ARSITEKTUR TRADISIONAL
ARSITEKTUR PADANG & PALEMBANG
TEKNIK ARSITEKTUR
Rumah Gadang berasal dari bahasa Mingangkabau gadarig yang berarti besar, dan
banyak di jumpai di provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut nama
Rumah Bagonjong atau Rumah Baanjuang. Sebutan rumah gadang (besar) bukan
hanya dalam pengertian fisik tetapi juga dalam pengertian fungsi dan peranannya yang
berkaitan dengan adatnya.
Tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) boleh didirikan rumah adat ini, hanya
pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh
didirikan. Sedangkan kawasan yang disebut dengan rantau, dan dahulunya tidak boleh
didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam
suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan
kepada perempuan pada kaum tersebut. Rumah Gadang dikepalai oleh seorang
tungganai (Mamak) dan sebagai syarat berdirinya suatu nagari di Minangkabau.
Arsitek yang membangun Rumah Gadang yang pertama adalah seorang Cerdik
Pandai Minangkabau yang bernama : Datuk Tan Tejo Gerhano, yang dimakamkan di
Pariangan Kabupaten Tanah Datar dan makam tersebut dikenal dengan kuburan
panjang yang punya keunikan tersendiri bahwa setiap kali diukur akan berbeda
panjangnya.
Asal-usul bentuk rumah gadang juga sering dihubungkan dengan kisah perjalanan
nenek moyang Minangkabau. Konon kabarnya, bentuk badan rumah gadang
Minangkabau yang menyerupai tubuh kapal adalah meniru bentuk perahu nenek
moyang Minangkabau pada masa dahulu.
Menurut cerita, lancang nenek moyang ini semula berlayar menuju hulu Batang
Kampar. Setelah sampai di suatu daerah, para penumpang dan awak kapal naik ke
darat. Lancang ini juga ikut ditarik ke darat agar tidak lapuk oleh air sungai.Lancang
kemudian ditopang dengan kayu-kayu agar berdiri dengan kuat. Lalu, lancang itu diberi
atap dengan menggantungkan layarnya pada tali yang dikaitkan pada tiang lancang
tersebut. Selanjutnya, karena layar yang menggantung sangat berat, tali-talinya
membentuk lengkungan yang menyerupai gonjong.
Tanduk Hirarki
Kerbau
Bentuk gonjong yang runcing diibaratkan seperti harapan untuk mencapai Tuhan
dan dinding, yang terbuat dari potongan anyaman bambu, melambangkan kekuatan dan
utilitas dari masyarakat Minangkabau yang terbentuk ketika tiap individu menjadi
bagian masyarakat yang lebih besar dan tidak berdiri sendiri.
Ada pula yang mengatakan bahwa atap gonjong merupakan simbol dari tanduk
kerbau, simbol dari pucuk rebung, simbol kapal, dan simbol dari bukit. Kerbau karena
kerbau dinilai sebagai hewan yang sangat erat kaitannya dengan nama Minangkabau.
Pucuk rebung karena rebung merupakan bahan makanan adat. Kapal karena orang
Minangkabau dianggap berasal dari rombongan Iskandar Zulkarnaen yang berlayar.
Bukit karena daerah Minangkabau yang berbukit
a. Ramah lingkungan : Penggunaan bahan dasar ijuk pada atap melambangkan simbol
rumah yang ramah lingkungan
b. Tanduk kerbau : Bentuk atap kerap kali dianggap memiliki kemiripan dengan
tanduk dari hewan kerbau
c. Penyambung tali silatuhrahmi : Atap rumah adat Gadang bentuknya meniru Siriah
Basusun atau daun sirih yang disusun dengan rapi. Yang menyimbolkan bahwa
rumah gadang adalah tali penyambung bagi silaturahmi serta adanya kekeluargaan.
d. Status sosial : Bentuk atap yang mirip dengan tanduk itu merupakan representasi
kerbau yang menjadi binatang paling dihormati oleh masyarakat adat.
e. Hirarki : Bentuk atap bergonjong mirip seperti susunan sirih. Gonjong merupakan
bagian yang menjulang dan dihiasi ornamen pada puncaknya. Ornamen ini memiliki
makna hirarki dalam kekuasaan pengambilan keputusan.
f. Bentuk lengkung : Bermakna segala sesuatu tidak disampaikan secara langsung,
namun diplomatis.
g. Bentuk perahu dan topi : Bentuk rumah seperti bentuk kapal. Kecil di bawah dan
besar di atas. Bentuk perahu merupakan wujud kenangan rakyat Minangkabau
terhadap leluhur yang berlayar ke daerah ini. Dan diibaratkan bentuk topi Iskandar
Zulkarnain yang melambangkan kekuasaan.
