Anda di halaman 1dari 13

Akulturasi Budaya di Menara Kudus

Saniya Ovin Neha


ovinneha123@gmail.com

Abstrak

Masuknya ajaran Islam ke Indonesia telah memberikan perubahan dan kelangsungan


berbagai aktivitas kebudayaan. Salah satu dampak yang terlihat jelas pada arsitektur masjid-
masjid kuno di Jawa Tengah yaitu Masjid Menara Kudus atau Masjid Al-Aqsha semakin
memperkuat jejak ikatan budaya bahwa sebelum Islam datang, masyarakat setempat menganut
kepercayaan Hindu-Buddha. atau atau memegang erat tradisi di Nusantara. Oleh karena itu,
artikel ini antara lain akan membahas tentang gambaran lokasi, masyarakat dan budaya,
akulturasi, bentuk bangunan Menara Kudus, peran sentral bangunan Menara Kudus di Jawa
Tengah.Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas akulturasi budaya yaitu Islam dan
Hindu, kepercayaan dan tradisi yang ada di Nusantara. Metode penelitian yang digunakan dalam
penulisan artikel ini adalah studi literatur dan analisis kualitatif dan deskriptif untuk menjelaskan
bentuk akulturasi arsitektur Menara Kudus dimana menara ini menyilangkan budaya Hindu
dengan Islam. Asimilasi antara Islam dan budaya lokal memperkuat konsep harmonis bahwa
Islam dan budaya lokal dapat hidup berdampingan, dimana nilai-nilai agama Islam dan nilai-nilai
tradisional telah mengalami akulturasi dan kontak langsung seperti yang ditunjukkan melalui
arsitektur tempat-tempat suci.
Kata Kunci: Akulturasi, Budaya, Arsitektur Menara Kudus
Pendahuluan

Identitas Indonesia dibentuk oleh sejarah dan budaya ribuan suku dan bahasa berbeda di
setiap daerah.Perbedaan tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem
multikultural. Hidup dengan persamaan dan perbedaan setiap suku dan bahasa menghiasi bumi
pertiwi dengan keragaman sosial dan budaya-budaya yang tidak dimiliki negara lain. Keraga-
man yang saling berdampingan dimungkinkan oleh proses akulturasi yang meleburkan dan
membaurkan berbagai budaya sehingga selalu menciptakan kebaruan budaya tanpa
meng-hilangkan budaya lama yang bersifat tradision-al.oleh proses akulturasi yang melebur
dan

berbaur budaya yang berbeda begitu selalu menciptakan kebaruan budaya tanpa menghilangkan
budaya tradisional.

Akulturasi dapat diartikan sebagai proses percampuran dua budaya atau lebih yang
bertemu dan saling mempengaruhi atau proses masuknya pengaruh budaya asing ke dalam
masyarakat. Dalam proses ini ada yang menyerap budaya baru melalui seleksi atau penyaringan,
yang tentunya mencakup berbagai hal yang tidak semuanya dapat diterima begitu saja. Oleh
karena itu, selain penerimaan, juga terdapat penolakan atau perlawanan terhadap pengaruh yang
dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya. Akulturasi juga dapat
diartikan sebagai hasil pertemuan dua atau lebih budaya atau bahasa di antara anggota
masyarakat, ditandai oleh peminjaman (borrow-ing), bahkan menimbulkan fenomena
bilingualism.

Beberapa sumber literatur menyebutkan bahwa pada masa awal kemunculan Islam di
pulau Jawa mengalami kemajuan pesat dimana peran dampaknya sangat terasa, yakni melalui
penyebaran pola budaya ke dalam kehidupan sosial. Karena Islam membawa nilai peradaban
baru bagi masyarakat. Sejarah penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari keberhasilan proses
Islamisasi yang dilakukan oleh para Wali Songo dengan tidak memaksakan Islam sebagai agama
pendatang baru jadi elemen budaya yang selaras dengan masyarakat pada saat itu digunakan agar
lebih mudah diterima dengan baik. Hal ini menjadikan Islam sebagai agama pluralistik sejak
awal.
Perkembangan Islamisasi di Jawa pengaruhnya tidak akan lepas dari perannya Wali
Songo.“Wali Songo” sendiri artinya "Sembilan Wali" yang menjalankan proses Islamisasi
dengan berdakwah di tanah Jawa. Kesembilan wali ini antara lain. Sunan Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Gunung Jati, Sunan Drajat dan Sunan Muria. Kerajaan Demak didirikan sebagai tanda Islamisasi
Jawa secara menyeluruh oleh para Wali. Dengan berdirinya kerajaan Islam Hal ini akan
memperkuat posisi Islam di Jawa. Selain itu pesantren berkontribusi pada penguatan penyebaran
Islam.

