Anda di halaman 1dari 27

TUGAS I

SEJARAH ARSITEKTUR TIMUR

ARSITEKTUR TRADISIONAL
ARSITEKTUR PADANG & PALEMBANG

VERA FEBRIANI _ 142017004


DOSEN : RENY KARTIKA SARY, S.T.,M.T.

TEKNIK ARSITEKTUR

UNIVERSITAS MUHAMMMADIYAH PALEMBANG

TAHUN AKADEMIK 2018/2019


ARSITEKTUR PADANG
ARSITEKTUR RUMAH GADANG

Rumah Gadang berasal dari bahasa Mingangkabau gadarig yang berarti besar, dan
banyak di jumpai di provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut nama
Rumah Bagonjong atau Rumah Baanjuang. Sebutan rumah gadang (besar) bukan
hanya dalam pengertian fisik tetapi juga dalam pengertian fungsi dan peranannya yang
berkaitan dengan adatnya.

Tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) boleh didirikan rumah adat ini, hanya
pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh
didirikan. Sedangkan kawasan yang disebut dengan rantau, dan dahulunya tidak boleh
didirikan oleh para perantau Minangkabau.

Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam
suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan
kepada perempuan pada kaum tersebut. Rumah Gadang dikepalai oleh seorang
tungganai (Mamak) dan sebagai syarat berdirinya suatu nagari di Minangkabau.

Arsitek yang membangun Rumah Gadang yang pertama adalah seorang Cerdik
Pandai Minangkabau yang bernama : Datuk Tan Tejo Gerhano, yang dimakamkan di
Pariangan Kabupaten Tanah Datar dan makam tersebut dikenal dengan kuburan
panjang yang punya keunikan tersendiri bahwa setiap kali diukur akan berbeda
panjangnya.

A. Asal usul bentuk rumah gadang

Asal-usul bentuk rumah gadang juga sering dihubungkan dengan kisah perjalanan
nenek moyang Minangkabau. Konon kabarnya, bentuk badan rumah gadang
Minangkabau yang menyerupai tubuh kapal adalah meniru bentuk perahu nenek
moyang Minangkabau pada masa dahulu.

Menurut cerita, lancang nenek moyang ini semula berlayar menuju hulu Batang
Kampar. Setelah sampai di suatu daerah, para penumpang dan awak kapal naik ke
darat. Lancang ini juga ikut ditarik ke darat agar tidak lapuk oleh air sungai.Lancang
kemudian ditopang dengan kayu-kayu agar berdiri dengan kuat. Lalu, lancang itu diberi
atap dengan menggantungkan layarnya pada tali yang dikaitkan pada tiang lancang
tersebut. Selanjutnya, karena layar yang menggantung sangat berat, tali-talinya
membentuk lengkungan yang menyerupai gonjong.

Kapal Lancang Bentuk Rumah Gadang

B. Fungsi rumah gadang :

Rumah Gadang difungsikan menyelingkupi bagian keseluruhan kehidupan orang


Minangkabau sehari-hari, baik sebagai tempat kediaman keluarga, pusat melaksanakan
berbagai upacara, sebagai inggiran adat, mengerjakan suruhan, menempatkan adat atau
tempat melaksanakan seremonial adat seperti kematian, kelahiran, perkimpoian,
mendirikan kebesaran adat, tempat mufakat, sepanjang adat, pewarisan nilai-nilai adat,
dan merupakan representasi dari budaya matrilineal.

C. Bagian – Bagian Rumah Gadang Minangkabau


1. Gonjong, struktur atap yang seperti tanduk
Umumnya bagian atap dibuat dengan bahan dasar dari ijuk yang dijalin, dipasang
diatas kap yang diatur diatas paran yang melengkung kira-kira 1/2 lingkaran dan ¼
lingkaran dari paran tinggi ketuturan (kedua belah sisi bidang atap). Kap dibuat
berpucuk (gonjong) dan sekurangnya empat buah yang membagi panjang rumah.
Kemudian pada ujung atap dibuat lebih meruncing membentuk sebuah gonjong. Dua
gonjong ditengah berbentuk setengah
lingkaran, yang dua lagi menyusul kiri
kanan mengikuti lengkung pertama.
Selanjutnya gonjong ruangan ujung-
ujung kiri dan kanan mengikuti
lengkung sebelumnya hingga gonjong
menjadi enam buah.

Atap gonjong ini dulunya hanya


digunakan pada rumah gadang di
daerah dataran tinggi Minangkabau
dan tidak penah ditemukan di daerah
pesisir, apalagi di kota-kota besar. Masyarakat pesisir Minangkabau memiliki tipe
rumahnya sendiri.Bentuk atap rumah gadang yang seperti tanduk kerbau sering
dihubungkan dengan cerita Tambo Alam Minangkabau. Cerita tersebut tentang
kemenangan orang Minang dalam peristiwa adu kerbau melawan orang Jawa. Bentuk
menyerupai tanduk kerbau juga merupakan simbol atau perhiasan pada pakaian adat,
yaitu tingkuluak tanduak (tengkuluk tanduk) untuk Bundo Kanduang.
Penyambung
Penunjuk
Tali
Status Sosial
Silahturahmi

Ramah Perahu dan


Lingkungan Lengkung

Tanduk Hirarki
Kerbau

KONSEP ATAP RUMAH GADANG

Konsep Atap Rumah Gadang :

Bentuk gonjong yang runcing diibaratkan seperti harapan untuk mencapai Tuhan
dan dinding, yang terbuat dari potongan anyaman bambu, melambangkan kekuatan dan
utilitas dari masyarakat Minangkabau yang terbentuk ketika tiap individu menjadi
bagian masyarakat yang lebih besar dan tidak berdiri sendiri.