2. Singkok
Singkok merupakan dinding
berbentuk segitiga dibawah gonjong.
Sama seperti dinding lainnya, singkok
terbuat dari kayu dan dipenuhi ukiran.
3. Pereng
Antara tiang dengan tiang membujur dan membelintang dihubungkan oleh rasuk
pelancar. Rasuk melintang melalui pahatan pada tiang. Rasuk bahannya dari ruyung
batang kelapa atau dari kayu hutan yang keras.
Pahatan lebih kurang 2m dari dasar atau sendi.
Pahatan tiang yang sama tingginya pada setiap
tiang adalah untuk pahatan rasuk pelancar. Di
atas rasuk melintang berada di bawah pahatan
rasuk pelancar. Rasuk melintang ditopang
dengan ruyung yang sama tebalnya dengan
rusuk melintang hingga mengenai tinggi pahatan
rasuk pelancar. Diatas singgiran disusun jeriau
lantai, hingga lantai menjadi datar.
6. Ukiran
Warna Khas
Minangkabau
a. Motif alam : Rumah Gadang biasanya berbagai ukiran khas motif yang terinspirasi
dari keadaan alam sekitar seperti tumbuhan
merambat, akar yang berdaun, berbunga dan
berbuah, sebagai contoh motif itiak patang,
motif kaluak paku, dll
b. Warna khas : Ukiran biasanya di cat dengan
warna yang khas dari daerah Minang yaitu
kombinasi warna merah, hitam, kuning dan
hijau, yng melambangkan orang Minangkabau
hidup beriringan
c. Bentuk geometri : Pada dasarnya ukiran
pada Rumah Gadang berisi bidang dalam
bentuk garis melingkar atau geometri bersegi tiga, empat dan genjang.
7. Lantai
Rumah gadang dilantai dengan papan. Lantai papan dipasang diatas jeriau dan
adakalanya lantai dibuat dari pelupuh (bambu yang dipecah). Untuk lantai rumah
gadang ini ungkapan adatnya mengatakan “lantai banamo hamparan adat, tampek si
janang main pantan, tampek penghulu main undang. Lantai rumah gadang ada dua jenis
bila dilihat dari bentuknya.
Perbedaan dari jenis lantai ini sebagai membedakan rumah gadang Bodi Caniago
dengan rumah gadang Koto Piliang. Lantai datar untuk semua bidang merupakan jenis
Bodi Caniago. Semua penghulu yang duduk sama martabatnya, dengan kata-kata
adatnya duduak samo randah, tagak samo tinggi. Sedangkan pada adat Koto Piliang
lantainya bertingkat atau beragam, lantainya setingkat lebih tinggi dari lantai bandul
gajah dan bendul tepi. Penghulu-penghulu yang duduk dari Kelarasan Koto Piliang di
rumah gadang sesuai dengan tingkatannya.
Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, golongan
pertama menganut prinsip pemerintahan yang hierarki menggunakan anjung yang
memakai tongkat penyangga, pada golongan kedua anjuang seolah-olah mengapung di
udara.
a. Rumah panggung : Dibuat dengan bentuk yang tinggi menyerupai rumah panggung
dengan tujuan agar ruang yang ada pada bagian bawah dapat digunakan untuk fungsi
yang lain.
b. Tangga : Pada zaman dahulu pada bagian yang ada di bawah
tangga terdapat batu serta cibuak yang berfungsi untuk
mencuci kaki. Jumlah anak tangga mempunyai bilangan
ganjil dan biasanya 5,7 dan 9. Ini bermakna kita harus
memperhatikan adat sopan-santun dengan hormat dan
mendahulukan kepala kaum/suku atau status sosialnya lebih
tinggi.
c. Kolam ikan : Rumah gadang pada umumnya mempunyai kolam ikan yang berada di
depan rumah. Kolam tersebut digunakan dengan fungsi yang beragam, selain untuk
memelihara beberapa ikan, kolam tersebut juga sebagai sumber air yang akan
digunakan untuk aktivitas sehari-hari seperti mandi dan mencuci.
d. Permukaan dinding depan : Rumah Gadang penuh dengan tatanan ukiran-ukiran
yang menarik dan setiap ukiran itu mempunyai arti sendiri dan mengandung filsafah
Minangkabau "ALAM TAKAMBANG JADI GURU".