Dalam menyebarkan Islam, para Walisongo terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran yang
meyakini bahwa Islam harus menjadi agama dikonfirmasi dengan meninggalkan budaya tidak
sesuai dengan Islam harus diberantas, aliran ini ditekankan oleh Sunan Giri. Sementara yang lain
berpendapat bahwa penyebaran Islam harus harmonis dan berbaur dengan keyakinan lama agar
diterima dengan baik, aliran ini dirintis oleh Sunan Kalijaga. Sejalan dengan pemikiran Sunan
Kalijaga, Wali yang mengikutinya taktik dakwahnya antara lain Sunan Bonang, Sunan Kudus,
Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati di Jawa Tengah.

Proses Islamisasi di Jawa oleh Wali Songo adalah strategi diseminasi melalui pendekatan
seni budaya dan media, dengan menerapkan pola kesinambungan dalam berbagai aspek sistem
keyakinan dan sistem sosial budaya pra-Islam Islam untuk menyampaikan pesan Islam. Orang
yang memeluk Islam bukan berarti harus meninggalkan semua tradisi tua (animisme-dinamisme,
Hindu-Buddha). Dengan kata lain, sistem kepercayaan dan sistem sosial budaya Islam yang
berkembang merupakan mata rantai dan penyatuan elemen lama dengan yang baru melahirkan
pola baru dalam aspek sosial budaya dan agama sebagai Islam-Jawa (kejawen).

Dakwah merupakan salah satu media dalam penyebaran Islam dengan pendekatan sosial
budaya, dimana masyarakat menjadi objek dakwah.Pola yang digunakan adalah akulturasi
budaya,

yaitu menggunakan jenis budaya lokal diintegrasikan ke dalam ajaran Islam. Satu dari kota yang
digunakan sebagai tempat penyebaran Islam adalah Kota Kudus. Sejarah perkembangan Kota
Kudus tidak lepas dari salah satu Wali Songo yaitu Sunan Kudus. Selain sebagai pusat
misionaris, Kota Kudus juga pusat pemerintahan yang dikenal dengan Kudus Darussalam, yaitu
pemerintahan yang mengutamakan budaya damai dalam diri menyebarkan Islam dan
menegakkannya nilai budaya lokal yang tinggi.

Dalam menyebarkan ajaran Islam di Kudus,Sunan Kudus menggunakan pendekatan


fabian

yaitu, adaptasi, menyerap, pragmatis, dan melakukan metode kompromi secara bertahap dengan

semangat toleransi terhadap nilai-nilai budaya masyarakat setempat yang pada saat itu masih
menganut Hindu. Pada masa penyebaran Islam oleh Sunan Kudus, ada salah satu artefak yang
cukup bersejarah yaitu bangunan Masjid Menara Kudus yang terkenal di Jawa Tengah.

Arsitektur Masjid Menara Kudus tidak hanya sebagai arsitektur biasa yang fungsi
utamanya digunakan sebagai tempat ibadah oleh Muslim, tetapi juga arsitektur bangunan ini
memperhatikan budaya lama, yaitu budaya dan Hindu menyerap ornamen khas Hindu seperti
menara, gapura, gapura dan bangunan yang menjulang tinggi ornamen lainnya mewakili ekspresi
akulturatif unsur-unsur dan nilai-nilai simbolik dari perpaduan dua budaya yang berbeda.