Ada pula yang mengatakan bahwa atap gonjong merupakan simbol dari tanduk
kerbau, simbol dari pucuk rebung, simbol kapal, dan simbol dari bukit. Kerbau karena
kerbau dinilai sebagai hewan yang sangat erat kaitannya dengan nama Minangkabau.
Pucuk rebung karena rebung merupakan bahan makanan adat. Kapal karena orang
Minangkabau dianggap berasal dari rombongan Iskandar Zulkarnaen yang berlayar.
Bukit karena daerah Minangkabau yang berbukit

Atap Gonjong Rumah Rebung Bambu


Tanduk Kerbau Gadang

a. Ramah lingkungan : Penggunaan bahan dasar ijuk pada atap melambangkan simbol
rumah yang ramah lingkungan
b. Tanduk kerbau : Bentuk atap kerap kali dianggap memiliki kemiripan dengan
tanduk dari hewan kerbau
c. Penyambung tali silatuhrahmi : Atap rumah adat Gadang bentuknya meniru Siriah
Basusun atau daun sirih yang disusun dengan rapi. Yang menyimbolkan bahwa
rumah gadang adalah tali penyambung bagi silaturahmi serta adanya kekeluargaan.
d. Status sosial : Bentuk atap yang mirip dengan tanduk itu merupakan representasi
kerbau yang menjadi binatang paling dihormati oleh masyarakat adat.
e. Hirarki : Bentuk atap bergonjong mirip seperti susunan sirih. Gonjong merupakan
bagian yang menjulang dan dihiasi ornamen pada puncaknya. Ornamen ini memiliki
makna hirarki dalam kekuasaan pengambilan keputusan.
f. Bentuk lengkung : Bermakna segala sesuatu tidak disampaikan secara langsung,
namun diplomatis.
g. Bentuk perahu dan topi : Bentuk rumah seperti bentuk kapal. Kecil di bawah dan
besar di atas. Bentuk perahu merupakan wujud kenangan rakyat Minangkabau
terhadap leluhur yang berlayar ke daerah ini. Dan diibaratkan bentuk topi Iskandar
Zulkarnain yang melambangkan kekuasaan.

Gonjong atap Rumah Gadang terdiri dua


pola, yaitu gonjong Rumah Gadang Pola
Koto Pialang (Aristokrat) terdiri dari 3
gonjong, 3 gonjong kanan , 1 gonjong
depan dan 1 gonjong belakang , banyak
terdapat di Luhak Tanah Datar. Sedangkan
gonjong Rumah Gadang Pola Budi Caniago
(Demokrat) terdiri 2 gonjong kanan, 2
gonjong kiri,1 gonjong depan dan 1
gonjong belakang, banyak terdapat di
Luhak Agam Dan Luhak 50 Kota.

2. Singkok
Singkok merupakan dinding
berbentuk segitiga dibawah gonjong.
Sama seperti dinding lainnya, singkok
terbuat dari kayu dan dipenuhi ukiran.

3. Pereng

Pereng merupakan papan kayu /rak di bawah singkok


4. Rasuk

Antara tiang dengan tiang membujur dan membelintang dihubungkan oleh rasuk
pelancar. Rasuk melintang melalui pahatan pada tiang. Rasuk bahannya dari ruyung
batang kelapa atau dari kayu hutan yang keras.
Pahatan lebih kurang 2m dari dasar atau sendi.
Pahatan tiang yang sama tingginya pada setiap
tiang adalah untuk pahatan rasuk pelancar. Di
atas rasuk melintang berada di bawah pahatan
rasuk pelancar. Rasuk melintang ditopang
dengan ruyung yang sama tebalnya dengan
rusuk melintang hingga mengenai tinggi pahatan
rasuk pelancar. Diatas singgiran disusun jeriau
lantai, hingga lantai menjadi datar.

Jalur atau labuh memanjang rumah. jalur


pertama dari muka disebut bandua tapi, jalur
kedua disebut labuah gajah. Jalur ketiga disebut
labuah tangah, sedangkan jalur keempat disebut
Biliak.

5. Sandi dan Paran


Setiap kaki tonggak berdiri diatas sebuah batu yang disebut
dengan sandi. Sandi batu didatangkan kemudian setelah semua
tiang dihubungkan oleh rasuk dan paran-paran. Paran, ialah
sebuah kayu atau ruyung panjang dari pohon kelapa yang
menghubungkan setiap tiang pada ujung atas. Sama dengan rasuk.
Ada yang disebut paran panjang dan paran melintang. Punco-
punco tiang yang dihubungkan oleh paran panjang tidak pula
sama tingginya hingga terlihat lengkungnya atau disebut paran
ular mangulai (mengulai). Lengkung paran inilah yang akan
membentuk gonjong (pucuk atap).

6. Ukiran

Warna Khas
Minangkabau

Motif Alam Bentuk


Geometri
Konsep Ukiran Rumah Gadang :

a. Motif alam : Rumah Gadang biasanya berbagai ukiran khas motif yang terinspirasi
dari keadaan alam sekitar seperti tumbuhan
merambat, akar yang berdaun, berbunga dan
berbuah, sebagai contoh motif itiak patang,
motif kaluak paku, dll
b. Warna khas : Ukiran biasanya di cat dengan
warna yang khas dari daerah Minang yaitu
kombinasi warna merah, hitam, kuning dan
hijau, yng melambangkan orang Minangkabau
hidup beriringan
c. Bentuk geometri : Pada dasarnya ukiran
pada Rumah Gadang berisi bidang dalam
bentuk garis melingkar atau geometri bersegi tiga, empat dan genjang.

Jenis ukiran Rumah Gadang tersebut terdiri atas :

 Keluk Paku : Ditafsirkan anak dipangku


kemenakan dibimbing.
 Pucuk Tebung : Ditafsirkan kecil berguna , besar
terpakai.
 Seluk Laka : Ditafsirkan kekerabatan saling
berkaitan.
 Jala : Ditafsirkan pemerintahan Bodi Caniago.
 Jerat : Ditafsirkan pemerintahan Koto Pialang.
 Itik pulang petang : Ditafsirkan ketertiban anak
kemenakan.
 Sayat Gelamai : Ditafsirkan ketelitian.
 Sikambang manis : Ditafsirkan keramah
tamahan.

Ukiran Pada Pintu Ukiran Pada Jendela

7. Lantai
Rumah gadang dilantai dengan papan. Lantai papan dipasang diatas jeriau dan
adakalanya lantai dibuat dari pelupuh (bambu yang dipecah). Untuk lantai rumah
gadang ini ungkapan adatnya mengatakan “lantai banamo hamparan adat, tampek si
janang main pantan, tampek penghulu main undang. Lantai rumah gadang ada dua jenis
bila dilihat dari bentuknya.

Perbedaan dari jenis lantai ini sebagai membedakan rumah gadang Bodi Caniago
dengan rumah gadang Koto Piliang. Lantai datar untuk semua bidang merupakan jenis
Bodi Caniago. Semua penghulu yang duduk sama martabatnya, dengan kata-kata
adatnya duduak samo randah, tagak samo tinggi. Sedangkan pada adat Koto Piliang
lantainya bertingkat atau beragam, lantainya setingkat lebih tinggi dari lantai bandul
gajah dan bendul tepi. Penghulu-penghulu yang duduk dari Kelarasan Koto Piliang di
rumah gadang sesuai dengan tingkatannya.