12. Dinding
Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua
bahagian, muka dan belakang. Pada bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan
papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal,
sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran,
sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung
pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah Gadang.
14. Rangkiang
Rumah Gadang juga memiliki beberapa lumbung padi (Rangkiang), dengan masing-
masing memiliki nama dan fungsi yang berbeda.
Bagian dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas, kecuali kamar tidur.
Ruangan lepas ini merupakan ruang utama yang terbagi atas lanjar dan ruang yang
ditandai oleh tiang. Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah. Biasanya jumlah lanjar adalah
dua, tiga clan empat. Jumlah ruangan biasanya
terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan
sebelas. Ukuran rumah gadang tergantung
kepada jumlah lanjarnya.
Bagian lain dari rumah gadang adalah bagian di bawah lantai. Bagian ini disebut
kolong dari rumah gadang. Kolong rumah gadang cukup tinggi dan luas. Kolong ini
biasanya dijadikan sebagai gudang alat-alat pertanian atau dijadikan sebagai tempat
perempuan bertenun. Seluruh bagian kolong ini ditutup dengan ruyung yang berkisi-
kisi jarang.
Ruang depan : Merupakan ruang besar, dipakai sebagai ruang keluarga, rapat,
menerima tamu dan sebagainya.
Ruang tengah : Terdiri dari kamar-kamar, dipakai untuk kamar tidur penghuni
wanita bersama suaminya.
Ruang Anjungan : Bangunannya lebih tinggi dari ruang depan, sebelah kiri dan
sebelah kanan dipakai untuk tempat wanita yang baru menikah.
Ruang Belakang : Merupakan dapur tanpa kamar mandi dipancuran diluar
Rumah Gadang.
D. Sistem Matrilineal
Terlepas dari semua kisah tentang arsitekturnya, Rumah Gadang dibangun sesuai
dengan ketentuan adatnya yang menganut sistem matrilineal. Yang mana alur
keturunan berasal dari ibu sehingga wanita memegang derajat paling tinggi dalam
kehidupan.
Salah satunya soal jumlah kamar yang bergantung pada jumlah wanita yang
menghuni di dalamnya. Setiap wanita yang telah bersuami dapat memiliki kamar
sendiri sedangkan, bagi wanita yang sudah uzur dan anak-anak dapat memiliki tempat
tidur di kamar dekat dapur. Dan para remaja gadis disatukan dalam sebuah kamar yang
berada di ujung dari Rumah Gadang. Rumah Gadang pun akan diwarisi oleh dan kepada
para wanita secara turun temurun kepadaahli waris perempuan sesuai dengan adat
yang berlaku.
E. Struktur bangunan
Rumah adat Minangkabau memiliki bangunan dengan bentuk seperti segi empat
memanjang yang hampir seluruh bagian yang ada dibuat dengan bahan dasar dari kayu
dan berbagai macam hasil alam lainnya. Bahan tersebut diaplikasikan pada bagian
dinding, lantai, loteng dan juga pada tangga rumah. Rumah Gadang dianggap sebagai
rumah dengan tahan gempa. Bahkan teknologi mutakhir ini telah digunakan sejak abad
lalu dengan bentuk pasak.
Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian
dengan alam tropis . Bentuk
Rumah Gadang segi 4 , tidak
sistematis, mengembang keatas ,
untuk menangkis terpaan angin
kencang. Serta memiliki bentuk
atap yang melengkung seperti
tanduk, dengan beberapa sudut
atap yang runcing dan lancip.
Rumah Gadang yang asli dalam proses pembuatannya tidak memerlukan paku untuk
merekatkan atau menyambungkan dua bagian bahan dasar kayu. Tetapi menggunakan
pasak. Jadi apabila suatu saat terjadi gempa, rumah yang ada hanya berayun mengikuti
ritme gempa yang ada. Dengan demikian ketika gempa, rumah tidak akan roboh.