Saat ini kebanyakan masyarakat umum sedikit yang mengetahui tentang sejarahnya atau

awal akulturasi budaya mulai masuk ke Indonesia, seperti halnya dalam penelitian ini masuknya
Islam ke Indonesia melalui akulturasi budaya. Ada campuran budaya Hal ini menarik minat para
peneliti untuk mengkaji dan menganalisis secara khusus tentang masalah tersebut dari
perwujudan akulturasi budaya dalam arsitektur menara keramat yang jarang diketahui oleh
masyarakat umum. Dengan penelitian ini diharapkan memperoleh informasi dan fakta empiris
yang bermanfaat bagi masyarakat dalam memahami akulturasi budaya di Indonesia.

Metode Peneltian

Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan penekanan


pada analisis deskriptif, yang memuat pemikiran tentang beberapa sumber literatur (artikel, buku,
slide, informasi dari internet,dan seterusnya), ringkasan dan beberapa ulasan sesuai dengan topik
yang akan dibahas. Selain itu bertujuan untuk mengetahui bentuk akulturasi budaya pada
arsitektur Menara Kudus di Jawa Tengah. Dengan menggunakan data dari jurnal dan sumber lain
mengenai kedatangan Islam yang mempengaruhi kebudayaan di Nusantara, kemudian dilakukan
analisis dengan teori akulturasi. Identifikasi informasi yang relevan tentang perubahan tersebut
manifestasi budaya di lingkungan Jawa dianalisis menggunakan teori akulturasi penelitian dasar
dengan menggunakan tinjauan pustaka. Kajian ini kemudian dikembangkan dan diungkapkan
sesuai dengan ide peneliti. Penelitian sastra harus menggunakan judul subjek dan memanfaatkan
buku-buku yang ada di perpustakaan, mencari kutipan dan mencari catatan terkait topik yang
dibahas, dan membuat daftar pertanyaan sesuai kata kunci.

Hasil dan Pembahasan

3.1 Gambaran umum Lokasi, Masyarakat, dan Kebudayaannya

Letak Kota Kudus secara geografis sangatlah strategis. Kota ini diapit dua kota lainnya di
Jawa Tengah, yaitu Kota Semarang dan Kota Demak.Jarak antara kota Kudus dengan Kota
Semarang berjarak sekitar 51 km sementara jarak dengan Kota Demak hanya 25 km. Kemudian
secara terincinya lagi kota ini dibagi menjadi dua bagian yang memiliki batas. Kota Kudus
terbagimenjadi Kudus Kulon sebagai pusat keagamaan yang bercorak Islam dibatasi oleh Sungai
Gelis di sebelah baratnya. Sementara Kudus Wetan sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan
berada di sebelah timur Sungai Gelis (Castles, 1982; Ismudiyanto dan Atmadi, 1987; Suharso,
1992)

Jika ditelusuri sejarahnya, pendiri Kota Suci adalah Ja'far Sodiq atau Sunan Kudus. Nama
Kudus berasal dari kata Al-Quds yang berarti suci Kudus dikenal sebagai kota yang religius,
nama Kota Santri melekat pada namanya. Ragam kegiatan keagamaan di kota ini tercermin dari
kegiatan bulan suci Ramadhan. Peradaban Islam membawa warna baru ke Kota Suci oleh karena
itu hasil peradaban Islam saat itu adalah Menara Kudus. Sekarang menara ini menjadi daya tarik
wisata religi dalam negeri.

Walaupun saat itu masyarakat Kudus telah menerima peradaban Islam yang mulai
mendominasi, masyarakat Kudus yang menganut Islam cenderung mentolerir masyarakat
lainnya. Mereka berpegang teguh pada prinsip mereka mempertahankan budaya yang ada
mempertahankan persepsi sapi sebagai binatang suci bagi agama Hindu. Makanan yang
menggunakan daging sapi diganti dengan alternatif seperti kerbau dan kambing. Kemudian
membentuk tradisi baru seperti setiap tanggal 10 Muharram menggelar Dangdangan bentuk
ucapan suka cita di bulan suci ramadhan.