8. Anjuang, lantai yang mengambang


Anjuang adalah ruangan yang lantainya bertingkat dua atau tiga pada ujung pangkal
rumah, yaitu ruangan yang menyambung dan disebut raja berbanding dan serambi
papek (pepat). Anjung adalah tempat mulia dan terhormat. Di halaman depan rumah
Gadang terdapat pula ruang Anjuang, tempat pengantin bersanding atau tempat
penobatan kepala adat.

Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, golongan
pertama menganut prinsip pemerintahan yang hierarki menggunakan anjung yang
memakai tongkat penyangga, pada golongan kedua anjuang seolah-olah mengapung di
udara.

9. Bagian Depan Rumah

Konsep Bagian Depan Rumah Gadang :

a. Rumah panggung : Dibuat dengan bentuk yang tinggi menyerupai rumah panggung
dengan tujuan agar ruang yang ada pada bagian bawah dapat digunakan untuk fungsi
yang lain.
b. Tangga : Pada zaman dahulu pada bagian yang ada di bawah
tangga terdapat batu serta cibuak yang berfungsi untuk
mencuci kaki. Jumlah anak tangga mempunyai bilangan
ganjil dan biasanya 5,7 dan 9. Ini bermakna kita harus
memperhatikan adat sopan-santun dengan hormat dan
mendahulukan kepala kaum/suku atau status sosialnya lebih
tinggi.
c. Kolam ikan : Rumah gadang pada umumnya mempunyai kolam ikan yang berada di
depan rumah. Kolam tersebut digunakan dengan fungsi yang beragam, selain untuk
memelihara beberapa ikan, kolam tersebut juga sebagai sumber air yang akan
digunakan untuk aktivitas sehari-hari seperti mandi dan mencuci.
d. Permukaan dinding depan : Rumah Gadang penuh dengan tatanan ukiran-ukiran
yang menarik dan setiap ukiran itu mempunyai arti sendiri dan mengandung filsafah
Minangkabau "ALAM TAKAMBANG JADI GURU".

10. Papan banyak


Merupakan papan kayu yang disusun seara vertikal, dan dijadikan dinding lapisan
rumah gadang di bagian fasad depan

11. Papan sakapiang


Merupakan dinding kayu yang dipasang
secara horizontal, dibagian luar rumah
gadang.
PAPAN SAKAPIANG

12. Dinding
Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua
bahagian, muka dan belakang. Pada bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan
papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal,
sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran,
sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung
pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah Gadang.

 Dindiang ari, dinding pada  Dindiang tapi, dinding pada


bagian samping bagian depan dan belakang
13. Tiang
Tiang rumah gadang berbanjar dari muka ke belakang atau dari kiri ke kanan. Tiang
yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar,
sedangkan tiang dari kini ke kanan menandai kamar tidur
(Ruang). Jadi, yang disebut lanjar adalah ruangan dari depan
ke belakang. Ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut
Kamar (bilik).

Seluruh tiang Rumah Gadang tidak ditanamkan ke dalam


tanah, tetapi bertumpu ke atas batu datar yang kuat dan lebar.
Seluruh sambungan setiap
pertemuan tiang dan kasau (kaso) besar tidak memakai
paku, tetapi memakai pasak yang juga terbuat dari kayu.
Ketika gempa terjadi Rumah Gadang akan bergeser
secara fleksibel seperti menari di atas batu datar tempat
tonggak atau tiang berdiri. Begitu pula setiap sambungan
yang dihubungkan oleh pasak kayu juga bergerak secara
fleksibel, sehingga Rumah Gadang yang dibangun secara
benar akan tahan terhadap gempa.

14. Rangkiang
Rumah Gadang juga memiliki beberapa lumbung padi (Rangkiang), dengan masing-
masing memiliki nama dan fungsi yang berbeda.

Bentuk dan jenis rangkiang / lumbung padi tersebut antara lain:

Sitinjau Lauik : Digunakan sebagai tempat menyimpan padi yang


akan digunakan untuk dijual dan membeli keperluan bersama atau
pos pengeluaran adat. Bentuknya langsing, bergonjong, berukir,
berdiri dengan 4 tiang, letaknya ditengah diantara rangkiang lain.
Sibayau-bayau : Digunakan untuk Sitinjau Lauik
menyimpan padi makanan sehari-hari. Bentuknya gemuk,
bergonjong dan berukir, berdiri dengan 6 tiang letaknya disebelah
kanan.

Sitangguang Lapa / Sitangka lapa :


digunakan untuk menyimpan padi untuk musim
Sibayau-bayau
kemarau dan membantu masyarakat miskin.
Bentuknya bersegi, bergonjong dan berukir,
berdiri dengan 4 tiang , letaknya sebelah kiri.
Sitangguang Lapa
Kaciak/kecil : Digunakan untuk menyimpan
padi bibit/benih yang akan dikerjakan dimusim berikutnya dan
untuk biaya mengolah sawah. Terkadang bentuknya bundar,
berukir dan tidak bergonjong, letaknya diantara ketiga rangkaian
tersebut.
Kaciak/Kecil
Kelengkapan bangunan Rumah Gadang lainnya adalah Tabuh Larangan, Lesung,
Kincir, Pancuran dan Pedati. Halaman Rumah Gadang dilengkapi dengan puding
berwarna kuning, puding warna perak, puding warna hitam dan batang kemuning
sebagai pagar hidup.

15. Ornamen Lainnya

Jambua,ornamen kecil dengan ukiran Redeang Suduik, semacam ornamen list


disisi luar dinding ysng berada disudut dinding bagian luar

Sasak Lipek Pandan, kolong/ruang


bawah rumah gadang Salangko, papan kayu berbentuk
lengkung ysng berada diatas sasak lipen
pandan
16. Pembagian Ruang
Rumah adat Minangkabau tidak mempunyai ukuran yang pasti dengan memakai
meter. Panjang dan lebar rumah ditentukan dengan
labuh (jalur) dan yang biasa dijadikan ukuran adalah
hasta atau depa. Lebar ruang atau labuh (jarak antara
tiang menurut lebar dan panjang) bervariasi antara 2
1/2 m sampai 4 m. Panjang rumah sekurang-
kurangnya 3 ruang dan bahkan ada yang sampai 21
ruang, yang normal 3,7,9 ruang. Sedangkan lebarnya
sekuang-kurangnya 3 jalur dan sebanyak-banyaknya
4 jalur. Ukuran tidak dimakan siku, tetapi disebut
ukuran alur dan patut.

Bagian dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas, kecuali kamar tidur.
Ruangan lepas ini merupakan ruang utama yang terbagi atas lanjar dan ruang yang
ditandai oleh tiang. Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah. Biasanya jumlah lanjar adalah
dua, tiga clan empat. Jumlah ruangan biasanya
terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan
sebelas. Ukuran rumah gadang tergantung
kepada jumlah lanjarnya.