F. Proses Pembangunan
Rumah gadang didirikan diatas tanah kaum yang bersangkutan. Jika hendak
mendirikan, penghulu dari kaum tersebut mengadakan musyawarah terlebih dahulu
dengan anak kemenakannya. Setelah dapat kata sepakat dibawa kepada penghulu-
penghulu yang ada dalam persukuannya, seterusnya dibawa pada penghulu-penghulu
yang ada dinagarinya.
Setelah cukup waktu batang pohon tersebut diangkat atau dibangkit untuk dipakai
sebagai tonggak tuo. Prosesi mengangkat/membangkit pohon tersebut disebut juga
sebagai mambangkik batang tarandam (membangkitkan pohon yang direndam), lalu
proses pembangunan Rumah Gadang berlanjut ke prosesi berikutnya, mendirikan
tonggak tuo atau tiang utama sebanyak empat buah, yang dipandang sebagai
menegakkan kebesaran.
Untuk mencari kayu ke hutan harus disertakan oleh orang kampung dan sanak
keluarga. Tempat mengambil kayu berada di hutan ulayat nagari. Para pekerja yang
mengerjakan rumah tersebut berupa bantuan dari tukang-tukang yang ada dalam
nagari atau diupahkan. Rumah yang dibangun diperuntukkan pada keluarga
perempuan, sedangkan untuk laki-laki dibangun rumah pembujangan. Walaupun rumah
itu diperuntukkan bagi perempuan namun yang berkuasa adalah penghulu dan yang
bertanggungjawab langsung pada rumah gadang tsb adalah tungganai.
Bila rumah gadang itu sudah usang dan perlu perbaikan maka seluruh anggota kaum
mengadakan mufakat. Seandainya rumah gadang itu akan dibuka lantaran tidak
mungkin untuk diperbaiki, maka harus diketahui orang kampung atau senagari dan
terutama penghulu-penghulu yang ada di nagari tsb.
Walaupun demikian kemufakatan dari penghulu-penghulu yang ada pada suku dan
nagari sangat menentukan apakah sebuah kaum itu dibenarkan mendirikan rumah
gadang atau tidak.
G. Tata Hidup dan Pergaulan dalam Rumah Gadang
Rumah gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci. Sebagai perbendaharaan
kaum yang dimuliakan dan dipandang suci, maka setiap orang yang naik ke rumah
gadang akan mencuci kakinya lebih dahulu di bawah tangga. Di situ disediakan sebuah
batu ceper yang lebar yang disebut batu telapakan, sebuah tempat air yang juga dan
batu yang disebut cibuk meriau, serta sebuah timba air dari kayu yang bernama taring
berpanto.
Orang laki-laki yang ingin membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki,
seperti semenda atau mamak rumah itu, tidak lazim melakukannya dalam rumah
gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di mesjid atau surau, di pemedanan atau
gelanggang, di balai atau di kedai. Adalah janggal kalau tamu laki-laki dibawa
berbincang-bincang di rumah kediaman sendiri.
ARSITEKTUR TRADISIONAL PADANG
CONTOH RUMAH GADANG
Keunikan bentuk atap Rumah Gadang yang melengkung dan lancip, telah
menginspirasi beberapa arsitek di belahan negeri lain, seperti Ton van de Ven di Negeri
Belanda yang mengadopsi desain Rumah Gadang pada bangunan The House of the Five
Senses. Bangunan yang dioperasikan sejak tahun 1996 itu digunakan sebagai gerbang
utama dari Taman Hiburan Efteling. Bangunan setinggi 52 meter dan luas atap 4500
meter persegi itu merupakan bangunan berkonstruksi kayu dengan atap jerami yang
terbesar di dunia menurut Guinness Book of Records.
Desain Rumah Gadang yang banyak terdapat di Negeri Sembilan juga diadopsi pada
bangunan paviliun Malaysia di World Shanghai Expo 2010 yang diselenggarakan di
Shanghai, China pada tahun 2010.