3.2 Akulturasi

Ada banyak cara untuk menghasilkan budaya baru, Salah satunya melalui akulturasi.
Akulturasi sendiri merupakan cara penyatuan dua unsur budaya yang berbeda tanpa ada unsur
budaya apapun menghilangkan budaya lama, budaya baru kemudian diterima oleh masyarakat.
Ssecara proses pembentukan dengan cara ini juga tidak demikian langsung berbaur dan diterima
baik oleh masyarakat begitu saja, tapi melalui proses saling menemani hingga yang kemudian
pelan-pelan masuk satu sama lain dan perlahan budaya itu dimodifikasi hingga membaur dan
diterima dengan baik oleh masyarakat. Unsur-unsur yang telah bersatu menjadi satu kesatuan
tidak menghilangkan unsur-unsur lama.

Dominasi budaya asing yang membaur ke dalam dalam budaya sendiri atau budaya asal
tanpa hilangnya jati diri dan jati diri dari budaya asal merupakan ciri terpenting dari akulturasi.
Menurut Soerjono Soekanto, pengelompokan unsur budaya asing yang diterima adalah budaya
objek, sesuatu yang sangat berguna dan dapat disesuaikan secara budaya. Unsur Budaya yang
sulit diterima adalah kepercayaan, ideologi, filosofi dan unsur-unsur yang memerlukan proses
sosialisasi.

Ahli Antropologi mencatat bahwa diproses akulturasi akan ada nada dari beberapa hal
terjadi. Yang pertama adalah substitusi terkait fungsi dan perubahan struktural apakah substitusi
ini mempengaruhi unsur-unsur budaya lama yang kompleks dengan budaya baru yang kompleks
berusaha mendominasi. Yang kedua adalah sinkretisme, di mana ada upaya untuk membentuk
pembaharuan budaya baru dan sistem serta strukturnya dari unsur-unsur lama yang bercampur
dengan yang baru. Ketiga adisi (Addition), tidak ada perubahan struktural elemen lama
ditambahkan dengan elemen baru. Keempat dekulturasi, ketika budaya kehilangan sebagian
besar elemen lama.Kelima originasi . Keenam karena perubahan situasi telah terjadi maka unsur-
unsur baru yang memenuhi kebutuhan baru yang muncul. Ketujuh penolakan, asimilasi budaya
ini dirasa terlalu cepat mendominasi atau dirasa tidak menyenangkan orang, lalu orang sendiri
berusaha untuk menolak, untuk menggerakan gerakan kebangkitan unsur-unsur lama, dan
bahkan mengkudeta.
Setiap perubahan pasti terjadi secara natural dan terjadi karena tekanan. Secara signifikan
terkait dengan akulturasi yang tercermin dalam pemaksaan adalah era kolonialisme yang
disebarkan oleh negara-negara Eropa ke negara jajahannya. Kolonialisme ini membawa dan
memaksa penduduk asli untuk mematuhi rezim dan mengikuti kekristenan. Selain itu Pemaksaan
lainnya adalah dengan menggunakan hukum sesuai kesepakatan mereka. Sedangkan akulturasi
natural seperti akulturasi ingin melalui proses asimilasi dan modifikasi yang sekarang diterima
Publik. Seperti akulturasi Hindu dengan Islam yang menghasilkan budaya baru yang berbeda
menyenangkan kedua belah pihak.

Dapat disimpulkan bahwa model akulturasi diterapkan oleh bangsa Eropa termasuk
akulturasi imperialisme. Sedangkan Hindu Islam menerapkan sistem akulturasi yang saling
menghargai dan mempengaruhi budaya masing-masing sehingga tercipta tercipta pembauran
kultur atas dasar sukarela oleh masyarakat.