Bila rumah gadang ini mempunyai


serambi maka ditambah lagi satu gonjong
serambi yang menyatu dengan gonjong
tangga. Gonjong serambi dibuat ditengah
ruang ganjil yang menyatu antara serambi
papek dengan raja berbanding atau sejalan
dengan ruangan gajah mengeram. Gonjong
serambi mengahadap ke pekarangan. Gonjong
disebut juga rabuang mambasuik. Pimpinan
lentik seperti ular gerang. Pimpiran adalah
bahagian pinggiran atap yang ditebalkan
pasangan ijuknya dan diukir atau diikat
dengan tali ukiran berwarna perak. Pimpiran
membujur metik mulai dari tuturan yang seklaigus menjadi tulang untuk menopang
gonjong. Tuturan adalah pinggiran atap yang terendah dan tempat air hujan menyatu
jatuh ke tanah.

Bagian lain dari rumah gadang adalah bagian di bawah lantai. Bagian ini disebut
kolong dari rumah gadang. Kolong rumah gadang cukup tinggi dan luas. Kolong ini
biasanya dijadikan sebagai gudang alat-alat pertanian atau dijadikan sebagai tempat
perempuan bertenun. Seluruh bagian kolong ini ditutup dengan ruyung yang berkisi-
kisi jarang.

Jumlah kamar bergantung kepada jumlah


perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap
perempuan dalam kaum tersebut yang telah
bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara
perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat
di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh
kamar bersama di ujung yang lain

Ukuran ruang tergantung daripada banyaknya penghuni dirumah


itu. Namun jumlah ruangnya biasanya ganjil seperti lima ruang,
sembilan ruang dst. Sebagai tempat tinggal rumah gadang
mempunyai bilik-bilik sebelah barisan belakang yang didiami oleh
anak-anak wanita yang sudah berkeluarga, ibu-ibu, nenek-nenek dan
anak-anak. Perbandingan ruang tempat tidur dengan ruangan umum
adalah 1/3 untuk ruangan tidur dan 2/3 untuk kepentingan umum.
Perbandingan ini memberi makna bahwa kepentingan umum lebih
diutamakan dari kepentingan pribadi.

Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan


ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam
terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh
tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang
dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari
depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan
tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah
lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga
dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil
antara tiga dan sebelas.
Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah
surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga
sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut
yang belum menikah.

Rumah Gadang, sesuai dengan arsitektur ruangan dalam


atau depan dengan lanjar (ruangan yang membujur dari depan
ke belakang diantara tiang-tiang yang berderet), terbagi atas 3
tipe,yaitu :

 Lipat Pandan : Berlanjar dua, disebut dengan Rumah


Gadang Rajo Babandiang.
 Belah Rebung : Berlanjar tiga ,disebut dengan Rumah
Gadang Bapaserek/Surambi Papek
 Gajah Maharam : berlanjar empat, disebut dengan
Rumah Gadang Gajah Maharam.

Menurut letaknya, ruangan Rumah Gadang terdiri atas:

 Ruang depan : Merupakan ruang besar, dipakai sebagai ruang keluarga, rapat,
menerima tamu dan sebagainya.
 Ruang tengah : Terdiri dari kamar-kamar, dipakai untuk kamar tidur penghuni
wanita bersama suaminya.
 Ruang Anjungan : Bangunannya lebih tinggi dari ruang depan, sebelah kiri dan
sebelah kanan dipakai untuk tempat wanita yang baru menikah.
 Ruang Belakang : Merupakan dapur tanpa kamar mandi dipancuran diluar
Rumah Gadang.

D. Sistem Matrilineal
Terlepas dari semua kisah tentang arsitekturnya, Rumah Gadang dibangun sesuai
dengan ketentuan adatnya yang menganut sistem matrilineal. Yang mana alur
keturunan berasal dari ibu sehingga wanita memegang derajat paling tinggi dalam
kehidupan.
Salah satunya soal jumlah kamar yang bergantung pada jumlah wanita yang
menghuni di dalamnya. Setiap wanita yang telah bersuami dapat memiliki kamar
sendiri sedangkan, bagi wanita yang sudah uzur dan anak-anak dapat memiliki tempat
tidur di kamar dekat dapur. Dan para remaja gadis disatukan dalam sebuah kamar yang
berada di ujung dari Rumah Gadang. Rumah Gadang pun akan diwarisi oleh dan kepada
para wanita secara turun temurun kepadaahli waris perempuan sesuai dengan adat
yang berlaku.

E. Struktur bangunan

Rumah adat Minangkabau memiliki bangunan dengan bentuk seperti segi empat
memanjang yang hampir seluruh bagian yang ada dibuat dengan bahan dasar dari kayu
dan berbagai macam hasil alam lainnya. Bahan tersebut diaplikasikan pada bagian
dinding, lantai, loteng dan juga pada tangga rumah. Rumah Gadang dianggap sebagai
rumah dengan tahan gempa. Bahkan teknologi mutakhir ini telah digunakan sejak abad
lalu dengan bentuk pasak.

Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian
dengan alam tropis . Bentuk
Rumah Gadang segi 4 , tidak
sistematis, mengembang keatas ,
untuk menangkis terpaan angin
kencang. Serta memiliki bentuk
atap yang melengkung seperti
tanduk, dengan beberapa sudut
atap yang runcing dan lancip.

Desain ini dimaksudkan agar saat hujan, air langsung


mengalir ke bawah sehingga tidak membebani bangunannya.
Tinggi lantai 2 meter dari atas tanah, dulunya untuk
menghindari binatang buas dan juga memelihara ternak
dibawahnya dan loteng digunakan untuk menyimpan barang-
barang (gudang).

Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut


silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang
tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim
panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari
utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika
dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-
syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai
kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.

Rumah Gadang yang asli dalam proses pembuatannya tidak memerlukan paku untuk
merekatkan atau menyambungkan dua bagian bahan dasar kayu. Tetapi menggunakan
pasak. Jadi apabila suatu saat terjadi gempa, rumah yang ada hanya berayun mengikuti
ritme gempa yang ada. Dengan demikian ketika gempa, rumah tidak akan roboh.

Selain itu, kaki atau tiang bangunan bagian bawah


tidak pernah menyentuh bumi atau tanah. Rumah Gadang
berdiri 2m di atas tanah yang ditopang oleh tiang yang
bertumpu di atas batu datar yang kuat dan lebar. Tapak
tiang dialasi dengan batu sandi. Batu ini berfungsi sebagai
peredam getaran gelombang dari tanah sehingga tidak
mempengaruhi bangunan di atasnya.