Bangunan dengan desain Rumah Gadang yang diadopsi ke bentuk yang lebih
futuristik :
The House of the Five Senses di Belanda. Masjid Raya Sumatra Barat di Padang
Nama Rumah limas berasal dari berasal dari bentuk atapnya yang seperti piramida
terpenggal (limasan). Rumah Limas merupakan salah satu ikon rumah daerah khas
Provinsi Sumatera Selatan. Berbentuk rumah panggung bertingkat-tingkat dengan
filosofi budaya tersendiri untuk setiap tingkatnya. Rumah Limas juga identik dengan
ornamen furniture kayu berusia ratusan tahun.
Awalnya pembuatan Rumah adat panggung sebagai rumah adat tradisional
Palembang karena disesuaikan dengan kondisi geografis sumatera selatan yang di
kelilingi rawa dan sungai seperti di Palembang, yang sempat dijuluki Venesia dari Timur
karena ratusan anak sungai yang mengelilingi wilayah daratannya.
Rumah Limas sangat luas dan seringkali digunakan sebagai tempat berlangsungnya
hajatan atau acara adat. Luasnya mulai dari 400 hingga 1000 m2. Bahan material dalam
membuat dinding, lantai, serta pintu menggunakan kayu tembesu. Sementara untuk
tiang rumah, pada umumnya menggunakan kayu unglen yang tahan air. Dan rangka
rumah yang terbuat dari kayu Seru.
Nilai-nilai budaya Palembang juga dapat dirasakan dari ornamen ukiran pada pintu
dan dindingnya. Selain berbentuk limas, rumah ini juga tampak seperti rumah panggung
dengan tiang-tiangnya yang dipancang hingga ke dalam tanah. Hal ini disebabkan oleh
kondisi geografis lingkungannya yang berada di daerah perairan.
Aturan tersebut berlaku karena suku Palembang menganut sebuah falsafat, yaitu
Matoari eedoop dan matoari mati, yang artinya adalah matahari terbit dan matahari
terbenam. Falsafah tersebut mempunyai nilai filosofis bahwa masyarakat Palembang
harus secara proporsional dalam mengingat bahwa kehidupan di dunia ini hanya
sementara.
Jika dilihat dari tata letak ruang penandaan arah tersebut menunjukkan adanya
pembagian bangunan depan dan belakang
B. Pembagian ruang
Pada bagian depan ada jogan, gegajah,
ruang kerja, dan amben. Keseluruhan ruangan
tersebut menjadi ruangan utama ketika
pemilik rumah menggelar sebuah acara
(hajat), seperti halnya upacara adat, kenduri,
penerimaan tamu, dan pertemuan penting
lainnya. Oleh sebab itu, di bagian-bagian
ruangan ini juga akan menemukan berbagai
hiasan, seperti lemari kaya yang berisikan pajangan sebagai pemisah antara ruang
tengah dan depan.
Pada bagian belakang ada dapur (pawon), Ruang Pelimpahan, Ruang Hias, dan
Toilet. Para wanita biasanya akan banyak beraktivitas di bagian belakang ini.
C. Bagian-bagian rumah limas
1. Bentuk rumah
Rumah Limas berbentuk rumah panggung.
Rumah panggung dipilih karena pada zaman
dahulu masyarakat mendirikan rumah ini di atas
rawa-rawa, sehingga rumah panggung dapat
menghindarkan penghuninya dari air rawa dan
binatang-binatang rawa.
2. Atap
Sesuai dengan namanya Rumah Limas, rumah ini memiliki berbentuk atap limas.Di
bagian atap, ada ornamen berbentuk seperti tanduk kambing. Kalau jumlahnya 5 itu
perlambang rukun Islam, 6 rukun iman, 4 sahabat nabi, 3 itu matahari bintang dan
bulan, 2 adam dan hawa.
5. Tangga
6. Lantai
Lantai rumah adat Palembang ini berupa susunan papan kayu trembesu (tembesu)
yang dipasang horizontal.
7. Kekijing
Tingkatan yang dimiliki rumah ini disertai dengan lima ruangan yang disebut dengan
kekijing. Hal ini menjadi simbol atas lima jenjang kehidupan bermasyarakat, yaitu usia,
jenis, bakat, pangkat dan martabat. Detail
setiap tingkatnya pun berbeda-beda.
8. Tenggalung
Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu
berjeruji yang disebut dengan tenggalung. Makna
filosofis di balik pagar kayu itu adalah anak perempuan
ataupun gadis palembang haruslah terjaga dari
kehidupan lingkungan luar. Hal ini juga menyimbolkan
bahwa mereka harus mempunyai pelindung untuk
menjaga harkat dan juga harga dirinya di lingkungan.