Selain itu, akulturasi Islam dengan tradisi lokal nusantara mampu saling beradaptasi
dengan menghindari konflik antara kedua belah pihak. Dengan menggunakan teori ini,maka akan
memungkinkan Islam mampu berkulturasi dengan baik dengan budaya sebelumnya, yaitu agama
Hindu. Saat itu Hindu dan Agama Buddha di Indonesia melalui babakan sama artinya kedua
aliran kepercayaan itu masuk ke Indonesia secara bersamaan. Kemudian, sebelum pengaruh
agama Hindu dan Budha datang, kepercayaan animisme dan dinamisme diyakini oleh
masyarakat nusantara artinya agama asli nusantara adalah animisme dan dinamisme. Jadi karena
itu jika dijabarkan proses akulturasi didasarkan pada urutan waktu antara lain Animisme dan
Dinamisme dipengaruhi oleh Hindu-Buddha, dan Hindu-Buddha dipengaruhi oleh Islam. Karena
selama Islam datang ke titik ini mampu bergaul dan menghasilkan pola budaya baru tanpa
meninggalkan unsur-unsur lama khas nusantara.

Dalam hal ini, Islam sangat menyadari bahwa mereka adalah pendatang baru yang
mencoba untuk tidak mematahkan kepercayaan lama. Islam memiliki misi menyebarkan dakwah
dengan menghindari konflik dan berusaha untuk tidak menghilangkan kepercayaan lama berupa
Animisme dan Dinamisme serta aliran Hindu-Buddha di tanah Jawa. Islam tidak membeda-
bedakanpemeluk agama sebelumnya tetapi justru memberikan dan mengajak saling toleransi
dengan budaya dan tradisi lama.
Melalui strategi tersebut, Sunan Kudus adalah salah satunya perwakilan Wali Songo
menyebarkan Islam dengan pengendepanan pemahaman dan metode yang damai, damai,
menghindari konflik, dan berusaha dalam upayanya untuk memadukan tradisi dan budaya lama
dengan melakukan sedikit modifikasi untuk menghasilkan budaya agama baru yang bernafaskan
Islam yang dapat diterima dan menyenangkan masyarakat. Pendekatan yang dilakukan Sunan
Kudus adalah membiarkan budaya dan tradisi lama bertahan dan kemudian melakukan beberapa
modifikasi baru sedikit demi sedikit. Sebagai contoh adalah pandangan Hindu tentang sapi
sebagai hewan suci, Sunan Kudus melakukan pendekatan dengan menghormati pandangan
tersebut kemudian menggantinya dengan alternatif lain seperti kerbau.Sehingga masyarakat saat
itu masih bisa mengkonsumsi daging merah dengan alternatif yang berbeda untuk dikonsumsi.
Begitu juga dengan memperkenalkan tempat ibadah, Islam tidak langsung membangun tempat
ibadah mereka dengan bangunan yang jelas dan murni di atas arsitektur Islam masa itu.
Melainkan dengan memadukan arsitektur Hindu dengan Islam, ini berhasil menarik perhatian
publik saat itu dan diterima dengan baik. Arsitektur sekarang dikenal sebagai "Menara Kudus".

3.3 Arsitektur Menara Kudus

Pada tahun 956 H Menara Kudus didirikan tetapi menurut inskripsi kori kembar Menara
Kudus didirikan pada tahun 1215 H. Karena kedua inskripsi tersebut berbeda dan tidak dapat
dijadikan patokan, maka pendirian masjid Menara Kudus bertumpu pada berdirinya masjid-
masjid lain. Dilihat dari perkembangan Islam di Kota Suci, dapat disimpulkan bahwa Masjid
Menara Kudus didirikan setelah Masjid Demak (1468 M) didirikan dan sebelum masjid
Mantingan (1559 M) dan Masjid Sendang Du wur (1561 M) didirikan. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa Masjid Menara Kudus didirikan sekitar abad 15 dan 16 Masehi.