F. Proses Pembangunan

Rumah gadang didirikan diatas tanah kaum yang bersangkutan. Jika hendak
mendirikan, penghulu dari kaum tersebut mengadakan musyawarah terlebih dahulu
dengan anak kemenakannya. Setelah dapat kata sepakat dibawa kepada penghulu-
penghulu yang ada dalam persukuannya, seterusnya dibawa pada penghulu-penghulu
yang ada dinagarinya.

Dilihat dari cara membangun, memperbaiki


dan membuka rumah gadang adanya unsur
kebersamaan dan kegotongroyongan sesama
anggota masyarakat tanpa mengharapkan balas
jasa. Fungsi sosial sangat diutamakan.
Walaupun rumah gadang itu milik dan didiami
oleh anggota kaum namun pada prinsipnya
rumah gadang itu adalah milik nagari karena
mendirikan sebuah rumah gadang didasarkan
atas ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di
nagari itu dan setahu penghulu-penghulu untuk mendirikannya atau membukanya.

Menurut tradisinya, tiang utama Rumah


Gadang yang disebut tonggak tuo yang berjumlah
empat buah/batang diambil dari hutan secara
gotong royong oleh anak nagari, terutama kaum
kerabat, dan melibatkan puluhan orang. Batang
pohon yang ditebang biasanya adalah pohon juha
yang sudah tua dan lurus dengan diameter antara
40 cm hingga 60 cm. Pohon juha terkenal keras
dan kuat. Setelah di bawa ke dalam nagari pohon
tersebut tidak langsung di pakai, namun direndam dulu di kolam milik kaum atau
keluarga besar selama bertahun-tahun.

Setelah cukup waktu batang pohon tersebut diangkat atau dibangkit untuk dipakai
sebagai tonggak tuo. Prosesi mengangkat/membangkit pohon tersebut disebut juga
sebagai mambangkik batang tarandam (membangkitkan pohon yang direndam), lalu
proses pembangunan Rumah Gadang berlanjut ke prosesi berikutnya, mendirikan
tonggak tuo atau tiang utama sebanyak empat buah, yang dipandang sebagai
menegakkan kebesaran.

Batang pohon yang sudah direndam selama


bertahun-tahun tersebut kemudian menjadi sangat
keras dan tak bisa dimakan rayap, sehingga bisa
bertahan sebagai tonggak tuo atau tiang utama selama
ratusan tahun. Perendaman batang pohon yang akan
dijadikan tonggak tuo selama bertahun-tahun tersebut
merupakan salah satu kunci yang membuat Rumah
Gadang tradisional mampu bertahan hingga ratusan
tahun

Untuk mencari kayu ke hutan harus disertakan oleh orang kampung dan sanak
keluarga. Tempat mengambil kayu berada di hutan ulayat nagari. Para pekerja yang
mengerjakan rumah tersebut berupa bantuan dari tukang-tukang yang ada dalam
nagari atau diupahkan. Rumah yang dibangun diperuntukkan pada keluarga
perempuan, sedangkan untuk laki-laki dibangun rumah pembujangan. Walaupun rumah
itu diperuntukkan bagi perempuan namun yang berkuasa adalah penghulu dan yang
bertanggungjawab langsung pada rumah gadang tsb adalah tungganai.

Bila rumah gadang itu sudah usang dan perlu perbaikan maka seluruh anggota kaum
mengadakan mufakat. Seandainya rumah gadang itu akan dibuka lantaran tidak
mungkin untuk diperbaiki, maka harus diketahui orang kampung atau senagari dan
terutama penghulu-penghulu yang ada di nagari tsb.

Tidak semua keluarga diperbolehkan mendirikan


rumah gadang dan ini harus mempunyai syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat itu antara lain kaum yang akan
mendirikan rumah gadang itu merupakan kaum asal di
kampung tsb yang mempunyai status adat dalam suku
dan nagarinya. Walaupun sebuah kaum itu kaya, tetapi
dia adalah keluarga pendatang baru yang tidak
mempunyai status adat dalam suku dan nagari tersebut
tidak dibenarkan mendirikan rumah gadang.

Walaupun demikian kemufakatan dari penghulu-penghulu yang ada pada suku dan
nagari sangat menentukan apakah sebuah kaum itu dibenarkan mendirikan rumah
gadang atau tidak.
G. Tata Hidup dan Pergaulan dalam Rumah Gadang
Rumah gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci. Sebagai perbendaharaan
kaum yang dimuliakan dan dipandang suci, maka setiap orang yang naik ke rumah
gadang akan mencuci kakinya lebih dahulu di bawah tangga. Di situ disediakan sebuah
batu ceper yang lebar yang disebut batu telapakan, sebuah tempat air yang juga dan
batu yang disebut cibuk meriau, serta sebuah timba air dari kayu yang bernama taring
berpanto.

 Perempuan yang datang bertamu akan berseru di halaman menanyakan apakah


ada orang di rumah. Kalau yang datang laki-laki, ia akan mendeham lebih dahulu
di halaman sampai ada sahutan dan atas rumah.
 Laki-laki yang boleh datang ke rumah itu bukanlah orang lain. Mereka adalah
ahli rumah itu sendiri, mungkin mamak rumah, mungkin orang semenda, atau
laki-laki yang lahir di rumah itu sendiri yang tempat tinggalnya di rumah lain.
 Jika yang datang bertamu itu tungganai, ia didudukkan di lanjar terdepan pada
ruang sebelah ujung di hadapan kamar gadis-gadis.
 Kalau yang datang itu ipar atau besan, mereka ditempatkan di lanjar terdepan
tepat di hadapan kamar istri laki-laki yang menjadi kerabat tamu itu.
 Kalau yang datang itu ipar atau besan dari perkawinan kaum laki-laki di rumah
itu, tempatnya pada ruang di hadapan kamar para gadis di bagian lanjar tengah.
 Waktu makan, ahli rumah itu tidak serentak.
 Perempuan yang tidak bersuami makan di ruangan dekat dapur.
 Perempuan yang bersuami makan bersama suami masing-masing di ruang yang
tepat di hadapan kamarnya sendiri.
 Kalau banyak orang semenda di atas rumah, maka mereka akan makan di kamar
masing-masing. Makan bersama bagi ahli rumah itu hanya bisa terjadi pada
waktu kenduri yang diadakan di rumah itu.
 Kalau ada ipar atau besan yang datang bertamu, mereka akan selalu diberi
makan. Waktu makan para tamu tidaklah ditentukan. Pokoknya semua tamu
harus diberi makan sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Yang
menemani tamu pada waktu makan ialah kepala rumah tangga, yaitu perempuan
yang dituakan di rumah itu. Perempuan yang menjadi istri saudara atau anak
laki-laki tamu itu bertugas melayani. Sedangkan perempuan perempuan lain
hanya duduk menemani tamu yang sedang makan itu. Mereka duduk pada lanjar
bagian dinding kamar.