Pagar kayu keliling tersebut biasanya dilengkapi dengan ukiran-ukiran flora yang
dapat meningkatkan nilai estetika rumah adat Sumatera Selatan ini dari tampak depan.
9. Dinding
Sementara pada dinding Rumah Limas dibuat dari kayu jenis merawan yang
berbentuk papan, dengan cara penyusunan dan besaran yang sama dengan papan pada
lantai.
Bagian dinding ruangan dihiasi dengan ukiran bermotif flora yang dicat dengan
warna keemasan. Tak jarang, pemilik menggunakan timah dan emas di bagian ukiran
dan lampu- lampu gantung antik sebagai aksesoris.
Palembang memiliki 2 jenis rumah adat yaitu rumah panggung dan rumah rakit tapi
memiliki kesamaan bentuk dari bentuk atap rumahnya yaitu berbentuk limas seperti
halnya rumah adat Bangka belitung yang merupakan pcahan dari sumatera selatan.
Kenapa di namai sebagai rumah adat rumah rakit karena di lihat dari sisi
geografisnya yang di kelilingi oleh sungai. Dan bagi masyarakat palembang sungai
menjadi bagian yang sangat vital keberadaanya, karena selain sebagai sebagai sarana
transportasi dan sumber mata pencaharian sebagai penangkap ikan (nelayan)
Rumah adat Rakit sebagai salah satu rumah tradisional sumatera palembang
keberadaannya sudah ada sejak jaman kerajaan Sriwijaya dan hingga saat inipun masih
ada pula masyarakat yang membangunnya. Rumah rakit selalu menetap dan
menghadap ke darat, diikat dengan tali yang dihubungkan dengan tonggak di tanah tepi
sungai dan disangga dengan beberapa tiang yang ditancapkan ke dasar sungai.
Walau demikian rumah rakit juga harus mampu berfungsi sebagai rakit yang mampu
berjalan di atas sungai, hal ini akan dibutuhkan jika penghuni menginginkan rumahnya
berpindah tempat. Sedapat mungkin lantai rumah tetap dalam kondisi kering tidak
tersentuh air.
Bahan dari rumah rakit tradisional adalah bambu dan kayu, untuk penutup atapnya
menggunakan rangkaian daun nipah kering. Dindingnya dari bambu yang dicacah dan
direntangkan, disebut dengan ’pepuluh’. Saat ini beberapa rumah rakit sudah
menggunakan bahan atap dari seng. Atap rumah rakit berbentuk limas dengan
bubungan yang sejajar arah sungai.
Daun pintu menghadap ke darat dengan jendela di sisi dinding sebelah kiri dan
kanan. Ruang utama digunakan untuk menerima tamu dan kamar-kamar tidur. Dapur
ada yang di dalam, tetapi banyak pula yang diluar berdiri sendiri.
Sebelum membangun rumah rakit, sebuah keluarga perlu mengadakan beberapa kali
pertemuan dari komunitas keluarga kecil sampai pada keluarga yang lebih besar
sampai kepada masyarakat setempat. Tujuannya selain untuk menyampaikan keinginan
membangun rumah juga untuk memohon ijin dan dukungan bagi orang-orang yang
berkaitan.
Pembangunan rumah rakit dikerjakan di tepi sungai dan sebagian besar di atasnya
jika alas rakit telah dibuat dan siap ditumpangi. Alas rumah tradisional rakit dibuat dari
bambu-bambu yang diikat dan dipasak, dipadukan dengan balok-balk kayu.
Tiang-tiang rumah menggunakan bahan kayu yang ditegakkan setelah alas rakit
mengapung di sungai. Tiang-tiang ini bagian bawahnya dilubangi dan diikat pada balok
melintang yang merupakan bagian dari alas rakit.
Setelah tiang didirikan, kemudian diperkuat dengan balok-balok yang berfungsi pula
sebagi tumpuan kuda-kuda. Selanjutnya dibuat lantai rumah dan dinding yang
diteruskan dengan kegiatan menaikkan kuda-kuda untuk atap. Setelah seluruh
konstruksi atap selesai, dipasanglah penutup atap