Kompleks masjid dan Menara Kudus memiliki luas kurang lebih 5000 m2. Memasuki
Masjid Menara Suci dapat melewati dua gerbangnya bernama Gapura Bentar. Akses utama
untuk langsung menuju masjid adalah melalui gapura sebelah utara sedangkan akses ke kuburan
melalui gerbang selatan. Gapura Bentar punya satuarti kata gapura diambil dari istilah Hindu.
Menara Kudus itu sendiri masih terlihat pengaruh kuat dari budaya Hindu yang mendalam.
Secara visualnya pembangunan Menara Kudus memiliki banyak unsur Hindu diterapkan oleh
candi-candi Hindu. Bagian yang umum adalah kaki, badan dan kepala. Arsitektur Hindu sendiri
memiliki ciri umum yaitu kelangsingan yang menambah ketinggian di atas, sedangkan Buddha
cenderung berbentuk bahu melangkah atau tumpang tindih. Meski memiliki orientasi arsitektural
Hindu, kompleks bangunan ini tetap berwawasan Hindu. Ka'bah menjadi acuan arah ibadah.
Menggunakan memisahkan unsur-unsur Hindu sehingga masyarakat pada masa itu menganut
banyak Agama Hindu tidak merasa terpaksa dengan kehadiran Islam dan mencerminkan
toleransi beragama oleh para penyebar Islam.

Menara Kudus dalam agama Hindu memiliki beberapa filosofi atau makna berupa nilai-
nilai kepercayaan tertentu bagi umat Hindu mengenai penempatan suatu tempat yang ditentukan
oleh Bindu atau Windu. Arah ini telah ditentukan berdasarkan dewa-dewa Hindu. Penataan atau
pengorganisasian ruang ini juga dapat dilihat pada penataan ruang di Kota Kudus. Pada Menara
Kudus ada tiga unsur yaitu bagian kaki, badan dan kepala. Ketiga bagian ini memiliki filosofi
makna menengah bagian lainnya adalah kaki yang disebut bhurloka arti manusia yang masih
terikat oleh hawa nafsu. Bagian tubuh yang disebut bhurvaloka artinya manusia sedang berusaha
menyucikan diri tetapi masih memiliki bentuk. Bagian terakhir pucuk atau kepala disebut
syarloka artinya tingkat tertinggi dari perjalanan hidup manusia atau bisa juga diartikan sebagai
tempat para dewa.

Dari gambaran arsitektur Menara Kudus menggambarkan prinsip akulturasi dan


penyebaran agama secara alami (sukarela) tanpa mengutamakan pihak-pihak yang sudah ada.
Serta mempertahankan unsur-unsur lama sebagai identitas asli dari budaya itu sendiri.

3.5 Peran Dari Bangunan Menara Kudus di Jawa Tengah

Bangunan Menara Kudus di Jawa Tengah memiliki beberapa peran, diantaranya sebagai
nilai edukatif dan simbolik. Lihat dari segi nilai pendidikan, bangunan menara suci sebagai
media bahwa ada kesadaran budaya yang mendalam akulturasi tidak serta merta mematikan
budaya panjang. Menjunjung tinggi budaya lama, mempertahankan budaya lama sebagai
identitas, tidak melaksanakan penderitaan sosial, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
sebagai sesama manusia,orang beragama, memulihkan pemulihan dan hak asasi manusia, serta
menerima dan menghormati perbedaan dan keadilan dapat ditegakkan belajar bahwa umat
manusia selalu begitu melakukan perubahan sosial. Ini akan berlanjut hingga akhir peradaban.
Dan manusia sejatinya adalah makhluk sosial mereka tidak akan mampu hidup dengan kaum
sama melainkan membutuhkan kaum yang berbeda untuk saling melengkapi kebutuhan
sosialnnya.

Nilai-nilai toleransi mengajarkan kita agar dalam menghadapi perubahan sosial, selalu
menerimanya dengan pikiran terbuka. Dari keinginan berpikiran terbuka ini melahirkan sikap
kerukunan yang akan menambah corak baru warna budaya dan perubahan sosial.

Dengan mempelajari akulturasi Menara Kudus kita mendapatkan temuan toleransi itu
mengintegrasikan visual dari dua arsitektur Islam dengan Agama Hindu menjadi harmoni yang
menyatu menjadi satu kesatuan. Arsitektur ini menceritakan sikap terbuka dan toleran terhadap
harapan masyarakat saat itu untuk Islam meneima Dekoratif dan ornamen Hindu, sementara itu
bagi umat Hindu menerima perubahan sosial dengan menyambut agama pendatang baru di tanah
Jawa. Kunci menara Kudus dan penyebaran budaya Islam lainnya di tanah Kudus sendiri terlihat
dari Sunan Kudus yang tidak egois untuk menekankan pandangan Islam yang murni eksklusif
atau fanatik. Dipertahankan sebagai figur Sunan Kudus Islam berpandangan demikian kita harus
terbuka dan menghargai orang lebih awal. Memanfaatkan unsur budaya non-Muslim dalam
membangun masjid menambah corak warna, keunikan, dan cerita berharga dalam arsitektur itu.