Orang laki-laki yang ingin membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki,
seperti semenda atau mamak rumah itu, tidak lazim melakukannya dalam rumah
gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di mesjid atau surau, di pemedanan atau
gelanggang, di balai atau di kedai. Adalah janggal kalau tamu laki-laki dibawa
berbincang-bincang di rumah kediaman sendiri.
ARSITEKTUR TRADISIONAL PADANG
CONTOH RUMAH GADANG

Rumah Gadang di Fort de Kock, Agam. Rumah Gadang di Alahan Panjang.

Rumah Gadang kembar Rumah Gadang di Kapau, Agam.

Rumah Gadang di Baso, Agam. Rumah Gadang di Talang

Rumah Gadang Gajah Maharam

Rumah Gadang yang ada di Nagari


Pandai Sikek
PENGARUH ARSITEKTUR TRADISIONAL PADANG
TERHADAP ARSITEKTUR MODERN

Keunikan bentuk atap Rumah Gadang yang melengkung dan lancip, telah
menginspirasi beberapa arsitek di belahan negeri lain, seperti Ton van de Ven di Negeri
Belanda yang mengadopsi desain Rumah Gadang pada bangunan The House of the Five
Senses. Bangunan yang dioperasikan sejak tahun 1996 itu digunakan sebagai gerbang
utama dari Taman Hiburan Efteling. Bangunan setinggi 52 meter dan luas atap 4500
meter persegi itu merupakan bangunan berkonstruksi kayu dengan atap jerami yang
terbesar di dunia menurut Guinness Book of Records.

Desain Rumah Gadang yang banyak terdapat di Negeri Sembilan juga diadopsi pada
bangunan paviliun Malaysia di World Shanghai Expo 2010 yang diselenggarakan di
Shanghai, China pada tahun 2010.

Bangunan dengan desain Rumah Gadang yang diadopsi ke bentuk yang lebih
futuristik :

The House of the Five Senses di Belanda.


Jam Gadang

Paviliun Malaysia di Shanghai Expo


Masjid Negeri, Seremban, Malaysia 2010.

The House of the Five Senses di Belanda. Masjid Raya Sumatra Barat di Padang

Paviliun Malaysia di Shanghai Expo 2010.


ARSITEKTUR PALEMBANG
ARSITEKTUR RUMAH PANGGUNG LIMAS

Nama Rumah limas berasal dari berasal dari bentuk atapnya yang seperti piramida
terpenggal (limasan). Rumah Limas merupakan salah satu ikon rumah daerah khas
Provinsi Sumatera Selatan. Berbentuk rumah panggung bertingkat-tingkat dengan
filosofi budaya tersendiri untuk setiap tingkatnya. Rumah Limas juga identik dengan
ornamen furniture kayu berusia ratusan tahun.
Awalnya pembuatan Rumah adat panggung sebagai rumah adat tradisional
Palembang karena disesuaikan dengan kondisi geografis sumatera selatan yang di
kelilingi rawa dan sungai seperti di Palembang, yang sempat dijuluki Venesia dari Timur
karena ratusan anak sungai yang mengelilingi wilayah daratannya.

Rumah Limas sangat luas dan seringkali digunakan sebagai tempat berlangsungnya
hajatan atau acara adat. Luasnya mulai dari 400 hingga 1000 m2. Bahan material dalam
membuat dinding, lantai, serta pintu menggunakan kayu tembesu. Sementara untuk
tiang rumah, pada umumnya menggunakan kayu unglen yang tahan air. Dan rangka
rumah yang terbuat dari kayu Seru.

Nilai-nilai budaya Palembang juga dapat dirasakan dari ornamen ukiran pada pintu
dan dindingnya. Selain berbentuk limas, rumah ini juga tampak seperti rumah panggung
dengan tiang-tiangnya yang dipancang hingga ke dalam tanah. Hal ini disebabkan oleh
kondisi geografis lingkungannya yang berada di daerah perairan.

Secara personal, sikap pribadi masyarakat Palembang menjunjung tinggi kehormatan


laki-laki dan wanita. Dan secara sosial, menunjang citra diri kebudayaan Palembang
yaitu dengan menjunjung tinggi norma-norma adat yang berlaku di masyarakat. Bentuk
rumah yang luas merupakan gambaran kondisi sosial budaya masyarakat Palembang
yang menjunjung tinggi sifat kebersamaan dalam bentuk gotong royong.

A. Filosofi arah timur dan barat


Dari segi arsitektur, Rumah Limas terdiri dari ruang bersegi dan persegi panjang
menghadap ke arah Timur dan Barat. Arah Timur dan Barat memiliki arti tersendiri.
Arah Timur bermakna Matahari Hidup, yang secara filosofi diartikan sebagai awal
mula kehidupan manusia. Sementara Arah Barat yaitu Matahari Mati, yang berarti
akhir kehidupan atau kematian.

Aturan tersebut berlaku karena suku Palembang menganut sebuah falsafat, yaitu
Matoari eedoop dan matoari mati, yang artinya adalah matahari terbit dan matahari
terbenam. Falsafah tersebut mempunyai nilai filosofis bahwa masyarakat Palembang
harus secara proporsional dalam mengingat bahwa kehidupan di dunia ini hanya
sementara.

Jika dilihat dari tata letak ruang penandaan arah tersebut menunjukkan adanya
pembagian bangunan depan dan belakang

B. Pembagian ruang
Pada bagian depan ada jogan, gegajah,
ruang kerja, dan amben. Keseluruhan ruangan
tersebut menjadi ruangan utama ketika
pemilik rumah menggelar sebuah acara
(hajat), seperti halnya upacara adat, kenduri,
penerimaan tamu, dan pertemuan penting
lainnya. Oleh sebab itu, di bagian-bagian
ruangan ini juga akan menemukan berbagai
hiasan, seperti lemari kaya yang berisikan pajangan sebagai pemisah antara ruang
tengah dan depan.

Pada bagian tengah ada kamar bagi Kepala


Keluarga, Pangkeng Keputran (kamar anak laki-laki),
Pangkeng Kaputren (kamar anak perempuan),
Ruang Keluarga, Pangkeng Penganten (kamar
pengantin), dan Ruang Anak Menantu. Ruangan
dibagian tengah ini bersifat privat. Tidak semua
orang diizinkan masuk kedalam kecuali anggota
keluarga pemilik rumah.

