan kesejahteraan guru.
Prinsip utama sertifikasi guru adalah keterbukaan, kejujuran,
akuntabilitas, objektivitas, profesionalitas, dan berorientasi pada tujuan, bukan
tunjangan.
Dalam PP no. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bab
VI disebutkan bahwa Pendidik secara umum harus memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Standar kompetensi pendidik meliputi : kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Konsekwensi dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah
menimbulkan perubahan terhadap manajemen pendidikan berbasis pusat
diubah menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah (MBS). Beradasarkan
pada Pasal 51 Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pengelolaan satuan pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah/madrasah.
MBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah
melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah untuk mendorong

46
sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Terdapat
sejumlah kata kunci terkait MBS, yakni otonomi sekolah, pengambilan
keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.

47
DAFTAR PUSTAKA
Sudjana, Nana. 2012 Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja
Posdakarya.
Undang-Undang SISDIKNAS, 2 0 0 9 . No. 20 Tahun 2003 & PP RI No. 47
Tahun 2008. Bandung: Rhustyb Publiser, 2009
Asep Suryahadi dkk. 2017. Penilaian. “Kebijakan untuk Meningkatkan Kualitas
Guru dan Mengurangi Ketidakhadiran Guru”, The SMERU Research
Institut.
Anonim, 2009. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen,
Undang-Undang RI Tahun 2003 Sisdiknas dan PP RI N0. 19 Tahun
2005, Surabaya: Wacana Intelektual
Uzer, Moh. Usman,2007. Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja
Rosdakarya
Putra, Haidar Daulay, 2007 Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional, Jakarta: Kencana
Malik, Oemar,2006 Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan
Kompetensi, Jakarta: Bumi Aksara
Kementerian Agama RI, 2010 Modul Pengembangan Pendidikan Agama Islam,
Jakarta: Kemenag RI
I.Prihatini, 2019. Merauh Sukses Sertifikasi Guru, Sukoharjo: CV Graha Printama
Selaras
Ihyana Malik, “KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi
Guru)”, Otoritas Vol.1 No.1 April 2011.
Dr. Abdul Madjid, 2018. Analisis Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Penerbit
Smudra Biru
Hamid, Menjemen Berbasis Sekolah, Al Khawarizmi, Vol.1.2003.89
E. Mulyasa, 2002 Manajemen Berbasis Sekolah Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Mulyasa, 2004. Manajemen Berbasis Sekolah Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta:
Grasindo.

48
Dirjo Ardiansyah, dkk. 2018. Majemen Berbasis Sekolah (MBS.) Sekolah
Menengah Atas. Jakarta Selatan: Direktur Pembinaan Sekolah SMA.
Hamzah B. Uno,2010. Profesi Kependidikan Jakarta : Bumi Aksara
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI,2010. Manajemen Pendidikan Bandung
: Alfabeta

49

Anda mungkin juga menyukai