Sedangkan secara simbolis, bangunan Menara Kudus dapat diartikan sebagai simbol
toleransi antar budaya dalam arsitektur bangunan Masjid Menara Kudus ditandai dengan terdapat
bangunan menara, gapura masuk, dan bangunan gapura Paduraksa (Lawang Kembar) di serambi
masjid yang bergaya Candi Hindu. Tanda-tanda penggunaan unsur budaya Arab (Islam) terlihat
pada bentuk atap kubahdan dua menara kecil yang mengapitnya, beserta atau nama-nama dalam
kaligrafi Arab. Unsur budaya Jawa dapat dilihat pada atap bangunan menara masjid dan pada
atap ruang utama masjid yang merupakan atap berundak. Sedangkan unsur Budaya Buddha
dilambangkan dengan delapan air mancur dimana wuakandu berada di atas patung.
Kesimpulan

    Dari uraian di atas, berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
bentuk akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia terbukti dengan arsitektur bangunan berupa
masjid Menara Kudus yang memadukan nuansa Islam dan Hindu. Menara Kudus juga
merupakan simbol bukti, meskipun itu adalah hasil dari dua budaya yang berbeda berbeda,
menunjukkan toleransi, keterbukaan dan memahami serta menghargai keragaman atau perbedaan
budaya. Hal ini akan membuat hubungan tetap harmonis dan damai berdampingan.
Daftar Pustaka

Anggoro, Bayu. (2018). Wayang Dan Seni Pertunjukan. Jurnal Sejarah Peradaban Islam 2, No.
2 : 123.

Azzaki, A. F., Nurjayanti, W., Zulfa, L., Hazimi, L. D. A., Salsabila, N., Kusuma, K. M., &
Khansa, K. (2021). Akulturasi Budaya Masjid Menara Kudus Ditinjau dari Makna dan
Simbol. Rekayasa Aplikasi Perancangan dan Industri, 9-15.
Bakhri, Syamsil dan Ahmad Hidayatullah. (2019). Desakralisasi Simbol Politheisme dalam
Silsilah

Habibullah, A., Aisyah, M. A. S., & Hoerunnisa, L. N. A. (2022). WUJUD AKULTURASI


BUDAYA PADA ARSITEKTUR MENARA KUDUS DI JAWA TENGAH.
Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan, 22(1), 19-27.
Kharis, Muhammad Badul. (2020). Islamisasi Jawa: Syyid Ja’far Shadiq dan Menara Kudus
Sebagai Media Dakwahnya. Jurnal Kajian Interdisipliner Islam Indonesia, Vol. 10 No. 1
(1-18), Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.

Muria Travel, Masjid Menara Kudus: Simbol Toleransi Umat Islam,


(www.muriatravel.blogspot.com diakses tanggal 15 September 2021)
Rosyid, Moh. (2019). Menara Masjid Al-Aqsa Kudus: Antara Situs Hindu atau Islam.
Purbawidya: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Vol 8 No.1 Juni. Kudus :
Institut Agama Islam Negeri Kudus.

Rozi, Jurna Petri. (2018). Akulturasi Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Keagamaan dan Pengaruhnya
terhadap Perilaku-Perilaku Sosial. Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan Vol. 3
No 2. Bengkulu : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Curup.
Triyanto, T., Mujiyono, M., Sugiarto, E., & Pratiwinindya, R. A. (2019). Masjid Menara Kudus:
Refleksi Nilai Pendidikan Multikultural Pada Kebudayaan Masyarakat Pesisiran.
Imajinasi: Jurnal Seni, 13(1), 69-76.
Wayang: Sebuah Kajian Living Qur-an dan Dakwah Walisongo di Jawa. Jurnal Kajian

Anda mungkin juga menyukai