 Pangkeng Penganten, (kamar


pengantin) terdapat dinding rumah, baik
dikanan maupun dikiri. Untuk masuk ke
bilik atau Pangkeng ini, kita harus
melalui dampar(kotak) yang terletak di
pintu yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan peralatan rumah tangga.

Pada bagian belakang ada dapur (pawon), Ruang Pelimpahan, Ruang Hias, dan
Toilet. Para wanita biasanya akan banyak beraktivitas di bagian belakang ini.
C. Bagian-bagian rumah limas

1. Bentuk rumah
Rumah Limas berbentuk rumah panggung.
Rumah panggung dipilih karena pada zaman
dahulu masyarakat mendirikan rumah ini di atas
rawa-rawa, sehingga rumah panggung dapat
menghindarkan penghuninya dari air rawa dan
binatang-binatang rawa.

Rumah limas yang besar melambangkan status


sosial pemilik rumah. Biasanya pemiliknya adalah
keturunan keluarga Kesultanan Palembang, pejabat pemerintahan Hindia Belanda, atau
saudagar kaya.

2. Atap

Sesuai dengan namanya Rumah Limas, rumah ini memiliki berbentuk atap limas.Di
bagian atap, ada ornamen berbentuk seperti tanduk kambing. Kalau jumlahnya 5 itu
perlambang rukun Islam, 6 rukun iman, 4 sahabat nabi, 3 itu matahari bintang dan
bulan, 2 adam dan hawa.

3. Simbar atau tanduk

Simbar atau tanduk, dengan hiasan bunga


melati yang berada diatas atap rumah limas,
melambangkan mahkota yang juga memiliki
makna sebuah kerukunan serta keagungan
sebuah rumah adat. Simbar dengan jumlah
tertentu juga memiliki makna yang berbeda,
jadi tingkatan status sosial pemilik rumah limas ini juga dapat kita
lihat dari jumlah simbar pada rumah tersebut.

Simbol-simbol tersebut bermakna bahwa manusia adalah ciptaan


Allah SWT dan kesadaran akan keagungan-Nya. Serta pada
keberadaan utusan-Nya demi tertatanya kehidupan di dunia dan
akhirat, dan pada para khalifah yang memiliki peran penting dalam
penyebaran agama Islam.

4. Pintu dan jendela

Sementara, untuk rangka, dinding dan


jendela digunakan kayu tembesu atau kayu
seru. Kayu seru sengaja tidak digunakan di
bagian bawah Rumah Limas, sebab kayu Seru
dalam kebudayaannya dilarang untuk diinjak
atau dilangkahi. Setiap rumah dapat dirasakan
nilai-nilai budaya Palembang juga terutama
dinding dan pintu diberi ornamen ukiran.

Memasuki bagian dalam rumah, pintu masuk


ke rumah limas adalah bagian yang unik. Pintu
kayu tersebut jika dibuka lebar akan menempel ke langit- langit teras. Untuk
menopangnya, digunakan kunci dan pegas.

5. Tangga

Ketinggian lantai panggung dapat mencapai ukuran 3


meter. Untuk menaiki rumah Limas, terdapat 2 tangga yang
letaknya berada di kiri dan kanan rumah. Tangga tersebut
mengantarkan kita pada teras yang dikelilingi pagar kayu
yang disebut tenggalung.

6. Lantai

Lantai rumah adat Palembang ini berupa susunan papan kayu trembesu (tembesu)
yang dipasang horizontal.

7. Kekijing

Tingkatan yang dimiliki rumah ini disertai dengan lima ruangan yang disebut dengan
kekijing. Hal ini menjadi simbol atas lima jenjang kehidupan bermasyarakat, yaitu usia,
jenis, bakat, pangkat dan martabat. Detail
setiap tingkatnya pun berbeda-beda.

Tingkat atau kijing yang dimiliki


Rumah Limas menandakan garis
keturunan asli masyarakat palembang.
Dalam kebudayaannya, dikenal tiga jenis garis keturunan atau kedudukan, yaitu Kiagus,
Kemas atau Massagus, serta Raden. Tingkatan atau undakannya pun demikian. Yang
terendah adalah tempat berkumpul golongan Kiagus. Selanjutnya, yang kedua diisi oleh
garis keturunan Kemas dan atau Massagus. Kemudia yang ketiga, diperuntukkan bagi
golongan tertinggi yaitu kaum Raden.

I. Tingkat pertama yang disebut pagar tenggalung, ruangannya tidak memiliki


dinding pembatas, terhampar seperti beranda saja. Suasana di tingkat pertama
lebih santai dan biasa berfungsi sebagai tempat menerima tamu saat acara adat.
II. Tingkat kedua, disebut Jogan, digunakan sebagai tempat berkumpul khusus
untuk pria.
III. Tingkat ketiga disebut kekijing ketiga. Posisi lantai tentunya lebih tinggi dan
diberi batas dengan menggunakan penyekat. Ruangan ini biasanya untuk tempat
menerima para undangan dalam suatu acara atau hajatan, terutama untuk handai
taulan yang sudah separuh baya.
IV. Tingkat keempat disebut kekijing keempat, yang memiliki posisi lebih tinggi lagi.
Begitu juga dengan orang-orang yang dipersilakan untuk mengisi ruangan ini pun
memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat dan dihormati, seperti undangan yang
lebih tua, dapunto dan datuk.
V. Tingkat kelima disebut gegajah. Didalamnya terdapat ruang pangkeng, amben
tetuo, dan danamben keluarga. Amben (Balai/tempat Musyawarah) yang terletak
lebih tinggi dari lantai ruangan (±75 cm). Amben tetuo sendiri digunakan sebagai
tempat tuan rumah menerima tamu kehormatan serta juga menjadi tempat
pelaminan pengantin dalam acara perkawinan. Dibandingkan dengan ruang
lainnya, gegajah adalah yang paling istimewa sebab memiliki kedudukan privasi
yang sangat tinggi. Sebagai pembatas ruang terdapat lemari yang dihiasi sehingga
show/etlege dari kekayaan pemiliki rumah.

8. Tenggalung
Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu
berjeruji yang disebut dengan tenggalung. Makna
filosofis di balik pagar kayu itu adalah anak perempuan
ataupun gadis palembang haruslah terjaga dari
kehidupan lingkungan luar. Hal ini juga menyimbolkan
bahwa mereka harus mempunyai pelindung untuk
menjaga harkat dan juga harga dirinya di lingkungan.
Pagar kayu keliling tersebut biasanya dilengkapi dengan ukiran-ukiran flora yang
dapat meningkatkan nilai estetika rumah adat Sumatera Selatan ini dari tampak depan.

9. Dinding
Sementara pada dinding Rumah Limas dibuat dari kayu jenis merawan yang
berbentuk papan, dengan cara penyusunan dan besaran yang sama dengan papan pada
lantai.
Bagian dinding ruangan dihiasi dengan ukiran bermotif flora yang dicat dengan
warna keemasan. Tak jarang, pemilik menggunakan timah dan emas di bagian ukiran
dan lampu- lampu gantung antik sebagai aksesoris.

10. Tiang atau cagak


Rumah Limas Palembang dibangun di atas
tiang-tiang yang terbuat dari jenis kayu unglen
yang berjumlah 32 buah atau kelipatannya,
menggunakan kayu ulen, kayu ulen sengaja dipilih
karena ketahanannya terhadap air

Rumah Limas yang memiliki tiang-tiang tinggi


dan tengah tengahnya terdapat ruang kosong
tanpa dinding.Jika dilihat dari kejauhan seperti
dua rumah. Akan tetapi rumah tersebut merupakan satu kesatuan

11. Kolong ( ruang bawah rumah)

Struktur rumah panggung pada rumah limas juga


membuat adanya bagian kolong atau ruang bawah rumah.
Kolong tersebut biasanya difungsikan sebagai tempat untuk
melaksanakan aktivitas para wanita sehari-hari.

Rumah ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi


pakai pasak, dan bisa dibongkar pasang. Karena berstruktur
panggung, maka tentu jelas bahwa rumah ini berdiri di atas
tiang-tiang besar. Tinggi tiangnya sendiri bervariasi antara
0,5 sd 3 meter tergantung dari tempatnya. Jika rumah
berdiri di daerah yang sering tergenang tinggi, maka tiang
rumahpun akan semakin tinggi. Begitupun sebaliknya.

Ada dua jenis kayu yang digunakan untuk membangun


rumah tradisional ini, yaitu Kayu Unglen atau Kayu Besi dan Kayu Tembesu pada
dinding, lantai dan atap rumah. Untuk tiang rumah, dibuat dari kayu tembesu, sehingga
tahan air dan kuat.
Dindingnya terbuat dari papan-papan kayu
yang disusun tegak. Untuk naik ke rumah limas
dibuatlah dua undak-undakan kayu dari sebelah
kiri dan kanan.

Lantai rumah adat Palembang ini berupa


susunan papan kayu trembesu (tembesu) yang
dipasang horizontal. Papan kayu tembesu
dipilih karena ringan tapi punya struktur yang
kuat. Papan tembesu juga digunakan sebagai dinding dan rangka atap. Sementara
atapnya sendiri dibuat dari genting tanah biasa.
ARSITEKTUR PALEMBANG
ARSITEKTUR RUMAH RAKIT LIMAS

Palembang memiliki 2 jenis rumah adat yaitu rumah panggung dan rumah rakit tapi
memiliki kesamaan bentuk dari bentuk atap rumahnya yaitu berbentuk limas seperti
halnya rumah adat Bangka belitung yang merupakan pcahan dari sumatera selatan.

Kenapa di namai sebagai rumah adat rumah rakit karena di lihat dari sisi
geografisnya yang di kelilingi oleh sungai. Dan bagi masyarakat palembang sungai
menjadi bagian yang sangat vital keberadaanya, karena selain sebagai sebagai sarana
transportasi dan sumber mata pencaharian sebagai penangkap ikan (nelayan)

Rumah adat Rakit sebagai salah satu rumah tradisional sumatera palembang
keberadaannya sudah ada sejak jaman kerajaan Sriwijaya dan hingga saat inipun masih
ada pula masyarakat yang membangunnya. Rumah rakit selalu menetap dan
menghadap ke darat, diikat dengan tali yang dihubungkan dengan tonggak di tanah tepi
sungai dan disangga dengan beberapa tiang yang ditancapkan ke dasar sungai.

Walau demikian rumah rakit juga harus mampu berfungsi sebagai rakit yang mampu
berjalan di atas sungai, hal ini akan dibutuhkan jika penghuni menginginkan rumahnya
berpindah tempat. Sedapat mungkin lantai rumah tetap dalam kondisi kering tidak
tersentuh air.

Bahan dari rumah rakit tradisional adalah bambu dan kayu, untuk penutup atapnya
menggunakan rangkaian daun nipah kering. Dindingnya dari bambu yang dicacah dan
direntangkan, disebut dengan ’pepuluh’. Saat ini beberapa rumah rakit sudah
menggunakan bahan atap dari seng. Atap rumah rakit berbentuk limas dengan
bubungan yang sejajar arah sungai.

Daun pintu menghadap ke darat dengan jendela di sisi dinding sebelah kiri dan
kanan. Ruang utama digunakan untuk menerima tamu dan kamar-kamar tidur. Dapur
ada yang di dalam, tetapi banyak pula yang diluar berdiri sendiri.
Sebelum membangun rumah rakit, sebuah keluarga perlu mengadakan beberapa kali
pertemuan dari komunitas keluarga kecil sampai pada keluarga yang lebih besar
sampai kepada masyarakat setempat. Tujuannya selain untuk menyampaikan keinginan
membangun rumah juga untuk memohon ijin dan dukungan bagi orang-orang yang
berkaitan.

Setelah pertemuan dianggap cukup, mulailah pembangunan dengan mengumpulkan


bahan. Setiap bahan dipilah-pilah sesuai dengan rancangan konstruksi yang akan
digunakan. Bahan kayu dan bambu juga dipilah untuk ditentukan mana yang akan
dipakai sebagai alas rakitnya, untuk dinding, tiang dan rerangka atapnya.

Pembangunan rumah rakit dikerjakan di tepi sungai dan sebagian besar di atasnya
jika alas rakit telah dibuat dan siap ditumpangi. Alas rumah tradisional rakit dibuat dari
bambu-bambu yang diikat dan dipasak, dipadukan dengan balok-balk kayu.

Tiang-tiang rumah menggunakan bahan kayu yang ditegakkan setelah alas rakit
mengapung di sungai. Tiang-tiang ini bagian bawahnya dilubangi dan diikat pada balok
melintang yang merupakan bagian dari alas rakit.

Setelah tiang didirikan, kemudian diperkuat dengan balok-balok yang berfungsi pula
sebagi tumpuan kuda-kuda. Selanjutnya dibuat lantai rumah dan dinding yang
diteruskan dengan kegiatan menaikkan kuda-kuda untuk atap. Setelah seluruh
konstruksi atap selesai, dipasanglah penutup atap

Anda mungkin juga menyukai